Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ajaran Islam merupakan suatu ajaran agama yang sangat komplit,
baik dalam mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya juga mengatur
hubungan hamba dengan hamba yang lainnya. Semua itu diatur dalam
ajaran Islam mulai hal yang paling kecil sampai hal yang paling besar.
Aturan-aturan tersebut selain tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an juga di
contohkan oleh seorang Rasul yang membawa risalah ajaran agama Islam,
sehingga ajaran Islam bukan hanya sekedar ajaran agama teori tetapi suatu
ajaran yang sangat mudah dimengerti karena di ajarkan melalui praktek
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Banyak sekali ajaran Islam yang langsung di contohkan oleh
Rasulullah SAW, baik yang berupa ajaran tauhid, fiqih, dan sebagainya.
Dalam ajaran ilmu fiqih beliau selain mengajarkan masalah bersuci, shalat,
puasa, haji dan sebagainya, beliau juga mengajarkan kepada umatnya untuk
senantiasa menjaga perkataannya dan mengumbar janji yang tidak ada
buktinya sama sekali, atau manusia berjanji pada Tuhannya untuk
melakukan sesuatu jika keinginannya terpenuhi, namun pada kenyataannya
orang-orang jahiliyah dahulu sering ingkar terhadap perkataannya
tersebut.
Oleh karena itu Rasulullah SAW memberikan ajaran bagaimana
kalau seseorang itu berjanji dengan orang lain, dan berjanji pada Tuhannya
untuk melakukan sesuatu apabila keinginannya terpenuhi, kemudian hal
apa saja yang menyebabkan sah atau tidaknya janji tersebut, hingga
bagaimana seseorang apabila melanggar janji itu. Apakah harus membayar
sebuah denda atau kifarat dan apa saja yang harus dilakukan agar janji yang
tidak ditepatinya/ dilanggarnya itu mendapatkan ampunan dari Allah SWT.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasar atas latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa substansi tasharruf, janji dan akad?
2. Apa ketentuan hukum akad, wa’d, dan muwa’adah?
3. Apa perbedaan antara akad, wa’d, dan muwa’adah?
4. Bagaimana contoh penerapan wa’d dan muwa’adah dalam transaksi
muamalah?
C. Tujuan Penulisan
Berdasat atas rumusan masalah di atas, maka tujuan penuisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui substansi tasharruf, janji dan akad.
2. Mengetahui ketentuan hukum akad, wa’d, dan muwa’adah.
3. Mengetahui perbedaan antara akad, wa’d, dan muwa’adah.
4. Mengetahui contoh penerapan wa’d dan muwa’adah dalam transaksi
muamalah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Substansi Tasharruf, Janji dan Akad


1. Tasharruf
Tasharruf menurut istilah ulama fiqh adalah setiap yang keluar dari
seseorang yang sudah mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengan
syara’ menetapkan beberapa konsekuensi, baik berupa ucapan atau
yang setingkat dengan ucapan berupa aksi atau isyarat, sehingga makna
tasharruf dengan pengertian ini lebih umum dari makna akad, karena
akad walaupun bagian dari tasharruf hanya saja ia sekadar tasharruf
qauli (ucapan) belaka yang terjadi karena dua keinginan yang sama
seperti jual beli, nikah, dan yang lainnya dari bentuk-bentuk akad.
Sedangkan tasharruf tidak harus begitu dan masuk didalamnya
berbagai macam bentuk perjanjian, komitmen, pengguguran hak yang
akan harus dilaksanakan oleh yang memberi tanpa harus ada ucapan
penerimaan dari pihak yang lain, seperti wakaf, talak, ibra’
(membebaskan tanggungan), mengembalikan barang yang dijual
dengan khiyar syarat atau ru’yah (melihat), maka semua akad
dinamakan tasharruf dan tidak sebaliknya.1
Tasharruf terbagi menjadi dua:
1. Tasharruf fi’li (perbuatan)
Dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain dari lidah,
seperti memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam
jual beli, merusakan benda orang lain.
2. Tasharruf qauli (perkataan)
a. Tasharruf qauli ’aqdi, yaitu sesuatu yang dibentuk dari dua
ucapan dari kedua belah pihak yang saling bertalian, seperti jual
beli, sewa menyewa dan perkongsian.

1 Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sisttem Transaksi dalam Fiqh

Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm 19

3
b. Tasharruf qauli bukan ’aqdi, terbagi menjadi dua: (a)
merupakan pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut
suatu hak, seperti wakaf, thalak dan memerdekakan, (b) tidak
menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntutan-
tuntutan hak, seperti gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak
gugatan (tak ada aqad, tapi perkataan semata).2
2. Janji
kita hidup ini bukti kita sepakat atas janji kita kepada Allah, Allah
mengingatkan atas janji kita dalam surat al-A’raf ayat 172, agar kita di
hari kiamat tidak mengatakan aku lupa atas janjiku.

‫علَى‬َ ‫ور ِه ْم ذُ ِريت َ ُه ْم َوأ َ ْش َهدَ ُه ْم‬ِ ‫ظ ُه‬ ُ ‫َوإِ ْذ أ َ َخذَ َرب َُّك ِم ْن بَنِي آدَ َم ِم ْن‬
‫ش ِه ْدنَا أ َ ْن ت َقُولُوا َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ِإنا ُكنا‬
َ ‫أ َ ْنفُ ِس ِه ْم أَلَ ْستُ ِب َر ِب ُك ْم قَالُوا َبلَى‬
َ‫َع ْن َهذَا غَافِ ِلين‬
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
Menepati janji termasuk sebab mendatangkan keamanan di dunia
dan menghindari pertumpahan darah, melindungi hak para hamba, baik
yang muslim maupun kafir. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

‫ص ُر إِال َعلَى قَ ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم‬


ْ ‫ِين فَعَلَ ْي ُك ُم الن‬
ِ ‫ص ُرو ُك ْم فِي الد‬ َ ‫َوإِ ِن ا ْست َ ْن‬
‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ ‫اق َوَّللاُ ِب َما ت َ ْع َملُونَ َب‬
ٌ َ ‫ِميث‬
Artinya : (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu
dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan
pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara

2 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta:

Darul Haq, 2004), hlm

4
kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 72)
Dapat menghapus kesalahan dan memasukkan ke surga.
Sebagaimana yang kita dapatkan dalam Firman-Nya, “Dan penuhilah
janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (QS. Al-
Baqarah: 40)
Ibnu Jarir berkomentar, “Janji (Allah) kepada mereka, kalau mereka
melakukan hal itu, maka (Allah) akan memasukkan mereka ke surga.”
Di surat Al-Maidah, Allah Subahanhu wa ta’ala menyebutkan bahwa
Dia telah mengambil janji kuat kepada Bani Israil, kemudian disebutkan
balasan janji kuat beserta balasannya. Dalam Firman-Nya,
“Sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya
kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya
sungai-sungai.” (QS. Al-Maidah: 12)
Dan atsar lainnya yang dengan jelas (menyebutkan hal itu) bagi
setiap orang yang mentadaburi Kitabullah dan merenungi sunnah
Rasulullah, baik dalam perkataan maupun amalnya.
Ayat-ayat dan hadits-hadits dalam bab ini banyak, kami nasehatkan
merujuk kitab ‘Riyadus Sholihin’ karangan Imam Nawawi rahimahullah.
Dan kitab ‘At-Targhib Wa At-Tarhib’ karangan Imam Mundziri
rahimahullah.
Pengkhianatan adalah lawan kata dari amanah dan memenuhi
(janji). Kalau amanah dan memenuhi janji termasuk karakter keimanan
dan ketakwaan, maka khianat dan melanggar (janji) termasuk karakter
kenifakan dan kedurhakaan.
Dari Abdullah bin Amr radhiallahu’anhuma, dia berkata, Rasulullah
sallallahu’alahi wa sallam bersabda:

