Pertama Saya ingin mengucapkan puji syukur atas ke hadirat Allah SWT
karena telah memberikan rahmat dan karunianya kepada kita, sehingga kita bisa
menyelesaikan makalah ini dengan lancar, untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Fiqih Muamalah yang diampu oleh Bapak Abdus Salam, S.E.I., M.E.I. Makalah ini
kami beri judul sesuai dengan tema yang kami dapat, yaitu “IJARAH”.
Makalah ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak dengan itikad baik dan
tulus memberikan harapan, saran dan kritik agar dapat terselesaikan dengan baik.
Kami menyadari bahwasannya makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan
keterbatasan ilmu dan sumber daya yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan
bimbingan dari seluruh dosen maupun mahasiswa sangat kami butuhkan untuk
dijadikan sebagai syarat bagi kami untuk menjadikannya lebih baik lagi ke depannya.
1
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .........................................................................................................19
B. Saran ...................................................................................................................20
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa
bantuan dari orang lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisasi dalam upaya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk di dalamnya
merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi sosial guna memenuhi
kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi
dan mengatur kegiatan tersebut. Selain dipandang dari sudut ekonomi,
sebagai umat muslim kita juga perlu memandang kegiatan ekonomi dari
sudut pandang Islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam kegiatan
ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada sumber-sumber hukum islam,
yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep Islam mengenai muamalah amatlah baik. Karena
menguntungkan semua pihak yang ada di dalamnya. Namun jika moral
manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang dirugikan. Akhlakul Karimah
secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita dalam ber-muamalah
dan harus dipatuhi sepenuhnya.
Muamalah merupakan bagian dari rukun Islam yang mengatur
hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum Islam yang
termasuk muamalah, salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang
dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan
ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari baik di
lingkungan keluarga maupun Masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu, kita
harus mengetahui makna yang lebih luas tentang pengertian dari ijarah, rukun
dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya
mengenai ijarah. Dikarenakan begitu pentingnya masalah tersebut, maka
permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.
3
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang penulis sajikan di atas, oleh sebab itu dibuat
rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Apa pengertian Ijarah ?
2. Apa saja hikmah dan manfaat Ijarah dalam muamalah ?
3. Bagaimana konsep Ijarah yang terjadi pada masyarakat ?
C. Tujuan Penelitian
Di lihat dari rumusan masalah yang penulis tuliskan di atas, oleh sebab itu
tujuan penulisan, yaitu untuk :
1. Mengetahui pengertian Ijarah
2. Mengetahui hikmah dan manfaat Ijarah dalam Muamalah
3. Mengetahui konsep Ijarah yang terjadi pada Masyarakat
4
BAB II
A. Pengertian Ijarah
Al-Ijarah diambil dari bahasa arab yang berarti, “upah, sewa, jasa, atau
imbalan”. Al-Ijarah sendiri merupakan salah satu unsur daripada muamalah
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti halnya sewa-menyewa,
kontrak atau memasarkan jasa dan lainnya. Ijarah diposisikan dalam dua
dimensi kehidupan. Ijarah dimaknai sebagai proses perjanjian berbagai pihak,
salah satu pihak berkedudukan sebagai penyedia barang atau jasa (mu’jir) dan
pihak yang lain berkedudukan sebagai pengguna atau penerima manfaat
barang atau jasa (musta’jir) tersebut. Akad Ijarah satu makna dengan akad al-
ijar, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra’.1 Umat Islam mempunyai keyakinan
bahwa dunia yang fana ini adalah mazra’atal-akhirah (tempat bercocok
tanam demi kebaikan di akhirat) yang berakibat pada kehidupan akhirat
nantinya. Beberapa pengertian ijarah didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran,
berikut :
1. QS. Al-Imran (3) ayat 195:
َفاْسَتَج اَب َلُهْم َر ُّبُهْم َاِّنْي ٓاَل ُاِض ْيُع َع َم َل َعاِمٍل ِّم ْنُك ْم
ۗ َح ّٰت ٓى ِاَذ ٓا َاَتَيٓا َاْهَل َقْر َيِةِۨ اْسَتْطَع َم ٓا َاْهَلَها َفَاَبْو ا َاْن ُّيَض ِّيُفْو ُهَم ا َفَو َج َدا ِفْيَها ِج َداًرا ُّيِرْيُد َاْن َّيْنَقَّض َفَاَقاَم ٗه
1
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr. 2006), vol. V, hlm.
