Anda di halaman 1dari 192

Definisi Fiqh

Setelah fiqh menjadi cabang ilmu tersendiri, ulama membatasi kajian fiqh hanya untuk
hukum yang terkait amal perbuatan manusia.
Para ulama fiqih mendefinisikan ilmu fiqh dengan,

‫َش ِع َّي ِة ال اع ام ِل َّي ِة الـ ُم مكت ا اس ابة ِم من َأ ِدل َّ ِِتاا التَّ مف ِصي ِل َّية‬ ‫ال ِع م ُْل ِِب َأل ا‬
‫حَك ِم ال ا م‬
“Ilmu tentang hukum syariat terkait amal yang disimpulkan dari dalil-dalilnya secara
spesifik.” (al-Fiqh al-Islami, 1/15)
Berdasarkan definisi di atas, berarti ilmu fiqh memiliki 4 batasan:
[1] “ilmu tentang hukum syariat” : hukum syariat berarti hukum yang bersumber dari dalil
yang diakui syariat, seperti al-Quran, sunah, ijma’, qiyas dan perkataan para sahabat.
Selain ilmu syariat tidak tercakup dalam ilmu fiqh: seperti matematika, ilmu logika, atau ilmu
yang didapatkan dari kebiasaan di masyarakat.
[2] “terkait amal” : ilmu syariat yang tidak membahas masalah amal, bukan ranah kajian ilmu
fiqh. Seperti ilmu aqidah, ilmu tafsir, ilmu hadis secara riwayah, ilmu nahwu. dst.
[3] “disimpulkan” : artinya disimpulkan melalui ijtihad terhadap dalil-dalil al-Qur'an dan
Sunnah.
[4] “dalil-dalilnya secara spesifik”: artinya dalil yang berkaitan dengan amal tertentu, dan
bukan dalil global. Untuk dalil global masuk dalam kajian ilmu ushul fiqh.
Sistematika Pembahasan Ilmu Fiqh
Ada 4 pembahasan pokok dalam kajian ilmu fiqh:
[1] Fiqh Ibadah (Fiqhul Ibadah)
Meliputi : thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, qurban/aqiqah, sumpah/nadzar, dan jihad.
[2] Fiqh Muamalah (Fiqhul Muamalah)
Membahas hukum seputar interaksi sesama manusia, selain yang berkaitan masalah
keluarga.
a) Berhubungan dengan harta: beli, sewa (ijarah), atau pinjam-meminjam (isti’arah). Baik
komersil (mu’awadhat) maupun sosial (tabarru’at)
b) Tidak berkaitan dengan harta, seperti mewakilkan (wakalah), penjaminan (kafalah),
berdamai untuk membuat solusi bersama (sulh), dan yang lainnya.
[3] Fiqh Keluarga (Fiqhul Usrah)
Fiqh usrah membahas tentang masalah keluarga: Membentuk keluarga, Menjaga
keluarga yang ideal, hingga bubar keluarga, dan konsekuensinya.

[4] Fiqh peradilan dan tindak kriminal dalam islam (Fiqhul Qadha wal Jinayat wal
Hudud)
Mengenalkan aneka tindak kriminal, Batasan tindak kriminal yang berhak mendapat
hukuman, aneka hukuman terhadap tindak criminal: potong tangan, qishas, cambuk,
dll. Dan hukuman ta’zir
Mengenal Istilah Muamalah
Kata muamalah [ ]‫معاملة‬berasal dari kata: aamala – yuaamilu [ ]‫ يعامل‬- ‫عامل‬yang artinya
saling berinteraksi. Baik interaksi terkait masalah harta, keluarga, bertetangga, maupun
masalah lainnya.
Sehingga istilah muamalah adalah istilah umum. Sehingga istilah muamalah adalah
istilah umum, mencakup semua interaksi yang dilakukan antar-sesama manusia.
Mengingat kajian seputar fiqh jual beli menyangkut masalah harta (maal), maka para
ulama memberikan tambahan keterangan di belakangnya, maliyah, sehingga menjadi:
Muamalah Maliyah.
Semangat Hijrah
Sebagian besar mereka yang hijrah, diiringi dengan harapan agar hartanya semakin
berkah. Atau karena latar belakang rasa takut, jika ada harta haram di rekeninganya,
hartanya akan cepat habis.
Dengan kata lain, mereka meninggalkan bagian yang haram dari dunia, dengan
harapan bisa mendapatkan dunia yang lebih banyak.
Memiliki motivasi semacam ini, bukan hal yang salah. Karena salah satu ancaman Allah
bagi mereka yang memperkaya dirinya dengan riba, hartanya akan dibinasakan.
Hanya saja, bagi mukmin, ada motivasi yang lebih besar yaitu, kesadaran akan akhirat.
Dia sadar bahwa nanti semuanya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Ketika membahas masalah halal haram, Dia kaitkan dengan masalah akhirat,

َ ُ‫ ذ ِاَّل َين ا َذا ا ْك َتالُوا عَ ََل النذ ِاس ي َْس َت ْوف‬. ‫ون‬
‫ويْ ٌل ِللْ ُم َط ِف ِف َني‬.َ ‫ون‬ ُ ِ ‫ُوُه ُ ُْي‬
َ ‫ِس‬ َ ُ‫َأ ََل ي َ ُظ ُّن ُأول َ ِئ َك َأَّنذ ُ ْم َم ْب ُعوث‬
ْ ُ ُ‫ َوا َذا ََكل‬.‫ون‬
ْ ُ ‫وُه َأ ْو َو َزن‬
ِ ِ
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah mereka itu yakin,
bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. (QS. al-Muthaffifin: 1-4).
Allah juga mengingatkan, semua yang kita upayakan akan dihisab oleh Allah di hari
kiamat,

‫ُ ذُث لَتُ ْسأَلُ ذن ي َ ْو َم ِئ ٍذ َع ِن النذ ِع ِمي‬


“Kemudian di hari itu, kalian akan ditanya tentang nikmat yang kalian rasakan.” (QS. at-
Takatsur: 8)
Dengan aqidah hijrah terasa lebih ringan
Ketika orang memiliki aqidah yang benar tentang akhirat, umumnya lebih ringan ketika
harus mengikuti aturan masalah harta, sekalipun bisa jadi kurang menguntungkan bagi
dunianya.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali dakwahnya dengan penekanan masalah tauhid
dan aqidah. Beliau tanamkan ideologi yang benar kepada para sahabatnya. Sehingga
mereka lebih siap menerima halal dan haram.
Aisyah mengatakan,

‫ان ذ َما نَ َز َل َأ ذو َل َما نَ َز َل ِمنْ ُه ُس َور ٌة ِم َن الْ ُم َف ذص ِل ِفهيَا ِذ ْك ُر الْ َجنذ ِة َوالنذ ِار َح ذَّت ا َذا ََث َب النذ ُاس ا ََل اَل ْس َال ِم نَ َز َل الْ َح َال ُل َوالْ َح َرا ُم‬
ِ ِ ِ ِ
‫ لَ َقالُوا ََل ن َدَ ُع ِالزَنَ َأبَدً ا‬. ‫ ََل تَ ْ نزُوا‬. ‫ َولَ ْو نَ َز َل‬. ‫ لَ َقالُوا ََل ن َدَ ُع الْ َخ ْم َر َأبَدً ا‬. ‫ْشبُوا الْ َخ ْم َر‬ ْ َ ‫ َولَ ْو نَ َز َل َأ ذو َل‬،
َ ْ َ ‫َش ٍء ََل ت‬
Sesungguhnya yang awal-awal turun adalah surat al-Mufasshal, membahas masalah
surga dan neraka. Hingga ketika banyak orang yang masuk islam, turun ayat masalah
halal-haram. Andaikan al-Quran yang pertama kali turun berisi larangan, ‘Jangan minum
khamr!’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khamr
selamanya.’ Andai yang pertama kali turun, ‘Jangan berzina!’ tentu mereka akan
mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.’ (HR. Bukhari 4993 &
Abdurrazaq dalam Mushannaf 5943).
Subhannallah…
Demikianlah cara Allah mendidik generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiyallahu
'anhum. Mereka diajari masalah aqidah dan iman kepada akhirat, sehingga mudah
bagi mereka untuk menerima semua aturan syariat, meskipun itu bertentangan
dengan kebiasaan yang sudah mendarah-daging pada diri mereka, seperti khamr dan
zina.
Karena kita sadar akhirat !!
Memahami Makna Akad
ً َْ َ
َ ‫عق َ َد‬
Akad secara bahasa dari kata: aqada – ya’qidu – ‘aqdan [‫ عقدا‬، ‫عقد‬
ِ ‫ي‬ ] yang artinya
mengikat. Lawan katanya: melepaskan.

Pada asalnya kata ini untuk menyebut kejadian yang konkrit, seperti mengikat dengan
tali. Kemudian digunakan untuk sesutau yang abstrak, seperti mengikat kesepakatan
atau janji yang dilakukan antar-sesama manusia.
Sementara makna kata akad secara istilah – ada dua definisi yang masyhur:
[1] Akad dalam makna luas
Semua pernyataan, baik lisan, tulisan, maupun isyarat yang menyebabkan seseorang
berkewajiban melakukan sesuatu. Sehingga tidak disyaratkan harus terjadi interaksi dua
arah, seperti talak, membebaskan budak (al-Itq), atau hibah.
Ketika seseorang mengatakan kepada budaknya: “Kamu saya bebaskan”, berarti dia
memiliki kewajiban berupa membiarkan budaknya untuk tidak lagi menjadi miliknya.
[2] Akad dalam makna khusus
Ikatan yang dilakukan antar-pelaku akad, dengan cara yang sesuai syariat, yang memiliki
pengaruh setelahnya. Ikatan ini mencakup semua keinginan pelaku akad, baik
diungkapkan dengan ucapan maupun perbuatan.
Berdasarkan definisi ini, sebuah interaksi bisa disebut akad jika terjadi dua arah antara
dua pihak. Jika hanya terjadi searah, tidak disebut akad.
(Ta’rif Aqd at-Taurid - www.alifta.net)
Macam-Macam Akad
Ada banyak macam akad dilihat dari beberapa sudut pandang.
Pertama, pembagian akad dilihat dari pengaruh dan konsekuensinya
[1] Akad yang sah
Yaitu akad yang pengaruh dan konsekuensinya berlaku.
Masing-masing akad memiliki konsekuensi yang berbeda-beda.
Akad jual beli yang sah 🡪 terjadinya perpindahan hak milik.
Akad sewa yang sah 🡪 Perpindahan hak guna terhadap objek sewa.
Akad nikah yang sah 🡪 berubahnya status kedua mempelai menjadi suami-istri, dst.
[2] Akad yang tidak sah
Akad tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat sah akad, sehingga
pengaruh dan konsekuensinya tidak diberlakukan. Ketika konsekuensinya tidak
diberlakukan, juga tidak berlaku turunannya.
Kedua, Pembagian akad dilihat dari bentuknya
Ada beberapa bentuk akad. Dan secara umum bisa kita bagi menjadi 5 bentuk:
[1] Akad Mu’awwadhat (komersil)
Seperti akad jual beli, sewa-menyewa, istishna’ (pesan dibuatkan barang) dan semua
turunannya.
[2] Akad Tabarru’at (sosial)
Seperti hibah, sedekah, wasiat, wakaf, dst.
[3] Akad Irfaq (membantu dengan hak guna)
Seperti utang piutang (qardh), atau pinjam-meminjam (ariyah)
[4] Akad Tautsiqat (jaminan kepercayaan)
Seperti rahn (gadai), kafalah (penjaminan subjek transaksi), dan dhamanah (penjaminan
terhadap objek transaksi).
[5] Akad Syarakah (kerja sama)
Akad syarakah adalah akad kerja sama antar-beberapa pihak untuk melakukan usaha
bersama, jika untung dibagi bersama, dan jika rugi ditanggung bersama. Contoh: Akad
mudharabah atau musyarakah.

Ketiga, pembagian akad dilihat dari keterikatannya


Dibagi menjadi 2:
[1] Akad lazim yaitu akad yang mengikat kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak
tidak bisa membatalkannya kecuali melalui persetujuan pihak lain.
[2] Akad jaiz yaitu akad yang bisa dibatalkan secara sepihak, sehingga bisa dibatalkan
secara sepihak, tanpa harus menunggu kerelaan pihak lain.
Memahami Makna Jual Beli
Jual beli dalam bahasa arab disebut dengan al-Ba’i (ُ‫)ال َبيع‬. Kata ini merupakan turunan
dari kata al-Ba’a (‫ )الباع‬yang artinya depa, yaitu jarak antara ujung dua telapak tangan
ketika dibentangkan.
Jual beli disebut ba’a, karena ketika orang melakukan jual beli, orang mengulurkan
depa-nya untuk mengambil atau menerima barang atau alat pembayaran. (Fiqh al-
Muamalat, Dr. al-Fauzan, hlm. 6).
Secara istilah makna jual beli tidak jauh dari pengertian jual beli secara urf. Intinya
Tabadul al-Maal (tukar menukar harta). Dr. Yusuf as-Syubaili mendefinikan,

ِ ‫ُم َباد َ ََُل َم ٍال بِـ َم ٍال ِلغ‬


ِ ‫َرض ال َت َم ك‬
‫ُّل‬
“Tukar-menukar harta dengan harta dengan maksud memindahkan kepemilikan”.
(Mudzakirah Mukhtasharah fi al-Muamalah, hlm. 2).
Pembagian Jual Beli
Transaksi jual beli dibagi dalam beberapa bagian, dilihat dari beberapa sudut
pandang.
Pertama, dilihat dari alat tukarnya
Dilihat dari alat tukarnya, transaksi jual beli dibagi menjadi 3:
[1] Tukar menukar uang dengan barang
[2] Tukar menukar barang dengan barang (barter), diistilahkan dalam fiqh dengan bai’
muqayadhah
[3] Tukar menukar uang dengan uang, disebut juga dengan as-Sharf.

