Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH QAWA’ID FIQHIYAH

ِ ‫ور ِب امقا‬
‫اص ِدهاا‬ ِ ‫ااَل ُم‬
“Laporan ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah strategi pembelajaran”
Dosen Pengampu : Sofyan Suri, Dr., L.c.,M.H.I

Disusun oleh
Kelompok 3
Siyasah 6-B
Miftahul Jannah (0203213110)
Septian Pratama (0203213132)
Raja Agung (0203213067)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA MEDAN 2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,Inayah,Taufik
dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami pelajaran yang
ِ ‫ور بِ امقا‬
berjudul “‫اص ِدهاا‬ ‫ا‬
ِ ‫”’اَل ُم‬
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman saya miliki sangat
kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Penulis

( Medan, 25-02-2024)

ii
Daftar isi
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 3

ِ ‫ور بِ امقا‬
A. Pembahasan ‫اص ِدهاا‬ ِ ‫ ااَل ُم‬............................................................................. 3
B. Dalil Dalil Kaedah ......................................................................................... 5
C. Contoh Contoh ............................................................................................... 10

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 12

A. Kesimpulan ................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 13

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad
Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-
Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau
cara). Qowa’idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat
umum (kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi
beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan
dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan
cara menggolongkan masalahmasalah yang serupa dengan suatu kaedah. Para fuqoha
pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kaidah
fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagianbagiannya atau cabang-cabangnya. Dari pengertian di atas dapat diketahui
bahwa setiap qaidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa banyak
masalah fiqh dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah benar-
benar mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya. Maka,
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan
menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang
memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim untuk
mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih
seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah
fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi
lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih,
diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-
masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kaum muslim bisa mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat
dengan lebih baik.

1
B. Rumusan Masalah
ِ ‫ور بِ امقا‬
1.Apa Saja Pembahasan ‫اص ِدهاا‬ ‫ا‬
ِ ‫?اَل ُم‬
2. Apa Saja Dalil Dalil Kaedah?
ِ ‫ور بِ امقا‬
3. Apa Saja Contoh Contoh Dari ‫اص ِدهاا‬ ‫ا‬
ِ ‫?اَل ُم‬

C. Tujuan Masalah
ِ ‫ور ِب امقا‬
1.Untuk Mengetahui Pembahasan ‫اص ِدهاا‬ ِ ‫ااَل ُم‬
2. Untuk Mengetahui Dalil Dalil Kaedah
ِ ‫ور بِ امقا‬
3. Untuk Mengetahui Contoh Contoh ‫اص ِدهاا‬ ِ ‫ااَل ُم‬

2
BAB II
PEMBAHASAN

ِ ‫ور ِب امقا‬
A. Pembahasan ‫اص ِدهاا‬ ِ ‫اَل ُم‬
ِ ‫ ( ااَل ُم‬Semua Perkara tergantung pada maksudnya ) Kaidah1
ِ ‫ور ِب امقا‬
‫اص ِدهاا‬

ini menempati peranan pokok dalam hukum islam. Sebab, seluruh tindakan
manusia bergantung pada niat dan maksudnya. Karena itulah, peran‘ulama
memberikan perhatian besar terhadap kaidah ini. Kata niat menurut pengertian
etimologis adalah “Maksud melakukan sesuat dan ketetapan hati untuk
melakukannya”.Sedangkan 2menurut istilah berarti kemantapan mengorientasikan
keta’atan dan pendekatan diri kepada Allah SWT dalam mewujudkan tindakan 3.
Menurut ‘ulama niat mempunyai dua arti: Pertama, dari kalangan Syafi’iyah
“Bermaksud kepada sesuatu beriringan dengan mengerjakannya”; dan Kedua,
yang dikemukakan oleh Hanafiyah “Bermaksud mendekatkan diri atau mematuhi
perintah” Niat dalam ibadah mempunyai posisi yang sangat dominan demikian
juga dalam hubungannya dengan berbagai ragam aktifitas, diantaranya ialah:
a. Mahdhah (aktifitas ritual keagamaan murni) seperti shalat, puasa, haji dan
sebagainya.
b. Perbuatan yang mengandung aspek aktivitas sosial berkaitan dengan kegiatan
keseharian, seperti belanja, berdagang, mencari nafkah dalam berbagai bentuknya
dsb.
c. Perbuatan keseharian manusia yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai
individu
atau sebagai makhluk sosial, seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.
Peran penting yang ada pada niat adalah sebagai berikut:
a. Niat sebagai pembeda mana yang berstatus sebagai ibadah dan mana yang
hanya merupakan suatu kebiasaan.Karena itulah, niat hanya dibutuhkan pada

1 Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, th),cet. ke-1, h.
2 Ibid, h. 29
3 Jalaluddin Suyuthi, Jalaluddin Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadzair, (al-Qahirah: Maktabus
tsaqafi, 2007), h. 22.

