Anda di halaman 1dari 29

MAKAKALAH TAFSIR AYAT EKONOMI

AYAT-AYAT TENTANG IJARAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi.

dengan dosen pengampu:

Muhamad Saepurohman, S.Sy., M.H

Disusun Oleh:

Nikmat Hasibuan : 20117008


Ahmad Habibi : 20118008
Ridwan Nuraryo : 20118021
STEMBI BANDUNG BANDUNG BUSINESS
SCHOOL
Jl. Cibogo Indah III, RT.08/05, Bodogol - Ciwastra - Bandung
2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan rahmat,


hidayah dan inayah-Nya sehingga atas riḍa-Nya penyusun dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul “AYAT-AYAT TENTANG IJARAH”.

Ṣalawat dan salam senantiasa tercurahkan atas Baginda Nabi Muhammad


Saw. yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang
seperti saat ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah yang berjudul “AYAT-AYAT TENTANG


IJARAH” ini jauh dari kata sempurna. Harapan penyusun semoga makalah ini
memiliki nilai manfaat bagi yang membaca. Ucapan terima kasih juga penyusun
haturkan kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusun dalam
menyelesaikan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung, secara
material maupun moril.

Semoga semua yang telah mereka berikan kepada penyusun dapat menjadi amal
ibadah dan mendapatkan balasan yang bermanfaat dari Allah Swt. Akhir kata,
penyusun hanya berharap, semoga makalah ini dapat memberikan kemanfaatan
bagi penyusun dan kepada seluruh pembaca.

Bandung, 21 Desember 2019


Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
1. Latar Belakang......................................................................................................................1
2. Rumusan Malasah................................................................................................................1
3. Tujuan Penulisan..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................2
1. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM IJARAH..........................................................................2
2. RUKUN DAN SYARAT IJARAH...................................................................................................4
3. AYAT-AYAT SEWA MENYEWA ( AL-IJARAH ) DALAM AL-QUR’AN...........................................6
4. ASBABUN NUZUL AYAT............................................................................................................7
5. KANDUNGAN AYAT...............................................................................................................9
6. KATA KUNCI........................................................................................................................11
7. MUNASABAH......................................................................................................................14
8. UJRAH ‘ALA THA’AH............................................................................................................16
10. APLIKASI IJARAH PADA PERBANKAN SYARIAH....................................................................17
BAB III PENUTUP............................................................................................................................22
1) Kesimpulan.........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................23
ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Ijarah merupakan salasatu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah. Tidak
dapat dipungkiri, manusia merupakan makhluk makhluk sosial yang yang tak dapat hidup
tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisasi dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk didalamnya merupakan kegiatan
ekonomi. Segala bentuk interaksi sosial guna memenuhi kebutuhan hidup manusia
memiliki ketentuan-ketentuan yang membatasi dan mengatur kegiatan-kegiatan tersebut.

Selain dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim kita jugaperlu memandang
kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam
kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada sumber-sumber hukum islam,
yaitu al-qur’an dan al-hadits.

Konsep islam mengenai muamalah sangatlah baik, karena menguntungkan semua pihak
yang ada didalamnya. Namun, jika moral manusia manusia tidak baik maka pasti ada
pihak yang dirugikan. Akhlakul karima secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu
kita dalam bermu’amalah dan harus dipatuhi sepenuhnya.

Dan disini kami akan membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salasatu dari bentuk
interaksi sosial manusia dalam rangka memenugi kebutuhan hidupnya (kegiatan ekonomi)
yaitu ijarah.

2. Rumusan Malasah
Berikut rumusan masalahnya:

a). Apa pengertian ijarah ?

b). Apa saja macam-macam ijarah?

1
c). Apa yang menjadi dasar dibolehkannya ijarah dalam al-qur’an (Ayat-ayat
ijarah) ?

3. Tujuan Penulisan
Tujuan kami menulis makalah ini ialah untuk melaksanakan tugas yang di berikan
oleh dosen mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi serta untuk mengetahui lebih jauh lagi
tentang al-ijarah secara pengertian, mengetahui apa saja macam-ijarah, dan apa yang
menjadi dasar al-ijarah dalam perspektif Al-Qur’an . Kami berharap semoga makalah
yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi
kami.

BAB II PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM IJARAH


Ijarah berasal dari kata al-ajru, berarti al-iwadh (upah atau ganti).1 Wahbah az-zuhaili
menjelaskan ijarah menurut bahasa, yaitu ba’i al-manfa’ah yang berarti jual beli
manfaat.2 Sementara itu pengertian menurut istilah yaitu:

‫عقد الزم على منفعة مدة معلومة بثمن معلوم‬

“akad yang lazim atas suatu manfaat paa waktu tertenteu dengan harga tertentu”.

Ijarah dibolehkan dalam islam berdasarkan hadits nabi SAW:

‫عن عبد هللا بن عمر قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم << اعطوا األجير أجره قبل ان يجف عرقه‬

1 Ali Jum’ah muhammad, dkk. Mausu’ah fatawa al-muamalat al-maliyah lilmasharif wa al-muassasat al-
maliyah al-islamiyah, al-ijarah, jilid 4 (kairo, dar as-salam lilthaba’ah wa at-tauzi wa at-tarjamah, 2009), hal
19.
2 Wahbah Az-zuhaili, al-fiqh al-islami wa adilatuh, juz 4 (libanon; dar al-fikri, 1984) hal 732.

2
3
‫>> رواه ابن ماجه‬

Diriwayatkan dari abdullah ibn umar ra ia mengatakan rasulullah SAW berkata:


“berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya”.

Berdasarkan hadits diatas, para ulama ijma’ tentang kebolehan ijarah karena manusia
senantiasa membutuhkan manfaat dari suatu barang atau tenaga orang lain. Ijarah adalah
suatu bentuk aktifitas yang dibutuhkan oleh manusia karena ada manusia yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya kecuali melalui sewa menyewa atau upah
mengupah terlebih dahulu. Transaksi ini berguna untuk meringankan kesulitan yang
diadapi manusia dan termasuk salasatu bentuk aplikasi tolong menlong yang dianjurkan
agama. Ijarah merupakan bentuk muamalah yang dibutuhkan manusia. Karena itu syariat
sayriat islam melegalisasi keberadaannya. Konsep ijarah merupakan manifestasi
keluwesan hukum islam untuk menghilangkan kesulitan dalam kehidupan manusia.