Dari ketiga bentuk transaksi di atas, yang paling dibatasi adalah transaksi sharf, uang
ditukar dengan uang. Dibatasi dalam arti harus dilakukan secara tunai dan nilainya
sama.
Kedua, dilihat dari ketersediaan objek
Dilihat dari ketersediaan objek, transaksi dibagi menjadi 4:
1. Sama-sama tunai, ada uang dan ada barang di majlis akad.
2. Uang tunai di majlis akad, barang tertunda karena belum dimiliki penjual. Transaksi ini
disebut jual beli salam.
3. Uang tertunda (tidak dibayar tunai), barang tunai di majlis akad. Itulah jual beli kredit
(ba’i bi at-taqsith)
4. Uang tertunda (tidak dibayar tunai), barang tertunda karena belum dimiliki penjual,
disebut jual beli utang dengan utang (Bai’ al-kali’ bil kali’)

Dari keempat transaksi di atas, semuanya boleh kecuali kali’ bil kali’ hukumnya dilarang
berdasarkan ijma’ ulama.
Kriteria Transaksi Kali’ bil Kali’
Transaksi terhitung kali’ bil kali’ apabila memenuhi 4 kriteria:
[1] Penjual belum memiliki barang
[2] Penjual bukan produsen
[3] Sudah dilakukan akad dengan pembeli
[4] Pembeli belum membayar secara tunai
Ketiga, Pembagian jual beli dilihat dari cara menentukan harga
Pembagian jual beli dilihat dari kerelaan penjual dalam menyebutkan harga kulak, dibagi
menjadi 2:
[1] Bai’ Musawamah
Jual beli dimana penjual tidak menyebutkan harga modal, namun dia langsung
tetapkan harga jual. Transaksi ini yang paling sering kita jumpai di masyarakat.
[2] Bai’ Amanah
Akad jual beli, dimana penjual secara jujur menyebutkan harga modal kepada
pembeli. Disebut ba’i amanah, karena pihak penjual mendapat amanah untuk secara jujur
menyebutkan harga modalnya.
Jual beli amanah ada 3:
a. Murabahah: penjual menetapkan keuntungan.
b. Wadhi’ah: dijual lebih murah dari pada harga modal
c. Tauliyah : dijual seharga yang sama dengan harga modal
Rukun : Muamalah & Ibadah
Rukun ibadah berarti sesuatu yang harus dikerjakan ketika sedang melakukan ibadah. Dan
jika ditinggalkan baik dengan sengaja maupun lupa, bisa membatalkan ibadah itu.
Syarat ibadah berarti sesuatu yang harus dilakukan sebelum ibadah, agar ibadah yang
hendak dikerjakan bernilai sah.
Rukun dalam muamalah artinya adalah unsur terwujudnya akad muamalah. Sehingga, jika
rukun muamalah tidak ada maka akad mumalah itu tidak terjadi.
Syarat dalam muamalah adalah ketentuan yang harus dipenuhi dalam akad, agar transaksi
itu bernilai sah secara syariat.
Rukun Jual Beli
Rukun jual beli ada 3 :
al-Aqidan (pelaku akad), yaitu dua pihak yang melakukan akad: penjual dan pembeli.
al-Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yaitu alat akad, seperti uang dan barang, atau jasa.
Shighat akad, yaitu ucapan atau isyarat dari penjual dan pembeli yang menunjukkan keinginan
mereka untuk melakukan akad secara saling ridha.

Cara mudah menghafalnya, untuk ketiga rukun jual beli di atas,


[1 ] Subjek transaksi: penjual dan pembeli (al-Aqidan)
[2] Objek transaksi: uang (alat tukar) dan barang atau jasa
[3] Shighat akad: pernyataan yang menghubungkan antar-subjek (pelaku) transaksi.
Mengenal Shighat Akad
Dalam kajian fiqh muamalah, sangat penting untuk memahami shighat akad. Mengingat shighat
akad menjadi alat ukur adanya saling ridha dalam transaksi yang dilakukan.
Shighat Akad ada 2
[1] Shighat yang disampaikan secara lisan
Misalnya, penjual mengatakan, “Saya jual barang ini...” atau pembeli mengatakan, “Saya beli
barang ini…” dan ungkapan semisal. Shighat yang disampaikan secara lisan disebut ijab qabul.
[2] Shighat dengan perbuatan atau isyarat
Artinya akad dilakukan tanpa ada ucapan maupun tulisan apapun, sehingga tidak ada ijab
qabul. Trasaksi jual beli yang dilakukan tanpa ijab qabul disebut bai’ mu’athah.
Haruskah Diucapkan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah shighat dalam jual beli,
Pertama, harus dinyatakan secara lisan, artinya harus ada ijab qabul. Ini merupakan pendapat
syafi’iyah
Alasannya, bahwa saling ridha merupakan syarat mutlak dalam jual beli. Sementara keridhaan
termasuk amal hati. Sebagai bukti keridhaan harus diucapkan secara lisan, sehingga harus ada
ijab qabul. (Mudzakirah fi Fiqh al-Muamalat, Dr. as-Syubaili, hlm. 6)
Kedua, madzhab mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Hambali dan sebagian Syafiiyah)
menyatakan bahwa dalam transaksi jual beli tidak harus diucapkan. Artinya akad sah dilakukan
dengan cara apapun, yang penting masing-masing saling paham yang menunjukkan keridhaan.
Contoh Ba’i Mu’athah
Ada banyak contoh ba’i mu’athah di sekitar kita, seperti:
[1 ] Jual beli di swalayan
Hampir tidak ada ijab qabul. Ketika konsumen membawa barang ke hadapan kasir, si kasir
hanya men-scan barcode harga barang, selanjutnya konsumen membayar.
[2] Jual beli di market-place
Konsumen di market-place dilayani oleh mesin, sehingga tidak ada komunikasi apapun dengan
pemilik barang atau penjual.
[3] Membeli minuman di mesin show-case
Di beberapa tempat umum yang menjual minuman dengan mesin, konsumen hanya
memasukkan uang, lalu dilayani oleh mesin, sehingga sama sekali tidak ada ijab qabul dengan
pemilik minuman atau penjual.
Syarat Jual Beli
3 Poin yang perlu dipahami terkait syarat:

1. Syarat jual beli adalah ketentuan yang harus dipenuhi agar transaksi yang
dilakukan menjadi sah.

2. Syarat jual beli adalah penjelasan mengenai rukun jual beli.

3. Syariat yang menentukan syarat-syarat dalam jual beli.


Syarat Jual Beli Ada 7:
2 syarat terkait subjek,

Subjek harus pemilik atau wakilnya

Subjek harus orang yang memiliki kelayakan dalam bertransaksi (jaiz tasharruf)

4 syarat terkait objek,

Halal manfaat

Memungkinkan diserah-terimakan

Jelas kriteria

Harga jelas

1 syarat terkait shighat,

Saling ridha
Pelaku Akad Haru Pemilik / Wakilnya
Seseorang tidak boleh men-transaksikan barang milik orang lain. Baik dengan menjual
barang milik orang lain, ataupun membeli dengan menggunakan uang milik orang lain.
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اَل تا ِب ْع اما لايْ اس ِع ْندا اك‬


“Janganlah kamu jual barang yang bukan milikmu.” (Ahmad – dishahihkan Syuaib al-
Arnauth)
Karena itu, pada asalnya, dalam transaksi jual beli, hanya ada 2 pihak yang terlibat:
penjual dan pembeli.
Penjual sebagai pemilik barang, dan pembeli sebagai pemilik uang. Sehingga jika ada
pihak ketiga yang terlibat dan ingin mendapatkan sebagian keuntungan dari transaksi
jual beli itu, maka di sana ada 2 pilihan:
[1] Mendekat ke salah satu, antara penjual atau pembeli, sehingga dia menjadi wakil
bagi salah satunya.
Jika dia mendekat ke penjual berarti wakil penjual, dan jika mendekat ke pembeli berarti
wakil pembeli.
[2] Menjadi penjual kedua. Dalam arti, dia membeli terlebih dahulu dari penjual
pertama, kemudian dia menjualnya kembali ke pembeli kedua.
Mengenal Ba’i Fudhuly (Menjual Barang Milik
Orang lain)
Ada 3 keadaan yang perlu kita bedakan:
[1] Menjual barang milik orang lain dengan seizin pemiliknya, hukumnya boleh. Posisi
dia sebagai wakil dari pemilik dan berhak mendapatkan fee sesuai yang disepakati.
[2] Menjual barang milik orang lain, sementara pemiliknya tidak merelakan barangnya
dijual. Transaksinya batal dengan sepakat ulama, kecuali jika dia memiliki izin secara
syar’i. Misalnya: Pemerintah memaksa jual tanah orang lain untuk pelebaran jalan.
[3] Menjual barang milik orang lain tanpa seizin pemilik, kemudian setelah itu pemilik
menyetujuinya. Transaksi semacam ini disebut tasharruf al-Fudhuly atau ba’i fudhuly.
Ada 2 pendapat mengenai hukum Bai’ Fudhuly,
Pendapat Pertama, jual beli fudhuly statusnya sah, selama pemilik barang telah
merelakannya.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad dalam salah satu
riwayat.
Pendapat Kedua, bai’ fudhuly statusnya batal, sekalipun pemiliknya merelakan.
Ini adalah pendapat Imam as-Syafii dalam madzhab baru (al-Qoul al-Jadid) dan
pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, selama pemilik mengizinkan,
diperbolehkan. Dan pendapat ini yang dikuatkan Syaikhul Islam. (Majmu al-Fatawa,
20/578)
[2] Penjual dan pembeli termasuk orang yang boleh
bertransaksi (Jaiz at-Tasharruf)
Jaiz tasharruf artinya orang yang boleh bertransaksi. Agar boleh bertransaksi maka
seseorang harus memiliki ahliyah fi tasharruf (kelayakan untuk bertransaksi).
Ada 3 syarat untuk bisa disebut memiliki kelayakan bertransaksi: baligh, berakal, dan
rasyid (dewasa dalam mengatur harta).
Anak kecil, atau yang tidak dewasa dalam mengatur harga, tidak boleh melakukan
transaksi, kecuali atas izin dan pengawasan walinya.
Allah berfirman,

‫اَّلل لا ُ ُْك ِق ايا اما‬


ُ َّ ‫او اَل ت ُْؤتُوا ال ُّس افه اااء َأ ْم اوالا ُ ُُك ال َّ ِِت اج اع ال‬
“Janganlah kalian berikan harta kalian kepada orang bodoh, yang harta itu Allah jadikan
sebagai penopang hidup kalian.” (QS. an-Nisa: 5)
[3] Objek yang ditransaksikan harus halal manfaat
Halal manfaat berarti objek itu memiliki manfaat yang mubah.
Manfaat ini bersifat umum, baik manfaat konsumsi maupun manfaat lainnya.

Sebagai konsekuensinya:
- Barang yang tidak memiliki manfaat, tidak bisa diperjual belikan. Contoh: jual beli
nyamuk atau semut.
Objek Transaksi Ada 3 Kemungkinan:

[1] Objek yang hanya bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang haram, sehingga tidak
memiliki manfaat mubah sama sekali. Seperti khamr, daging babi, rokok, dst. Objek
semacam ini sama sekali tidak boleh ditransaksikan.
Dari Ibn Abbas radhiyallahu 'anhuma, Nabi ‫ﷺ‬bersabda,

‫َش ٍء َح َّر َم عَلَ ْ ِْي ْم ثَ َمنَه‬ َ ْ ‫إَّلل إ َذإ َح َّر َم عَ ََل قَ ْو ٍم َأ‬
ْ َ ‫ْك‬ َ َّ ‫َوإ َّن‬
ِ ِ
“Apabila Allah mengharamkan sekelompok kaum untuk makan sesuatu, maka Allah
haramkan hasil jual belinya.” (HR. Ahmad 2221, Abu Daud 3490, dan dishahihkan Syuaib
al-Arnauth).
[2] Barang yang hanya bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang mubah saja, seperti
makanan halal, air minum, dst. Objek semacam ini boleh dijual kepada siapapun,
termasuk kepada non-muslim. Kecuali pada satu keadaan, ketika dimanfaatkan untuk
mendukung kegiatan maksiat.
Allah berfirman,

‫َو ََل تَ َع َاونوإ عَ ََل ْإَل ْ ِْث َوإلْع ْد َو ِإن‬


ِ
”Janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan tindakan melampaui
batas.” (QS. Al-Maidah: 2).
[3] Barang yang memiliki dua potensi, bisa dimanfaatkan untuk kebaikan, bisa juga
dimanfaatkan untuk keburukan. Seperti senjata, bisa digunakan untuk hal yang mubah,
bisa juga digunakan untuk hal terlarang.

Barang semacam ini boleh dijual dengan memastikan penggunaannya pada pembeli.
Jika ada potensi akan digunakan untuk maksiat, terlarang untuk diperjual belikan.

Disebutkan dalam shahih Bukhari,

‫َك ِر َه ِ ِْع َرإن ْبن ح َص ْ ٍْي ب َ ْي َع إل ِس َالحِ ِِف إلْ ِف ْتنَ ِة‬
”Sahabat Imran bin Hushain membenci jual beli senjata ketika suasana konflik.” (HR.
Bukhari secara muallaq).

Karena jual beli senjata ketika masa konflik, berpotensi besar digunakan untuk
membunuh kaum muslimin.
[4] Barang memungkinkan untuk diserah-terimakan
Ketika barang yang dijual, tidak mungkin diserah-terimakan maka transaksinya tidak sah,
karena statusnya objek gharar.
Yang dimaksud “tidak mungkin diserah-terimakan” adalah barang yang masih
mengandung peluang, antara ada dan tidak ada. Sehingga ketika ini dijadikan objek
transaksi, di sana ada peluang, antara menguntungkan atau justru rugi (untung-
untungan). Dan itulah yang dimaksud jual beli gharar.
Dari Abu Hurairah, Nabi ‫ﷺ‬bersabda,

‫هللا َص ََّل هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َع ْن ب َ ْيع ِ إلْغ ََر ِر‬


ِ ‫َنَ َى َرسول‬
“Rasulullah ‫ﷺ‬melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim 3881, Abu Daud 3378, dan yang
lainnya)
Contoh jual beli gharar adalah jual beli ijon, yaitu jual beli calon buah yang masih ada di
pohon dengan cara borongan.

Dalam hadis Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

‫ فَ ِقي َل ََل َو َما ت ْز ِِه قَا َل َح ََّّت َ َْت َم َّر‬. ‫ِه‬


َ ِ ‫إَّلل – صَل هللا عليه وسَّل – َنَ َى َع ْن ب َ ْيع ِ إل ِث َم ِار َح ََّّت ت ْز‬ ِ َّ ‫َأ َّن َرسو َل‬
".‫ ِ َِب يَأْخذ َأ َحد ُْك َما َل َأ ِخي ِه‬، ‫ فَ َقا َل " َأ َر َأيْ َت إ َذإ َمنَ َع َّإَّلل إلث َّ َم َر َة‬.
ِ
“Bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬melarang menjual buah sampai layak untuk dipanen. Beliau ditanya,
‘Apa tanda kelayakan dipanen?’ Jawab beliau, “Sampai memerah.” Lalu beliau bersabda,

“Bagaimana menurut kalian, jika Allah mentaqdirkan buahnya tidak bisa diambil? Dengan
alasan apa penjual mengambil harta orang lain?” (HR. Bukhari & Ibnu Hibban).
[5] Kriteria Objek Transaksi Harus Jelas
Tidak boleh melakukan transaksi yang mengandung jahalah (ketidak-jelasan) terhadap
kriteria barang, yang ini sangat berpotensi memicu terjadinya sengketa. Karena itu,
kriteria barang harus diketahui dengan jelas.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

‫ َنَ َى َع ْن ب َ ْيع ِ َح َب ِل احل َ َب َ ِل‬،‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل‬ ِ َّ ‫َأ َّن َر ُسو َل‬
ُ ‫اَّلل َص ََّّل‬
“Bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬melarang jual beli janin yang masih ada di kandungan.” (HR.
Bukhari 2143 & Muslim 3882)
Jika kriteria objek tidak jelas, maka masuk dalam kategori jual beli jahalah.
[6] Harga Barang Ditentukan Ketika Akad
Harga harus jelas ketika akad. Harga yang tidak jelas ketika transaksi, termasuk bentuk
gharar, yaitu gharar dalam harga.
Dan juga melanggar hadis Nabi ‫ﷺ‬yang melarang jual beli 2 harga.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

ٍ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َع ْن ب َ ْي َع َت ْ ِي ِِ ب َ ْي َع‬ ِ َّ ‫ول‬


ُ ‫اَّلل َص ََّّل‬ ُ ‫َنَ َى َر ُس‬
“Rasulullah ‫ﷺ‬melarang dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR. Ahmad dan dihasankan
Syuaib al-Arnauth).
Makna Jual Beli Dua Harga
Mengenai makna hadis di atas, Turmudzi menuliskan,