3
b. perbuatan ibadah yang memiliki kesamaan dengan adat, sedangkan yang tidak
memiliki keserupaan, tidak harus ada niat.
Contoh:
- Mandi wajib (jinabat) dengan mandi biasa
- Wudhu’ dengan membasuh muka
b. Niat sebagai penjelas suatu ibadah, misalnya fardhu, sunnah, atau lainnya,
bahkan perbuatan yang bernilaikebolehan (ibahat), bisa menjadi ibadah jika
diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah 4.
Contoh:
- Shalat sunnah Zuhur, mana shalat sunnah Ashar
- Mandi Jum’at, mana Mandi Ihram Haji atau Umrah
- Shalat Tarawih, mana Shalat witir
- Shalat Gerhana Bulan, mana Gerhana Matahari
- Shalat Sunnah Qobliyah fardhu, mana sunnah I’tikaf? 5
c. Niat sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki
kemungkinanarti yang tidak langsung dan arti asli, atau yang dikenal
dengan istilah kinayah, misalnya suami menceraikan istrinya dengan
menggunakan kata- kata yang berbentuk kinayah atau sindiran6 Tempat niat
adalah hati, karena hati adalah tempat akal, keinginan dan kayakinan. Ini adalah
pendapat mayoritas ‘ulama. Ada juga yang menyatakan bahwa niat terletak diotak
bukan dihati. Pendapat ini bersumber dari sebagian ahli hukum Islam. Tetapi niat
juga boleh diucapkan dengan lisan 7. Menurut pendapat lain, niat adalah
bermaksud di hati dan dibarengi dengan perbuatan. Oleh karena itu, sesuatu yang
diniatkan dalam hati tetapi tidak dilaksanakan oleh indera, tidaklah termasuk niat.
Lafal al-umuru merupakan bentuk jama’ dari kata tunggal al-amru yang secara
bahasa memiliki arti “perubahan” dan “tingkah”. adalah segala sesuatu yang
tergantung tujuannya. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam
seseorang saat melakukan perbuatan, menjadi kriteria yang dapat menentukan
nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan, baik berhubungan

4 Zainu al-‘Abidin bin Ibrahim bin Nujaim, al-Asybahu wa an-Nazhair, (Bairut: darul kutub Al 'alamiyah, th) cet ket-1, h. 29
5 JalaluddinSuyuthi, op. cit, h. 9.Zainu al-‘Abidin bin Ibrahim bin Nujaim,ibid.
6M. Ma’shum Zein, Pengantar Memahami Nadhom al-Faroidul Bahiyyah, (Jombang: Darul
Hikmah, 2010), cet. ke-1, h. 32.
7 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit, h. 36.

4
dengan peribadatan ataupun adat-kebiasaan. Intinya dalam qa’idah ini mencakup
semua hal tentang niat. Kaidah ini memiliki arti bahwasanya setiap perbuatan
yang dilakukan tergantung pada niat
yang dimunculkan, artinya setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata,
maka niat yang tidak terealisasikan dalam bentuk dlhohir maka tidak akan
berimplikasi pada wujud syar’i. Hukum perbuatan dikembalikan pada niat, apabila
seseorang meningggalkan hal-hal yang dilarang demi melaksanakan perintah,
maka dia diberi pahala atas perbuatannya., tapi apabila dia meninggalkan hal-hal
yang dilarang tersebut hanya berdasarkan kebiasaan maka tidak ada pahala
baginya.
Contoh : Allah melarang makan bangkai diselain keadaan darurat, berdasarkan
firman Allah: ‫حرمت عليكم الميتة‬
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, “
Apabila seseoraang meninggalkan makan bangkai karena dia jijik, maka tidak ada
pahala baginya, tapi apabila dia tidak makan bangkai karena ada larangan syara’
maka Allah memberi pahala baginya.

B.Dalil Dalil Kaedah


1. Kaidah fikih yang teksnya terambil langsung dari nash al-qur’an dan as-sunnah.
Misalnya firman allah ta’ala Surah Al Baqarah Ayat 188 :

Artinya: Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud
agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal
kamu mengetahui.