Manfaat sesuatu dalam konsep ijarah, mempunyai pengertian yang sangat luas meliputi
imbalan atas manfaat suatu benda atau upah terhadap suatu pekerjaan tertentu. Jadi ijarah
merupakan transaksi manfaat suatu barang dengan suatu imbalan, yang disebut dengan
sewa menyewa. Ijarah juga mencakup transaksi terhadap suatu pekerjaan tertentu, yaitu
adanya imabalan yang disebut juga dengan upah mengupah.

Dilhat dari objek ijarah berupa manfaat suatu benda maupun tenaga manusia ijarah itu
terbagi menjadi dua bentuk yaitu :

a. ijarah ‘ain, yaitu ijarah yang berhubungan dengan penyewaan benda yang bertujuan
untuk mengambil manfaat dari benda tersebut tanpa memindahkan kepemilikan benda
tersebut, baik benda bergerak, maupun benda tidak bergerak.

b. ijarah ‘amal, yaitu ijarah terhadap perbuatan atau tenaga manusia yang diistilahkan
dengan upah mengupah. Ijarah ini digunakan untuk memperoleh jasa dari seseorang
dengan membayar upah atau jasa dari pekerjaan yang dilakukannya.4

3 Abu abdullah muhammad ibn yazid al-qazuwaini wa majah , sunan ibnu majah, juz 7, (kairo; mawqi
wijarah auqaf al-mishriyah, t.th) hal 398, hadist ke 2537.
4 Ali, Haidar, Durrar Al-Hukkam Syarah Majalah Al-Ahkam, jilid 1, (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiah, t,th), hlm
382.

3
2. RUKUN DAN SYARAT IJARAH

Agar transaksi sewa menyewa atau upah mengupah menjadi sah harus terpenuhi rukun
dan syaratnya. Adapun yang menjadi rukun ijarah menurut hanafiyah adalah ijab dan
qabul dengan lafadz ijarah atau isti’jar. Rukun ijarah menurut jumhur ulama ada tiga yaitu
1) aqidan yang terdiri dari mu’ajir dan musta’jir, 2) ma’qud ‘alaih yang terdiri dari ujrah
dan manfa’at 3) shighat yang terdiri dari ijab dan kabul. Berikut akan di uraikan rukun
dan syarat dari ijarah :

a) Dua orang yang berakad (mu’ajir dan musta’jir) disyaratkan:

1) Berakal dan mumayiz. Namun, tidak disyaratkan baligh. Ini berarti pihak
yang melakukan akad ijarah harus sudah cakap bertindak hukum sehingga
semua perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan. Maka tidak di benarkan
mempekerjakan orang gila, anak-anak yang belum mumayiz, dan tidak
berakal.

2) ‘An-taradin artinya kedua belah pihak berbuat atas kemauan sendiri.


Sebaliknya, tidak dibenerkan melakukan upah mengupah atau sewa menyewa
karena paksaan oleh salah satu pihak ataupun dari pihak lain.

b.) Sesuatu yang diakadkan (barang dan pekerjaan), disyaratkan:

1) Objek yang disewakan dapat diserah terimakan baik manfaat maupun


bendanya. Maka tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat diserah
terimakan. Ketentuan ini sama dengan dilarang melakukan jual beli yang
tidak dapat diserah terimakan.

2) Manfaat dari objek yang diijarahkan harus sesuatu yang dibolehkan agam
(mutaqawwimah) seperti menyewa buku untuk dibaca dan menyewa rumah
untuk didiami. Atas dasar itu, para fuqaha sepakat menyatakan, tidak boleh
melakukan ijarah terhadap perbuatan maksiat, seperti menggaji seseorang

4
untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewakan rumah untuk protitusi, dan lain
sebagainya yang mengarah kepada perbuatan maksiat.

3) Manfaatkan dari objek yang akan diijarahkan harus diketahui sehingga


perselisihan dapat dihindari.

4) Manfaat dari objek yang akan disewakan dapat dipenuhi secara hakiki maka
tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi secara hakiki,
seperti menyewa orang bisu untuk berbicara.

5) Jelas dan ukuran batas waktu ijarah agar terhindar dari pelisihan.
6) Perbuatan yang diupahkan bukan perbuatan yang fardhu atau diwajibkan
kepada muajir (penyewa), seperti shalat, puasa, haji, imamah shalat, azan dan
iqamah.

7) Manfaatkan yang disewakan menurut kebiasaan dapat disewakan, seperti


menyewakan toko, computer maka tidak boleh menyewakan pohon untuk
menjemur pakaian, karena hal itu diluar kebiasaan.5

c) Upah/imbalan, disyaratkan:

1) Upah/imbalan berupa benda yang diketahui yang dibolehkan


memanfaatkannya (mal mutaqawwimin). Dalam hadits dijelaskan yang
artinya :

“Dari abu hurairah dan abu said keduanya berkata : siapa yang melakukan upah
mengupah maka hendaklah ia ketahui upahnya”.

2) Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat
kebiasaan setempat.

3) Upah/imbalan tidak disyaratkan dari jenis yanng diakadkan, misalnya sewa


rumah dengan rumah, upah mengerjakan sawah dengan sebidang sawah.
Syarat seperti ini sama dengan riba.

5 Wahbah az-Zuhaily, al-Muamalat al-Maliyah al-Muashirah, (Beirut Dar al-Fikr al-Muashirah, 2006),
hlm.73.

5
d) Shigat, disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad, seperti yang
dipersyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah, apabila antara
ijab dan kabul tidak berkesesuaian, seperti tidak bekesesuaian antara objek akad
atau batas waktu.