‫ أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعرشة وبنسيئٍ بعرشين‬.ٍ‫وقد فرس بعض أهل العَّل قالوا بيعتي ىف بيع‬
‫وال يفارقه عَّل أحد البيعي فاذا فارقه عَّل أحدهام فال بأس اذا اكنت العقدة عَّل واحد مهنام‬
“Sebagian ulama menafsirkan, bahwa dua transaksi dalam satu akad, bentuknya, penjual
menawarkan: “Baju ini aku jual ke anda, tunai 10 dirham, dan jika kredit 20 dirham.
Sementara ketika mereka berpisah, belum menentukan harga mana yang dipilih. Jika
mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, dibolehkan,
jika disepakati pada salah satu harga.” (Jami’ at-Turmudzi, 5/137).
Dan alasan dari larangan jual beli 2 harga adalah harganya yang tidak jelas.
Hukum Jual Beli Kredit Dengan Harga Lebih Mahal
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Berikut riciannya,
Pendapat pertama, transaksi kredit dengan harga lebih mahal tidak diperbolehkan.
Karena melanggar hadis yang melarang jual beli dua harga. Menurut pendapat ini, jual
beli kredit dibolehkan, dengan syarat antara harga kredit dengan harga tunai nilainya
sama. Jika harganya beda, termasuk riba.
Ini merupakan pendapat Hadawiyah – salah satu sekte sufi di Yaman – dan Imam Zainul
Abidin Ali bin Husain. (Nailul Authar, 5/214).
Dan pendapat ini juga yang dinilai lebih kuat oleh al-Ustadz Abdul Hakim Abdat. (al-
Masail, Masalah 571)
Pendapat kedua, transaksi kredit dengan harga lebih mahal, hukumnya dibolehkan.
Ini merupakan pendapat Thawus, al-Hakam, dan beberapa ulama tabiin lainnya.
[7] Saling Ridha
Saling ridha termasuk bagian paling prinsip dalam transaksi jual beli. Karena pada
asalnya, barang milik orang lain tidak boleh kita manfaatkan, kecuali melalui transaksi
yang saling ridha.
Allah berfirman,

َ ‫ََي َأُّيه َا َّ ِاَّل َين أ َمنُوا َال تَأْ ُ ُُكوا َأ ْم َوالَ ُ ُْك بَيْنَ ُ ُْك ِِبلْ َبا ِط ِل ا َّال َأ ْن تَ ُك‬
‫ون ِ َِت َار ًة َع ْن تَ َراض ِمنْ ُ ُْك‬
ِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu.” (QS. an-Nisa: 29)
Dalam hadis dari Abu Said al-Khudri, Nabi ‫ﷺ‬bersabda,

‫ان َّ َما الْ َب ْي ُع َع ْن تَ َراض‬


ِ
“Jual beli harus dilakukan saling ridha.” (Ibn Majah, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Rukun Ridha
Rukun ridha artinya unsur ridha dalam transaksi.
Seseorang bisa disebut ridha ketika memenuhi 2 unsur:
[1] Al-ikhtiyar (tidak ada paksaan)
Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah,

‫االكراه يسقط الرضا‬


”Unsur paksaan, menggugurkan ridha.”
[2] Ilmu (pemahaman dalam transaksi)
Maksudnya menyadari konsekuensi akad yang dia lakukan. Ketika seseorang melakukan
akad dan dia tidak sadar dengan konsekuensi akad yang dia kerjakan, bisa jadi dia
belum ridha.
(Qawaid fi al-Buyu’, Dr. Sulaiman ar-Ruhaili, hlm 117).
Definisi
Khiyar secara bahasa diambil dari kata ikhtiyar [‫ ]االختيار‬yang artinya memilih.
Secara istilah, dalam Ensiklopedi Fiqh Islam disebutkan definisi khiyar,

ْ َ ٍ‫ ِل ُظهُو ِر ُم َس ِوغ‬، ‫ه َُو َح ُّق الْ َعا ِق ِد ِِف فَ ْس ِخ الْ َع ْق ِد َأ ْو ا ْمضَ ائِ ِه‬
‫َش ِع ٍي َأ ْو ِب ُم ْقتَ ََض ِات َف ٍاق َع َق ِد ٍي‬
ِ
“Hak pelaku akad untuk membatalkan atau melanjutkan akad disebabkan alasan yang syar’i atau
karena ada kesepakatan ketika akad.” (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah, 20/41).

Khiyar dalam akad jual beli berarti hak pelaku akad untuk memilih antara melanjutkan akad atau
membatalkannya. (Fiqh Sunah, 3/109)
Pentingnya Hak Khiyar
Khiyar mendapatkan porsi pembahasan khusus dalam fiqh jual beli, mengingat ini
bagian penting yang selalu mengiringi akad jual beli.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫الْ َب ِي َع ِان ِِبلْ ِخ َي ِار َما ل َ ْم ي َ َت َف َّرقَا‬


“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar, selama tidak berpisah.” (Bukhari 2079 &
Muslim 3937)
Catatan Tentang Hak Khiyar
[1] Hak khiyar ada karena dua alasan:
(a) Sebab yang diizinkan oleh syariat, seperti masih di majlis akad.
(b) Karena kesepakatan pelaku akad, seperti hak khiyar syarat.
[2] Khiyar hanya berlaku untuk akad yang lazim (mengikat kedua pihak), seperti jual
beli, sewa-menyewa, atau akad semacamnya. Sementara akad yang jaiz (hanya searah),
seperti pinjam meminjam atau utang, tidak berlaku hak khiyar, karena bisa dibatalkan
secara sepihak.
Ibnu Hubairah – ulama Hambali w. 560 H,

‫ واملضاربة‬،‫ والواكةل‬،‫وات َّفقوا عىل أن خيار اجمللس ال يثبت ِف العقود اليت يه غري الزمة اكلرشكة‬
Ulama sepakat bahwa khiyar majlis tidak berlaku untuk akad yang tidak lazim
(mengikat), seperti syirkah, wakalah atau mudharabah. (Ikhtilaf al-Aimmah, Ibnu
Hubairah, 1/350).
[3] Pembatalan ada 2 macam:
Pembatalan karena sebab dan pembatalan tanpa sebab.
Pembatalan karena sebab diatur dalam hak khiyar. Dan bagian ini jika disepakati, wajib
ada hak khiyar. Sedangkan pembatalan tanpa sebab, tidak wajib ada, namun
dianjurkan, dalam rangka membantu kaum muslimin. Pembatalan tanpa sebab disebut
dengan iqalah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan agar penjual
menerima iqalah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,

‫اَّلل عَ ْ َْثتَ ُه ي َ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة‬


ُ َّ ‫َم ْن َأقَا َل ُم ْس ِل ًما َأقَ َ ُاَل‬
Siapa yang menerima iqalah dari seorang muslim maka Allah akan mengampuni
dosanya kelak di hari kiamat. (HR. Abu Daud 3462, dan dishahihkan al-Albani).
[4] Hak khiyar merupakan perlindungan terhadap konsumen dan penjual
Keberadaan hak khiyar dalam islam menunjukkan bagaimana islam memberikan
regulasi terhadap hak setiap pelaku akad. Sehingga ketika penjual dan pembeli
melakukan akad benar-benar atas kerelaan pribadi dan tidak ada penyesalan di
belakang hari. Sehingga bisa dipastikan jual beli ini benar-benar saling ridha. Dan ini
bagian dari perlindungan terhadap konsumen yang diajarkan dalam islam.
(Mukadimah fi Mu’amalah Maliyah, Dr. Yusuf as-Syubili, hlm. 8)

[5] Adanya hak khiyar merupakan turunan dari adanya akad. Artinya, jika tidak ada
akad maka tidak ada hak khiyar. Sehingga jika belum melakukan akad, maka penjual
maupun pembeli tidak memiliki hak khiyar. Contoh kasus, jika penjual belum memiliki
barang, lalu melakukan akad dengan pembeli, maka tidak ada ikatan apapun. Karena
orang yang belum memiliki barang, tidak bisa melakukan akad.
[6] Lanjutan di poin ke-6, selama masih ada hak khiyar, berarti akad masih
menggantung dan belum selesai, sehingga belum terjadi perpindahan hak milik.
[7] Dalam akad jual beli, terkadang orang butuh berfikir untuk menentukan pilihan,
antara melanjutkan atau membatalkan akad. Kesempatan untuk menimbang selama
masa akad, diatur dengan cara adanya khiyar majlis.
Di sinilah seorang pengusaha muslim dituntut untuk saling jujur dan terbuka, agar
mereka bisa lebih maksimal dalam menimbang. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menjanjikan, dengan semakin terbuka maka transaksinya akan semakin diberkahi.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوا ْن َك َت َما َو َك َذ َِب‬، ‫ فَا ْن َصدَ قَا َوبَيَّنَا بُو ِر َك لَهُ َما ِِف ب َ ْي ِعهِ َما‬- ‫ َأ ْو قَا َل َح َّّت ي َ َت َف َّرقَا‬- ‫الْ َب ِي َع ِان ِِبلْ ِخ َيا ِر َما لَ ْم ي َ َت َف َّرقَا‬
ِ ِ
‫ُم ِح َق ْت بَ َر َك ُة ب َ ْي ِعهِ َما‬
”Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya saling
jujur dan terbuka maka akan diberkahi transaksi keduanya. Jika keduanya saling
menyembunyikan dan berdusta, maka akan dicabut keberkahan transaksi keduanya.”
(HR. Bukhari 2079 & Abu Daud 3461).
Hak Khiyar: Hakikat, Jenis dan Konsekuensi

‫ َو ِّإ ْن َكت َ َما‬، ‫ور َك لَ ُه َما فِّى بَ ْي ِّع ِّه َما‬ ِّ َ‫ان ِّب ْال ِّخي‬
َ ‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا فَإِّ ْن‬
ِّ ُ‫ص َدقَا َوبَيَّنَا ب‬ ِّ َ‫ْالبَ ِّيع‬
‫ت بَ َر َكةُ بَ ْي ِّع ِّه َما‬
ْ َ‫َو َكذَبَا ُم ِّحق‬
Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya saling jujur dan terbuka maka
akan diberkahi transaksi keduanya. Jika keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka akan dicabut
keberkahan transaksi keduanya. (HR. Bukhari & Abu Daud)

Hakikat Khiyar
Jalan Terus Putar Balik

Hak
Melanjutkan Mengembalikan

Putar Balik
Alasan Syar'i Kesepakatan
Majelis, Cacat, Tipu-tipu Syarat
Posisi Khiyar
Akad Pelengkap

Putar Balik
Akad Lazim Akad Jaiz
Mengikat Dua Pihak Bisa Batal Sepihak

Putar Balik
Khiyar Iqalah
Ada Sebab Tanpa Sebab
Wajib Sunah

Efek Khiyar
Akad Tuntas Akad Gantung

Diskusi: Selama masa khiyar, barang milik penjual atau pembeli? Kalau ada kerusakan atau keuntungan
selama masa khiyar, tanggung jawab dan milik siapa?

Khiyar = Sebab
Majlis Syarat Aib Ghabn Tadlis
Tempat Kesepakatan Cacat Pembodohan Penipuan
Khiyar Majlis

Sebab keberadaan pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan adalah karena penjual dan pembeli masih
satu majelis akad.

Keberadaan Khiyar Majlis

ُ‫ والَ يح ُّل لَه‬، ‫خيار‬


ٍ َ‫ إالَّ أن تَكونَ صفقة‬، ‫يفترقا‬
ِّ ‫بالخيار ما لم‬
ِّ ‫المتبايعان‬
ِّ ِّ ‫اح ٍد ِّم ْن ُه َما ِّب ْال ِّخ َي‬
‫ار ِّم ْن‬ ِّ ‫ان ِّب ْال َبي ِّْع فَ ُك ُّل َو‬ِّ َ‫ِّإذَا تَ َبا َي َع ْال ُمتَ َبا ِّيع‬
ُ‫أن يفارقَ صاح َبهُ خشيةَ أن يستقيلَه‬ ‫َب ْي ِّع ِّه َما لَ ْم َيتَفَ َّرقَا‬

Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama mereka belum


Jika dua orang melakukan jual beli, maka masing-
berpisah, kecuali jika ada perpanjangan khiyar. Tidak halal
masing memiliki hak khiyar dalam akad jual beli yang
baginya meninggalkan lawan akadnya,
mereka lakukan, selama belum berpisah.
karena khawatir akad dibatalkan.

Batasan Satu Majelis


Bertatap Muka Berpisah Fisik Online
Pindah Ke Penjual Di Sebelah Meninggalkan Lokasi Akad Tergantung Media

‫ا‬
،‫رجًل‬ ‫ضي هللاُ عنهما كان إذا با َي َع‬ ِّ ‫مر َر‬ َ ‫ع‬ُ َ‫أن ابن‬َّ
‫ع َم َر إذا ا ْشت ََرى شيئاا‬ ُ َ‫وكان‬
ُ ‫ابن‬ Telpon, chat, marketplace, video call,
‫ ثم ر َج َع إليه‬،‫ ف َمشى ُه َنيْهةا‬،‫ قام‬،‫فأراد َّأال يُ ِّقيلَه‬ dst.
ُ‫صاح َبه‬
ِّ َ‫فارق‬
َ ُ‫ُي ْع ِّج ُبه‬
Khiyar Syarat
Muncul karena ada kesepakatan atas permintaan kedua pihak atau salah satu pihak selama pada batas
waktu tertentu.

Perbandingan
Khiyar Majlis Khiyar Syarat
Singkat, Pendek, Sebentar Diperpanjang, Lebih Lama

‫ إالَّ أن تَكونَ صفقةَ خيار‬، ‫يفترقا‬


ِّ ‫بالخيار ما لم‬
ِّ ‫المتبايعان‬
ِّ ‫طا َح َّر َم َحًلَالا أ َ ْو‬
‫ش ُر ْو ِّط ِّه ْم ِّإالَّ ش َْر ا‬ َ َ‫ْال ُم ْس ِّل ُم ْون‬
ُ ‫علَى‬
‫أ َ َح َّل َح َرا اما‬

Akhir Khiyar Syarat


Dijual Habis Waktu
Khiyar Aib
Sebab adanya khiyar aib adalah cacat pada barang. Cacat seperti apa yang membolehkan adanya khiyar
aib? Cacat yang memiliki pengaruh terhadap harga barang, dimana keberadaan cacat tersebut membuat
nilai barang menjadi berkurang.

Barang Cacat
Ringan Sedang Berat
Tidak Dianggap Tergantung Bisa Jadi Alasan

Menutupi Cacat
Bukan Umat Nabi Bukan Saudara Muslim

َّ َ‫ع ِّم ْن أ َ ِّخي ِّه َب ْيعاا أَفًَلَ َج َع ْلتَهُ فَ ْوق‬


ُ ‫الط َع ِّام َك ْى َي َراهُ ال َّن‬
َّ ‫اس َم ْن غ‬
‫َش‬ َ ‫ْال ُم ْس ِّل ُم أ َ ُخو ْال ُم ْس ِّل ِّم َوالَ َي ِّح ُّل ِّل ُم ْس ِّل ٍم َبا‬
َ ‫فَلَي‬
‫ْس ِّم ِّنى‬ ُ‫عيْبٌ ِّإالَّ َب َّي َنهُ لَه‬ َ ‫فِّي ِّه‬

Mendapati Cacat
Batal Total Ganti Rugi Tidak Keduanya

Lepas Tangan
Sama-sama Tahu Sama-sama Jahil Penjual Tahu Pembeli Tahu
Boleh Boleh Penipuan Boleh
Khiyar Ghabn
Sebab adanya khiyar ghabn adalah karena adanya penipuan dan pembodohan.
Karena tidak tahu, orang yang ditipu atau dibodohi akhirnya mau membeli. Kalau
seandainya orang itu tahu, niscaya dia tidak rela.