5
Ayat ini merupakan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan
perbuatan yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak
syar’i. Adapun misal kaidah fikih yang terambil dari sabda Rasullah :

“tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain”
Hadis ini merupakan sebuah kaidah umum tentang berbagai hal, mulai dari masalah-
masalah makanan, pergaulan, muamalah, dan lainnya.
2. Kaidah fikih yang teksnya tidak terambil dari al-qur’an dan as-sunnah, namun
kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as-sunnah.
Misalnya adalah sebuah kaidah yang sangat masyur:

“sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.’’


3. Kaidah fikih yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama. Dan ini biasanya
didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil ( melihat sebab dari sebuah hukum ) atau
dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada
maqoshid syar’iyyah ( maksud dan tujuan dari sebuah hukum syar’i ) atau yang
lainnya.

2. Kaidah fikih yang teksnya terambil langsung dari nash al-qur’an dan as-sunnah.
Misalnya firman allah ta’ala Surah An Nisa Ayat 100:

Artinya: Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan
di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah
ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

6
3. Surah Al Baqarah Ayat 225:

Artinya : Allah tidak menghukummu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja,
tetapi Dia menghukummu karena sumpah yang diniatkan oleh hatimu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.

Ayat Ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan mempunyai hubungan dengan hati dan
kehendak, dan bahwa kehendak mempengaruhi baik dalam keberadaan maupun dalam
ketidakberadaan.
Dari riwayat Anas bin Malik :

Artinya : Dari riwayat Anas bin Malik, bahwa seorang laki-laki Ansar dari Bani Amr
bin Awf berkata: Wahai Rasulullah, Engkau ingin kami menggunakan siwak, lalu
apakah ada yang lain selain itu? Beliau bersabda: ((Kedua jarimu terpisah saat
berwudhu. Kamu letakkan di atas gigimu. Tidak ada pekerjaan bagi orang yang tidak
mempunyai niat, dan tidak ada pahala bagi orang yang tidak mempunyai pahala))

7
4. Surah Al Kahfi 110

Artinya : Maka, barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya dan


menghendaki ganjaran atas amal perbuatannya di akhirat kelak, maka hendaklah dia
selalu mengerjakan kebajikan dan menjauhi semua hal keji dan mungkar serta
janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada
Tuhannya.
Dan ada dari Hadist Hadist Nabi seperti Hadist:

Artinya : “ Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap


seseorang itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa apa
yang diniatkannya”. (HR. Bukhari) 8

‫ف ِم ْام َرأَتِك‬ َ َ‫ِإنَّكَ لَ ْن ت ُ ْنفِقَ نَفَقَةً تَ ْبتَغِي بِ َھا َوجْ َھ هللاِ ِإالَّ أ ُ ِجرْ ت‬
َ ْ‫علَ ْی َھا َحتَّى َما تَج‬
َ ‫ع ُل فِي‬
Artinya: “ Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud
mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekadar
sesuap ke dalam mulut isterimu”. (HR. Bukhari) 9

Niat merupakan keinginan yang berkaitan dengan suatu perbuatan baik pada
saat melakukannya atau sebelumnya. Setiap tindakan yang dilakukan oleh
subjekhukum tidak dapat lepas dari niat, baik pada saat ibadah maupun aktifitas yang
berkaitan dengan hukum-hukum taklifi lainnya10. Apabila tidak ada niat maka
aktifitas-aktifitas tersebuttidak mempunyai implikasi hukum apapun, sebagaimana
tidak ada taklif (pembebanan hukum) bagi orang yang lupa11.

8 Al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathual-Bari ‘Ala Shahihial-Bukhari, cet.ke-1, (tt.th), jilid 1, h.15.
9
Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahihu al-Bukhari, (al-Qahirah: Daru Ibnu Haitsam, 2004),h. 17.
10 Sunnah, Haram, Makruh, Mubah. Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, (tt. th), h.105
11 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op. cit. h. 35.