ْ ‫َت ِفي ِه خَلةٌ ِم ْن ُهن َكان‬


‫َت‬ ً ‫أ َ ْر َب ٌع َم ْن ُكن فِي ِه َكانَ ُمنَا ِفقًا خَا ِل‬
ْ ‫صا َو َم ْن َكان‬
‫غدَ َر َوإِذَا‬
َ َ‫ب َو ِإذَا َعا َهد‬ َ َ‫ث َكذ‬َ ‫ق َحتى َيدَ َع َها إِذَا َحد‬ ٍ ‫فِي ِه خَلةٌ ِم ْن نِفَا‬

5
ْ ‫صلَةٌ ِم ْن ُهن َكان‬
‫َت فِي ِه‬ ْ ‫ َو ِإ ْن َكان‬، ‫ص َم فَ َج َر‬
ْ ‫َت فِي ِه َخ‬ َ َ‫َو َعدَ أ َ ْخل‬
َ ‫ف َو ِإذَا خَا‬
(‫ق )رواه البخاري‬ ِ ‫صلَةٌ ِمنَ النِفَا‬ ْ ‫َخ‬
Artinya : Empat (perilaku) kalau seseorang ada padanya, maka dia
termasuk benar-benar orang munafik. Kalau berbicara berdusta, jika
berjanji tidak menepati, jika bersumpah khianat, jika bertikai,
melampau batas. Barangsiapa yang terdapat salah satu dari sifat
tersebut, maka dia memiliki sifat kemunafikan sampai dia
meninggalkannya.” (HR. Bukhari, 3178 dan Muslim, 58)3
Al-Masri berpandangan bahawa pelaksanaan sesuatu janji adalah
tidak mengikat, justru dari sudut undang-undang, seseorang tidak
boleh memaksa pihak yang berjanji untuk melaksanakan janjinya
hanya semata-mata berdasarkan wujud janjinya yang terdahulu. 4
I b n Shubrumah berpendapat bahawa orang yang berjanji mesti
bertanggung jawab ke atas janji yang dibuat, dan dia boleh dipaksa
(melalui mahkamah) sekiranya dia tidak berbuat sedemikian.
Mazhab Hanafi dilihat lebih cenderung dengan pandangan Ibn
Shubrumah, apabila mereka berpendapat bahawa janji mesti
dipenuhi, terutamanya apabila janji tersebut disertakan
dengan syarat demi untuk mengelakkan penipuan berlaku. Walau
bagaimanapun hanya janji yang bertaklik saja merupakan janji yang
mengikat yaitu apabila sebab berkenaan berlaku.5
3. Akad
Kata akad berasal dari bahasa Arab al-aqd yang secara etimologi
berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara
terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan:

‫ب ِبقَبُ ْو ٍل َعلَى َو ْج ٍه َم ْش ُر ْوعٍ يَثْبُتُ أَث َ َرهُ فِ ْي َم َح ِل ِه‬ ُ ‫أ ِْرتِبَا‬


ٍ ‫ط أِ ْي َجا‬

3 Dikutip dari http://wordpress.com pada pukul 18 Oktober 2017 pukul 22.14


4 Al-Nawawi, Tarjamahan al-Adzkar, alih bahasa oleh M. Tarsi Hawi. Bandung: PT
Al-Ma’rif, 1 9 8 4 ) h l m 6 1 7
5 Ibn Decisions 2 and 3, fifth sssion 1988. Fiqh Academy Journal. Hlm 1599-1600

6
“pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai denga kehendak syariat yang berpengaruh
kepada objek perikatan”.
Pencantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariat”
maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak
atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak
syara’. Misalnya kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu
orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman
kata-kata “berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya adalah
terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan
ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan kabul).
Habib ash-Shiddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-
Sanhury, akad ialah:

‫ى‬ ِ ‫ب ِبقَبُ ْو ٍل َعلَى َو ْج ٍه َم ْش ُر ْوعٍ َيثْبُتُ الت َر‬


َ ‫اض‬ ُ ‫أ ِْر ِت َبا‬
ٍ ‫ط أِ ْي َجا‬
“perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
kerelaan kedua belah pihak”.
Ada pula yang mendefinisikan akad adalah:

‫عا‬ َ ‫ب َواْلقَبُ ْو ِل‬


ً ‫ش ْر‬ ِ ْ ‫ف ِب‬
ِ ‫اال ْي َجا‬ ِ ‫ص ُّر‬ ِ َ‫ط أ َ ْجز‬
َ ‫اء الت‬ َ ‫َر ْب‬
“ikatan atas bagian-bagian tasharruf (pengelolaan) menurut syara’
dengan cara serah terima”6.
Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua segi,
yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya
sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual-beli,
perwakilan dan gadai.
Pengertian akad secara umum di atas adalah sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyyah,
Malikiyyah dan Hanafiyyah. Pengertian akad secara khusus adalah

6 Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A. dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta, Kencana, 2010),

hlm 50-51

7
pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya
secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada
objeknya. Pengertian akad secara khusus lainnya adalah perikatan yang
ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang
berdampak pada objeknya.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad
adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih
berdasarkan keridhaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan
memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.7
Akad dalam garis besarnya berbeda satu sama lain. Perbuatan itu
mengingat asas (dasar) dari masing-masing akad, mengingat tujuan,
ketentuan, sifat dan hukum-hukum yang ada dalam akad-akad itu
sendiri. Masing-masing golongan akad kadang-kadang dikumpulkan
oleh suatu pandangan walaupun ada perbedaan-perbedaan antara satu
dengan yang lain. Umpamanya: ida’, i’arah, ijarah, dan syirkah; ditinjau
dari satu segi semuanya merupakan akad amanah. Si musta’ir, si
mustajir, atau si syarik (kongsi atau persekutuan) masing-masingnya
harus mempunyai sifat amanah.
Mereka tidak dipertanggungjawabkan terhadap kerusakan-
kerusakan yang terjadi, yang bukan disebabkan kekeliruannya. Dalam
pada itu jual beli, membagi harta yang musya’, shuluh, qardl, dimasukkan
ke dalam golongan dlaman. Dengan terjadinya akad dan diserahkan
barang kepada pihak yang kedua, berpindahlah tanggungjawab kepada
yang menerima, terlepas sama sekali tanggungjawab si penjual. Dengan
ini nyatalah perbedaan akad ba’i dengan akad i’arah. Mengingat
beberapa tanggapan dan pandangan akad digolongkan kepada:
Pertama, dilihat kepada segi ada atau tidaknya qismah pada akad
tersebut. Maka akad ditinjau dari segi ini, dibagi kepada:

7 Prof. DR. Teuku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah edisi revisi:

Membahas Hukum Pokok dalam Interaksi Sosial-Ekomomi, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009),
hlm 51

8
1) ‘uqud musammah, yaitu: akad-akad yang telah ditetapkan syara’ dan
di berikan hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijarah, sirkah, dll
2) ‘uqud ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang belom diberikan
istilah-istilah dan belom di tetapkan hukumnya.
Kedua, dilihat dari segi disyariatkan akad atau tidaknya maka akad
ditinjau dari segi ini dibagi dua:
1) ‘uqud musyara’ah yaitu: akad-akad yang dibenarkan syara’ dan
diizinkannya, umpamanya jual beli, jual harta yang harganya dan
termasuk juga hibah, dan rahn (gadai).
2) ‘uqud mamnu’ah yaitu: akad-akad yang dilarang syara’ seperti
menjual anak binatang yang masih dalam kandungan yang dalam
bahasa arab dikatakan bai’ malaqah atau bai’ madlamin, yang dikenal
di masa jahiliyyah.
Ketiga, dilihat dari segi sah tidaknya akad. Akad ditinjau dari segi ini
di bagi menjadi dua:
1) ‘uqud shibahah, yaitu yang cakup syarat-syarat yang bersifat umum,
maupun syarat-syarat yang khusus, baik pokoknya, maupun pada
cabang-cabangnya.
Contohnya seperti menjual sesuatu dengan harga sekian kalau
kontan, dan sekian kalau hutang,dan seperti menyewakan sesuatu
dengan sewaan yang tertentu untuk masa tertentu pula. Ini
termasuk akad-akad yang sah.
2) ‘uqud fasidah, yaitu: akad-akad yang cedera yang tidak sempurna,
yakni terdapat padanya sebagian syarat yang berpautan dengan
bukan hukum pokok. Umpamanya menjual sesuatu dengan harga
yang tertentu tetapi di tangguhkan masa pembayarannya kepada
masa yang tidak ditentukan.
Keempat, dilihat dari sifat bendanya. Akad dilihat pada sifat
bendanya, dibagi menjadi dua:
1) Uqud ‘ainiyah, yakni: yang disyaratkan untuk kesempurnaannya
menyerahkan barang-barang yang dilakukan akad terhadapnya.
Akad ini tidaklah dipandang sempurna kecuali dengan melaksanakan