Contoh Ghabn
Talaqqi Rukban Sistem Najasy Mustarsil
Petani tidak tahu harga pasar. Hasil panen Tidak mau beli. Pura-pura Beli dengan pasrah kepada penjual.
miliknya diborong. Masuk pasar, baru sadar menawar/memuji supaya harga naik. Atau menjual dengan dilepas ikut
kalau dibeli murah. Mengesankan ini sesuatu yang wah. harga pasar. Tapi tidak tahu.
Pengertian Taqabuds
Taqabudh berasal dari kata al-Qabdh (‫ )القبض‬yang artinya menggenggam.
Taqabudh artinya serah terima barang atau uang yang merupakan objek transaksi
Dari Hakim bin Hizam,

‫تعت طعا ًما من طعام الصدق ِة فرحبت فيه قبل أن أقبضَ ه‬


ُ ‫اب‬
Saya membeli makanan dari makanan sedekah, lalu saya jual lagi dengan ambil
untung sebelum saya menerimanya. Lalu saya mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam dan saya ceritakan hal ini. Lalu beliau bersabda,

‫ال تب ْعه حىت تقبضَ ه‬


Jangan kamu menjualnya sampai kamu menerimanya. (HR. Nasai 4617)
Arti Penting Taqabudh
Dari Thawus, bahwa Ibnu Abbas mengatakan,

‫وسَّل هنَى أن يبي َع الرج ُل طعا ًما حىت ي َس توف َي ِه‬


َ َّ ‫هللا علي ِه‬ َّ ‫هللا‬
ُ ‫صَّل‬ ِ ‫أ َّن رسو َل‬
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual Kembali
makanan yang dia beli sampai dia terima.
Thawus bertanya, ‘Mengapa dilarang?’
Jawab Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,

‫ذكل درا ُمه بدرا َمه والطعا ُم ُم ْر َجأ‬


Karena hakekatnya adalah dirham ditukar dengan dirham, sementara makanannya
tertunda. (HR. Bukhari & Muslim)

Jika tidak dilakukan taqabudh sebelum menjual, hakekatnya seperti menukar uang
dengan uang.
Bedakan 2 hal berikut,
[1] Akad jual beli
[2] Serah terima objek jual beli
Keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda. Konsekuensi jual beli adalah terjadinya
perpindahan kepemilikan (intiqal milkiyah).
Perpindahan kepemilikan telah terjadi sejak akad jual beli dilakukan, meskipun barang
belum diserahkan dan uang belum dibayarkan.
Sementara taqabudh terjadi ketika barang telah diterima oleh pembeli, sehingga
berada dalam kuasa pembeli.
Konsekuensi Setelah Taqabudh
Pertama, tanggung jawab barang berpindah dari penjual ke pembeli.
Sebelum serah terima, barang masih menjadi tanggung jawab penjual. Apapun resiko
yang terjadi, penjual yang menanggung kerugiannya. Karena itu, barang yang rusak
pada waktu pengiriman, bukan tanggung jawab pembeli.

Setelah Akad Serah Terima (Taqabudh)

konsekuensi

Terjadi perpindahan Perpindahan tanggung jawab


hak milik terhadap barang
Kedua, bolehnya melakukan transaksi apapun terhadap barang, termasuk dengan
menjual kembali ke orang lain atau menyewakannya, dst.
Sebelum terjadi taqabudh, barang belum boleh dijual kembali oleh pembeli meskipun
barang itu sudah menjadi miliknya.
Sahabat Hakim bin Hizam Radhiyallahu ’anhu bercerita,
”Saya menjual makanan sebelum saya terima, dan saya mendapatkan keuntungan
darinya. Ketika saya mendatangi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan aku sampaikan
kejadian ini kepada Nabi, beliau mengatakan,

‫َال تَ ِب ْع ُه َح َّىت تَ ْقبِضَ ُه‬


”Jangan kamu menjualnya sampai kamu menerimanya.”” (HR. Nasai dan dishahihkan
Syuaib al-Arnauth).
Dalil yang lain
Dari Abdullah bin Amr, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

‫َو َال ِربْ ُح َما ل َ ْم ي ُ ْض َم ْن‬


”Tidak boleh ada keuntungan yang tidak menanggung resiko kerugian.” (HR. Ahmad)
Ketika seseorang menjual kembali barang yang dia beli sebelum dia menerima barang
itu, berarti dia mengambil untung sementara dia tidak menanggung resiko rugi.
Mengenal Hakikat Riba
Arti Riba
Tumbuh Bertambah
ْ‫َخ َذةً َّرابِيَة‬ ِِ َ ‫فَعصوا رس‬
ْ‫ت َوَربَت‬ َ ‫فَإِذَا أ‬
ْ ‫َنزلْنَا َعلَْي َها الْ َماء ْاهتَ َّز‬ ْ ‫َخ َذ ُه ْم أ‬
َ ‫ول َرِّب ْم فَأ‬ ُ َ َْ َ

Definisi Riba
Luas Sempit
Transaksi yang dilarang syariat Tambahan harta tanpa imbalan

‫ – ما ال يسع التاجر جهله‬.‫الرََب َخائِن‬


ِِ ‫ش آكِل‬ ِ ‫الن‬
‫َّاج‬
ُ ُ
"Orang yang melakukan jual beli najasy adalah orang yang memakan riba dan orang yang tidak amanah."

‫ فَ َحَّرَم التِِ َج َارَة‬،‫ فَ َقَرأ َُه َّن‬،‫هللا صلى هللا عليه وسلم إِ ََل الْ َم ْس ِج ِد‬
ِ ‫الرَب خرج رسو ُل‬
ِ
ُْ َ َ َ َ َ ِ ِ
‫ِف‬ ِ
‫ة‬‫ر‬َ ‫ق‬
َ ‫ب‬
َْ‫ل‬‫ا‬ ِ
‫ر‬ ِ ‫ت اآلَيت ِمن‬
‫آخ‬ ْ ُ َ
ِ َ‫ لَ َّما نَزل‬:‫عن عائشة قالت‬
َ
ْ ‫ِِف‬
‫ – رواه البخاري ومسلم‬.‫اْلَ ْم ِر‬
"Tatkala diturunkan beberapa ayat terakhir dari surat Al-Baqarah yang isinya melarang riba, Rasulullah pergi ke masjid lantas
membacakan ayat tersebut dan mengharamkan jual beli khamar."

‫ب‬ ‫ي‬
ََّ‫ط‬‫ت‬
َ ‫ن‬
ْ َ
‫أ‬ ‫ل‬‫ب‬ ‫ق‬
َ ‫ة‬‫ف‬َ ‫ص‬
َّ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ي‬‫ه‬ِ‫الرَب ب يع التَّمرِة و‬
ِ ‫ن‬‫م‬ِ ‫إِ َّن‬
َ َْ َ ُ َ َ َ ْ ُ َْ َ ِ َ
"Sungguh termasuk riba adalah menjual kurma dalam kondisi masih hijau dan belum enak dikonsumsi."
Gharar pada jual beli buah yang masih mentah, transaksi khamar dan praktek najasy, semuanya masuk dalam cakupan
makna riba dalam arti yang luas, yaitu semua transaksi yang diharamkan oleh syariat.

Tambahan
Utang Jumlah Waktu
Riba Dain Riba Fadhl Riba Nasiah

Riba Haram
Semua Agama Sepakat Mengingkari Haramnya Riba,
Haram Kafir

‫ – احلاوي الكبري‬.‫إن هللا ما أحل الزان وال الرَب ِف شريعة قط‬

73 Pintu Riba
Bukan Pembatasan Menunjukkan Banyak

‫واملراد التكثري دون التحديد وبه يظهر التوفيق بني هذا احلديث‬
‫ – حاشية السندي‬.‫واحلديث اآليت‬
Tidak ada ulama yang merinci pintu-pintu riba itu apa saja. Kalau ditanya mengapa banyak, salah satu penjelasannya, bisa
jadi yang dimaksud adalah makna riba dalam arti luas. Sehingga semua hal yang melebihi batas syariat, masuk dalam
cakupan ini.

Merusak kehormatan muslim juga disebut riba. Bahkan lebih parah dari riba dalam makna sempit. Karena dampaknya yang
besar, menimbulkan sengketa dan permusuhan.

‫ نسأل هللا العافية؛ ألنه‬.‫ بل يكون ِف املعاصي واملخالفات والتعدي على الناس َبلغيبة والنميمة‬،‫خاصا َبلبيع والشراء فقط‬
ً ‫فالرَب ليس‬
‫ فقد أرىب بزَيدته على ما أَبح هللا له حىت وقع ِف احلرام‬،‫زَيدة على ما أَبح هللا‬
"Riba tidak hanya khusus dalam jual beli saja. Bahkan semua tindakan maksiat dan penyimpangan, melanggar hak orang
lain dengan ghibah dan adu domba, termasuk riba. Karena di sana ada tambahan dari batas yang Allah halalkan. Dia
menambahi dari apa yang Allah bolehkan, sehingga dia terjerumus ke dalam hal yang haram." – binbaz.org.sa

Makna Riba
Bahasa Luas Sempit
Tambahan melebihi
Transaksi dan Riba yang dosanya lebih besar
batasan yang Allah
penghasilan yang haram. dari zina.
halalkan.
Hadiah Tsawab
Riba Jual Beli Hibah
Istilah Hakikat Istilah
Memberikan sesuatu dengan tujuan agar orang yang diberi tadi memberikan balasan yang
lebih baik dari apa yang dia sudah berikan.

Mereka Berbeda
Riba Jual Beli
Haram Halal
Kalau hukumnya berbeda, sudah pasti hakikatnya berbeda.

Riba VS Jual Beli


Kerja Riil Potensi Risiko Barang Jasa Uang Bekerja
Macam-Macam Riba

Riba
Utang Piutang Jual Beli

Riba Jahiliyah
Utang Piutang Jual Beli Kredit Utang Bertambah Bunga Perbulan
Tambah Waktu, Tambah Utang Suku Bunga Investasi Palsu

‫أن الراب أصله إمنا يتعامل به احملتاج وإال فاملوسر ال أيخذ ألفا حالة أبلف ومائتني مؤجلة إذا مل يكن‬
‫له جاجة لتلك األلف وإمنا أيخذ املال مبثله وزايدة إىل أجل من هو حمتاج إليه فتقع تلك الزايدة‬
.‫ظلما للمحتاج‬
"Pada asalnya, transaksi riba tidak akan dilakukan selain orang yang sedang kesusahan. Bila tidak, sudah barang tentu
orang yang berkecukupan tidak mungkin rela untuk menukar uang 1000 tunai dengan uang 1200 kredit, kecuali karena dia
sangat membutuhkan uang 1000 itu. Orang yang mau menukarkan uang tertentu dengan uang semisal berikut
tambahannya secara dicicil, hanyalah orang yang membutuhkan. Sehingga tambahan itu adalah kezaliman terhadap orang
yang tidak mampu." (Al-Qawaid An-Nuraniyah, hlm 116)

Ambil Pokoknya
Tidak Menzalimi Tidak Dizalimi
Allah sebut riba utang sebagai sebuah kezaliman. Cek QS. Al-Baqarah: 279

Riba Utang Piutang


Dilarang Keras Perang Melawan Allah Lebih Buruk Dari Zina

Riba Jual Beli


Riba Fadhl Riba Nasiah
Komoditi ribawi = Perlakuan khusus
Jenis Barang
Komoditi Ribawi Barang Biasa
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
2.1 Kurma
1.1 Emas 2.2 Gandum Halus
1.2 Perak 2.3 Gandum Kasar Selain Dua Kelompok
Semua yang menjadi mata uang 2.4 Garam Sebelumnya
(Muthlaq Tsamaniyah) Semua makanan pokok (iqtiyat) dan
bisa disimpan (iddikhar)

Perlakuan Khusus
Satu Kelompok Satu Kelompok
Beda Kelompok
Satu Jenis Beda Jenis
Harus Sama Harus Tunai
Bebas
Harus Tunai Boleh Beda
‫‪Hakikat Harta Haram‬‬
‫***‬

‫املاكسب احملرمة‪ :‬يه ا ألموال اليت حتصلت أأو اجمتعت من طريق ممنوع رشعا‪ – .‬التوبة من املاكسب احملرمة‬
‫‪Semua Harta‬‬
‫‪Didapatkan‬‬ ‫‪Dikumpulkan‬‬
‫‪Melanggar Syariat‬‬

‫ول قَدَ َما َع ْب ٍد يَو َم ال ِق َيا َم ِة َح ىَّت ي ُْسأَ َل َع ْن ُ ُُع ِر ِه ِف َمي َأفْنَا ُه؟‬
‫عن أأيب بَ ْر َز َة نَضْ َ ََل بن عبيد ا ألسلمي ريض هللا عنه مرفوعا‪ :‬ال تَ ُز ُ‬
‫َو َع ْن ِعلْ ِم ِه ِف َمي فَ َع َل ِفي ِه؟ َو َع ْن َم ِ ِاِل ِم ْن َأ ْي َن ا ْكت َ َس َبهُ؟ و ِف َمي َأنْ َف َقهُ؟ َو َع ْن ِج ْس ِم ِه ِف َمي َأبْ ََل ُه؟‬
‫‪Tanggung Jawab‬‬
‫‪Umur‬‬ ‫‪Ilmu‬‬ ‫‪Harta‬‬ ‫‪Tubuh‬‬
‫‪Silahkan pakai dan gunakan semua fasilitas yang Allah‬‬
‫‪berikan. Tapi nanti ada masanya semua akan diperhitungkan‬‬
‫‪dan dimintai pertanggungjawabannya.‬‬
‫ رواه البخاري‬.‫الل ْأم ِمن َحرٍام‬
ٍ ‫ ِأمن ح‬،‫املال‬
َ ْ َ ‫ذ‬
َ ‫أخ‬ ‫مبا‬ ‫ء‬
َ ُ َْ ُ‫ر‬‫امل‬ ِ
‫باِل‬‫ي‬ ‫ال‬ ،‫ن‬ٌ ‫ما‬‫ز‬
َ ِ
‫َّاس‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ى‬‫ل‬
َ ‫ع‬ ‫َي‬
َّ ِ‫لَيأْت‬
َ َ
Harta Haram
Akhir Zaman Tamak Harta Materialis Tidak Sabar

Penyebab Harta Haram


Zat Cara

Haram Zat
Tidak Punya Manfaat Berpotensi
Boleh Dipakai
Manfaat Mubah, Dipakai Yang
Boleh Dijual
Mubah Haram Dijual Haram
Keledai,
Khamar, Anjing, Kulit &
Peranakan "Pisau
Berhala, Alat Lemak
Kuda & Bermata Dua"
Musik Bangkai
Keledai
Dibuang, Haram Haram
Tergantung
Tidak Boleh Dimakan, Dimakan,
Indikasi
Disimpan Haram Dijual Boleh Dipakai
Haram Cara
Saling Ridha Tidak Saling Ridha
Judi, Gharar, Barang Haram, Korupsi, Menipu, Mencuri,
Khamar, Narkoba, Rokok, dst. Merampas, dst.
Mengenal Hakikat Gharar

Arti Gharar
Memposisikan Dalam Bahaya Menipu
‫ا ا‬
Gharrara-Yugharriru-Taghrir ُ ‫َوََل يَغَُّرنَّ ُكم ِب ََّّلل الْغَُر‬
‫ور‬

Definisi Gharar
Jual Beli Tidak Jelas Konsekuensi

Inti Gharar
Ketidakjelasan (Jahalah) Untung-untungan (Mukhatharah)
Masuk kolam pancing. Bayar 100 ribu. Bisa mancing 1 jam.
Bisa dapat ikan bisa tidak. Bisa dapat banyak bisa dapat sedikit.