3. AYAT-AYAT SEWA MENYEWA ( AL-IJARAH ) DALAM AL-QUR’AN.

1. QS. Al -Baqarah, [ 2 ] : Ayat 233

Artinya :

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang
ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah
(menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila
keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya,
maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang
patut. Bertakwalah kepada allah dan ketahuilah bahwaallah maha melihat apa yang
kamu kerjakan.”

6
2. QS. Thalaq, [ 65 ] : Ayat 6

.Artinya :

"Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertenpat tinggal meneurut


kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hsti)

Artinya :

mereka. Dan jika mereka (istriistri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada
mereka; dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) yang baik; dan jika
kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

3. QS. Qashash, [ 28 ] : Ayat 26-27

“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata,”Wahai ayahku! Jadikanlah dia
sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” (26)

“Dia (Syaikh Madyan) berkata, “sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau
dengan salah seorang dari kedua anak perempuan ini, dengan ketentuan bahwa engkau
bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka
itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau.
Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik”. (27)
7
4. ASBABUN NUZUL AYAT
1. Qs. Al-Qashash ayat 26-27

QS. Al-Qashash (28); 26, menjelaskan tentang nabi Musa ‘alaih al-salâm yang
hendak diangkat sebagai pekerja pada keluarga seorang yang saleh dan memiliki dua
orang anak perempuan. Sebelumnya nabi Musa telah membantu kedua wanita tersebut
saat mengambilkan air untuk minum ternak mereka. Kisah tersebut sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya QS. Al-

Qashash (28); 23 sampai 24, “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia
menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat
(ternaknya). Musa berkata :

“Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak
dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan
(ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” Maka Musa
memberi minum terna itu untuk (menolong) keduanya.” Karena dapat pertolongan dari
Musa, salah satu dari wanita itu hendak mempertemukan Musa dengan bapak mereka.
Sebagaimana dijelaskan dalam QS.

Qashash ayat 25, “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorangdari kedua wanita itu
berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapak ku memanggil kamu agar ia
memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka
tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai
dirinya). Bapaknya berkata: “Janganla kamu taku, Kamu telah selamat dari orang-orang
yang zalim itu.”[2]

Saat pertemuan itulah nabi Musa ‘alaih al-salâm mendapatkan tawaran menjadi
pekerja dikeluarga itu untuk mengurus ternak, salah satu dari dua perempuan tersebut
berkata pada ayahnya dalam memberikan pertimbangan untuk mempekerjakan Musa,
sebagaimana firman Allah:

َ‫ت يَا إِ حداَهُ َما قَال ت‬ ِ َ ‫ا ستأ‬


ِ َ‫ج ر هُ أب‬

8
“Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita)”

Pertimbangan untuk menjadikan Musa pekerja dikeluarga itu Karena Musa ‘alaih al-salâm
mempunyai tubuh yang kuat dan dapat dipercaya.

َ ‫لقِو ي ا ستأ َ َج ر تَ َم ِن َخ‬


‫ير إ ِن‬ َِ …َ ‫ا أل ََِ…ِمينُ ا‬

“Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya.”[3]

5. KANDUNGAN AYAT
1. Qs. Al-Baqarah ayat 233

(Para ibu menyusukan), maksudnya hendaklah menyusukan (anak-anak mereka


selama dua tahun penuh) sifat yang memperkuat, (yaitu bagi orang yang ingin
menyempurnakan penyususan) dan tidak perlu ditambah lagi. (Dan kewajiban yang diberi
anak), maksudnya bapak, (memberi mereka (para ibu) sandang pangan) sebagai imbalan
menyusukan itu, yakni bila mereka diceraikan (secara makruf), artinya menurut
kesanggupannya. (Setiap diri itu tidak dibebani kecuali menurut kadar kemampuannya),
maksudnya kesangupannya. (Tidak boleh seorang ibu menderita kesengsaraan disebabkan
anaknya) misalnya menyusukan padahal ia keberatan (dan tidak pula seorang ayah karena
anaknya), misalnya diberi beban diatas kemampuannya.
Mengidhafatkan anak kepada masing-masing ibu dan bapak pada kedua tempat tersebut
ialah untuk mengimbau keprihatinan dan kesantunan, (dan ahli waris pun)ahli waris dari
bapaknya, yaitu anak yang masih bayi dan disini ditujukan kepada wali yang mengatur
hartanya (berkewajiban seperti demikian), artinya seperti kewajiban seperti bapaknya
memberi ibunya sandang pangan. (apabila keduanya ingin), maksunya ibu bapaknya
(menyapih) sebelum masa dua tahun dan timbul (dari kerelaan) atau persetujuan
(keduanya dan hasil musyawarah) untuk mendapatkan kemaslahatan si bayi, (maka
keduanya tidak berdosa) atas demikian itu. (dan jika kamu ingin)ditujukan kepada pihak
bapak (anakmu disusukan oleh orang lain) dan bukan oleh ibunya, (maka tidaklah kamu
berdosa) dalam hal itu (jika kamu menyarahkan) kepada orang yang menyusukan
(pembayaran upahnya)atau upah yang hendak kamu bayarkan (menurut yang patut)
9
secara baik dan dengan kerelaan hati. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kau kerjakan) hingg tiada satu pun yang
tersembunyi bagi-Nya.

Jadi kandungan ayatnya adalah, Allah menjelaskan tentang masalah menyusukan anak.
Cara bermuamalah yang baik antara suami dan istri. Dalam ayat ini Allah menyebut
hukum-hukum kerelaan ‫ ت َراض عَن‬dalam penyusuan anak dan cara-cara pergaulan yang
baik {‫ }بالمعروف‬antara pasangan suami istri dan tugas mendidik anak dengan musyawarah
dan saling merelakan antara bapak dan ibunya. Dan juga menjelaskan bahwasanya
seorang ayah wajib memberikan upah susuan kepada perempuan yang menyusuinya
sampai dengan usia anak dua tahun. Ini dibebankan karena sang ayah berkewajiban
memberikan nafkah kepada anak dan istrinya.

