OLEH
AINUNRIZA (2111211020)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini dengan baik dan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya tentu saja kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan benar.
Salawat serta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada junjungan kita
yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya diakhirat nanti.
Sebelumnya kami sangat mengucapkan banyak syukur kepada Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan nikmat sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran
sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah dari Qawaidul Fiqhiyyah yang berjudul “Kaidah Pokok Al-Umuru Bi
Maqashidiha.”
Kami tentu menyadari makalah sederhana ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan yang ada di dalamnya. Untuk itu,
kami sangat mengharapkan kritik serta saran dari para pembaca untuk pembenahan
makalah ini selanjutnya, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih
baik lagi.
Demikian, apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.Tidak hanya itu,kami juga mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah
ini.
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................2
A. Kesimpulan ............................................................................................................8
B. Saran ......................................................................................................................8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama,
yaitu al-umurubi maqashidiha. Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah
seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan
perintah dan menjauhi larangannya. Ataukah dia tidak niat karena Alah tetapi agar
disanjung orang lain.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
Kaidah ini memiliki makna yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
perbuatan manusia mulai dari perkataan sampai pada tingkah laku manusia tersebut,
semuanya digantungkan kepada niat daripada orang yang melakukan perbuatan. Karena
suatu niat itu sangat penting untuk melihat bagaimana kualitas atau makna perbuatan
seseorang.1
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari kaidah al-umuru bimaqashidiha:
1) Tujuan niat. Pada dasarnya, tujuan dan fungsi niat itu adalah untuk membedakan
antara perbuatan ibadah dari perbuatan adat dan untuk penentuan (at-ta’yin)
spesifikasi atau kekhususan antara mandi dan berwhudu untuk shalat dengan
mandi dan mencuci anggota badan untuk kebersihan biasa. Dengan niat, maka
akan terbedalah menahan lapar karena berpuasa dengan menahan lapar untuk
menghindari penyakit atau untuk diet. Kemudian, memberikan sebagian harta
kepada fakir miskin dengan niat zakat, akan berbeda dari memberikannya
kepada mereka tanpa niat, tindakan ini sebagai sumbangan sosial. Menyembelih
1
Mif Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum),
(Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang), 2019) hlm. 36
2
hewan untuk lauk dan untuk kurban hanya dapat dibedakan dengan niat. Shalat,
berpuasa ada yang wajib dan ada yang sunnat. Untuk menentukannya secara
spesifik hanya dengan niat. Bertayamum yang cara pelaksanaannya sama, tetapi
hanya dapat dibedakan dengan niat untuk menentukan tujuan menghilangkan
hadas kecil atau hadas besar.
2) Persoalan fiqh yang dapat dirujuk kepada kaidah di atas adalah hukum Islam
bidang ibadah dan bidang muamalah dalam arti luas. Dalam bidang ibadah
umpamanya, bersuci, berwudhu, mandi (baik wajib maupun sunnah),
tayammum, sholat (wajib atau sunnat rawatib, qashar, bejamaah atau munfarid,
zakat, shadaqah, puasa, haji, umrah, thawaf, itikaf dan lain-lain). Demikian juga
halnya bidang muamalah dalam arti luas yakni munakahat, al-uqud (transaksi-
transaksi), jinayat, qadha, (peradilan) dan segala macam amalan taqarrub ila
Allah (mendekatkan diri kepada Allah). Semua itu dapat dikembalikan kepada
kaidah di atas.