Perbedaan
Gharar Judi
Transaksi Permainan
Haram tanpa pengecualian. Lebih
Walaupun saling ridha, tetap besar keburukan. Memicu
haram. permusuhan, slaing benci,
menghalangi dari mengingat Allah.
Status Gharar
Haram Halal
Mempengaruhi akad Tidak mempengaruhi akad (ghairu
(muatsir) muatsir)

Gharar Muatsir
Kadarnya
Menjadi Bukan
Banyak &
Tujuan Utama Kebutuhan Pada Akad Komersial
Mungkin
Akad Umum
Dihindari
Jual beli
Burung di
kacang Jual beli, Sewa
udara, barang Jual beli janin
borongan di menyewa
hilang, dst.
kebun.
Kalau sedikit,
Kalau hanya Kalau
boleh. Kalau akad sosial,
pengikut, kebutuhan
Pertengahan, boleh gharar.
boleh. umum, boleh.
khilaf.

Gharar Jahiliyah
Sperma Habalul Munabadzah Bai' Al-
Jual Beli Ijon
Jantan Habalah Mulamasah Hashah
Catatan Tentang Kesepakatan Dalam Akad
Pertama, ketika orang melakukan transaksi, ada 2 aturan yang mengikat,
[1] Aturan syariat
Aturan syariat berarti aturan yang ditetapkan oleh dalil. Islam mengajarkan beberapa
aturan, untuk mengurangi setiap potensi sengketa dalam akad.
Ada beberapa aturan syariat yang mengikat dalam transaksi jual beli, seperti harus
saling ridha, harus ada hak khiyar majlis, harus saling terbuka (tidak boleh saling
menutupi), dst.
Aturan syariat terkait jual beli, telah kita kupas dengan rinci di pembahasan mengenai
rukun dan syarat jual beli.
[2] Aturan dalam bentuk kesepakatan antar-pelaku akad
Aturan ini ada karena ada kesepakatan semua pelaku akad. Seperti kesepakatan
mengenai teknis pembayaran, tunai ataukah kredit, kesepakatan penyerahan barang,
dst. dan umumnya kesepakatan antar-pelaku akad, hanya terkait masalah teknis.
Kedua, bahwa hukum asal membuat kesepakatan adalah mubah
Ada 2 pendapat ulama mengenai hukum asal membuat kesepakatan atau
mengajukan syarat dalam muamalah. Jumhur ulama mengatakan, hukum asal
membuat kesepakatan adalah mubah.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal mengajukan syarat
adalah mubah.
Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala,

‫اَي َأُّيه اا ذ ِاَّل اين اأ امنُوا َأ ْوفُوا ِِبلْ ُع ُقو ِد‬


“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah semua perjanjian..” (QS. al-Maidah: 1)
Ketiga, setiap muslim wajib memenuhi setiap kesepakatan yang dibuat
Kita diperintahkan oleh Allah untuk memenuhi setiap janji dan aturan yang kita
tetapkan.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,

‫الْ ُم ْس ِل ُم ا‬
ُ ُ ‫ون عا اَل‬
‫ُشو ِطه ِْم‬
“Kaum muslimin harus memenuhi setiap syarat (perjanjian) diantara mereka.” (HR. Abu
Daud dan dishahihkan al-Albani)
Sehingga, jika salah satu pelaku akad mengajukan syarat tertentu, lalu disepakati pihak
kedua, maka syarat ini menjadi mengikat kedua belah pihak.
Keempat, setiap kesepakatan yang bertentangan dengan aturan islam tidak boleh
diberlakukan.
Karena hukum Allah lebih tinggi dibandingkan kesepakatan yang dibuat manusia.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ُش ُط ذ‬
‫اَّلل َأ اح هق‬ ْ ‫ ا‬، ‫ُشط‬ ِ ‫ُش ًطا لايْ اس ِِف ِك ات ِاب ذ‬
ْ ‫ اوا ِن ْاش ا اَت اط ِمائ ا اة ا‬، ‫اَّلل فاه اْو اِب ِط ٌل‬ ْ ‫ام ِن ْاش ا اَت اط ا‬
ِ
‫او َأ ْوثا ُق‬
“Siapa yang mengajukan syarat, yang bertentangan dengan kitab Allah, maka itu syarat
yang batil, meskipun dia mengajukan 100 syarat. Aturan Allah lebih berhak dan lebih
kuat.” (HR. Bukhari dan yang lainnya)
Pembagian Kesepakatan dalam Muamalah
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan, bahwa kesepakatan dalam akad ada 4
bentuk:
[1] Kesepakatan yang sejalan dengan konsekuensi akad. Seperti adanya hak khiyar majlis,
ada serah terima, ada pembayaran, dst.
Kesepakatan semacam ini baik dibuat maupun tidak dibuat, sama sekali tidak
mempengaruhi akad. Karena memang aturan yang selalu ada dalam semua akad.
[2] Kesepakatan yang menguntungkan pelaku akad, seperti penundaan pembayaran atau
penyerahan barang, ada gadai untuk jual beli kredit, ada saksi akad, ada khiyar syarat, dst.
Kesepakatan ini dibolehkan, dan wajib dipenuhi.
Untuk dua jenis kesepakatan di atas, Ibnu Qudamah mengatakan,

‫وال نعمل يف حصة هذين القسمني خالفا‬


“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai keabsahan kedua bentuk
kesepakatan di atas.”
[3] Kesepakatan yang bukan bagian dari konsekuensi akad dan tidak ada kaitannya dengan
kelangsungan akad, meskipun tidak bertentangan dengan konsekuensi akad
Kesepakatan semacam ini ada 2 macam:
a) Pelaku akad mensyaratkan untuk mendapatkan manfaat tertentu dari obyek transaksi.
Misalnya, penjual rumah minta agar diizinkan untuk menempati rumahnya sampai akhir
tahun.
b) Adanya akad kedua sebagai syarat akad pertama
Misalnya si A mau menjual barang X ke si B, dengan syarat si B mau menyewakan rumahnya
ke si A. Atau si A mau menjual barang X dengan syarat si B mau memberi utang kepadanya.
Atau mau menikahkan dengan putrinya, dst.
Ibnu Qudamah menegaskan,

‫فهذا ُشط فاسد يفسد به البيع سواء اشَتطه البائع أو املشَتي‬


“Ini adalah kesepakatan yang batal, dan membatalkan akad jual beli, baik yang
mensyaratkan pihak penjual, maupun pembeli.”
[4] Kesepakatan yang bertentangan dengan konsekuensi akad, ada 2 macam:

(a) Bertentangan dengan sebagian konsekuensi akad, sehingga pelaku tetap


mendapatkan manfaat dari hasil akad, meskipun tidak keseluruhan.
Misalnya: si A menjual rumahnya ke si B dengan syarat: jika mau dijual lagi, tidak boleh
ke konsumen non muslim, atau dikontrakkan ke non muslim.
Ulama berbeda pendapat mengenai kesepakatan semacam ini,
Pendapat yang benar, syarat ini sah dan dibolehkan. Ini merupakan pendapat Imam
Malik, dan pendapat as-Syafi’i menurut keterangan yang lebih kuat.
(b) Bertentangan dengan seluruh konsekuensi akad, sehingga tidak mendapatkan
banyak manfaat.
Misalnya, si A menjual rumahnya ke si B dengan syarat hanya bisa ditempati sampai
mati, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh dijual ke orang lain, tidak boleh disewakan ke
orang lain. Jika disewakan atau dijual ke orang lain maka hasilnya harus diserahkan ke
penjual pertama.
Ibnu Qudamah mengatakan,

‫فهذه وما أش هبها ُشوط فاسدة‬


“Syarat semacam ini dan semisalnya adalah syarat yang batil.”(al-Mughni, 4/309)
3 Catatan terkait Jual Beli yang Haram
Pertama, Jual beli yang haram itu hanya sedikit. Karena hukum asal jual beli adalah mubah
Terdapat kaidah yang menyatakan,

‫ا ألصل يف املعامالت احلل والإابحة‬


“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah”
Namun karena saking banyaknya penyimpangan yang dilakukan manusia dalam
bertransaksi, sehingga keberadaan jual beli yang haram sangat banyak di sekitar kita. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

‫ َأ ِم ْن َح َالل َأ ْم ِم ْن َح َرام‬، ‫ل َ َيأْ ِت َ ني عَ َل النن ِاس َز َمان َل ي ُ َب ِال الْ َم ْر ُء ِب َما َأ َخ َذ الْ َما َل‬
“Sungguh akan datang satu zaman di tengah manusia, seseorang tidak lagi peduli dengan
harta yang dia ambil, apakah dari harta halal ataukah dari harta haram.” (HR. Ahmad &
Bukhari)
Kaitannya dengan ini, jika ada orang yang berkomentar, setelah belajar islam, jadinya
semakin banyak yang dilarang, ini riba, itu riba, ini haram, itu gharar, dst., pada
hakekatnya komentar ini ada 2 kemungkinan,
[1] karena saking banyaknya transaksi haram yang dilakukan orang ini.
[2] karena dia su’uzhan kepada syariat. Sebab pada asalnya, yang Allah halalkan jauh
lebih banyak dibandingkan yang diharamkan.

Kedua, Muamalat yang diharamkan syariat, tujuannya adalah untuk menghindari setiap
unsur kezhaliman dan mewujudkan kemaslahatan di masyarakat.
Ketika Allah membuat aturan, Allah sama sekali tidak memiliki kepentingan. Karena Dia
tidak butuh hamba-Nya. Sehingga ketaatan yang kita lakukan, sama sekali manfaatnya
BUKAN untuk Allah, tapi kembali kepada hamba. Namun karena sang hamba itu bodoh,
maka dia sering protes dan tidak mau menerima.
Allah berfirman,

‫َو َ ََحلَهَا ْالن ْ َس ُان ان ن ُه ََك َن َظلُو ًما َ َُج ًول‬


ِ ِ
“Syariat itu sanggup diemban oleh manusia, dan sesungguhnya manusia adalah orang
yang dzalim lagi bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72)
Allah menyebut manusia itu zhalim, karena mereka suka melanggar aturan yang itu
membahayakan diri mereka sendiri. Dan Allah sebut bodoh, karena mereka tidak sadar
ketika melakukan itu, sehingga merasa tidak bersalah atau dia tidak tahu bahwa
kedurhakaan yang dia lakukan, hakekatnya membahayakan dirinya.
Karena itu, ketika seseorang merasa dirinya direpotkan dengan aturan syariat, merasa
keberatan, dst.. bisa jadi itu muncul karena su’uzhan dia kepada Allah. Padahal semua
aturan itu tidak lain adalah untuk kemaslahatan mereka sendiri.
Syaikhul Islam menjelaskan,

‫ مثل أألك‬، ‫ دقه وجهل‬: ‫اإن عامة ما هني عنه يف الكتاب والس نة من املعامالت يعود اإل حتقيق العدل والهني عن الظمل‬
‫املال ابلباطل وجنسه من الراب وامليرس‬
Umumnya, transaksi muamalah yang dilarang dalam al-Quran dan Sunah, kembali
kepada upaya mewujudkan keadilan, dan larangan untuk berbuat dzalim, baik yang besar
maupun yang kecil. Seperti makan harta secara bathil dan sejenisnya, yaitu riba dan judi.
(as-Siyasah as-Syar’iyah, hlm. 211)
Ketiga, Jual beli yang Allah haramkan, umumnya diganti dengan transaksi yang halal.
Allah melarang riba, dan Allah gantikan dengan jual beli. Allah berfirman,

‫اّلل الْ َب ْي َع َو َح نر َم ِالر َاب‬


ُ ‫َو َأ َح نل ن‬
“Allah halalkan jual beli dan Allah haramkan riba.” (QS. al-Baqarah: 275)

Allah melarang judi dan Allah gantikan dengan transaksi semisal namun halal, seperti
mudharabah, atau musyarakah. Memberikan modal untuk usaha bersama, jika untung
dibagi bersama dan jika rugi ditanggung bersama.
3 Unsur Jual Beli Terlarang
Jual beli yang terlarang adalah praktek jual beli yang mengandung
salah satu dari 3 unsur berikut:
[1] Mengandung unsur kedzaliman.
[2] Mengandung gharar.
[3] Mengandung riba.
Unsur Zhalim Dalam Muamalah
Allah berfirman,

َ ‫َي َأُّيه َا ن ِاَّل َين َأ َمنُوا َل تَأْ ُ ُُكوا َأ ْم َوالَ ُ ْك بَيْنَ ُ ْك ِابلْ َبا ِط ِل ا نل َأ ْن تَ ُك‬
‫ون ِ َِت َار ًة َع ْن تَ َراض ِمنْ ُ ْك‬
ِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. an-
Nisa: 29)
Kezhaliman bertentangan dengan prinsip saling ridha dalam muamalah.
Allah tidak pernah melupakan tindakan kezhaliman, meskipun kita sebagai pelaku bisa jadi sering
melupakannya. Allah berfirman,

‫ون ان ن َما يُ َؤ ِخ ُر ُ ْه ِل َي ْوم ت َ ْشخ َُص ِفي ِه ْ َالبْ َص ُار‬ َ ‫َو َل َ ْحت َس َ نب ن‬
‫اّلل غَا ِف ًال َ نَعا ي َ ْع َم ُل ن‬
َ ‫الظا ِل ُم‬
ِ
“Janganlah sekali-kali kamu mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang
zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata
(mereka) terbelalak (karena melihat siksa).” (QS. Ibrahim: 42)
Bentuk-bentuk Kezhaliman Dalam Muamalah
[1] Menipu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َم ْن غَ نش فَلَيْ َس ِم ِن‬
“Siapa yang menipu maka dia bukan bagian dariku.” (HR. Muslim 295 & Turmudzi 1363)
Termasuk di antara penipuan adalah tidak menceritakan aib barang yang sudah
diketahui penjual.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk gandum yang dijual. Lalu
beliau memasukkan tangannya, ternyata ada yang basah. Kemudian beliau bersabda,

‫َأفَ َال َج َعلْ َت ُه فَ ْو َق ن‬


‫ َم ْن غَ نش فَلَيْ َس ِم ِن‬،‫الط َعا ِم َ َْك يَ َرا ُه النن ُاس‬
“Mengapa tidak kamu taruh di atas, biar dilihat orang. Siapa yang menipu maka dia
bukan golonganku.” (HR. Muslim)
[2] Jual beli najasy
Ada 3 bentuk jual beli najasy,
a. Berpura-pura menawar harga padahal tidak hendak membeli
b. Memuji barang padahal aslinya tidak
c. Menyebutkan harga kulak secara dusta.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
‫ َع ِن النن ْج ِش‬- ‫ صل هللا عليه وسمل‬- ‫هنَ َي النن ِ هب‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang najasy.” (HR. Bukhari)
Jual beli najasy pada hakekatnya masuk dalam kategori penipuan. Hanya saja dia
dikhususkan, mengingat praktek semacam ini sangat banyak terjadi di masyarakat.

[3] Ihtikar (Menimbun untuk monopoli)


Menimbun barang dan menyimpannya sehingga masyarakat kesulitan mendapatkannya,
padahal mereka sangat membutuhkan, agar harganya naik. Lalu dijual ketika harga naik.
Itulah menimbun untuk memonopoli pasar.
Dari Ma’mar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ِن ْاحتَ َك َر فَه َُو خَا ِطئ‬


“Siapa yang melakukan ihtikar, maka dia berbuat dosa.” (HR. Muslim & Ahmad)
Mudharabah
Pihak Terlibat
1 2
Pemodal Pengelola
(Shohibul Mal/Rabbul Mal) (Mudharib/Amil)
Butuh keahlian pengelola. Butuh modal kerja.
Bagi hasil sesuai porsi yang disepakati.