2. Qs. Thalaq ayat 6

(Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu (pada tempat kalian tinggal)
pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian (menurut kemampuan kalian) sesuai dengan
kemampuan kalian, lafal ayat ini menjadi athaf bayan atau badal dari lafal yang
sebelumnya denganmengulangi penyebutan huruf jarnya/ kata depan dan memperkirakan
adanya mudhaf. Yakni pada tempattempat tinggal yang kalian mampui, bukannya tempat-
tempat tinggal yang dibawah itu (dan jangan kalian menyusahkan mereka untuk
menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka tempat-tempat tinggal
yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk keluar atau membutuhkan
nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya sendiri. (dan jika mereka itu
sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka meyusukan bayi kalian) maksudnya menyusukan anak-anak kalian
hasil hubungan dengan mereka (maka berikanlah mereka upahnya) antara kalian dan
mereka (dengan baik) dengan cara yang baik menyangkut hak anak-anak kalian, yaitu
melalui permusyawaratan sehingga tercapailah kesepakatan mengenai upah menyusukan
(dan jika kalian menemui kesulitan) artinya kalian enggan menyusukannya ; yaitu dari
pihak ayah menyangkut masalah upah, sedangkan dari pihak ibu, siapakah yang
menyusukannya (maka boleh menyusukan bayinya) maksudnya menyusukan si anak itu

10
semata-mata demi ayahnya (wanita yang lain) dan ibu si anak itu tidak boleh dipaksa
untuk menyusukannya. Jadi, dalam surat ini memberikan pengertian bahwa hak memberi
air susu dan anak di pikul oleh ayah, sedangkan hak memelihara dan mengasuh dimiliki
oleh si ibu.[5]

3. Qs. Al-Qashash ayat 26-27

(Salah seorang dari kedua wanita itu berkata) yakni wanita yang disuruh
menjemput Nabi Musa yaitu yang paling besar atau yang paling kecil (Ya bapakku)
sebagai pekerja kita, khusus untuk mengembala kaming kita, sebagai ganti kami (karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah
orang yang kuat lagi dapat dipercaya) maksudnya, jadikanlah ia pekerja padanya, karena
dia adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Lalu Nabi Syuaib bertanya kepada
anaknya tentang Nabi Musa. Wanita itu menceritakan kepada bapaknya semua yang telah
dilakukan Nabi Musa, mulai dari mengangkat bata penutup sumur, juga tentang
perkataannya, “berjalanlah dibelakangku”. Setelah Nabi Syuaib mengetahui melalui cerita
putrinya bahwa ketika putrinya datang menjemput Nabi Musa, Nabi Musa menundukkan
pandangan matanya, hal ini merupakan pertanda bahwa Nabi Musa jatuh cinta kepada
putrinya, maka Nabi Syuaib bermaksud mengawinkan keduanya. (26)

(Berkatalah dia, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah


seorang dari kedua anakku ini) yaitu yang paling besar atau yang paling kecil (atas dasar
kamu bekerja denganku) yakni, mengembala kambingku (delapan tahun) selama delapan
tahun (dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun) yakni, mengembalakan kambingku selama
sepuluh tahun (maka itu adalah suatu kebaikan dari kamu) kegenapan itu (maka aku tidak
hendak memberati kamu) dengan mensyaratkan sepuluh tahun. (Dan insyaallah kamu
akan mendapatiku) lafal insya allah disini maksudnya untuk ber-tabarrur (termasukorang-
orang yang baik) yaitu orang-orang yang menepati janji. (27)

6. KATA KUNCI
1. Qs. Al-Baqarah ayat 233

11
a) Menyusukan anakmu kepada orang lain

Maksudnya adalah, jika seorang ibu tidak mampu untuk menyusukan


anaknya, maka seorang ayah dapat mencarikan wanita lain untuk menyusukan
anaknya tersebut, dengan catatan tidak menimbulkan mudharat.

Dari pernyataan di atas maka, jika manusia sedang dalam kesusahan, kesulitan
atau kekurangan dalam surah ini Allah memberikan keringanan untuk umatnya.
Yaitu dalam bentuk meminta bantuan antar sesama, dengan catatan tidak
menimbulkan kemudharatan.

b) Maka tidak ada dosa bagimu

Maksudnya adalah, jika orang tua mencarikan wanita lain untuk menyusui
anaknya karena sebab tertentu, maka tidak ada dosa bagi orang tua tersebut.

Jadi, jika seseorang dalam keadaan sulit dan meminta pertolongan dari
sesamanya maka tidak ada dosa baginya, baik pertolongan berupa jasa atau
dalam bentuk manfaat dari suatu barang dan lainnya.

c) Memberikan pembayaran dengan cara yang patut

Maksudnya adalah, setelah wanita menyusukan anak dari mereka sudah


sepantasnya sang ayah atau orang tua memberikan upah atau kompensasi atas apa
yang telah dilakukan,

Jadi, ketika seseorang telah memberikan bantuan jasa atau bantuan lain seperti
manfaat dari suatu barang miliknya, maka sudah sewajarnya kita memberinya
upah atau kompensasi atas manfaat yang telah kita rasakan dari jasa atau barang
tersebut sesuai dengan haknya. Memberikan upah kepada perempuan lain yang
menyusui anaknya tersebut sesuai dengan ketentuan yang lazim berlaku (‘uruf)

12
dengan memperhatikan kemaslahatan perempuan yang menyusui, kemaslahatan si
anak, dan kemaslahatan orang tuanya.