9
apa yang diakadkan itu yakni benda yang dijual diserahkan kepada
yang membeli.
2) ‘uqud ghairu ‘ainiyah, yaitu: akad-akad yang hasilnya dengan semata-
mata akad dilakukan.
Kelima, dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad dari sudut ini,
dibagi menjadi dua:
1) Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu
ada saksi, seperti pernikahan.
Perkawina harus dilakukan dihadapan para saksi. Dan seperti akad
yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah, kebun, dan
sebagainya, yang undang-undang mengharuskan hal itu dicatat
dikantor agraria.
2) ‘uqud ridhaiyah, yakni : akad-akad yang tidak memerlukan upacara
yang apabila terjadi persetujuan kedua belah pihak telah
menghasilkan akad, seperti kebanyakan akad.
Jual beli tidak perlu di kantor, tidak perlu dihadapan pejabat. Jual
beli dan sebagainya, menurut ilmu fiqih dikatakan,’uqud ridhaiyah,
berbeda dengan nikah itu bukan ‘uqud ridhaiyah, harus memakai
upacara.
Keenam, dilihat kepada berlaku tidaknya akad yang dalam istilah
dikatakan in ‘akad maka dari segi ini akad bagi menjadi dua bagian:
1) ‘uqud nafizah shahih, yaitu: terlepas dari suatu penghalang sahnya
akad.
2) ‘uqud mauqufah, yaitu: akad-akad yang berpautan dengan
persetujuan, seperti akad fudully.
Akad fudully adalah akad-akad mauquf, karena berlakunya akad ini
adalah setelah disetujui oleh yang bersangkutan sendiri (si pemilik
harta).
Ketujuh, dilihat dari luzum dan dapat difasakhkannya akad. Dari segi
ini akad dibagi kepada empat macam:
1) Akad lazim, bihaqqith tharafaini. Akad ini tidak dapat di fasakh
dengan jalan iqalah, yaitu ‘aqduzziwaj.

10
‘aqduzziwaj adalah akad yang tidak dapat difasakhkan dengan jalan
iqalah. Akad nikah tidak dapat diiqalahkan, meskipun terjadinya
iqalah itu dengan persetujuan kedua belah pihak. Walaupun si suami
dan si istri ingin mengiqalahkan namun tidak dapat dilakukan juga
demikian itu. Akad nikah hanya dapat di akhiri dengan jalan yang
telah ditetapkan oleh syara’ seperti talak umpamanya atau seperti
mukalaah (khulu’), atau karena keputusan hakim atas desakan si istri
lantaran ada sesuatu penyakit pada si suami, atau dengan jalan
khiyar sesudah sigadis sampai umur.
2) Uqud lazimah bi haqqith tharafaini, tetapi dapat difasakh dengan
iqalah, atas persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh
dan akad-akad yang lain.
3) Uqudun lazimah bi haqqi ahadith tharafaini seperti rahn, kafalah.
Rahn dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin dan kafil, tidak
merupakan keharusan dipenuhi oleh si murtahin atau si makful lahu.
Si murtahin boleh melepaskan rahn kapan saja dia kehendaki.
4) Uqudun lazimah bi haqqi kilath tharafaini, yaitu: yang boleh di tarik
kembali oleh masing-masing pihak tanpa menunggu persetujuan
pihak yang kedua, yaitu seperti ida’, i’arah dan wakalah.
Kedelapan, dilihat dari segi tukar menukar hak. Dari segi ini akad
dibagi menjadi tiga:
1) Uqudun mu’awdlah, yaitu: akad-akad yang berlaku atas timbal balik,
seperti jual beli, sewa-menyewa, shulh, dengan harta, atau shulh
terhadap harta dengan harta.
2) Uqud tabarru’at, yaitu: akad-akad yang berdasarkan pemberian dan
pertolongan, seperti hibah dan i’arah.
3) Uqud yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi
mu’awadlah pada akhirnya, seperti qaradl dan kafalah.
Qaradl dan kafalah ini permulaanya adalah tabarru’, tetapi pada
akhirnya menjadi mu’awadlah. Apabila sikafil umpamanya meminta
kembali uangnya kepada si madi, menjadilah kafalahnya
mu’awadlah.

11
Kesembilan, dilihat kepada harus dibayar ganti dan tidaknya. Maka
di segi ini dibagi menjadi tiga golongan:
1. Uqud dlaman, barang: tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-
barang itu diterimanya. Seperti jual beli, iqalah, qismah, mukhanayah,
qaradl.
Ini semuanya menjadi dlaman pihak yang kedua sesudah barang itu
diterimanya. kalau rusak sebelum di serahkannya, maka tanggung
jawab di pikul oleh pihak yang pertama. Pihak yang pertama harus
mengganti kerugian pihak yang kedua.
2. Uqud amanah, yaitu: tanggung jawab dipikul oleh yang punya, bukan
oleh yang memegang barang yaitu: ida’, i’arah, syirkah, wakalah,
washayah.
3. Uqud yang di pengaruhi oleh beberapa unsur, dari segi yang
mengharuskan dlaman, dari segi yang lain merupakan amanah,
yaitu: ijarah, rahn, shulh ‘am mal bi manfa’ah.8

B. Ketentuan Hukum Akad, Wa’d dan Muwa’adah


1. Akad
Persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang sedang menjalin
ikatan. Untuk itu yang perlu diperhatikan dalam menjalankan akad
adalah terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada
pihak yang terlanggar haknya. Oleh karena itu, maka penting untuk
membuat batasan-batasan yang menjamin tidak terjadinya pelanggaran
hak antar pihak yang sedang melaksanakan akad tersebut.
Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini pertama adalah firman
Allah dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ( [5] : 1 ) yang berbunyi:

ْ ‫يَاَيُّ َهاال ِذيْنَ ا َ َمنُ ْوا ا ُ ْوفُ ْوا ِب ْالعُقُ ْو ِد ا ُ ِحل‬


َ ‫ت لَ ُك ْم بَ ِه ْي َمةُ ْاالَ ْن َع ِام اِال َما يُتْلَى‬
‫علَ ْي ُك ْم‬
ٌ‫َغي َْر ُم َحلى الص ْيدَ َوا َ ْنت ُ ْم َحر َم اَن هللا يَ ْح ُك ُم َماُيِ ْريد‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad
itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
8 Prof. DR. Teuku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, hlm 95-97

12
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah
bahwa setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia
janjikan dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi
tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang
halal. Dan kalimat ini merupakan asas ‘Uqud. Dasar kedua adalah firman
Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ( [4]: 29 ) yang berbunyi:

ِ ‫َياأَيُّ َها ال ِذيْنَ أ َ َمنُ ْوا َالتَأ ْ ُكلُ ْوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِب ْال َب‬
َ ‫اط ِل ِإال أ َ ْن ت َ ُك ْو ُن ِت َج‬
‫ارة ً َع ْن‬
َ ُ‫اض ِم ْن ُك ْم َو َالت َ ْقتُلُ ْوا أ َ ْنف‬
‫س ُك ْم ِإن هللاَ َكانَ ِب ُك ْم َر ِح ْي ًما (سورة‬ ِ ‫ت َ َر‬
29:‫)النساء‬
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jangan
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar),
kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah
Maha penyayang kepadamu”.
Dari ayat di atas menegaskan diantaranya bahwa dalam transaksi
perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang
diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walau kerelaan adalah
sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-
tandanya dapat terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam
adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang
digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan. Sedangkan dasar akad
dalam kaidah fiqh berbunyi sebagai berikut:

‫ضى ْال ُمت َ َعا ِقدَي ِْن َونتيجته َما ِإ ْل ِتزَ َماه ِبالت َعا ِق ِد‬
َ ‫ص ُل ِفي ْالعُقُ ِد ِر‬
ْ َ ‫ْاْل‬
Artinya:“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah
pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”.9

9Dikutip dari http://wordpress.com pada pukul 18 Oktober 2017 pukul 22.14

13
Hukum akad terbagi atas akad yang sah atau shahih, yaitu akad yang
terpenuhi seluruh syarat dan rukunnya. Ada juga akad yang fasad atau
dapat dibatalkan yaitu akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya tetapi
terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena
pertimbangan maslahat. Akad yang batal atau tidak shahih yaitu akad
yang tidak terpenuhi syarat dan rukunnya.
Akad yang shahih adalah setiap akad yang menjadi sebab yang legal
untuk melahirkan pengaruhnya dengan cara diucapkan oleh orang yang
mempunyai wewenang, sah hukumnya, selamat dari segala cacat dalam
rukun dan sifatnya menurut definisi sebagian ulama fiqh, sedangkan
menurut sebagian yang lain yaitu setiap akad yang selamat dari segala
aib dan menimbulkan akibat.
Akad yang shahih atau sah terbagi kepada nafidz dan mauquf.
Adapun akad shahih yang nafidz yaitu setiap akad yang keluar dari
orang yang memiliki legalitas dan kuasa untuk mengeluarkannya, baik
kuasa langsung atau melalui perwakilan seperti akad yang dibuat oleh
seorang yang berakal dan bijak terhadap dirinya dalam mengatur
hartanya, atau akad yang dibuat oleh pemberi wasiat atau wali kepada
orang yang naqish (belum mumayyis secara sempurna) atau akad
diakadkan oleh orang yang mendapat perwakilan dari seorang dengan
cara yang sah.
Hukumnya, mempunyai pengaruh terhadap yang diakadkan tanpa
harus menunggu pembenaran dari seseorang, baik terjadinya pengaruh
langsung setelah keluarnya ucapan seperti dalam akad munjiz
(langsung) atau setelah bebrapa waktu seperti dalam akad yang
disandarkan dengan waktu di masa akan datang, maka akad ini nafidz
(dilaksanakan) mempunyai pengaruh ketika waktu telah ditentukan
tiba.
Adapun akad mauquf yaitu setiap akad yang keluar dari pihak yang
memiliki kemampuan untuk berakad namun tidak memiliki wewenang
untuk melakukannya, seperti akad yang keluar dari fudhuli (orang yang
menyibukkan dirinya dengan yang tidak perlu) atau dari anak kecil yang

14
mumayyiz dan yang sama hukumnya jika akad tersebut tidak
memerlukan pendapat wali, atau pemberi wasiat.
Hukumnya, akad ini mempunyai pengaruh terhadap yang diakadkan
kecuali jika dikeluarkan oleh orang yang memiliki hak yang sah, jika
tidak, maka akad ini batal seperti tidak pernah ada.
Pembagian ini disetujui oleh kalangan ulama madzhab hanafi dan
kalangan ulama madzhab maliki, karena mereka menganggap sah akad
fudhuli.
Sedangkan kalangan ulama madzhab syafi’i dan kalangan ulama
madzhab hambali menurut yang paling kuat dari dua riwayat mereka
bahwa akad tidak sah kecuali yang nafidz, karena mereka menetapkan
bagian dari syarat sah yaitu orang yang berakad mempunyai kuasa
untuk melakukannya dan menurut mereka tidak ada akad yang mauquf.
Dari segi wajib atau tidaknya, akad shahih dibagi kepada dua yaitu
akad lazim dan ghairu lazim (tidak lazim).
a. Akad lazim
Akad lazim adalah akad shahih yang nafidz (dilaksanakan
secara langsung), satu pihak yang berakad tidak mempunyai hak
fasakh (membatalkan dan melepaskannya). Akad ini terbagi
menjadi dua:
1) Akad lazim yang tidak bisa di batalkan sama sekali walaupun
kedua belah pihak bersepakat untuk membatalkannya seperti
akad nikah. Jika akad ini terjadi, maka ia menjadi wajib dan
mempunyai pengaruh karena tabiat akad ini adalah luzum
(wajib). Oleh sebab itu, baik suami atau istri tidak memiliki
hak fasakh atau membatalkannya karena makna fasakh
adalah mengangkat akad dari dasarnya sehingga tidak ada
lagi pengaruh akad yang tersisa seperti membatalkan jual
beli. Adapun hak talak yang dimiliki oleh suami, itu bukan
termasuk mem-fasakh akad tetapi menghabiskan akad
dengan bukti masih tersisanya sebagian pengaruh akad nikah
berupa wajibnya nafkah dan keharusan membayar mahar.

15
2) Akad lazim yang bisa dibatalkan jika kedua belah pihak yang
berakad berniat begitu, seperti akad jual beli, sewa-menyewa,
muzara’ah, musaqat, shulh (damai), akad ini menjadi lazim
(wajib) hanya dengan sempurnanya akad menurut mereka
yang tidak memakai khiyar majlis dari kalangan ahli fiqh, dan
tidak menjadi lazim kecuali setelah habisnya majlis akad atau
pemberian hak memilih oleh salah satu pihak yang berakad
atau salah seorang memilih menurut mereka yang
berpendapat dengan khiyar majlis, dan insya Allah akan kami
jelaskan pada tempatnya dari kajian ini.
b. Akad yang tidak lazim (Ghoiru lazim)
Adalah akad yang mana kedua belah pihak memiliki hak
untuk membatalkan dengan cara fasakh tanpa harus menunggu
kerelaan pihak lain. Contohnya, akad titipan, peminjaman, dan
hibah, maka akad dalam akad jenis akad seperti ini tidak wajib
bagi kedua belah pihak, boleh bagi setiap yang menitipkan untuk
membatalkan akad baik pihak lain ridha atau tidak karena dia
memiliki kebebasan yang sempurna. Semuanya termasuk akad
nafidz yang tidak lazim.
Kadang-kadang ketidaklaziman sesuatu akad datang dari satu
pihak saja, artinya akad bisa menjadi lazim jika datang dari satu
orang dan tidak yang lainnya seperti akad gadai, dimana jika
akad sudah sempurna ia menjadi wajib bagi yang rahin yaitu
orang yang memberi utang, maka tidak boleh dia membatalkan
akad kecuali atas ridha yang menerima gadaian yaitu yang
menerima utang, dia tidak boleh membatalkan akad tanpa
kerelaan yang menerima gadaian, demikian juga tidak menjadi
lazim bagi pihak murtahin yaitu yang berutang, maka ia
mempunyai hak untuk membatalkan akad kapan saja dia mau
baik rahin ridha atau tidak, sama juga dengan akad kafalah