3.803; Abu Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidayat al-Mujtahid
wa Nihayat al-Muqtashid (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2010), hlm. 616-617.
5
Artinya : “... Hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu
negeri mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya,
tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu
mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang
hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia
(Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat
meminta imbalan untuk itu”.
ِاَّن اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا َو َع ِم ُلوا الّٰص ِلٰح ِت ِاَّنا اَل ُنِض ْيُع َاْج َر َم ْن َاْح َس َن َع َم ۚاًل
2
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, hlm. 198; Ali Jum;ah
Muhammad dkk, Mausu’ah Fatawa al-Mu’amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-
Maliyyat al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. IV, hlm. 4/19.
6
dengan imbalan (ujrah).3 Adapun definisi ijarah yang substansinya hampir
serupa, namun redaksinya berbeda, yaitu :4
1. Ulama Syafi’ah berpendapat bahwa arti ijarah secara istilah adalah
“Akad atas manfaat yang dituju, diketahui dan dibolehkan dengan
imbalan (ujrah) yang diketahui.”
2. Ulama Malikiah dan Hanabilah menjelaskan bahwa yang dimaksud dari
ijarah adalah
“Akad untuk memindahkan kepemilikan manfaat sesuatu yang
dibolehkan, dalam jangka waktu yang diketahui dan dengan imbalan
(ujrah).”
3. Umar Abdullah Kamil menerangkan tiga definisi ijarah secara istilah.
Ulama Hanafiah, dalam kitab Hasyiyah Ibn Abidin (3/4-6), berpendapat
bahwa akad ijarah adalah :
“Akad ijarah secara istilah adalah akad atas manfaat dengan imbalan
(ujrah).”
Dalam kitab al-Ra’iq Syarh Kanzal-Daqa’iq (7/297) karya Ibn Nujaim,
dijelaskan bahwa akad ijarah adalah :
“Akad ijarah secara istilah adalah jual-beli manfaat yang diketahui
dengan imbalan (ujrah) yang diketahui.”
Umar Abdullah Kamil menyatakan bahwa akad ijarah adalah :
“Akad ijarah secara istilah adalah akad yang mengakibatkan
berpindahnya kepemilikan manfaat dengan imbalan (ujrah).”
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
ijarah adalah akad pemindahan hak guna atau manfaat atas barang ataupun
jasa dalam periode waktu tertentu melalui pembayaran sewa dengan kata lain
memberikan upah tanpa diikuti pemindahan atau perubahan kepemilikan.
Selain itu diperlukan pula perhatian terhadap bentuk dan kondisi yang
sebenarnya, nilai harga yang saling sepakat dan tidak memberatkan salah satu
pihak serta hal serupa yang lain.
3
Universitas Madinah, Fiqh al-Mu’amalat (Kerajaan Saudi Arabia: Universitas Madinah. 2009), hlm.
627.
4
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr. 2006), vol. VII, hlm.
3.804; ‘Ali Ahmad al-Salus, Hal Yajuz Tahdid Ribh Rabb al-Mal fi Syirkat al-Mudharabah bi Miqdar
Mu’ayyan min al-Mal: al-Mudharabah wa al-Mu’amalat al-Bunuk (Qatar: Universitas Qatar. T.th),
hlm. 192.