2. Qs. Thalaq ayat 6

a) Ardha’na : Mereka meyusukan

Maksud dari kata mereka menyusukan berarti ditujukan untuk seseorang


wanita yang menyusui anaknya (anak seorang suami) baik ibu dari si anak tersebut
atau perempuan lain yang diminta untuk menyusui anaknya. Jika dikaitkan dalam
muamalah tepatnya ijarah, maka jika seseorang sedang dalam kesulitan,
diperbolehkannya seseorang untuk menyewa jasa atau meminta manfaat dari
pekerja untuk membantunya.

b) Fa’atuhunna : Maka berilah mereka

Sedangkan yang dimaksud maka berilah yaitu, ketika seorang istri yang telah
ditalak tetapi sedang menyusui hamil anaknya maka berilah nafkahnya hingga
mereka bersalin. Baik dalam bentuk materi atau tempat tinggal, sandang dan
lainnya. Jika dikaitkan dalam sewa menyewa, seseorang yang telah meminta
bantuan dalam bentuk jasa atau manfaat suatu barang berkewajiban memberinya
upah dan apresiasi terhadap pemberi sewa.

c) Ujurahunna : Upah mereka[6]

Dilanjutkan dengan kata upah merka berarti jika seorang istri tersebut
menyusui anaknya maka suami tersebut dianjurkan memberi upah kepadanya
sebagai kompensasi untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan bayinya. Hal ini
sama saja dengan penjelasan sebelumnya, bahwasannya ketika seseorang menerima

13
sebuah manfaat dari jasa dan sebuah manfaat dari sebuah barang yang disewakan
maka penyewa tersebut wajib memberi upah kepada pemberi sewa.

3. Qs. Al-Qashash ayat 26-27

a) Ista’jirhu : Ambilah upahan dia sebagai pekerja

Maksudnya bahwa jika seorang pekerja telah melaksanakan pekerjaannya


dengan baik maka ia berhak mendapat upah atas pekerjaannya.[7] Artinya, setiap
pekerja yang telah bekerja sehingga manfaat dari jasa nya tersebut sudah didapat
maka hendaknya pemberi kerja atau orang yang telah menerima manfaat dari
jasanya tersebut memberinya upah atas pekerjaannya. Begitupun dalam konteks
sewa menyewa, apabila seseorang penyewa ingin mendapatkan manfaat dari apa
yang disewanya sebaiknya ia memberikan sebagian materi sebagai upah atau
kompensasi dari barang atau jasa yang disewanya kepada pemberi sewa. b) Al-
qawiyyu : Yang kuat

Maksudnya dari kata yang kuat disini mendefinisikan fisik Nabi Musa yang
kuat. Artinya, seseorang yang telah bekerja dengan mengerahkan kekuatan yang ia
miliki maka patut untuk di beri kompensasi. Sama halnya seseorang tersebut
bekerja dengan kekuatan yang ia miliki agar seseorang yang memperkerjakan
dapat menikmati manfaat dari kekuatan (jasa) yang ia miliki tersebut.

c) Al-amiinu : Dapat dipercaya

Maksud dari dapat dipercaya dalam surat ini adalah Nabi Musa ini seseorang
yang dapat dipercaya dalam menjalankan pekerjaannya. Jadi, dalam akad ijarah
atau sewa menyewa baik dalam bentuk manfaat dari jasa atau manfaat dari suatu
barang tersebut biasanya terdapat perjanjian baik mengenai jangka waktu,
bararang sewaan, ataupun jasa yang akan diberikan. Dengan begitu amanah atau
kepercayaan itu sangat dibutuhkan diantara keduanya (pemberi sewa dan
penyewa).

14
7. MUNASABAH
1. QS. Al-Baqarah ayat 233
Dalam surat al-Baqarah ayat 233 dijelaskan bahwasannya, ketika orang tua tidak
mampu atau tidak bisa menyusui anaknya maka orang tua bisa mencari orang lain untuk
menyusui anaknya. Selama memberikan bayaran atau upah yang pantas terhadap orang
yang menyusui anaknya.

Jadi, dalam hal ini Allah memberi kemudahan bagi umatnya yang benar-benar dalam
keadaan sulit, dengan mengizinkan seseorang meminta pertolongan kepada sesamanya.
Sehingga jika seseorang tersebut merasa kesulitan dalam hal waktu, tenaga, atau materi,
maka Allah mengizinkan seseorang tersebut menminta manfaat dari tenaga orang lain
yang dipekerjakan dan atau meminta manfaat dari suatu barang yang disewanya. Dengan
pemberian upah atau kompensasi terhadap pemberi manfaat dari suatau jasa atau tenaga
tersebut atas manfaat yang bisa dirasakan. Adapun pemberian upah atau kompensasi
tersebut disesuaikan dengan sewajarnya/sepatutnya agar kekurangan dari masing-masing
pihak (pemberi sewa dengan penyewa) dapat sama sama terpenuhi. Hal seperti itupun
tidak berdosa dan tidak ada larangannya.

2. QS. At-Thalaq ayat 6

Dalam surat At-Thalaq ayat 6 ini, sudah dijelaskan adanya pemberian upah dari
seorang suami kepada seorang istri yang sudah di talaknya yang masih hamil dan akan
menyusui anaknya.

Namu jika menemukan kesulitan maka perempuan lain diperbolehkan untuk menyusui
anaknya.

Jadi, setiap sesuatu manfaat yang kita dapat dari suatu barang atau jasa harus kita berikan
imbalan. Dalam surat tersebut Allah menegaskan bahwa seorang istri yang sudah ditalak
oeh suaminya pun jika masih hamil dan akan menyusui maka suami berkewajiban
memberi upah/nafkah baik dalam bentuk tempat tinggal, sandang dan pangan serta untuk
memenuhi kebutuhan persalinan dan menyusui anaknya. Kalaupun suami dan istri

15
tersebut menemui kesulitan untuk memberi asi anknya, maka perempuan lain
diperbolehkan menyusuinya dengan imbalan dan upah sepatutnya.

Artinya, ketika seseorang melakukan akad ijarah (sewa-menyewa) berarti orang tersebut
memiliki kekurangan atau kesusahan sehingga Allah tidak ingin hambanya merasakan
kesulitan, dengan begitu Allah mengijinkan adanya permintaan pertolongan kepada
sesamanya salah satunya dalam bentuk ijarah ini. Maka seseorang yang kesusahan
tersebut dapat menyewa jasa atau tenaga orang lain untuk membantu memenuhi
kekurangannya dengan upah atau imbalam untuk pekerja atau pemberi jasa tersebut. Pada
dasarnya dalam akad ijarah merupakan pemberian imbalan atau upah atas penggantian
manfaat dari suatu barang atau jasa kepada pemberi jasa atau pemberi sewanya.

c. QS. Al-Qashash ayat 26-27

Dalam surat al-Qashash ayat 26-27 dijelaskan, tentang Nabi Musa yang diminta
untuk bekerja kepada bapak dari dua perumpuanyang pernah ditolongnya, karena Musa
seorang yang kuat dan dapat dipercaya.