Praktek Mudharabah
1 2
Pemodal Pengelola
Khadijah Rasulullah

Mudharabah Zaman Umar


1 2
Pemodal Pengelola
Abdullah & Ubaidillah
Negara
(Keduanya anak Umar Bin Khattab)
Status Mudharabah
1 2
Jaiz Lazim

Syarat Shighat
1 2
Saling Ridha Tidak Gantung

Syarat Pelaku
1 2
Ahliyah Tasharruf Pemilik/Wakil

Syarat Modal
1 2 3
Modal Dikasih Ke
Nilai Harus Jelas Tidak Boleh Piutang
Mudharib

Syarat Usaha
1 2
Usaha Halal Mengikuti Kesepakatan
Syarat Bagi Hasil
1 2 3
Persentase Persen Tidak Dikali Modal Disepakati Di Awal

Jenis Mudharabah
1 2
Mutlak Muqayyad
Pengelola Diberi Kebebasan Pengelola Diberi Batasan

Pengelola Digaji?
Dapat Bagi Hasil Bukan Gaji Ringan Sama Dijinjing Berat Sama Dipikul

Barang Gadai
1 2
Jaminan Resiko Jaminan Kelalaian
Tidak Boleh Boleh

Biaya Operasional
1 2
Kebutuhan Riil Diambil Dari Modal Mudharabah
Merekrut Pekerja Lain
1 2
Tidak Bisa Dihandel Mudharib Masih Bisa Dihandel Mudharib
Tidak Boleh Rekrut Kalau Masuk Biaya
Boleh Rekrut Biaya Ditanggung Dari Dana
Operasional, Kalau Bayar Pakai Uang
Operasional Mudharabah.
Sendiri, Silahkan.
Musyarakah
Musyarakah = Mencampur/Menggabung
1 2 3
Harta Kerja Tanggungan Kewajiban
Mendapat Keuntungan

Praktek Syirkah
1 2
Saib bin Abi Saib Al-Makhzumi Rasulullah
Fathul Mekah, Rasul memuji partner syirkah beliau.

Mengenal Perbedaan
Musyarakah > Mudharabah Pengelola Mudharabah Tidak Punya Saham

Jenis Syirkah
1 2
Syirkah Amlak Syirkah Akad
Kongsi Kepemilikan Sengaja Berakad
Bisa Sengaja Bisa Tidak Inan, Mufawadhah, Abdan, Wujuh
Syirkah Akad
Inan Mufawadhah Abdan Wujuh
Saham, usaha, bagi Saham, usaha, bagi Modalnya tenaga. Modal kepercayaan
hasil, tidak harus hasil, semuanya Sama-sama kerja orang dan nama
sama. Bisa beda. harus sama. dan garap bersama. baik mereka.

Prinsip Syirkah Inan


1 2
Amanah Wakalah

Aturan Pembagian
1 2
Risiko Hasil
Berdasarkan Porsi Modal Berdasarkan Kesepakatan

Pengelolaan Syirkah
1 2 3
Pengelola Boleh Dibatasi Berdasarkan Asas Maslahat Boleh Memberikan Bonus
Definisi
• Kata istishna’ artinya thalabu as-Shun’ [‫ ]طلب الصناعة‬artinya minta
dibuatkan sesuatu.
• Penjual harus memiliki unit produksi dan objek transaksi harus
memungkinkan untuk diproduksi

Objek Istishna’
• Objek transaksi Istishna’:
• [1] Produk atau barang hasil produksi (al-A’in)
• [2] Usaha produksi atau jasa produksi (al-Amal)
Ikhtilaf Hakikat Istishna’
Ulama beda pendapat mengenai hakikat akad istishna’:
• [1] Istishna’ adalah janji akad dan bukan jual beli → sebagian
hanafiyah.
• [2] Istishna’ termasuk jual beli, namun pembeli memiliki hak
khiyar rukyah setelah akad → mayoritas hanafiyah dan hambali.
• [3] Istishna’ adalah ijarah murni (akad sewa jasa) → sebagian
hanafiyah.
• [4] Akad awalnya sewa, ujungnya jual beli.
Hukum Istishna’
• Berangkat dari perbedaan memahami hakekat istishna’, ulama
berbeda pendapat mengenai hukumnya,
• [1] tidak boleh istishna’ untuk barang. Karena berarti jual beli
barang yang belum ada, sementara akadnya bukan salam →
Hambali dan Zufar.
• [2] Istishna’ dibolehkan dengan dalil istihsan. Karena manfaatnya
besar bagi masyarakat. dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah meminta dibuatkan cincin dan mimbar. → jumhur
Hanafiyah.
Rukun Istishna’
• [1] Aqidan - Pelaku akad - Shani’ (produsen) dan Mustashni’.
• [2] Shighat
• [3] al-Mahal – objek istishna’.
• Ulama hanafiyah berbeda pendapat, apa objek istishna’ (1)
kerja produksi ataukah (2) produknya.
• Mayoritas hanafiyah mengatakan, objeknya adalah produknya.
Karena produsen bisa melimpahkan usaha produksinya kepada
produsen lain
Syarat Istishna’
• [1] Kriteria produk yang dipesan jelas.
• [2] Produknya memungkinkan untuk diproduksi. Jika tidak
memungkinkan ada produksi untuk produk, tidak bisa disebut
istishna’. Sehingga akad yang memungkinkan dibolehkan
hanya akad salam.
• [3] Harga produk harus sudah ditentukan.
Akad Lazim
• Abu Yusuf:
• Jika proses produksi telah selesai dan produk sesuai kriteria
yang diinginkan maka akad istishna’ menjadi lazim (mengikat).
Jika tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan pemesan
maka tidak mengikat – menurut semua ulama hanafiyah –
karena adanya hak khiyar ketidak sesuaian syarat. [al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah, 3/326 – 329]
Definisi
Akad salam disebut juga akad salaf. Keduanya adalah kata yang sinonim sebagaimana
keterangan para ahli bahasa. Hanya saja, kata salaf bisa digunakan untuk menyebut
utang. (az-Zahir fi Gharib al-Alfadz, al-Azhari, hlm. 145).
Disebut salam karena pembeli melakukan taslim (menyerahkan) uang pembayaran di
majlis akad, sementara disebut salaf yang artinya terdahulu, karena uang pembayaran
didahulukan. Istilah lainnya adalah ba’i mahawij (jual beli yang sangat dibutuhkan).
Karena transaksi ini dilakukan ketika barang tidak ada, sementara keduanya, baik
penjual atau pembeli sangat membutuhkannya. Pemilik uang (pembeli) sangat
membutuhkan barang itu, dan penjual juga membutuhkan dana lebih cepat untuk
keperluan pribadinya dan modal cari barang. (Fiqh as-Sunah, Sayid Sabiq, 3/121).
Definisi salam oleh an-Nawawi,

‫عقد عىل موصوف بذمة مؤجل بمثن مقبوض مبجلس العقد‬


Transaksi untuk barang yang tidak ada di majlis yang menjadi tanggungan penjual
untuk diserahkan secara tertunda dengan pembayaran yang telah diserahkan di majlis
akad. (Syarh Sahih Muslim an-Nawawi, 11/41).
Dalam akad salam, Pembeli dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam.
Sedangkan penjual dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara
pembayaran kontan dinamakan ra’su mâlis salam (modal salam) dan barang yang
dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau dainus salam (hutang salam). (Fiqh
Sunah, 3/122).
Hukum Akad Salam
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat telah melakukan
akad salam untuk buah-buahan selama setahun atau dua tahun. kemudian Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan,

‫َش ٍء فَ ىفى َك ْي ٍل َم ْعلُو ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُو ٍم ا ََ َأ َج ٍل َم ْعلُو ٍم‬


ْ َ ‫َم ْن َأ ْسلَ َف ىِف‬
‫ل‬
“Siapa yang melakukan akad salam untuk objek tertentu, hendaknya dilakukan dengan
takaran yang tertentu, timbangan tertentu, sampai batas waktu yang diketahui.”
(Muttafaq ‘alaih).
Pembayaran Harus Tunai
Alat bayat dalam akad salam, disebut ra'sul maal (modal)
Bagian dari ketentuan salam, uang harus diserahkan di depan, di majlis akad. Dan
inilah yang membedakan antara salam dengan jual beli kali’ bil kali’ (jual beli utang
dengan utang).
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan,

‫َش ٍء الْ َو ىر ُق َ َ ْقدً ا‬


ْ َ ‫َال نَ َرى ىِبل َّسلَ ىف بَأْ ًسا الْ َو ىر ُق ىِف‬
“Kami menganggap jual beli salam dibolehkan. Uang untuk beli sesuatu, uang dibayar
tunai.” (HR. al-Baihaqi dalam al-Kubro, 6/19).
Macam-macam Salam
Dilihat dari waktu penyerahan barang, salam dibagi menjadi dua,
[1] Salam yang waktu penyerahannya lama, seperti 1 tahun atau 6 bulan atau sebulan..

Salam yang penyerahannya lama disebut salam mu’ajjal [ ‫]السمل املؤجل‬.


Ulama sepakat, praktek salam tertunda, hukumnya boleh.
[2] Salam yang waktu penyerahannya pendek, umumnya kurang dari sebulan. Salam
yang penyerahannya singkat disebut salam haal [‫]السمل احلال‬.
Ulama berbeda pendapat untuk hukum salam haal.
Barang tidak Boleh Tertentu
Diantara ketentuan salam, barang yang dijual tidak boleh tertentu (mu’ayyan). Yang
dimaksud barang tertentu adalah barang yang hanya ada satu atau sudah ditunjuk
pembeli.
As-Syaukani mengatakan,

‫وقد اكَوا يف املدينة حني قدم النيب صىل هللا عليه وأهل وسمل يسلمون يف مثار خنيل بأعياهنا فهنامه‬
‫عن ذكل ملا فيه من الغرر اذا قد تصاب تكل النخيل بعاهة فال تمثر شيئا‬
Dulu di Madinah, ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang, masyarakat
melakukan akad salam untuk buah kurma secara mu’ayyan (dari kebun tertentu). Lalu
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mereka untuk melakukan transaksi itu,
karena di dalamnya terdapat unsur gharar. Mengingat, bisa jadi kebun kurma itu
terkena hama sehingga tidak berbuah sama sekali. (Nailul Authar, 5/281).
Kriteria Harus Jelas
Bagian ini termasuk syarat sah akad salam, objek akad tidak boleh tertentu, tapi
kriterianya harus jelas. Jika ada salam, namun kriterianya tidak jelas, termasuk gharar.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan batasan,

‫َش ٍء فَ ىفى َك ْي ٍل َم ْعلُو ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُو ٍم ا ََ َأ َج ٍل َم ْعلُو ٍم‬


ْ َ ‫َم ْن َأ ْسلَ َف ىِف‬
‫ل‬
“Siapa yang melakukan akad salam untuk objek tertentu, hendaknya dilakukan
dengan takaran yang tertentu, timbangan tertentu, sampai batas waktu yang
diketahui.” (Muttafaq ‘alaih).
Definisi
• Reseller adalah orang yang berjasa menjualkan ulang barang milik orang lain.

Reseller ada 2:
[1] Reseller yang beli putus dari produsen atau pemilik.
[2] Reseller yang hanya menjadi wakil bagi produsen atau pemilik.

• InsyaaAllah masing-masing akan kita bahas.


Reseller Beli Putus
Reseller yang membeli putus dari pemilik atau produsen merupakan penjual kedua.
Penjual pertama → Penjual kedua → Customer

Ketentuan reseller semacam ini ada empat, yaitu:

[1] Wajib memiliki objek yang hendak dijual sebelum dijual ke customer.
[2] Boleh menawarkan barang ke customer sebelum memiliki barang, namun tidak
boleh akad dengan customer.

Karena sebatas menawarkan BUKAN akad.


Larangan ini telah disebutkan dalam hadis, dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
‫اَل تا ِب ْع اما لايْ اس ِع ْندا كا‬
“Janganlah kamu jual barang yang bukan milikmu.” (Ahmad & Abu Daud).

[3] Tidak boleh menjual barang yang sudah dibeli sampai dia terima.
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ُ : ‫وسَّل هناى أن يبي اع الرج ُل طعا ًما حىت ياس توف اي ِه قال‬
‫ اكيف ذكل‬: ‫فقلت هل‬ ‫هللا علي ِه َّ ا‬ َّ ‫هللا‬
ُ ‫صَّل‬ ِ ‫أ َّن رسو ال‬
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual makanan
sampai dilakukan istifa’ (dipindahkan dari wilayah penjual). Thawus bertanya kepada
Ibnu Abbas, “Mengapa bisa dilarang?”
Jawab Ibnu Abbas,
‫ذكل درا ُمه بدرا امه والطعا ُم ُم ْر اجأ‬
Karena hakekatnya dirham ditukar dengan dirham, sementara makanan tertunda.
(Muttafaq ‘alaih)

[4] Tidak boleh menjual barang di tempat penjual pertama.


Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫السلا ُع اح ْي ُث تُ ْبتاا ُع اح َّىت ا َُي اوزهاا التُّ َّج ُار ا اَل ِر احا ِلهِ ْم‬ ِ َّ ‫ا َّن ار ُسو ال‬
ِ ‫ هنا اى َأ ْن تُ ابا اع‬-‫صَّل هللا عليه وسَّل‬- ‫اَّلل‬
ِ ِ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang barang dagangan dijual di
tempat dia dibeli, sampai pedagang memindahkanya ke tempat mereka. (HR. Abu
Daud)
Reseller Hanya Wakil Pemilik atau Produsen
Bagian terpenting reseller ini adalah sudah mendapat izin dari pihak pemilik atau
produsen untuk memasarkan barang.
Selanjutnya reseller mendapatkan ujrah (upah) sesuai kesepakatan.
Imam Bukhari menyebutkan,
‫ ِب ْع اه اذا الث َّْو اب فا اَما ازا اد عا اَّل اَ اذا او اَ اذا فاه اُو ا اكل‬: ‫ َل باأْ اس َأ ْن ي ا ُقو ال‬: ‫اوقاا ال ا ْب ُن اع َّب ٍاس‬
Ibnu Abbas mengatakan, ‘Tidak masalah penjual mengatakan, ‘Jualkan baju ini
(seharga sekian), jika lebih dari harga sekian, keuntungan itu jadi milik kamu.’
‫ ا اذا قاا ال ِب ْع ُه ِب اك اذا فا اَما اَك ان ِم ْن ِربْ ٍح فاه اُو ا اكل َأ ْو بايْ ِِ اوبايَْا اَ فا اَ باأْ اس ِب ِه‬: ‫اوقاا ال ا ْب ُن ِس ِري اين‬
ِ
Muhammad bin Sirin mengatakan, ‘Tidak masalah penjual mengatakan, ‘Silahkan jual
dengan harga sekian, nanti untungnya milik kamu. Atau nanti untungnya kita bagi dua.’
(Shahih Bukhari, 2/794).
Fiqh PO (Purchase order)
PO ada 2 macam:
[1] PO tanpa akad.
[2] PO dengan akad.