7
B. Hikmah dan Manfaat Ijarah dalam Muamalah
a. Membina Ketentraman dan Kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan dapat membina kerja sama antara
mu’jirdan musta’jir. Maka dari itu, akan menciptakan kedamaian dihati
bagi mereka. Dengan diterimanya upah dari pihak yang memakai barang
atau jasa tersebut, maka yang memberi manfaat daripada barang atau jasa
dapat memenuhi memenuhi keperluan sehari-seharinya. Jikalau keperluan
hidupnya terpenuhi, sehingga musta’jir tidak lagi gundah ketika hendak
beribadah kepada Allah Swt.
Dengan adanya transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif
terhadap masyarakat, terkhusus di bidang ekonomi, sebab masyarakatnya
dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Apabila masing-masing
individu dalam sebuah masyarakat itu lebih bisa memenuhi keperluannya,
maka masyarakat itu pun akan tentram dan aman dalam kehidupannya.
b. Memenuhi Nafkah Keluarga
Salah satu dari kewajiban setiap muslim yaitu memenuhi nafkah kepada
keluarganya yang terdiri dari istri, anak-anak dan tanggung jawab yang
lain. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban itu
dapat terpenuhi. Kewajiban tersebut tertuang dalam firman surat Al-
Baqarah ayat 233, sebagai berikut :
Artinya : “...Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf...”
c. Memenuhi Hajat Hidup Masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah juga, terutama pemakaian jasa maka akan
dapat memenuhi hajat hidup masyarakat, baik yang bekerja maupun yang
menikmati hasil pekerjaannya atau yang menerima jasa tersebut.
Sehingga ijarah merupakan akad yang memiliki unsur tolong-menolong
antar sesama.
d. Menolak Kemungkaran
Di antara tujuan umumnya dari berusaha yaitu dapat menolak
kemungkaran yang ada dan kemungkinan besar akan dilakukan oleh bagi
8
mereka yang menganggur. Yang pada hakikatnya, ijarah memudahkan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam keseharian.5
9
Syarat sah akad ijarah mengenai kejelasan objek yang diambil
manfaatnya berkaitan dengan gharar. Beberapa ulama berpendapat
bahwa objek ijarah adalah barang yang disewakan (contohnya ruko)
dan ujrah-nya (bayaran sewa). Sedangkan ulama lain berpendapat
bahwa objek akad ijarah adalah manfaat benda yang disewakan
(manfaat ruko) dan ujrah-nya. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat
adalah pendapat yang kedua. Secara tersirat menunjukkan objek ijarah
terbagi menjadi tiga, di antaranya:
1. Mahal manfa’ah (misalnya ruko)
2. Manfaat (misalnya, ruko difungsikan sebagai tempat berdagang)
3. Ujrah (bayaran sewa)
10
3. Rusak atau hilangnya mahal al-manfa’ah menjadi tanggung jawab
pihak yang menyalahgunakan mahal al-manfa’ah atau lalai dalam
pemeliharaan dan penjagaannya yang dibuktikan melalui tahapan:
a. Al-ta’addi
Apakah terjadi penyimpangan dalam penggunaan mahal al-
manfa’ah. Misalnya, minibus digunakan untuk mengangkut
pasir, batu kali, atau bahan bangunan yang mana kecepatannya
melampaui batas yang dibolehkan peraturan perundang-
undangan).
b. Al-taqshir
Apakah terjadi kelalaian dalam penggunaan mahal al-
manfa’ah, misalnya menyimpan atau parkir bukan pada
tempatnya atau membiarkannya tanpa penunggu sementara
kunci kendaraan tidak dikunci.
c. Mukhalafatal-syuruth
Menyalahi isi perjanjian atau kesepakatan. Pada bagian ini
merupakan tahap untuk menentukan pihak yang bertanggung
jawab dalam hal terjadi kerusakan atau hilangnya mahal al-
manfa’ah.
11
b. Mu’jir tidak boleh menjual mahal al-manfa’ah kepada selain
penyewa karena tidak mungkinnya serah-terima mahal al-
manfa’ah sebagai salah satu syarat sah jual-beli (karena
dikuasai oleh musta’jir).
3. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa hukum jual-beli mahal al-
manfa’ah kepada selain penyewa bersifat mauquf, yakni
bergantung pada izin atau ridanya penyewa. Apabila penyewa
setuju atau membolehkannya, boleh atau sahlah penjualan mahal
al-manfa’ah. Karena atas izin tersebut, akad ijarah berakhir.
2. Ijarah-Jasa
Ijarah atas jasa (ijaratal-a’mal atau ijaratal-asykhash), yaitu akad
ijarah atas kegiatan yang dilakukan seseorang guna melakukan pekerjaan
tertentu dan karenanya berhak mendapatkan ujrah (upah). Dalam KUH
Perdata Bab Ke-tujuh tentang perjanjian sewa-menyewa yang terdiri atas :
a. Peraturan mengenai sewa tanah dan rumah
b. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang melahirkan dua macam
perjanjian, yaitu perjanjian perburuhan (perjanjian antara majikan dan
serikat pekerja) serta perjanjian kerja (perjanjian antara majikan dan
buruh secara perorangan.
Perjanjian sewa-menyewa secara rincinya sama halnya dengan
perjanjian ijarah atas barang (ijaratal-a’yan) dan perjanjian kerja mrip
dengan ijarah jasa (ijaratal-a’malatau ijaratal-asykhash). Dibedakan pula
subjek hukum ijarah dari kedua macam ijarah tersebut. Pihak yang
menyewakan disebut mu’jir, baik dalam akad ijarah atas barang maupun
dalam akad ijarah atas jasa, sedangkan penyewanya disebut musta’jir
dalam akad ijarah atas barang dan disebut ajir dalam akad ijarah atas jasa.
Dalam masyarakat, ajir atas jasa dikenal dari mulai pekerjaan kasar
(misalnya kuli menaikturunkan pasir dari truk) sampai pekerjaan yang
elitis (misalnya agen atau profesi bisnis dan hukum).
a) Ragam Ajir
12
Dua bentuk ijarah atas jasa atau keahlian dari segi penerima manfaat
pekerjaannya, menurut Syekh ‘Ala al-Din Za’tari :
1) Ajir khash (pekerja khusus)
Pekerja yang melakukan pekerjaan yang manfaatnya ditujukan
bagi mu’jir khusus, contohnya pengawal pribadi, sopir pribadi,
dan pembantu rumah tangga serta lain semisalnya. Ajir berhak
mendapatkan ujrah sesuai jangka waktu yang disepakati dan cara
pembayarannya sesuai kesepakatan dan peraturan perundang-
undangan atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Ajir khash
ini bersifat kepercayaan (amanah), oleh karena pelayan tidak
boleh dituntut mengganti barang yang rusak karena pekerjaan
yang dilakukannya, baik penggantian langsung atau dikurangi
ujrah-nya, kecuali perbuatan termasuk al-ta’addi, al-taqshir, dan
mukhalafatal-syuruth.
2) Ajir musytarak (pekerja umum)
Pekerja yang melakukan pekerjaan yang manfaatnya ditujukan
kepada banyak mu’jir dan yang lain, seperti dokter dengan praktik
umumnya, konsultan hukum, atau konsultan bisnis. Ajir berhak
mendapatkan atas pekerjaan yang dilakukannya sesuai
kesepakatan dan peraturan perundang-undangan atau kebiasaan
yang berlaku di masyarakat. Ajir musytarak berkaitan dengan
amal (pekerjaan) sehingga akad ijarah tidak sah, kecuali jelas
disepakati pembatasan waktu ijarah-nya.
Sedangkan, dalam konteks ekonomi Indonesia, ajir (tenaga
kerja) dapat dibagi menjadi tiga, di antaranya:
1) Ajir profesional
Ajir yang terdidik dan terlatih di bidang pekerjaannya
(pekerjaannya bersifat khas dan spesifik), yang terlihat dari latar
belakang pendidikan formalnya, sedangkan terlatih terlihat dari
segi sertifikasi yang diikutinya.