Jadi, jika dikaitkan dengan ijarah, maka seseorang yang telah bekerja (meberikan
tenaganya kepada pemberi kerja agar pemberi kerja menerima manfaat dari jasanya)
dengan kekuatan yang ia miliki dan dengan kepercayaan yang dapat dipercaya baik dalam
hal jangka waktu (kontrak kerja) dan lainnya dilakukannya dengan baik maka pemberi
kerja patut memberikan upah atau kompensasi kepadanya atas manfaat dari jasa dan
tenaganya yang telah didapat. Atau bisa dikatakan, seseorang yang telah menyewakan
barang atau jasa dengan baik maka ia berhak mendapatkan upah atau bayaran yang pantas
atas barang atau jasa yang disewakannya. Jika itu berupa jasa (tenaga) maka kriterianya
orang itu harus kuat dan dapat dipercaya atas jasa yang dilakukan. Apabila melebihkan
waktunya, maka akan menjadi suatu nilai kebaikan.

16
8. UJRAH ‘ALA THA’AH
Transaksi ijarah berkaitan dengan penghargaan atau jasa yang telah diberikan oleh
seseorang atas prestasi atau jasa dari pekerjaannya. Dalam hal ini, timbul persoalan
bagaimana hukum menggaji orang atau menerima upah dari perbuatan taat kepada Allah.

Pada prinsipnya para ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan ijarah terhadap
perbuatan fardhu, seperti shalat, puasa, dan haji dilarang. 6 Namun, terjadi perbedaan
pendapat ulama tentang hukumnya melakukan ijarah terhadap perbuatan selain fardhu.
Imam malik dan syafi’i berpendapat boleh melakukan ijarah dalam masalah mengajarkan
al-qur’an. Karna ijarah tersebut adalah terhadap perbuatan yang diketahui dengan upah
tertentu. Dalam hal ini dalil yang mereka pegang adalah:

‫ رواه البخارى ومسلم… وأحمد‬,‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم زوّج رجال بما معه من القرأن‬

“sesungguhnya rasul allah SAW menikahkan seorang laki-laki denga mahar


mengajarkan al-qur’an.”

Sebaliknya, ulama hanafiyah dan hambaliyah 7 berpendapat tidak sah menerima


upah dari mengajarkan al-qur’an berdasarkan hadits nabi :

‫عن عبد الرحمن بن شبل قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم << اقرءوا القرأن وال تأكلوا به وال‬
8
>>.‫تستكثروا به وال تجفوا عن……ه وال‬
‫“ تغلوا فيه‬Dari abdurrahman ibn syibli ia berkata, rasulullah SAW berkata : “bacalah al-
qur’an dan jangan kamu jadikan sebagai sumber makan, janganlah kamu berlebih
lebihan terhadapnya, dan janganlah kamu memutus hubungan dengannya dan janganlah
kamu berkhianat padanya.”

Begitu juga dengan mengumandangkan suara azan tidak dibenarkan menerima upah.

6 Untuk ibadah haji dituntut istitha’ah maliyah wa badaniyah (mampu dari segi harta dan fisik). Namun,
jika ternyata dalam proses pelaksanaan ibadah haji, seorang jamaah mengalami sakit sehingga ia tidak
mampu melakukan amalan-amalan haji secara langsung, seperti tawaf, sa’i, dan lain-lain maka ia boleh
mengupah seseorang untuk membantunya melakukan amalan-amalan tersebut, misalnya menggendong
atau mendorongnya dengan kursi roda.
7 Abdurrahman al-jaziri , op.cit, hal 127.
8 Abu abdullah ahmad ibn muhammad ibn hanbal ibn hilal ibn asad as-saibani, musnad ahmad, juz 33,
(kairo: mawqi’ wizarah al-awqaf al-misriyah, t.th) hal 45 hadits ke 15934.

17
Dalam hal ini, ulama hanafiyah beralasan bahwa adzan, mengajarkan ilmu al-qur’an dan
ilmu pengetahuan agama merupakan perbuatan taqarrub kepada allah. Kedua ulama ini
mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi yang artinya :

“Sesungguhnya utsman ibn abu al-ash berkata : ya rasulallah aku imam bagi
kaumku, rasul menjawab : engkau imam mereka, perhatikanlah orang yang paling lemah
diantara mereka dan angkatlah muadzin yang tidak mengambil upah atas kumandang
adzan nya.”9

Namun, ulama malikiyah membolehkan melakukan ijarah untuk


mengumandangkan suara adzan dan menjadi imam dimasjid. Malikiyah berpendapat,
dibolehkan atas dasar perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang tidak wajib. Akan
tetapi, ulama ini tidak membolehkan melakukan ijarah terhadap shalat munfarid (shalat
fardhu yang dilaksanakan sendiri). Berbeda dengan malikiyah, syafi’iyah berpendapat
tidak boleh melakukan ijarah dalam perbuatan menjadi imam shalat fardhu, begitu juga
shalat munfarid dan mengumandangkan suara adzan.10

10. APLIKASI IJARAH PADA PERBANKAN SYARIAH


Akad ijarah diaplikasikan dalam perbankan syariah pada pembiayaan ijarah dan IMBT
(alijarah al-muntahiyah bi at-tamlik). Pembiayaan ijarah diluncurkan berdasarkan fatwa
DSN No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah. Dalam fatwa ini dinyatakan
bahwa ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri. Bank islam yang mengoperasionalkan produk ijarah dapat
melakukan operating lease maupun financial lease.

Pada umumnya bank syariah lebih banyak menggunakan IMBT karena lebih sederhana
dalam pembukuannya. Selain itu, bank tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan
aset baik pada saat leasing maupun sesudahnya.11 Iajrah muntahiya bitamlik (financial

9 Sulaiman ibn al-asy ats ibn syadad ibn umar al-azdi abu daud, sunan abu daud, juz 2, (kairo: mawqi
wijaeah alauqaf al-misriyah, t.th) hal 217, hadits ke 531.
10 Wahbah az-zuhaili, loc.cit.
11 Muhammad syafi’i antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (jakarta: tazkia cendekia, 2001), hal 118-
119.

18
leasing with purchase option) merupakan akad sewa menyewa yang berakhir dengan
kepemilikan. Akad ini merupakan rangkaian dau buah akad yaitu akad ijarah dan akad
ba’i.

Menurut muhammad usman syabir al-ijarah al-muntahiyah bi at-tamlik adalah bank


syariah menyediakan barang yang akan disewakan kepada nasabah sampai waktu tertentu
dengna tambahan ujrah misli (fee) atas dasar nasabah dapat memiliki barang setelah
berakhir waktu sewa dengan akad baru, yaitu akad jual beli.12 Wahbah az-zuhaili
menjelaskan, akad ini dilaksanakan atas dasar dua akad yang terpisah, yaitu pertama akad
ijarah, akad ini dilaksanakan secara penuh sesuai dengan ketentuan ijarah. Kedua, setelah
ijarah berakhir kemudian dilakukan akad pemilikan yakni jual beli atau hibah.13 artinya
dalam akad IMBT tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang melarang dua jual beli
dalam satu akad jual beli.

Sementara itu, operasional IMBT secara khusus didasarkan pada fatwa DSN
No.27/DSNMUI/III/2002 tentang al-ijarah al muntahiyah bi at-tamlik. Dalam pelaksanaan
akad IMBT ada ketentuan yang harus dipenuhi yakni ketentuan yang bersifat umum dan
ketentuan yang bersifat khusus. Ketentua yang bersifat umum yaitu 1) rukun dan syarat
yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula pada akad IMBT, 2) perjanjian untuk
melakukan akad IMBT harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani, 3) hak dan
kewajiban setiap pihak dijelaskan dalam akad. Sedangkan yang bersifat khusus yaitu a)
pihak yang melakukan IMBT harus melakukan akad ijarah terlebih dahulu. Akad
pemindahan kepemilikan baik dengan jual beli atau hibah hanya dapat dilakukan setelah
masa ijarah selesai, b) janji pemindahan kepemilikan barang disepakati diawal akad ijarah
adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Apabila wa’ad ingin dilaksanakan,
maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah
selesai.13

Al-ijarah al-muntahiyah bi at-tamlik pada kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES)


diatur dalam Bab ke 9 pasal 322-329, rukun dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan
dalam pelaksanaan al-ijarah al-muntahiyah bi at-tamlik. Dalam akad ini, perjanjian antara
12 Muhammad usma syabir, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, (yordan, dar al-nafais, 1992)
hal 327. 13 Wahbah az-Zuhaily, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Muashirah, (Beirut Dar al-Fikr, 2006) hal
397.
13 Fatwa DSN no.27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al Muntahiyah Bi At-Tamlik.

19
mu’ajir (pihak yang menyewakan) dengan musta’jir (pihak penyewa) diakhiri dengan
pembelian ma’jur (objek ijarah) oleh pihak penyewa. Kemudian, al-ijarah al-mintahiyah
bi at-tamlik harus dinyatakan secara eksplisit dalam akad. Akad pemindahan kepemilikan
hanya dapat dilakukan setelah masa sewa berakhir.14

Karena aktifitas perbankan umum tiadak diperbolehkan melakukan leasing, maka


perbankan syariah hanya mengambil al-ijarah al-muntahiyah bi at-tamlik yang artinya
perjanjian untuk sewa menyewa barang antara bank dengan nasabah dimana pada akhir
masa sewa, nasabah akan memiliki barang yang telah disewanya. Barang yang disewakan
kepada nasabah umumnya berjenis aktiva tetap atau fixed assets, seperti bangunan. Harga
sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Kepemilikan barang bisa terjadi
dengan menghibahkan barang diakhir periode sewa (IMBT with a promise to hibah) atau
dengan menjual barang pada akhir periode sewa (IMBT with a promise to sell.

Secara konseptual IMBT hampir sama dengan leasing, bahwa leasing merupakan bentuk
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan perusahaan
tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih/opsi bagi
perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati
bersama. Dari aspek pemindahan kepemilikan, dalam leasing dikenal dua jenis yaitu
operating lease dan financial lease. Dalam operating lease, tidak terjadi pemindahan
kepemilikan aset baik diawal maupun diakhir periode sewa. Dalam hal ini operating lease
sama seperti ijarah, ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi
pemindahan kepemilikan. Dalam financial lease, diakhir periode sewa sipenyewa
diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang disewa. Namun pada
prakteknya, dalam financial lease sudah tidak ada opsi lagi untuk membeli atau tidak
membeli, karena pilihan itu sudah ditentukan diawal periode.

Namun al-ijarah al-muntahiyah bi at-tamlik memiliki perbedaan dengan dengan leasing


konvensional. Seperti yang tergambar pada tabel yang dibawah ini:

IMBT Leasing

14 Mahkamah agung RI, kompilasi hukum ekonomi syariah, t.tp. t.p, 2008 , pasal 322-329

20
Aset selama masa sewa adalah milik bank atau Aset langsung dicatatkan atas nama nasabah
muajir

Perjanjian menggunakan akad ijarah dan wa’ad Sewa dan jual beli menjadi satu kesatuan
untuk jual beli atau hibah yang akan ditanda dalam satu perjanjian
tangani setelah ijarah berakhir (jika nasabah
menghendaki)

Perpindahan kepemilikan menggunakan jual Perpindahan kepemilikan menggunakan jual


beli atau hibah. beli.

Perpindahan kepemilikan dilaksanakan setelah Perpindahan kepemilikan diakui setelah


masa jarah selesai. seluruh pembayaran sewa diselesaikan.