16
(jaminan, menjadi wajib bagi pemberi jaminan dan tidak wajib
bagi yang diberi jaminan).10
2. Wa’d
Seperti yang mula-mula dijelaskan, konsep wa’d telah digunakan
secara meluas di dalam produk-produk perbankan Islam seperti
musyarakah mutanaqisah, al-murabahah li al-amir bi al- shira’, al-ijarah thumma
al-bai’, forward currency contract, istisna’, salam dan lain-lain. Konsep
yang menjadi asas kepada pengeluaran sukuk. Namun begitu, ulama fiqh
silam termasuk al-muta’akhirin mempunyai pandangan yang berbeza
mengenai status wa’d.
Wa’d adalah janji yang dibuat dan ia tidak termasuk di dalam
kontrak, malah ia merupakan tambahan kepada kontrak tersebut
(additional agreements to the main agreement). Ini bermakna,
wa’d adalah mengikat hanya kepada pembuat janji saja.
(Obaidullah1995, 83). Jumhur Ulama yang terdiri daripada Hanafi,
Syafi’i, Hanbali dan Maliki berpendapat bahwa wa’d hanya mengikat
dari sudut agama saja, namun tidak mengikat dari sudut perundangan
seperti kontrak. Ini kerana wa’d adalah tabarru’ d a n secara
k o n s e p n y a a k a d tabarru’ adalah tidak dianggap mengikat oleh
fuqaha sebagaimana akad hibah. 11
J i k a wa’d dianggap mengikat, maka ia mempunyai status
yang sama seperti kontrak, sedangkan kontrak tidak terbentuk
dengan semata-mata wa’d tetapi memerlukan ijab dan qabul. Oleh itu,
wa’d tidak sepatutnya bersifat mengikat. Antara lain yang mendukung
pandangan bahwa wa’d tidak bersifat mengikat ialah Dr. Ali al-Salus, Dr.
Muhammad Sulayman al-Ashqar dan Dr. Muhammad Rida Abdul Jabbar
al-‘Ani (Cakera keras, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami).
Berbeda dengan pandangan di atas, Imam Bukhari mengatakan
bahawa melaksanakan janji bukan saja wajib dari sudut agama, tetapi

10 Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat Sistem Transaksi Dalam Islam,(

Jakarta: amzah, 2010), hlm 20-22


11 Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Cet. 3, Jil. 4. (Damsyik: Dar al-

Fikr, 1989) hlm. 90

17
wajib dari sudut perundangan. Imam Bukhari berpendapat, pihak
mahkamah boleh memaksa dan menjatuhkan hukumam kepada yang
memungkiri janji, kerana Islam memandang serius tindakan
memungkiri janji sehingga dianggap sebagai munafik. Justru amat
penting menjadikan sesuatu janji bersifat mengikat di sisi agama dan
Undang-undang bagi yang mengelakkan timbulnya beberapa kesulitan
atau masalah lain.
Contohnya, dalam kontrak bai’, al-sarf, pengimport menggunakan
konsep janji yang mengikat sebagai cara untuk melindungi nilai
(hedge foreign exchange needs) daripada kadar interest yang tidak
menentu.12 Begitu juga di dalam kontrak salam, istisna’, murabahah
dan lain-lain bentuk kontrak hadapan (futurecontract), sekiranya
janji itu tidak mengikat akan menimbulkan masalah, ia itu
apabila berlakunya ketidakstabilan pada harga -harga
komoditi. 13
3. Muwa’adah
Dalam muwa’adah, berbeda dengan ketentuan dan hukum wa’d,
mu’awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian
yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan
tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh
muwa’adah adalah akad tijarah yaitu akad-akad investasi, jual beli,
sewa-menyewa, dan lain-lain.
Muwa’adah Akad tijarah dapat dibagi menjadi dua kelompok besar
yakni, Pertama Natural certainty contract yang terdiri dari bai’ (jual
beli) dan ijarah. Kedua yaitu Natural Uncertainty Contract yang terdiri
dari musyarakah, muzara’ah (benih dari pemilik lahan), mukhabarah
(benih dari penggarap) dan musaqah (tanaman tahunan).
Prinsip muwa’adah dalam tijarah adalah :

12 Shofian Ahmad, dkk, Konsep Wa’d dan Aplikasinya dalam Sukuk, (Malaysia: National

University of Malaysia, 2007), hlm 4


13 Obaidullah, Islamic Financial Services, 2005. J.KAU: Islamic Econ. Vol 20, No.1.

Jeddah, hlm 72

18
1. Cara pengambilan keuntungan ada empat yaitu: musawwamah
dimana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan
yang didapatkannya, murabahah yang merupakan kebalikan dari
musawwamah, muwadhaah yaitu dengan prinsip diskon, tauli’ah
yaitu dengan pemberian komisi kepada pembeli.
2. Jenis barang pengganti yaitu: muqayyadah yaitu kewenangan
terbatas atas pembeli untuk menentukan jenis barang pengganti,
mutlaqah yaitu kewenangan penuh atas pembeli untuk menentukan
jenis barang pengganti,yang terakhir adalah sharf.
3. Cara pembayaran/waktu penyerahan yaitu naqdan dan ghoiru
naqdan. Untuk ghairu naqdan ada tiga yaitu muajjal dimana barang
diserahkan secara bertahap, salam dimana uang dibayarkan lebih
dahulu baru kemudian barang diserahkan, istishna dimana uang
dibayar lebih dahulu secara bertahap baru kemudian barang
diserahkan.
Muwa’adah yang berlandaskan fee based (berdasarkan biaya) adalah
seperti pada fee based income dalam dunia perbankan. Salah satu
sumber pendapatan semacam ini dalam dunia perbankan adalah cash
management. Cash management dapat diartikan sebagai mengelola
orang dan dana nasabah dengan seefisien dan seefektif mungkin. Cash
management pada hakikatnya merupakan diferensiasi produk yang
bertujuan untuk mengurang waktu penyerahan atau waktu kerja yang
diperlukan.14
Jasa Cash Management mencakup penanganan pembayaran dan
penerimaan valuta asing,pelaksanaan pembelian atau penjualan
sekuritas atau bertindak sebagai kustodi, aktivitas dana (account
structure),sebagai sarana penagihan (collection), sarana investasi dan
sarana pembiayaan jangka pendek. Setiap jasa yang diberikan bank dari
Cash Management selalu ada fee atau biaya yang kemudian disebut
dengan fee based income.

14 Drs. H. M. Azhari, M.HI, Jenis – Jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah (Tabarru’ dan

Tijarah), (Kalimantan Timur:Pengadilan Agama Tanah Grogot, 2012), hlm 89-114

19
Begitu juga dengan fee based pada akad tijarah, ketika pihak penjual
menawarkan atau memberikan jasa kepada pembeli akan ada fee atau
biaya yang dipungut penjual sebagai imbal balik atas jasa tersebut. Jasa-
jasa yang ditawarkan itu adalah yang tidak tercantum dalam akad
misalnya, jasa pengantaran barang sampai ke rumah pembeli, jasa
penitipan barang untuk kurun waktu tertentu. Jasa-jasa tersebut akan
menimbulkan akad lagi.
Untuk jasa penitipan barang akad yang digunakan adalah wadi’ah
yad al-amanah, dimana pihak yang dititipi barang tidak berhak
menggunakan atau memakai barang titipan tersebut dan barang titipan
harus ada setiap saat pemilik ingin mengambilnya. Pihak yang dititipi
barang tidak berhak atas kerusakan atau hal-hal buruk yang terjadi pada
barang titipan itu.
C. Perbedaan antara Akad, Wa’d dan Muwa’adah
Hakikat wa’d yang dibenarkan dalam undang-undang kontrak Islam
hanyalah janji yang dilakukan diluar daripada pembentukan kontrak. Oleh
itu status wa’d bukanlah status kontrak sehingga boleh menyabitkan
tanggung jawab dan kewajiban kepada pihak yang berjanji, sepertimana
tanggungan dan kewajiban yang ditimbulkan oleh kontrak. Walau
bagaimanapun wa’d dalam bentuk dan syarat tertentu, boleh diterima
dalam undang-undang kontrak Islam, khususnya apabila ia boleh
menguatkan kontrak. Islamic Fiqh Academy, Jeddah telah membuat resolusi
tentang penjanjian dan undang-undang kontrak Islam seperti berikut:
1. Janji tersebut mestilah bersifat unilateral
2. Janji tersebut mestilah mengakibatkan pihak yang menerima janji
menanggung sesuatu kos atau tanggungan
3. Sekiranya janji itu adalah untuk membeli sesuatu, kontrak jual beli
sebenar mesti terbentuk pada masa yang ditetapkan beserta dengan
ijab dan qabul yang mesti berlaku. Sedangkan janji yang dibuat tidak
akan menyebabkan terbentuknya kontrak jual beli tersebut.