3) Segala amal perbuatan manusia, yang dinilai adalah niat yang melakukannya,
dan amal perbuatan itu mestilah yang masuk dalam kategori perbuatan yang
diperbolehkan. Perbuatan yang haram, sekalipun dengan niat baik, tetap tidak
boleh dilakukan, kecuali hal-hal yang pada saat tertentu memang dibenarkan
oleh hukum. Umpamanya, pada dasarnya berbohong adalah dilarang, kecuali
berbohong dalam peperangan (yang dikenal dengan strategi) supaya tidak dapat
dikalahkan oleh musuh, dan berbohong untuk menghindari pertengkaran,
umpamanya untuk keutuhan rumah tangga. Dengan demikian berjudi dengan
niat untuk dibagikan kepada fakir miskin jelas tidak dapat dibenarkan. Izin wali
terhadap anaknya kawin dengan laki-laki non-muslim dengan niat untuk
menariknya masuk Islam, tetap tidak dibenarkan. Dengan niat baik, melakukan
perbuatan pada dasarnya mubah, harus dipertimbangkan efeknya.2
2
Duski Ibrahim, Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), (Palembang: NoerFikri, 2019)
hlm. 46
3
B. Dasar Hukum Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha
Al-Qur’an
اْل ِخ َرةِ نُؤْ تِ ٖه ِم ْن َه ۗا
ٰ ْ اب
َ اب الدُّ ْنيَا نُؤْ تِ ٖه ِم ْن َها َو َم ْن ي ُِّردْ ث َ َو ۗ ً ّٰللاِ ِك ٰتبًا ُّم َؤ اج
َ ًل َو َم ْن ي ُِّردْ ثَ َو َو َما َكانَ ِلنَ ْف ٍس ا َ ْن ت َ ُم ْوتَ ا اِْل ِب ِاذْ ِن ه
سنَجْ ِزى ال ه
َش ِك ِريْن َ َو
Artinya: “Setiap yang bernyawa tidak akan mati, kecuali dengan izin Allah sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Siapa yang menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu dan siapa yang
menghendaki pahala akhirat, niscaya Kami berikan (pula) kepadanya pahala
(akhirat) itu. Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.” (Qs. Ali- Imran (3) ayat 145)
َالدي ْۗن
ِ ُصا لاه
ً ّٰللاَ ُم ْخ ِل ِ ب ِب ْال َح
ق فَا ْعبُ ِد ه َ اِناا ٓ ا َ ْنزَ ْلنَا ٓ اِلَيْكَ ْال ِك ٰت
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi
Muhammad) dengan hak. Maka, sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya.” (Qs. Az-Zumar (39) Ayat 2)
الز ٰكوة َ َو ٰذلِكَ ِد ْينُ ْالقَ ِي َم ۗ ِة
ص ٰلوة َ َويُؤْ تُوا ا
الديْنَ ەۙ ُحنَفَ ۤا َء َويُ ِق ْي ُموا ال ا
ِ ُصيْنَ لَه َو َما ٓ ا ُ ِم ُر ْٓوا ا اِْل ِليَ ْعبُد ُوا ه
ِ ّٰللاَ ُم ْخ ِل
Artinya: “Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan
salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).” (Qs. Al-
Bayyinah (98) Ayat 5)
Hadis
َِإناكَ لَ ْن ت ُ ْنفِقَ نَ َفقَةً ت َ ْبت َ ِغي بها وجه هللا ِإ اْل أ َ ِج ْرتَ َعلَ ْي َها َحتاى َما تَجْ َع ُل فِي فَ ِم ا ْم َرأَتِك
4
Artinya: “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari
keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam
mulut istrimu” (HR. Bukhari).
ب لَهُ َما ن ََوى ْ َص ِلي ِمنَ اللا ْي ِل فَغَلَبَتْهُ َع ْينَاهُ َحتاى أ
َ ِصبَ َح ُكت َ َُم ْن أَتَى فِ َرا ِشهُ َوه َُو يَ ْن ِوي أ َ ْن يَق
َ ُوم ي
Artinya: “Barangsiapa tidur dan dia berniat akan shalat malam, kemudian dia ketiduran
sampai subuh maka ditulis baginya pahala sesuai dengan niatnya” (HR. al-
Nasa’i).
Artinya: “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat” (HR. Anas bin
Malik).3
1. ِ( ْلَ ﺜَوَابَ إِْلا بِالنﱢيَةTidak ada pahala kecuali dengan niat)
Kaidah ini berkaitan dengan perbuatan yang tidak dianggap baik atau buruk bila
tidak ada niat pelakunya. Dalam konteks ini, perbuatan tidak akan mendapatkan pahala
selama tidak diniatkan dengan niat yang baik.
Contoh: Contoh ada dua orang pria (suami) bekerja. Pria pertama, ia bekerja dengan
niat untuk ibadah, mengamalkan ilmunya, agar mendapatkan rezeki yang halal,
dan nantinya akan dinafkahkan untuk keluarganya. Maka dengan niatnya
tersebut pekerjaan yang ia lakukan akan mendapatkan pahala. Sedangkan pria
yang kedua, seorang suami bekerja hanya karena ingin mendapat imbalan saja
dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah pekerjaannya berguna atau tidak,
sebab ia hanya memikirkan imbalan untuk makan sehari-hari yang akan ia
peroleh dari bekerja saja. Maka dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah dan
karena itulah ia tidak mendapatkan pahala. Pekerjaan yang sejatinya sama-
sama dikerjakan, jenis pekerjaannya sama, waktu bekerjanya sama, namun
3
Ibid., hlm. 42
5
akan memiliki nilai berbeda jika yang satu diniatkan untuk ibadah dan yang
lainnya tidak.4
Kaidah di atas menegaskan bahwa jika terjadi kekeliruan dalam pernyataan niat
akan menjadi tidak sahnya suatu amal perbuatan yang dilakukan. Oleh karena setiap
perbuatan itu dituntut (disyariatkan) disertai dengan niat untuk membedakan ibadah
yang satu dengan ibadah yang lainnya.