2) Ajir semi-profesional
13
Ajir yang terdidik di bidang pekerjaannya, tetapi tidak mengikuti
sertifikasi dari asosiasi atau pihak otorisasi, maupun melalui
sertifikasi, tetapi tidak memiliki izin (lisensi) untuk praktik.
3) Ajir non-profesional
Ajir yang tidak terdidik dan tidak terlatih di bidang pekerjaan
tertentu. Ajir jenis ini sangat banyak karena terbatasnya akses
pendidikan, baik karena mahalnya biaya pendidikan maupun
karena rendahnya kesadaran untuk belajar. Pekerjaan yang
dilakukan ajir serabutan sangat bervariatif dan terkadang termasuk
berisiko tinggi seperti membersihkan dinding gedung pencakar
langit, memperbaiki air conditioner (AC) di gedung tinggi tanpa
pengaman, atau memperbaiki jalan tol), selain itu akses pekerja
serabutan terhadap pusat kekuasaan sangat rendah. Sebab, kurang
terlindungi dari segi hukum, kebalikan dari pekerja profesional
dan semi-profesional. Dampaknya juga berbeda dalam hal daya
tawar, kompensasi atau gaji, dan risiko pemutusan hubungan
kerja, termasuk pula pesangon.
b) Sebab Wajibnya Pembayaran Ujrah
Sebab wajibnya pembayaran ujrah dalam ijarah atas jasa prinsip
dasarnya terbagi menjadi dua :7
1) Ajir Khash (pekerja khusus atas dasar akad ijarah khashshah) yang
berhak memperoleh ujrah karena perjanjiannya.
2) Ajir musytarak (perjanjian umum atas dasar akad ijarah ‘ammah)
yang berhak mendapatkan ujrah atas dasar perjanjian ijarah serta
dilakukan pekerjaannya.
3. Leasing
Menurut Keputusan Bersama Menteri yang berkaitan, arti leasing adalah:
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan
barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan dalam
jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara
7
Pembahasan lebih lanjut mengenai ujrah dapat dilihat dalam Isma’il Shalih Hamzah, Ajr al-‘Amil fi
al-Fiqh al-Islami (Palestina: Universitas al-Najjah al-Wathaniyyah. 2010).
14
berkala disertai dengan hak pilih (opsi) dari perusahaan untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka
waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati.”
a. Ragam Leasing
1) Operating Lease
Operating lease pada dasarnya adalah sewa yang berlaku umum di
masyarakat. Misalnya, dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
otobus wisata dan perusahaan-perusahaan penyewaan kendaraan
roda empat (car-rent).
2) Finansial Lease (Capital Lease)
Finansial lease dikenal pula dengan full-payout lease, yaitu
perjanjian sewa atas barang yang disertai dengan opsi pemindahan
kepemilikan setelah berakhirnya masa sewa dan penerima sewa
melunasi seluruh kewajibannya.
Terdapat beberapa derivasi leasing yang bentuknya bervariatif seiring
perkembangannya di masyarakat, antara lain:
1) Sales and Lease Back
Salah satu bentuk pembiayaan finansial lease yang dilakukan
dengan dua tahapan: beli dan sewa. Pemberi sewa membeli barang
dari penerima sewa untuk disewakan kepada penerima sewa.
2) Direct Lease
Pembeli sewa membeli barang kepada pihak pemasok (supplier)
atas pesanan penerima sewa.
3) Leveraged Lease
Pemberi sewa dan pihak ketiga (debtparticipant) berkongsi dalam
rangka membeli barang untuk disewakan kepada penerima sewa.
4) Net Lease
Penerima sewa bertanggung jawab penuh atas seluruh biaya
pemeliharaan barang, pajak, dan asuransinya.
5) Net-net Lease
Di mana penerima sewa selain dari bertanggung jawab penuh atas
seluruh biaya pemeliharaan barang,pajak, dan asuransinya juga
15
bertanggung jawab untuk mengembalikan barang kepada pemberi
sewa dalam kondisi dan nilai yang sama dengan kondisi serta nilai
dimulainya perjanjian leasing.