20
4. Sekiranya pembuat janji menarik balik janjinya, pihak mahkamah boleh
memaksanya sama ada untuk membeli atau membayar kos yang
ditanggung oleh penerima janji.
Ketetapan ini telah diterima dan diikuti dalam amalan pengeluaran
sukuk oleh institusi keuangan Islam di dunia, di mana purchase undertaking
dalam amalan sukuk tidak dianggap syarat kepada kontrak yang dibuat
antara pelabur dan penerbit karena wa’d yang digunakan adalah di luar
daripada kontrak utama sukuk.
Wa’d yang digunakan di dalam purchase undertaking ini adalah tidak
berkaitan antara satu sama lain. Ini disebabkan ianya bersifat sehala saja
(unilateral). Justru, klausa purchase undertaking di dalam sukuk adalah
tidak termasuk di dalam kontrak utama, dan ia memberikan hak kepada
penerbit untuk membeli semula sukuk pada harga yang telah dipersetujui
antara pelabur dan penerbit.15
Istilah wa‘dan atau Muwa’adah (dua hala) dikembangkan daripada
perkataan wa‘d. Aznan (2008) dan Asyraf Wajdi (2010) mendefinisikan
wa‘dan sebagai dua janji (dua wa‘d) yang diberikan secara unilateral oleh
satu pihak kepada pihak yang lain dan begitu juga sebaliknya. Kedua-dua
janji itu tidak mempunyai kaitan dan pelaksanaannya juga adalah
bergantung pada dua syarat yang berbeda. Menurut Aznan (2008) lagi,
hanya janji yang melibatkan dua syarat yang berbeda dan membawa
kepada dua implikasi yang berbeda adalah menepati ciri wa‘d dua hala.
Namun, Muwa’adah yang mempunyai kesan yang sama perlu
diperhalus kerana ia hanya merupakan janji semata-mata dan ia bukannya
akad. Memandangkan istilah wa‘d dua hala tiada asas yang kukuh dalam
fikah, asas kepada wa‘dan yang boleh dipegang dalam konteks kajian ini
ialah wa‘d sehala. Sama seperti wa‘d sehala, wa‘d dua hala hanya
merupakan prinsip pelengkap dalam pembentukan sesebuah kontrak dan
prinsip ini tidak boleh berdiri sendiri.

15 Ab. Halim El-Muhammady, Undang-Undang Muamalat dan Aplikasinya kepada produk-

produk Perbankan Islam,(Selangor: Aras Mega, 2001), hlm 121

21
Prinsip wa‘d dua hala mesti digabungkan bersama-sama dengan
akad lain bagi menyempurnakan sesebuah kontrak tertentu. Shamsiah dan
Rusnah (2010) menggunakan istilah wa‘dan dan mendefinisikannya sebagai
dua janji unilateral yang tidak berkaitan yang diberikanoleh kedua-dua
pihak antara satu sama lain. Menurut Shamsiah dan Rusnah (2010), syarat
utama untuk menjadikan dua janji yang dibuat oleh dua pihak dikatakan
sebagai wa‘d dua hala ialah:
1. Dua janji berkenaan tidak saling berkaitan antara satu sama lain;
2. Kesan dua janji berkenaan juga mesti berbeda.
Dengan kata lain, dua syarat yang dikemukakan bagi wa‘d dua hala
ialah ia mesti membawa kepada dua kesan yang berbeda. Sekiranya wa‘d
dua hala ini menyamai akad, syarat-syarat berkaitan akad jual beli perlu
dipenuhi. Memandangkan ia melibatkan pertukaran barang ribawi,
penyerahan mata uang yang tidak dilakukan secara lain menyebabkan
berlaku riba al-nasi’ah. Ini kerana kontrak Islam tidak membenarkan
tukaran wang dilakukan secara bertangguh. Pemakaian wa‘d dua hala mesti
berbentuk mengikat dari aspek agama seperti mana pandangan majoriti
fuqaha’. Wa‘d dua hala tidak mengikat dari segi undang-undang, namun
syariah mengambil kira tanggungjawab seseorang individu terhadap janji
yang dibuat.
Oleh itu, pihak yang mungkir janji mesti menjamin risiko kerugian
atas dasar tanggungjawab untuk memenuhi janji di mata syariah
berdasarkan kaedah fikh, la darar wa la dirar. Sehubungan dengan itu,
ta‘wid (ganti rugi) boleh dikenakan terhadap kerugian yang dialami oleh
penerima janji dengan mengambil kira kerugian sebenar. Ini termasuk
harga pokok (modal) dan kerugian yang disepakati, di samping kos
penjagaan, penyimpanan dan semua bentuk kemudaratan langsung.
Menurut Marjan et al. (2011), wa‘d dua hala berbeda dengan wa‘d
sehala dari aspek bilangan pihak yang memberikan janji. Dalam wa‘d dua
hala, terdapat dua pihak yang memberikan dua janji yang melibatkan dua
syarat terhadap satu subjek akad yang sama. Namun, dalam wa‘d sehala, ia
melibatkan janji sebelah pihak sahaja. Kedua-dua wa‘d sehala dan wa‘d dua

22
hala adalah sama dari aspek hanya satu janji sahaja yang akhirnya akan
terlaksana. Walau bagaimanapun, aplikasi wa‘d dua hala dalam
penstrukturan sukuk agak berbeda, iaitu sama ada:
1. wa‘d dua hala dilakukan terhadap subjek akad yang sama tetapi
melibatkan dua syarat yang berbeda dan akhirnya memberikan kesan
ekonomi yang berbeda.
2. wa‘d dua hala dilakukan terhadap subjek akad yang sama tetapi
melibatkan syarat yang berbeda dan akhirnya memberikan satu kesan
ekonomi sahaja (Marjan et al. 2011).
Memandangkan majoriti fuqaha’ membenarkan wa‘d mulzim sehala
sekiranya ia contingent upon a condition (bergantung kepada syarat
tertentu), lalu wa‘d dua hala juga sepatutnya dibenarkan sekiranya ia
bergantung kepada syarat (Marjan et al. 2011). Dalam pasaran masa kini,
terdapat dua produk berstruktur Islam yang mengguna pakai prinsip wa‘d
dua hala, iaitu produk berstruktur Islam Deutche Bank dan ABN Amro.16
D. Contoh Penerapan Wa’d dan Muwa’adah dalam Transaksi Muamalah
1. Wa’d
a. HIBAH (Pemberian)
Hibah adalah pemilikan terhadap sesuatu pada masa hidup
tanpa meminta ganti. Hibah tidak sah kecuali dengan adanya ijab
dari orang yang memberikan, tetapi untuk sahnya hibah tersebut
menurut Imam Qudamah dari Umar bahwa sahnya hibah itu tidak
disyaratkan pernyataan qabul dari si penerima hadiah.
Pemberian (hibah) itu sah menurut syara’ dengan syarat-
syarat antara lain
- Si pemberi hibah (wahib) sudah bisa dalam mengelola
keuangannya.
- Hibah (barang/harta yang diberikan) harus jelas

16 Azlin Alisa Ahmad, Aplikasi Prinsip Wa’d dan Dua Hala dan Cadangan Penerokannya

dalam Lindungan Nilai, (Selangor: Daru Ehsan, 2009), hlm 5

23
- Kepemilikan terhadap barang hibah itu terjadi apabila
pemberian (hibah) tersebut sudah berada ditangan si
penerima.(muhab).
b. IBRA
Menurut arti kata Ibra sama dengan melepaskan,
mengikhlaskan atau menjauhkan diri dari sesuatu. Menurut istilah
Fiqh Ibra adalah pengguguran piutang dan menjadikannya milik
orang yang berhutang. Menurut syari’at Islam Ibra merupakan salah
satu bentuk solidaritas dan sikap saling menolong dalam kebajikan
yang sangat dianjurkan syari’at Islam, seperti dikemukakan dalam
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280 yang artinya :
“Dan jika seseorang (yang berhutang itu) dalam kesukaran
maka berilah ia tangguh sampai ia berkelapangan. Dan
menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang itu lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui”.
c. WAKALAH
Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat dipahami sebagai at-
Tafwidh. Yang dimaksudkan adalah bentuk penyerahan,
pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang
lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini
wakalah yang merupakan salah salah satu jenis akad yakni
pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-
hal yang diwakilkan.
Agama Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia
membutuhkannya. Hal ini karena tidak setiap orang mempunyai
kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan urusannya
sendiri, terkadang suatu kesempatan seseorang perlu
mendelegasikan suatu pekerjaan/urusan pribadinya kepada orang
lain untuk mewakili dirinya. Dalil syara’ yang membolehkan wakalah
didapati dalam firman Allah pada surat Al-Kahfi :19, yang
terjemahannya sbb:

24
...Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat
manakah makakan yang lebih baik Dan bawalah sebagian makanan
itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan
sekali-kali menceritakan halmu kepada siapapun”.
d. KAFALAH ( Guaranty)
Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman
(jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan
menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh
satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil)
bertanggungjawab atas pembayaran kembali suatu utang yang
menjadi hak penerima jaminan (makful).
Dasar disyari’atkan kafalah Firman Allah dalam surat Yusuf
ayat 72: yang terjemahannya adalah :
“Kami kehilangan alat takar dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan seberat beban
unta, dan aku jamin itu “
e. HAWALAH
Menurut istilah Hawalah diartikan sebagai pemindahan utang
dari tanggungan penerima utang (ashil) kepada tannggugan yang
bertanggujawab (mushal alih) dengan cara adanya penguat. Atau
dengan kata lain adalah pemindahan hak atau kewajiban yang
dilakukan seseorang (pihak pertama) yang sudah tidak sanggup lagi
untuk membayarnya kepada pihak kedua yang memiliki
kemampuan untuk mengambil alih atau untuk menuntut
pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga.
f. RAHN (Gadai)
Gadai (Rahn) secara etimologis (pendekatan
kebahasaan/lughawi) berarti tetap, kekal, tahanan. Gadai (rahn)
menurut pengertian terminologi (istilah) terdapat beberapa
pendapat, diantaranya menurut Sayyid Sabiq, Rahn

25
adalahmenyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan
secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
g. QARD al-Qardul Hasan
Qard bermakna pinjaman sedang al-hasan berarti baik. Maka
Qardul Hasan merupakan suatu akad perjanjian qard yang
berorientasi sosial untuk membantu meringankan beban seseorang
yang membutuhkan pertolongan. Dalam perjanjiannya, suatu Bank
Syari’ah sebagai kreditor memberikan pinjaman kepada pihak
(nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman akan
mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian akad dengan jumlah pengembalian
yang ketika pinjaman itu diberikan.
Qardul Hasan atau benevolent adalah suatu akad perjanjian
pinjaman lunak diberikn atas dasar kewajiban sosial semata, dengan
dasar taa’wun (tolong menolong) kepada mereka yang tergolong
lemah ekonominya, dimana si peminjam tidak diwajibkan untuk
mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.
h. WADI’AH (Trustee Depository)
Pengertian dari segi bahasa adalah meninggalkan sesuatu
atau berpisah. Dalam bahasa Indonesia diartuikan sebagai titipan.
Menurut istilah Wadi’ah berarti penguasaan orang lain untuk
menjaga hartanya, baik secara sharih (jelas) maupun secara dilalah
(tersirat). Atau mengikutsertakan orang lain dalam memelihara
harta, baik dengan ungkapan jelas atau melalui isyarat, contoh;
“saya titipkan tas ini kepada anda “ lalu orang itu menjawab “ Saya
terima “ Maka sempurnalah akad Wadi’ah.
Seperti jenis akad yang lain, Wadi’ah juga merupakan akad
yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia. Para ulama
sepakat bahwa akad wadi’ah merupakan akad yang mengikat bagi
kedua belah pihak. Wadi’ atau pihak yang menerima tuitipan harus
bertanggungjawab atas barang yang dititipkan kepadanya, yang
berarti menerima amanah untuk menjaganya.

26
i. WAKAF
Wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang
menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang
kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai
taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis
amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa,
tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang
berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama
barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan
bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:

‫اريَ ٍة ا َ ْو ِع ْل ٍم‬
ِ ‫صدَقَ ٍة َج‬ ٍ َ‫ط َع َع َملُهُ اِال ِم ْن ثَال‬
َ :‫ث‬ َ َ‫ات ابْنَ ادَ َم اِ ْنق‬
َ ‫اِذَا َم‬
)‫ع ْولَهُ (رواه مسلم‬ َ ‫يَ ْنتَفَ ُع بِ ِه ا َ ْو َولَ ِد‬
ُ ‫صا ِلحٍ يَ ْد‬
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah
semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang
mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang
mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau
diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus
menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum
sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang
artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah
diKhaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah
apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut?
Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar
menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual
tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari
dan Muslim)17

17 Reo Candra, Akad Tabarru’ dan Tijarah, (Riau:Universitas Islam Negeri Sultan Syarif

Kasim, 2012), hlm 57-68

27
2. Muwa’adah
a. MURABAHAH (Defered Payment Sale)
Menurut definisi Ulama Fiqh Murabahah adalah akad jual beli
atas barang tertentu. Dalam transasksi penjualan tersebut penjual
menyebutkan secara jelas barang yang akan dibeli termasuk harga
pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
Dalam perbankan Islam, Murabahah merupakan akad jual
beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang
memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank
mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Selain
itu murabahah juga merupakan jasa pembiayaan oleh bank melalui
transaksi jual beli dengan nasabah dengan cara cicilan. Dalam hal ini
bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah
dengan membeli barang tersebut dari pemasok kemudian
mejualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya keuntungan
(cost-plus profit) dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih
dahulu antara bank dengan pihak nasabah yang bersangkutan.
Pemilikan barang akan dialihkan kepada nasabah secara
propisional sesuai dengan cicilan yang sudah dibayar. Dengan
demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan sampai
seluruh biaya dilunasi.
b. MUDHARABAH
Secara teknis Mudharabah adalah akad kerjasama usaha
antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal)
menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an surat al-Muzammil
ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqarah ayat 198.
Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para
sahabat.

28
Secara umum Mudharabah terbagi kepada dua jenis, pertama
mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Yang
dimaksud mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara
shahibul mal dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari
mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis
usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini biasanya
mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam
memasuki jenis dunia usaha.
c. IJARAH
Pengertian secara etimologi ijarah disebut juga al-ajru (upah)
atau al-iwadh (ganti). Ijarah disebut juga sewa, jasa atau imbalan.
Sedangkan menurut Syara’ Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan
Mu’amalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti
sewa menyewa dan mengontrak atau menjual jasa, atau menurut
Sayid Sabiq Ijarah ini adalah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
Menurut Ulama Fiqh Imam Hanafi Ijarah adalah transaksi
terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Sedangkan menurut Ulama
Syafi’i Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju,
tertentu, bersifat mubah dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan
tertentu. Sementara menurut Ulama Maliki dan Hambali Ijarah
adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu
tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan definisi dari para Ulama Madzhab tersebut,
terdapat kesamaan pandangan bahwa adanya unsur penting dalam
pembiayaan Ijarah yakni adanya manfaat pada barang yang
disewakan baik yang bersifat jasa, dan adanya imbalan atas nilai
yang disepakati dalam transaksi tersebut.
d. IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK

29
Transaksi ini adalah sejenis perpaduan antara akad (kontrak)
jual beli dengan akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang
di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan inilah yang
membedakan denga ijarah biasa.
Adapun bentuk akad ini bergantung pada apa yang disepakati
kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al-ijarah dan janji
menjual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah; harga
barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan itu dipindahkan.
Aplikasinya dalam perbankan syari’ah dioprasionalisasikan
dalam bentuk operasing lease maupun financial lease. Akan tetapi
pada umumnya bank-bank tersebut lebih menggunakan ijarah
muntahiya bittamlik ini karena lebih sederhana dari sisi pembukuan.
Selain itu bank pun tidak direpotkan mengurus pemeliharaan aset,
baik saat leasing maupun sesudahnya.
e. SALAM, BAI’ (Infron of Payment Sale).
Salam secara etimologi berarti salaf (pendahuluan) yang
bermakna akad atau penjualan/pembuatan sesuatu yang disepakati
dengan kriteria tertentu dalam tempo (tanggungan), sedang
pembayarannya disegerakan.
Bai’i salam adalah suatu jasa pembiayaan yang berkaitan
dengan jual beli barang, sedang pembayarannya dilakukan dimuka
bukan berdasarkan fee melainkan berdasarkan keuntungan
(margin). Dengan kata lain ba’i salam adalah suatu jasa free-paid
purchase of goods.
Menurut para Fuqaha menamai Ba’i Salam dengan Al-
Mahawij (barang-barang mendesak). Praktik jual beli ini dilakukan
dengan tanpa ada barangnya di tempat, sementara dua pihak
melakukan jual beli, secara mendesak.
Dasar hukum Ba’i salam ini sama dengan dasar hukum jual
beli yang disyari’atkan dalam al-Qur’an, seperti Firman Allah dalam
surat al-Baqarah 282 yang artinya :