8
Niat sangat berpengaruh terhadap perbuatan. Suatu perbuatandapat menjadi
haram dengan niat, dan dapat juga menjadi halal dengan niat. Seperti menyembelih
binatang ternak, jika dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka
hukumnya halal, akan tetapi bila dilakukan untuk selain Allah, hukumnya haram.
Demikian pula halnya dengan perbuatan-perbuatan yang lain12.
Demikian pentingnya peranan niat dalam Agama sehingga dari ayat dan
hadits yang banyak mengatur tentang niat dapat dipadatkan hanya menjadi satu
kaidah saja yaitu al-Umuru biMaqashidiha. Inilah kaidah fiqih yang pertama sebagai
acuan hukum. Tradisi memadatkan dalil menjadi kaidah telah menjadi satu metode
dan corak hukum pada masa perkembangannya pemikiran. Peroses pembentukan
kaidah ini tidak terbentuk sekaligus, tetapi bertahap. sejarah menyebutkan bahwa Abu
Thahir ad-Dibasi, ‘ulama dari madzhab Hanafiyah, yang hidup diakhir abad ke-3 dan
awal abad ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah fiqih madzhab Hanafi sebanyak
17 kaidah. Kemudian Abu Sa’id al-Harawi, seorang ‘ulama mazhab Syafi’i
mengunjungi Abu Thahir dan membuat kaidah fiqih Syafi’iyah dalam 5 kaidah
Asasiyah.28Setelah kurang lebih seratus tahun kemudian, datang ‘ulama besar Abu
Hasan al-Kharkhi, yang kemudian mengembangkan kaidah fiqih Abu Thahir menjadi
37 kaidah. Puncak penulisan kaidah ini terjadi pada abad ke 10 dengan lahirnya
tulisan dari kalangan Hanafiyah, yaitu Zainu al-‘Abidin bin Ibrahim bin Muhammad
(w. 970 H), terkenal dengan nama Ibnu Nujaim al-Hanafi al-Mishri, dan dari Mazhab
Syafi’i Imam Suyuthi (w. 911 H) dengan nama lengkapnya Abdu al-Rahman bin Abu
Bakr, yang diberi gelar Jalaluddin dan terkenal dengan nama Suyuthi al-Syafi’i,
kedua ‘ulama ini sama-sama mengarang buku tentang kaidah fiqih yaitu al-Asybah
wa an-Nazhair. Ada dua perbedaan yang mendasar dari kedua tulisan ‘ulama ini pada
kaidah al-Umuru biMaqashidiha.

12 Umar Sulaiman al-Asyqar, Fiqih Niat Dalam Ibadah, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2005),cet. ke-1, h. 52.

9
B. Contoh Contoh
Kaedah ini mencakup semua permasalahan hukum syar’i ,beberapa contoh
penerapannya,yaitu:
1) Barangsiapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang
membolehkannya ,maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada
hukum
tersendiri ,sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukuman nya pun lain.
2) Barangsiapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat
untuk dimilikinya ,maka dia disebut Ghasib (orang yang mengambil harta orang lain
dengan jalan haram) ,yang karena itu maka dia wajib untuk mengembalikannya ,kalau
benda itu rusak ditangannya , baik rusaknya karena kesengajaan dari dia atau
tidak,namun kalau dia mengambilnya dengan niat untuk menyimpannya dan akan
mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi seorang amin (orang yang
mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda) ,maka atas dasar ini dia itu
tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya kecuali kalau sengaja dia
merusaknya.
3) Orang yang makan , kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan
ibadah kepada Allah SWT ,maka makannya berubah menjadi ibadah yg berpahala,
namun kalau tidak berniat dan Cuma karena sudah kebiasaanya dia makan ,maka dia
tidak mendapatkan apa – apa. Begitu juga amal
perbuatan lain yang asalnya mubah.
4) Barangsiapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan untuk
sesuatu yang haram ,seperti akan dijadikan sebagai khomer ,maka hukumnya haram
,sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal.
5) Seseorang yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya , lalu dia memakainya,maka
berarti dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut ,yang mana dia
harus menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan
niat akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak
ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya.namun kalau setelah dia
pakai itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya lagi,maka dia
tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan darinya.
6) Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur,lalu bangun saat jam satu
siang,namun dia menyangka kalau saat itu sudah jam 5 sore ,kemudian dia sholat 4
10
rokaat dengan niat sholat asar,maka sholatnya tidak sah dan dia harus mengulang
sholat dhuhur lagi , juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau sudah masuk
waktunya. Tidak sah nya sholat dhuhur karena dia berniat sholat ashar dan bukan
sholat dhuhur,sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum masuk waktunya .
namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka sholatnya sah.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bentuk permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari
ragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar
terhadap jalan penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang
diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai
dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan
memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah
kehidupan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathual-Bari ‘Ala Shahihial-Bukhari, cet.
ke-1, (tt.th), jilid 1, h. 15.
Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahihu al-Bukhari, (al-Qahirah: Daru Ibnu Haitsam, 2004),h.
17.
Sunnah, Haram, Makruh, Mubah. Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, (tt. th), h.105
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op. cit. h. 35.
Umar Sulaiman al-Asyqar, Fiqih Niat Dalam Ibadah, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2005),
cet. ke-1, h. 52.
Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, th),cet. ke-1, h.
Jalaluddin Suyuthi, Jalaluddin Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadzair, (al-Qahirah: Maktabus
tsaqafi, 2007), h. 22.

13

Anda mungkin juga menyukai