PO tanpa akad bisa dilakukan kepada siapapun. Karena sifatnya hanya janji akad
(rencana akad)
Ibnu Hazm mengatakan,

‫أن التواعد ليس بيعا‬


”Parjanjian bukan transaksi jual beli.” (al-Muhalla, 5/32)
PO dengan Akad
PO dengan akad hanya bisa dilakukan dengan:
[1] Penjual dengan sistem salam (al-muslam Ilaihi)
[2] Produsen dengan akad istishna’
[3] Trader yang sudah memiliki barang
Definisi
Jastip atau jasa titip adalah layanan yang diberikan seseorang (Jastiper) untuk
membelikan barang untuk orang lain (Customer), dimana Jastiper berhak mengambil
keuntungan atau mendapatkan fee melalui transaksi ini.

Jastip ada 2:
• [1] Customer menyerahkan uang pembelian ke Jastiper sebelum dibelikan barang
• [2] Customer TIDAK menyerahkan uang pembelian ke Jastiper sebelum dibelikan
barang
Customer Menyerahkan Uang Pembelian ke Jastiper
Kasusnya:
• Customer titip dibelikan sesuatu dan dia menyerahkan orang ke jastiper sebelum
dibelikan barang, baik dengan cara transfer atau diserahkan tunai sebelum berangkat
safar.
• Dalam kasus ini, posisi jastiper hanya wakil bagi customer, sehingga:
[a] Customer berhak untuk mendapatkan fee
[b] Jastiper wajib menyampaikan proses transaksi barang sesuai kondisi riil, seperti
harga, diskon, dst.
[c] Apabila ada biaya tambahan, seperti transport ke lokasi pembelian, semua
ditanggung customer
Customer TIDAK Menyerahkan Uang Pembelian ke
Jastiper
Dalam kondisi ini ada 2 keadaan:
• [1] Jastiper menalangi dulu uang untuk membeli barang dengan akad utang (qardh)
• [2] Jastiper membelikan barang, lalu dijual ulang ke customer dengan marjin tertentu.
[1] Jastiper menalangi dulu uang untuk membeli barang dengan akad utang
(qardh)
Sebagai konsekuensinya:
• [a] Jastiper wajib menyampaikan proses transaksi barang sesuai kondisi riil, seperti
harga, diskon, dst.
• [b] Apabila ada biaya tambahan, seperti transport ke lokasi pembelian, semua
ditanggung customer
• [c] Jastiper tidak boleh mendapat keuntungan apapun dalam transaksi ini, baik
margin maupun fee, karena keuntungan dalam transaksi utang adalah riba.
• [d] Dibolehkan bagi customer untuk membayar utangnya dengan kelebihan selama
tidak dipersyaratkan di awal dan tidak ada permintaan dari jastiper

[2] Jastiper membelikan barang, lalu dijual ulang ke customer dengan marjin
tertentu.
• Posisi jastiper seperti penjual kedua. Sehingga berlaku ketentuan sebagaimana
reseller yang beli putus.
• (lihat materi tentang Fiqh Reseller & PO)
Jastiper yang membeli putus dari toko atau produsen merupakan penjual kedua.
Penjual pertama → Penjual kedua → Customer
(took/produsen) (Jastiper) (yang titip)

Ketentuan jastiper semacam ini:


• [1] Wajib memiliki objek yang hendak dijual sebelum dijual ke customer
• [2] Boleh menawarkan barang ke customer sebelum memiliki barang, namun tidak
boleh akad dengan customer.
Karena sebatas menawarkan BUKAN akad.
Larangan ini telah disebutkan dalam hadis, dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,

‫اَل تا ِب ْع اما لايْ اس ِع ْندا اك‬


“Janganlah kamu jual barang yang bukan milikmu.” (Ahmad & Abu Daud).
[3] Tidak boleh menjual barang yang sudah dibeli sampai dia terima
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

ُ : ‫وسَّل هناى أن يبي اع الرج ُل طعا ًما حىت ياس توف اي ِه قال‬
: ‫فقلت هل‬ ‫هللا علي ِه َّ ا‬ َّ ‫هللا‬
ُ ‫صَّل‬ ِ ‫أ َّن رسو ال‬
‫ك ايف ذكل‬
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual makanan
sampai dilakukan istifa’ (dipindahkan dari wilayah penjual). Thawus bertanya kepada
Ibnu Abbas, “Mengapa bisa dilarang?”
Jawab Ibnu Abbas,

‫ذكل درا ُمه بدرا امه والطعا ُم ُم ْر اجأ‬


Karena hakekatnya dirham ditukar dengan dirham, sementara makanan tertunda.
(Muttafaq ‘alaih)
Definisi
Silahkan anda perhatikan bagan berikut,

Dalam skema dropship, ada 3 pihak


yang terlibat,
[1] Supplier, sebagai pemilik barang
[2] Dropshipper, sebagai reseller online
barang milik supplier
[3] Customer, sebagai konsumen atau
pembeli barang
• Dropshipper memajang barang yang hendak dia jual di toko online atau di
marketplace. Datang konsumen via online membeli barang itu. Setelah dia pelajari,
tertarik dan mentransfer sejumlah uang ke rekening yang disediakan dropshipper.
Pihak dropshipper mendapat notifikasi order dari sistem yang dia buat.

• Selanjutnya, dropshipper mencari supplier yang menjual barang itu. Setelah


mendapatkannya, dropshipper membelinya dan meminta supplier untuk mengirim
barang itu ke customer atas nama dropshipper.

• Skema dengan model seperti ini biasanya dilakukan ketika antara dropshipper
dengan customer tidak terjadi dialog, seperti dropshipper di marketplace atau mall
online. Sehingga pemesanan dan notifikasi dilakukan oleh mesin.
Ada 5 catatan yang bisa kita garis bawahi dari skema di atas,
• [1] Dropshipper telah melakukan akad jual beli barang dengan customer sebelum dia
memiliki barang itu.

• [2] Customer mengirim uang tunai ke dropshipper

• [3] Barang dikirim dalam waktu normal sekitar 3 hari sampai 7 hari.

• [4] Dropshipper memastikan ketersediaan barang sebelum bertransaksi

• [5] Pengirim barang itu adalah supplier atas permintaan dropshipper. Hanya saja,
poin kelima ini tidak mempengaruhi hukum, mengingat posisi supplier untuk masalah
pengiriman adalah wakil bagi dropshipper.
Skema dropshipping seperti di atas dikenal dengan istilah salam haal atau salam
mu’ajjal artinya akad salam yang waktunya pendek.

Dilihat dari waktunya, akad salam ada 2:

• [1] Salam mu-ajjal [‫ ]مؤجل‬yaitu salam tertunda, dimana jarak antara akad dengan
penyerahan barang cukup lama (min. sebulan)

• [2] Salam haal/mu’ajjal [‫ ]معجل‬yaitu akad salam dimana jarak antara akad dengan
penyerahan barang kurang dari sebulan.
• Ulama berbeda pendapat mengenai hukum salam haal:

• [1] Syafiiyah membolehkan selama barang tidak tertentu (mu’ayyan)

• [2] Jumhur melarang praktek ini, karena termasuk dalam larangan hadis Hakim bin Hizam.

Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

‫ اَل تا ِب ْع اَ لايْ اس ِع ْنِدا كا‬:‫وِ َا اَ ال‬ ‫ ُ َُّ ََِِي ُُ ُُ َِ اَ و‬،ُُُُ ‫ لايْ اس ِع ْن ِِد اَ ََِِي‬،‫ ياأْ ِت ِيِن َّالر ُج ُل ي ا ْسأَلُ ِِن الْ اب ْي اع‬،‫هللا‬
ِ ‫الس‬ ِ ‫اَي ار ُسو ال‬
“Ya Rasulullah, ada orang yang datang kepadaku, lalu memintaku barang yang tidak aku
miliki barang yang aku jual. Kemudian aku membelinya ke pasar. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kamu jual barang yang tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad
Definisi Uang
Syaikh Abdullah bin Mani’ – salah satu anggota Haiah Kibar Ulama KSA –
menyebutkan,
Bahwa menurut para ahli ekonom, syarat sebuah property bisa disebut uang apabila,
a. Bisa digunakan sebagai alat transaksi (Wasail Tabadul)
b. Bisa menjadi standar harga (al-Mi’yar lil Qimah)
c. Bisa digunakan untuk menyimpan kekayaan (Madah Liddikhar ats-Tsarwah)
Cakupan luas status: mata uang
misal: e-Money digital & berlaku
Mughathah (Chip-based technology) hukum mata uang
Memiliki back up fiat
money
Terbatas Status: Bukan
mata uang, namun
misal: Gopay, Tcash saldo dipahami
(beridentitas) sebagai simpanan

Uang Digital Tidak Mughathah karena tidak


Tidak ada back up fiat memiliki underlying
money maupun aset apapun, bukan
uang

Pulsa/property digital
bisa dijadikan alat
yang bernilai layanan
tukar meskipun
bukan uang
Keterangan:
Uang digital Mughathah ada 2:
[1] Cakupannya luas, dan umumnya berbasis chip, sehingga tidak ada identitas
pemiliknya. Ketika kartu e-Money itu hilang, siapapun yang menemukannya bisa
menggunakannnya tanpa harus memasukkan pin atau password. Sehingga
karakternya sama seperti uang cetak.
Untuk itu, saat top up, akad yang dilakukan adalah akad sharf (tukar menukar uang
kartal dengan uang digital).
[2] Cakupannya sempit, dan umumnya beridentitas. Karena itu, jika hilang, orang lain
tidak bisa menggunakannya selama dia tidak mengetahui pin atau passwordnya.
Untuk itu, saat top up, akad yang dilakukan adalah akad Qardh (utang).
➢ Sementara uang digital yang tidak memiliki back up fiat money maupun asset,
seperti cryptocurrency. Yang lebih tepat, statusnya bukan uang, sebab crypto tidak
memenuhi salah satu dari 3 syarat uang, yaitu nilainya yang tidak bisa dijadikan
standar harga.
➢ Sementara pulsa atau property digital yang bernilai manfaat tertentu, seperti pulsa
telpon atau pulsa listrik, pada asalnya bukan uang dan tidak bisa disebut sebagai
alat tukar. Meskipun terkadang Sebagian orang menggunakannya sebagai alat
bayar.
Fakta Marketplace
[1] Marketplace tidak memiliki barang, sehingga pihak marketplace tidak menjual
[2] Marketplace adalah wadah yang mempertemukan banyak penjual (merchant)
dengan masyarakat konsumen.
[3] Marketplace tidak hanya tempat untuk berjualan, tapi lembaga yang memiliki
wewenang mengatur kondisi pasarnya
[4] Umumnya pihak marketplace memberi jaminan keamanaan bagi pengunjung
dengan sistem escrow, dimana uang yang ditransfer konsumen disimpan oleh
marketplace di rekber (rekening bersama), dan baru diserahkan ke penjual setelah
barang tiba dengan selamat di tempat konsumen.
[5] Konsumen yang beli tidak pernah bertemu dengan pemilik barang. Semua
transaksi dilayani dengan mesin
[6] Dana yang mengendap di rekber, diatur oleh kebijakan pemerintah terkait.
Catatan tentang marketplace
[1] konsekuensi akad jual beli.
Diantara konsekuensi jual beli adalah terjadinya perpindahan kepemilikan (intiqal
milkiyah). Meskipun barang belum diterima oleh pembeli
[2] Rekening bersama dan sistem escrow
Keberadaan escrow termasuk bagian dari ciri khas marketplace. Tujuan besar adanya
escrow di marketplace adalah untuk menjamin keamanan bagi semua pihak. Terutama
para konsumen. Terlebih transaksi via online di masa sekarang, sangat rentan dengan
penipuan.
[3] skema transaksi di marketplace
Penjual memajang barang A => konsumen memilih barang => Konsumen
memasukkan barang ke keranjang belanja => konsumen membeli dengan mentransfer
senilai harga barang dan ongkir => penjual mendapat notifikasi dari marketplace untuk
mengirim barang => penjual mengirim barang => barang sampai di konsumen.
Milik Siapa Uang di Rekber?
Ada 3 kemungkinan: Milik marketplace, Milik Penjual, atau Milik Konsumen.
Kemungkinan mana yang paling mendekati?

Keterangan:
uang yang ditransfer konsumen ke rekber adalah nilai pembayaran untuk barang
yang dia beli dari lapak yang ada di marketplace.
Selanjutnya, kita bisa gunakan teori konsekuensi akad jual beli di catatan pertama,
bahwa jika sudah terjadi akad jual beli, berarti telah terjadi perpindahan hak milik
antara penjual dan konsumen. Dimana barang berpindah kepemilikan dari penjual ke
konsumen, dan uang berpindah kepemilikan dari konsumen ke penjual.
Sebagai konsekuensinya, jika ada diskon atau cash back, atau apapun keuntungan
yang diberikan pihak marketplace kepada konsumen, tidak terhitung riba, karena
konsumen tidak memberikan utang ke marketplace. Sehingga tidak berlaku kaidah:
“Utang yang menghasilkan manfaat maka manfaat itu adalah riba.”
Status Uang di Rekber
Uang di rekber adalah milik penjual, meskipun penjual belum bisa mengambilnya
sampai ada notifikasi bahwa barang telah tiba dengan selamat di tempat pembeli.
Lalu apa status uang ini tertahan di rekber?
Statusnya adalah sebagai jaminan.
Uang itu ditahan oleh pihak markerplece sebagai jaminan untuk keamanan bagi
konsumennya.
Sejak kapan akad di marketplace dianggap sah?
Ketika si A belanja di marketplace, kapan akad jual beli itu terjadi?
Dari skema transaksi di diagram alir, ada 3 kemungkinan kapan akad itu terjadi?
[1] Ketika konsumen menaruh barang yang dia pilih di keranjang belanja
[2] Ketika konsumen mentransfer uang ke rekber
[3] Ketika konsumen menerima barang.
yang paling tepat adalah yang kedua, ketika konsumen mentransfer uang ke rekber
setelah proses check out.
Setelah check out, konsumen diberi batas waktu untuk transfer. Adanya batas waktu
ini adalah hak khiyar syarat yang diberikan pihak marketplace. Ketika konsumen
transfer, berarti dia mengakhiri akad itu dengan membelinya. Sejak saat itu, barang
yang dia beli sah menjadi miliknya.
Anjuran Saling Memberi Hadiah
Pada prinsipnya, memberi hadiah termasuk disyariatkan dalam islam. Karena ini bisa
semakin menguatkan ukhuwah dan persaudaraan di tengah masyarakat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َته ها هدوا ه هَتابُّوا‬
“Lakukanlah saling menghadiahilah, niscaya kalian saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam
Adabul Mufrad).