Dalam pembiayaan ini, nasabah mengajukan permohonan pembiayaaan. Kemudian, dia


melakukan akad sewa menyewa dengan bank. Bank menyewakan barang yang
dibutuhkan nasabah dengan cara menyewa dari suplier atau pemilik barang. Setelah itu,
nasabah membayar sewa sesuai dengan kesepakatan. Untuk lebih jelasnya dapat diliha
pada skem dibawah ini.

Negosiasi dan Persyaratan

Akad IMBT
BANK NASABAH

Bayar Sewa

Serah Terima Properti

Akad Jual Beli

Pembiayaan al-ijarah al-muntahiyah bi at-tamlik (IMBT) Keterangan:

1. Nasabah mengajukan permohonan IMBT ke bank syariah.

21
2. Bank syariah kemudian menyewa atau membeli barang yang dibutuhkan nasabah ke
suplier.

3. Antara nasabah dengan bank syariah melakukan akad IMBT.

4. Nasabah membayar uang sewa kepada bank.

5. Ketika akad sewa berakhir nasabah mengembalikan barang kepada bank, kemudian
melakukan akad jual beli dengan bank.

Perhitungan pembiayaan IMBT dapat dijelaskan melalui contoh berikut:

Tuan A menjual rumah seharga Rp. 100.000.000. tuan B ingin membeli rumah tersebut
dengan meminta bantuan bank syariah memberikan pembiayaan. Kemudian bank syariah
menerima permohonan tuan B dengan akad IMBT. Kontrak pertama yang dilakukan
adalah bank syariah membeli rumah kepada tuan A dengan harga Rp 100.000.000.
selanjutnya bank syariah menyewakan rumahnya kepada tuan B. Misalkan biaya sewa
yang disepakati adalah sebesari

1.000.000/bulan selama 10 tahun (120 bulan). Tuan B membayar uang sewa selama 10
thn sebesar
1.000.0000 dikali dengan 120 bulan, adalah sebesar Rp.120.000.000. diakhir masa sewa,
bank syariah menjual rumah tersebut kepada tuan B dengan harga 10.000.000. maka
kepemilikan rumah berpindah kepada tuan B pada saat kontrak perjanjian berakhir.

22
BAB III PENUTUP
1) Kesimpulan
Dengan didasarkan pada pembahasan Ijârah berserta sebagian ayat yang
menyinggung muamalah ini, dapat diambil beberapa poin kesimpulan:

Ijarah berasal dari kata al-ajru, berarti al-iwadh (upah atau ganti). Wahbah
az-zuhaili menjelaskan ijarah menurut bahasa, yaitu ba’i al-manfa’ah yang berarti
jual beli manfaat.
Ijarah merupakan bentuk muamalah yang dibutuhkan manusia. Karena itu syariat
sayriat islam melegalisasi keberadaannya. Konsep ijarah merupakan manifestasi
keluwesan hukum islam untuk menghilangkan kesulitan dalam kehidupan
manusia.

Dilhat dari objek ijarah berupa manfaat suatu benda maupun tenaga manusia
ijarah itu terbagi menjadi dua bentuk yaitu :

a. ijarah ‘ain, yaitu ijarah yang berhubungan dengan penyewaan benda yang
bertujuan untuk mengambil manfaat dari benda tersebut tanpa memindahkan
23
kepemilikan benda tersebut, baik benda bergerak, maupun benda tidak
bergerak.

b. ijarah ‘amal, yaitu ijarah terhadap perbuatan atau tenaga manusia yang
diistilahkan dengan upah mengupah. Ijarah ini digunakan untuk memperoleh
jasa dari seseorang dengan membayar upah atau jasa dari pekerjaan yang
dilakukannya.Pensyariatan Ijârah sudah ada sejak zaman nabi Musa yang
berarti Ijârah adalah syar’u man qablana yang masih tetap berlaku bagi umat
Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan Ijârah adalah sebuah kegiatan
muamalah yang sudah menjadi adat dan hajat manusia.

Dengan didasarkan pada QS. Al-BAqarah (2); 233, QS. Al-Thalâq (65); 6,
dan QS. Al-Qashash; 26- 27 seseorang boleh mengangkat pekerja dan menjadi
pekerja atas suatu pekerjaan. Dan berdasarkan tiga surah itu juga, pekerja berhak
untuk mendapatkan upah atas pekerjaan yang telah diselesaikannya. Sebaliknya,
pemberi pekerjaan memiliki kewajiban untuk membayar upah kepada pekerja
tersebut. Dengan begitu sesame umat manusia dapat saling membantu dan
melengkapi jika saudaranya sedang dalam kekurangan atau kesusahan.

DAFTAR PUSTAKA

• Al-qur’anul kariim.

• Ali Jum’ah muhammad, dkk. Mausu’ah fatawa al-muamalat al-maliyah


lilmasharif wa almuassasat al-maliyah al-islamiyah, al-ijarah, jilid 4 (kairo, dar
as-salam lilthaba’ah wa attauzi wa at-tarjamah, 2009).

• Wahbah Az-zuhaili, al-fiqh al-islami wa adilatuh, juz 4 (libanon; dar al-fikri,


1984).
• Abu abdullah muhammad ibn yazid al-qazuwaini wa majah, sunan ibnu majah,
(kairo; mawqi wijarah auqaf al-mishriyah, t.th)

• Ali, Haidar, Durrar Al-Hukkam Syarah Majalah Al-Ahkam, jilid 1, (Beirut: Dar
al-kutub
al-ilmiah, t,th),

24
• Abu abdullah ahmad ibn muhammad ibn hanbal ibn hilal ibn asad as-saibani,
musnad ahmad, juz 33, (kairo: mawqi’ wizarah al-awqaf al-misriyah, t.th).

• Sulaiman ibn al-asy ats ibn syadad ibn umar al-azdi abu daud, sunan abu daud,
juz 2, (kairo: mawqi wijaeah al-auqaf al-misriyah, t.th).

• Muhammad syafi’i antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (jakarta: tazkia
cendekia, 2001).

• Muhammad usma syabir, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, (yordan, dar


al-nafais, 1992).

25

Anda mungkin juga menyukai