30
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah
kamu menuliskannya.
f. ISTISHNA (Purchase by order or Manufacture)
Istishna adalah suatu transaksi jual beli antara mustashni’
(pemesan) dengan shani’i (produsen) dimana barang yang akan
diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan kriteria
yang jelas.
Secara etimologis, istishna itu adalah minta dibuatkan.
Dengan demikian menurut jumhur ulama istishna sama dengan
salam, karena dari objek/barang yang dipesannya harus dibuat
terlebih dahulu dengan ciri-ciri tertentu seperti halnya salam.
Bedanya terletak pada sistem pembayarannya, kalau salam
pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedang istishna
boleh di awal, di tengah atau diakhir setelah pesanan diterima.
g. MUSYARAKAH
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai kesepakatan.
Musyarakah ada dua jenis; pertama musyarakah pemilikan
dan kedua musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan
tercipta karena warisan,wasiat atau kondisi lainnya yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam
musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam
sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan
aset tersebut.
h. SHARF(Valas/Money Changer)
Sarf menurut arti kata adalah penambahan, penukaran,
penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Sedangkan
menurut istilah adalah suatu akad jual beli mata uang (valuta)

31
dengan valuta lainnya, baik dengan sesama mata uang yang sejenis
atau mata uang lainnya.
Menurut definisi ulama sarf adalah memperjualbelikan uang
dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis, seperti jual beli
dinar dengan dinar, dinar dengan dirham atau dirham dengan
dirham. Transaksi Sarf pada dunia perekonomian dewasa ini banyak
dijumpai pada bank-bank devisa valuta asing atau money changer,
misalnya jual beli rupiah dengan dolar Amerika Serikat (US$) atau
mata uang lainnya.
Dasar hukum diperbolehkan jual beli Sarf menurut
interpretasi para ulama adalah sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan Jamaah Ahli hadits dari Ubadah bin Samit kecuali
Bukhari menyatakan : Yang maksudnya “ …..jual beli emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gadum, kurma dengan
kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) kuialitas
dan kuantitasnya dan dilakukan secara tunai. Apabila jenisnya
berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan syarat-
syarat secara tunai.
i. MUZARA’AH (Harvest Yield Profit Sharing)
Al-Muzara’ah adalah akad kerja sama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami
dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari
hasil panen.
Muzara’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah. Dimana
antara keduanya ada sedikit perbedaan antara lain, apabila benih
dari pemilik lahan maka dinamakan muzara’ah, tetapi bila benih dari
si penggarap maka dinamakan mukhabarah.
Landasan hukum syari’ahnya antara lain Al-Hadits riwayat
dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah di
Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi)
untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan

32
tanaman. Begitu juga Ijma sebagaimana dikatakan Abu Ja’far “ Tidak
ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah
secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah
dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud,
Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah keluarga Abu bakar dan
keluarga Ali.
j. MUKHABARAH
Sebagai disebutkan di atas bahwa Mukhabarah sering
diidentikkan dengan muzara‘ah, oleh karena itu pembahasan akad
ini mirip dengan pembahasan muzara’ah hanya saja dari segi benih
yang digunakan adalah berasal dari si penggarap tanah.
k. BARTER
Yang dimaksud akad barter ini pemberian secara sukarela
suatu barang atau jasa sebagai imbalan atas perolehan suatu barang
atau jasa yang berlainan sifatnya, atas dasar persetujuan bersama.
Misalnya, A dan B masing-masing mempunyai barang, A menyukai
barang milik B, dan sebaliknya. Jadi secara nalar keinginan mereka
untuk melakukan pertukaran mendapatkan persetujuan yang
diperlukan. Karenanya, didalam pertukaran terjadi pergantian
kepemilikan atas barang-barang dari satu ke lain individu.
Sebagai contoh, seseorang mempunyai 1 kilogram apel yang
ditukarkan dengan mangga milik sahabatnya. Melalui proses ini,
yang dimiliki sekarang ialah satu kilogram apel yang sebelumnya
adalah kepunyaan orang lain. Bentuk kepemilikan atas apel itu
merupakan (hiazat), atau aktifitas produktif atau jasa.
Kepemilikan melalui barter ini disebut sebagai kepemilikan
tingkat kedua. sebab, kepemilikan atas 1 kilogram mangga
sebelumnya mengharuskan adanya kepemilikan atas satu kilogram
apel, apakah melalui perolehan aktifitas produktif atau jasa.
Di dalam barter, dua nilai dihadapkan satu dengan yang lain,
dan perolehan atas satu nilai yang terwujud dalam satu barang
mensyaratkan penanggalan satu nilai lainnya. Namun demikian,

33
prasyarat yang menjamin transfer kepemilikan adalah perolehan
terdahulu atas barang didapatkan melalui langkah-langkah umum
hiazat, (aktifitas produktif atau jasa).
Demikian juga suatu jasa kemungkinan besar dapat ditukar
dengan jenis jasa yang lain. Contoh seorang dokter dan seorang
tukang cat dapat saja bersepakat, bahwa sebagai ganti biaya
pengobatan yang diberikan dokter, tukang cat mencat bangunan
milik dokter. Sehingga dokter akan menjadi pemilik kerja tukang cat
untuk jangka waktu tertentu dan tunduk pada semua ketetapan yang
disepakati bersama. Dalam kasus ini kepemilikan dokter atas kerja
tukang cat merupakan unsur pembentuk kepemilikan tingkat dua,
dan setiap pembatalan sepihak atas persetujuan itu akan menjurus
kepada pelanggaran.18

18
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008),
hlm

34
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Azlin Alisa. 2009. Aplikasi Prinsip Wa’d dan Dua Hala dan Cadangan
Penerokannya dalam Lindungan Nilai. Selangor: Daru Ehsan

Al-Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
Jakarta: Darul Haq

Al-Nawawi. 1984. Tarjamahan al-Adzkar, alih bahasa oleh M. Tarsi Hawi. Bandung:
PT Al-Maarif
Azhari, M. 2012. Jenis – Jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah (Tabarru’ dan Tijarah.
Kalimantan Timur: Pengadilan Agama Tanah Grogot

Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka


pelajar

Ghazaly, Abdul Rahman dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta, Kencana

Hasbi Ash-Siddieqy, Teuku Muhammad. 2009. Pengantar Fiqh Muamalah edisi


revisi: Membahas Hukum Pokok dalam Interaksi Sosial-Ekomomi. Semarang:
Pustaka Rizki Putra

Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2010. Fiqh Muamalat: Sisttem Transaksi dalam
Fiqh Islam. Jakarta: AMZAH

Shofian Ahmad, dkk. 2007. Konsep Wa’d dan Aplikasinya dalam Sukuk. Malaysia:
National University of Malaysia

Ibn Decisions 2 and 3, fifth sssion 1988. Fiqh Academy Journal. Hlm 1599-1600

Obaidullah. Islamic Financial Services, 2005. J.KAU: Islamic Econ. Vol 20, No.1.
Jeddah

Zuhayli, Wahbah. 1989. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Cet. 3, Jil. 4. Damsyik: Dar al-
Fikr

http://wordpress.com pada pukul 18 Oktober 2017 pukul 22.14

35

Anda mungkin juga menyukai