6) Full Service Lease (Rental Lease / Gross Lease)
Pemberi sewa bertanggung jawab penuh atas biaya pemeliharaan
barang, biaya asuransi, dan pajak.
7) Payment Lease
Kesepakatan sewa yang berhubungan dengan cara pembayaran
sewa kepada pemberi sewa yang mencakup tiga pilihan berikut:
a. Straight Payable Lease
Harga sewa dibayar secara bertahap (angsur) dengan jumlah
yang sama pada setiap bulannya.
b. Seasonal Lease
Harga dibayar secara bertahap (angsur) bukan setiap bulannya,
melainkan periode tertentu, misalnya kuartal atau semester.
c. Return of Investment Lease
Leasing yang pembayaran harganya dilakukan dengan pola
perbulan (angsuran) dan pembayaran pokok pinjaman
dilakukan pada setiap akhir tahun.8
BAB III
16
A. Teknik Laporan
Dalam teknik pengumpulan data kasus ijarah di dalam kegiatan masyarakat
sekitar, kami memilih teknik wawancara. Yaitu dengan mencari narasumber yang
mempunyai pengalaman dalam kegiatan ijarah atau sewa menyewa. Narasumber
kami kali ini adalah seorang mahasiswa yang menyewa kamar kos untuk menjadi
tempat tinggal sementara selama kegiatan perkuliahan sudah mulai aktif. Kegiatan
sewa menyewa kamar kos ini merupakan salah satu kegiatan ijarah yang termasuk
dalam ijarah mahal al-manfa’ah.
B. Hasil Laporan
Hasil dari wawancara kepada narasumber, kami mendapat tangkapan layar yang
berisi percakapan antara narasumber dan pemilik kos.
C. Analisis Laporan
Dari hasil data yang kami dapat dari narasumber, dapat disimpulkan bahwa
percakapan di atas merupakan salah satu akad dari ijarah dan jenis ijarah tersebut
adalah ijarah mahal al-manfa’ah. Dengan pemilik kos adalah seorang muajjir dan
mahasiwa tersebut adalah musta’jir. Dalam kalimat, “Saya ingin bayar kos”
merupakan pernyataan mahasiswa (musta’jir) yang ingin menyewa sebuah kamar
dan pada kalimat, “Terima kasih sudah membayar untuk bulan 9/10/11”
17
merupakan kesepakatan atau akad antara muajjir dan musta’jir dalam kegiatan
sewa kamar kos untuk jangka waktu 3 bulan.
BAB IV
18
A. Kesimpulan
Ijarah merupakan kegiatan sewa menyewa barang atau jasa antara pihak
penyedia sewa (muajjir) dan pihak penyewa (musta’jir) dalam jangka waktu
sesuai kesepakatan dan jika masa sewa tersebut berakhir akan dikembalikan
kepada pemilik barang atau jasa (muajjir). Ijarah juga merupakan akad
pemindahan hak guna maupun manfaat barang atau jasa dengan jangka waktu
sesuai dengan kesepakatan dan adanya imbalan atau pembayaran.
B. Saran
19
Dalam kegiatan sewa menyewa dalam Islam sudah terdapat aturan yang dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Syariat Islam dalam mengatur ijarah
atau sewa menyewa bukan tanpa sebab semata-mata dibuat namun dengan tujuan
agar tidak terjadi kerugian secara sepihak atau kedua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
20
Mubarok, Jaih.,Hasanudin. (2017). Fikih Mu’amalah Maliyyah; Akad Ijarah dan
Ju’alah. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Fitriana, Nurma. (2016). Implementasi Ijarah dalam Lembaga Keuangan
Syariah. Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro.
Antonio, Muhammad Syafi’i. (2001). Bank Syariah dari Teori ke Praktek.
Jakarta: Gema Insani Press.
21