Untuk menjaga perasaan si pemberi hadiah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


menganjurkan orang yang diberi hadiah agar tidak menolaknya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫ هو هال ته ُر ُّدوا الْهه ِدي َّ هة‬،‫َأ ِجي ُبوا ادلاعي‬
Penuhi undangan, dan jangan tolak hadiah. (HR. Ahmad dan dihasankan Syuaib al-
Arnauth).
Beragam Give Away
[1] Give away yang disyaratkan belanja dan akan mendapatkan hadiah langsung bagi
siapa yang bisa menyusun puzzle tertentu yang tertulis di bungkus barang.
Sehingga Sebagian besar orang belanja, tujuannya untuk memecahkan puzzle itu. Dia
keluar uang, untuk tujuan yang tidak jelas.
Ibnu Utsaimin mengatakan,
Bentuk lain dari pemberian hadiah yaitu dengan cara gambar mobil dibagi dua, satu
bagian gambar dimasukkan ke satu kemasan, potongan gambar lainnya tidak diketahui,
apakah dimasukkan ke kemasan lain, atau tidak sama sekali. Walaupun dimasukkan ke
dalam kemasan barang lain, hukumnya tetap terlarang. karena pembeli yang membeli
satu kemasan lalu mendapatkan gambar salah satu bagian mobil, dia akan terus membeli
gambar, berharap bisa mendapatkan bagian gambar lainnya, dan bisa memenangkan
hadiah mobil.
Padahal beli satu kemasan saja, sudah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Kenyataannya dia tidak berhasil menemukan potongan satunya. Dia rugi karena telah
mengeluarkan uang banyak untuk membeli berkotak-kotak barang dan dia tidak
mendapatkan apa yang diinginkan. Ini termasuk gharar dan membuang-buang harta. Dan
hukum perbuatan ini adalah haram. (al-Hawafiz at-Tijariyah, Dr. Khalid al-Muslih, 97-98).
[2] Give away bentuknya hadiah bagi yang menang undian. Dan untuk bisa
mendapatkan kupon undian, disyaratkan harus belanja senilai tertentu. Kupon itu diisi
dengan identitas pemilik, lalu dimasukkan ke kotak kupon untuk diundi.
Dalam kasus ini, ada 2 keadaan:
a) Konsumen belanja untuk kebutuhannya, sehingga kupon undian yang dia dapatkan,
murni gratisan. Hukumnya dibolehkan, karena meskipun mengandung unsur gharar,
namun gharar yang gratis.
b) Konsumen belanja untuk tujuan mendapat kupon undian. Sementara barang yang
dia beli, bukan tujuan utama. Dalam hal ini, undian terhitung judi, karena yang dia
lakukan hakekatnya adalah taruhan.
Niat bia menentukan hukum. Berdasarkan kaidah,
‫القصود يف العقود معترب‬
Niat dalam akad, termasuk diperhitungkan.
[3] Give Away yang tidak disyaratkan belanja, namun customer diminta untuk memberi
kritikan untuk iklan, atau layanan lainnya untuk menaikkan jangkauan iklan, seperti like,
share, dll.
Dalam hal ini ada 2 cara pandang ulama:
a) Ini termasuk musabaqah (perlombaan). Selama tidak ada taruhan, hukumnya
dibolehkan. Ini merupakan pendapat Dr. Muhammad Utsman Syabir.
b) Ini bukan termasuk musabaqah (perlombaan), karena tidak ada unsur saling
mengalahkan. Sehingga hukumnya dibolehkan. Ini pendapat Syaikh Dr. Kholid al-
Mushlih.
Karena pada asalnya, boleh memberikan hadiah dengan bersyarat.
Undian
Undian yang tidak ada unsur taruhan, dibolehkan. Bahkan undian disyariatkan jika ada
banyak pihak yang memiliki peluang yang sama
Sebagaimana disebutkan dalam kaidah,

‫تس تعمل القرعة عند تزامح احلقوق‬


“Digunakan undian jika yang berhak lebih dari satu”
Takyif Fiqh Endorsment
Skema akad untuk endorsement adalah akad ijarah atau ju’alah (jual beli jasa). Dimana
pemilik akun medsos atau tokoh tertentu diminta untuk mengiklankan produk, dan
untuk selanjutnya dia berhak menerima fee (ujrah) sesuai kesepakatan.
3 Ketentuan Akad Ijarah Endorsment
[Pertama] Jasa yang dia sediakan adalah jasa yang manfaatnya mubah.
Jika jenis jasanya haram, misalnya jasa sihir, apapun tujuan konsumennya, baik
digunakan untuk kebaikan maupun keburukan, tetap terlarang.
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َنَ َى َع ْن ثَ َم ِن ْال َ َْك ِب َو َمهْ ِر الْ َب ِِغ ِ َو ُُلْ َو ِان ا ْل ََ ِِ ِن‬- ‫ صىل هللا عليه وسمل‬- ‫اَّلل‬
ِ َّ ‫َأ َّن َر ُسو َل‬
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menerima uang hasil penjualan
anjing, upah pelacur, dan upah dukun. (Muttafaq alaih)
[Kedua] Tidak ada unsur tolong menolong dalam maksiat.
Jika jenis jasanya mubah, namun digunakan untuk tujuan maksiat maka upah yang
diterima tidak halal.
Allah berfirman,

‫اَّلل َش ِديدُ الْ ِع َق ِاب‬ َ َّ ‫َوال تَ َع َاونُوا عَ َىل ْاال ْ ِإْث َوالْ ُع ْد َو ِان َوات َّ ُقوا‬
َ َّ ‫اَّلل ا َّن‬
ِ
“Janganlah tolong menolong dalam dosa dan tindakan kelewat batas. Dan bertakwalah
kepada Allah; sesungguhnya Allah itu sangat keras siksaannya” (QS. al-Maidah: 2)
[Ketiga] Berkaitan cara dalam menyampaikan materi iklan
Ada 2 aturan yang perlu diperhatikan berkaitan dengan cara dalam menyampaikan
materi iklan,
[1] Tidak boleh ada unsur penipuan
[2] Tidak boleh memuji barang melebihi kenyataan yang ada
Diantara jual beli yang dilarang adalah jual beli najasy. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َو َال ي َ ِبي ُع ب َ ْعضُ ُ ُْك عَ َىل ب َ ْيع ِ ب َ ْع ٍض َو َال تَنَا َج ُشوا‬
Janganlah kalian menawarkan barang kepada orang yang sedang menawar barang
orang lain, dan jangan melakukan transaksi najasy. (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
‫ َع ِن النَّ ْج ِش‬- ‫ صىل هللا عليه وسمل‬- ‫َنَ َى النَّ ِ ُِّب‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang najasy.” (HR. Bukhari)
Hakekat Najasy
Jual beli najasy pada hakekatnya masuk dalam kategori penipuan. Hanya saja dia
dikhususkan, mengingat praktik semacam ini sangat banyak terjadi di masyarakat. Ada
banyak contoh jual beli najasy, diantaranya,

a. Berpura-pura menawar harga padahal tidak hendak membeli

b. Memuji barang tidak sesuai aslinya. Termasuk diantaranya adalah iklan secara dusta.

c. Menyebutkan harga kulak secara dusta.

Kita garis bawahi, iklan secara dusta, dengan menyebutkan keterangan yang tidak
sesuai kondisi aslinya. Jelas ini termasuk najasy dan penipuan.
Pengertian
Dalam bahasa arab, warisan disebut dengan al-Irtsu [‫ ]الإرث‬artinya adalah peninggalan
orang dulu yang diterima oleh masyarakat generasi setelahnya. (al-Qamus al-Muhith,
1/167)
Sehingga dalam makna bahasa, warisan bisa bentuknya harta, bisa juga budaya.
Termasuk juga ajaran dan ilmu.
Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Daud dan Nabi Sulaiman,

‫َو َو ِر َث ُسلَ ْي َم ُان د َُاوو َد‬


“Nabi Sulaiman menerima warisan dari Nabi Daud…” (QS. an-Naml: 16)
Para ulama menegaskan bahwa warisan yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah warisan
harta. Namun warisan ilmu dan kenabian.
Makna bahasa dari kata warisan mengalami menyempitan. Lebih banyak digunakan
untuk peninggalan berupa harta. Dari sinilah pembahasan ilmu waris hanya
dikhususkan untuk harta, bukan warisan ilmu, apalagi budaya.
Ilmu Faraid
Ilmu waris disebut juga ilmu faraid, bentuk jamak dari kata tunggal fariidhah ]‫]فريضة‬
yang artinya kewajiban. Disebut ilmu faraid, karena pembagian ini merupakan
kewajiban dari Allah.

Allah menegaskan,

‫اَّل ََ َن ََ ِلًمًا َح ِكًمًا‬ ِ ‫ون َآُّيه ُ ْم َآ ْق َر ُب لَ ُ ُْك ن َ ْف ًعا فَ ِريضَ ًة ِِ ََ ه‬


َ ‫اَّل ا هن ه‬ َ ‫َآ ََب ُؤ ُ ُْك َو َآبْنَا ُؤ ُ ُْك َل ت َْد ُر‬
‫ن‬
Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah fariidhah (ketetapan) dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. an-Nisa: 11)
Keutamaan Belajar Ilmu Waris
Ada beberapa motivasi untuk mempelajari ilmu faraid. Diantaranya,

Pertama, Allah sendiri yang menjelaskan ilmu waris ini dalam al-Quran. Allah sebutkan
beberapa aturan dan ketetapan tentang pembagian harta pusaka. Sehingga
memperlajari ilmu waris sama dengan mempelajari keputusan dan ketetapan Allah.

Kedua, setelah Allah menjelaskan pembagian warisan, Allah menyebutkan janji dan
ancaman.

Janji surga bagi orang yang mengikuti hukum Allah, sebaliknya ancaman neraka bagi
yang tidak mau mengikutinya. Itu artinya, mempelajari ilmu waris berarti mengenal
salah satu jalan menuju surga dan menjauhi salah satu sumber ancaman neraka.
Ketiga, mengamalkan sebuah hadis

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
kepadanya,

ْ َ ‫ََي َآ ََب ه َُرْي َر َة تَ َعل ه ُموا الْ َف َرائِ َض َوََ ِل ُموهَا فَان ه ُه ِن ْص ُف الْ ِع ْ ِْل َوه َُو يُن ْ ََس َوه َُو َآ هو ُل‬
‫َش ٍء يُ ْ َن ُ ُع ِِ َْ ّآ هِ ِي‬
‫ن‬
Wahai Abu Hurairah, pelajarilah faraid, dan ajarkan kepada yang lain, karena ilmu faraid
adalah setengah ilmu, yang paling cepat dilupakan dan ilmu yang pertama kali dicabut
dari umatku. (HR. Ibnu Majah dan didhaifkan oleh ad-Dzahabi, Ibnul Mulaqqin, dan al-
Albani).
Objek Kajian Ilmu Waris
Ada 2 objek kajian ilmu waris

[1] Kajian fiqh

Bagian ini lebih dominan dalam kajian ilmu waris dan insyaaAllah lebih mudah untuk
dipelajari. Sebagaimana orang mempelajari syarat dan rukun shalat. Karena kajian fiqh
seperti memahami teori dan tidak melibatkan perhitungan.

[2] Teknis perhitungan

Bagian ini lebih mempelajari tata cara perhitungan warisan. Bagi mereka yang belajar
ilmu waris lebih serius, dituntut untuk bisa memecahkan kasus hingga ke perhitungan.
Kajian Fiqh dalam Ilmu Waris beberapa materi,
diantaranya:
[1] Sebab perpindahan harta dari ortu ke anak
[2] Kaidah: warisan itu ijbari (otomatis)
[3] Sejak kapan ahli waris memiliki warisan
[4] Apakah warisan wajib dibagi?
[5] Hukum membagi waris sebelum mati
[6] Hukum menunda pembagian warisan
[7] Jatah untuk kerabat yang bukan ahli waris
[8] Masalah gono-gini
[9] Batasan harta warisan
[10] Urutan yang perlu diselesaikan sebelum membagi waris
[11] Memahami rukun, syarat, sebab, dan penghalang warisan
[12] Mengenal urutan kedekatan para ahli waris
[13] Mengenal dzawil arham dan kedudukannya
Materi Teknis Perhitungan Ilmu Waris
[1] Mengenal 2 jenis jatah warisan

[2] Mengenal ashabah dan macam-macamnya

[3] Menyelesaikan kasus Aul dan Rad

[4] Mengenal kasus munasakhat

[5] Aturan untuk saudara seibu

[6] Menyelesaikan kasus khusus:

[Umariyah, Akdariyah, atau Musytarikah]

[7] Mengenal urutan penyelesaian warisan


2 Kunci Perhitungan Waris
Dalam menghitung waris, tentukan 2 hal:
[1] Tentukan subjek
Tentukan siapa saja yang menjadi penerima warisan
[2] Tentukan objek
Tentukan harta apa saja yang menjadi warisan
Menentukan Subjek Penerima Warisan
Seseorang berhak menerima warisan karena 3 sebab:
[1] Nasab, meliputi:
- Anak dan seterusnya ke bawah
- Bapak dan seterusnya ke atas
- Saudara dan paman
[2] Pernikahan, yaitu suami atau istri.
[3] al-Wala’ (membebaskan budak)
Ketika A membebaskan budak, lalu mantan budak ini mati sementara dia tidak punya
keluarga, maka seluruh hartanya dimiliki oleh si A.
Mengukur Tingkat Kedekatan Ahli Waris
Ada 4 jalur hubungan kekerabatan antara mayit dengan ahli waris:

1) Jalur Bunuwah – mereka adalah anak, cucu, dan seterusnya ke bawah

2) Jalur Ubuwah – mereka adalah bapak, kakek, dan seterusnya ke atas

3) Jalur Ukhuwah – mereka adalah para saudara, baik kandung, sebapak, maupun seibu,
dan para keturunannya

4) Jalur Umumah – mereka adalah paman dari ayah dan para keturunannya.

Urutan kedekatannya sebagaimana urutan di atas 1 > 2 > 3 > 4. Jalur anak lebih dekat
dibandingkan jalur bapak. Jalur bapak lebih dekat dibandingkan jalur saudara, dan jalur
saudara lebih dekat dibandingkan jalur paman.
Keterangan:

1. Jika ada ahli waris dari beberapa jalur, maka tingkat kedekatannya sesuai urutan di
atas 1 > 2 > 3 > 4.

2. Ketika dalam satu jalur ada lebih dari 1 tingkatan ahli waris, maka ahli waris yang
lebih dekat menutupi ahli waris yang lebih jauh. Misalnya: anak laki-laki dan cucu laki-
laki, keduanya ada di jalur bunuwah. Jika ada anak laki-laki, maka cucu laki-laki
tertutupi.

3. Antara furu’ dan ushul tidak bisa saling menutupi, namun bisa mengurangi. Dimana
jatah ushul menjadi berkurang ketika ada furu’. Jatah bapak menjadi berkurang
ketika ada anak lelaki atau cucu lelaki.

4. Furu’ bisa menutupi hawasyi. Sehingga jika ada anak atau cucu maka saudara atau
paman menjadi terhalang.
Mengenali Objek Warisan
Objek warisan adalah semua harta yang dimiliki mayit sebelum dia meninggal dunia.
Beberapa harta yang bukan warisan:

[1] Harta yang baru muncul setelah mayit meninggal, seperti uang takziah.

[2] Santunan yang diberikan keluarga mayit, baik dari negara maupun dari perusahaan.

[3] Pensiunan terusan yang diberikan negara untuk salah satu ahli waris, seperti
pensiunan terusan untuk istri.

[4] Harta milik orang lain yang bercampur dengan harta mayit. Misalnya rumah milik
suami istri karena pengadaannya dari uang mereka berdua.
Tahapan yang Perlu Diselesaikan Sebelum Menghitung
Warisan
[1] Digunakan untuk biaya perawatan saat sakit dan perawatan jenazah

[2] Membayar utang bergadai

[3] Menyelesaikan utang yang tidak bergadai

[4] Melunasi utang agama, seperti utang zakat atau bayar fidyah

[5] Menunaikan wasiat

Jika masih tersisa, harta sisa inilah yang dibagi sebagai warisan.
Tahapan Menghitung Waris
1. Buat daftar anggota keluarga yang ditinggalkan mayit
2. Coret anggota keluarga yang mahjub (tertutupi) karena factor apapun
3. Tetapkan jatah bagi ashabul furudh
4. Jika masih ada sisa, serahkan kepada yang menerima ashabah
5. Jika tidak ada ashabah dan perhitungan warisan tidak sempurna, selesaikan dengan
pendekatan aul dan rad.

Anda mungkin juga menyukai