Contoh: Apabila seseorang sholat dzuhur namun niat yang diucapkan adalah niat sholat
ashar. Maka sholatnya tidak sah, karena niat merupakan bagian dari rukun
sholat. Dan masing-masing perbuatan tersebut (baik sholat dzuhur maupun
sholat ashar) dituntut adanya pernyataan niat untuk membedakan ibadah yang
satu dengan yang lainnya.
َ َ طأ
3. ض ار َ صًلً إِذَا َع ْينَهُ َوأَ ْخ ُ ض لَهُ ُج ْملَةً َوْل يُ ْشت ََر
ِ ط ت َ ْع ِيينُهُ ت َ ْف ُ ( َما يُ ْشت ََرPerbuatan yang secara
ْ ط التاعَ ُّر
keseluruhan diharuskan niat, tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan
niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, berbahaya)
Contoh: Misalnya seseorang akan menunaikan zakat fitrah. Dalam niat zakat fitrah
tidak perlu disebutkan zakat itu ditujukan untuk siapa, namun misalnya dalam
berniat diucapkan zakat ini akan diberikan kepada Fatimah, namun ternyata
tidak jadi diberikan kepada Fatimah tetapi kepada Qasim, maka yang begitu itu
tidak sah. Niat berzakat itu merupakan wajib, untuk membedakan apakah beras
tersebut diberikan sebagai penggugur kewajiban zakat fitrah, atau sebatas
hanya sedekah biasa. Namun dalam niat tidak perlu dirincikan kepada siapa
zakat tersebut akan ditujukan (diberikan).
4
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 234.
6
Contoh: Seseorang bershalat zhuhur dengan menyatakan niatnya bershalat di mesjid
Agung Nurul Falah, padahal ia bershalat di mesjid Al-Muhajirin, shalat orang
tersebut tidak batal. Karena niat shalatnya telah terpenuhi dan benar sedangkan
yang keliru adalah pernyataan tentang tempatnya. Kekeliruan tentang tempat
shalat tidak ada hubungannya dengan niat shalat baik secara garis besarnya
maupun secara terperinci.
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap perkataan adalah tergantung pada
apa yang diniatkannya di dalam hati.
Contoh: Apabila seseorang berkata: “Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi
saya minta uang satu juta rupiah”, meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan
permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual
beli dengan segala akibatnya.
Contoh penerapannya:
5
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamala, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin, 2015), hlm. 67
7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kata al-umuru bimaqasidiha ini terbentuk dari dua unsur yakni kata al-umuru
dan al-maqashid. Secara etimologi al-umuru merupakan bentuk dari kata al-amru yang
artinya keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. Sedangkan al-magashid artinya
maksud atau tujuan. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan
mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara' sesuai dengan
maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
Dapat disimpulkan juga disini, bahawa setiap sesuatu perbuatan mukallaf itu
akan dikira berdasarkan niatnya, jika niatnya kearah kebaikkan maka dia akan mendapat
pahala, namun jika sebaliknya ia akan mendapat kemurkaan daripada Allah swt. Niat
juga merupakan salah satu alat pengukur bagi perbuatan seseorang mukallaf sama ada
dari segi ibadah, muamalat, muanakahat maupun jinayah. Sesuatu ibadah itu akan
sempurna jika sesuatu perbuatan itu disertakan dengan niat.
B. SARAN
Setelah mempelajari tentang materi kaidah al-umuru bimaqashidiha maka dapat
diambil pembelajaran bahwa apabila ingin melakukan suatu perbuatan sebaiknya
diniatkan kepada hal-hal yang baik dan agar mendapatkan pahala dari Allah SWT.
8
DAFTAR PUSTAKA
Rohim, Mif. (2019). Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi Dan Dasar Penetapan
Hukum), Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG (Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Hasyim Asy’ari
Tebuireng Jombang
Ibrahim, Duski. (2019). Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). Palembang:
NoerFikri
Suyatno. (2011). Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Azhari, Fathurrahman. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamala. Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin