Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Kaidah Umum Kulliyah Yang Kelima;

‫ا ْلعَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

“Al- ‘adatu muhakkamah”

Diajukan dalam rangka memenuhi tugas

mata kuliah Qaqawaid Fiqhiyyah

DISUSUN OLEH :

RISKI SAFITRI A. SAULE ( 05120210015 )

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIMINDONESIA
2023

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT.


yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Al-‘Adat Muhakkamah “ dengan
tepat waktu. Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada baginda nabi
Muhammad Saw.
Makalah kami yang masih perlu dikembangkan lagi ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya. Makalah ini telah
kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Secara umum makalah ini membahas tentang pengertian kaidah al-‘adatu
muhakkamah, dasar hukum al-‘adatu muhakkamah’ dan cabang-cabang kaidah al-
adatu muhakkamah dan serta contohnya.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah
Qawaid Fiqhiyyah yang sudah memberikan tanggung jawab kepada kelompok
kami untuk menyelesaikan makalah ini. Kami sadar bahwa makalah ini masi
belum sempurna dan memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yng membangun dari dosen dan teman teman
untuk bisa dikembangkan pada makalah kami selanjutnya.

MAKASSAR, 26 APRIL 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................
A. Pengertian Kaidah ‫ ْالعَادَة ُ ُم َح َّك َمة‬............................................................................. 6
B. Dasar Hukum Kaidah ‫ ْالعَادَة ُ ُم َح َّك َمة‬........................................................................ 8
C. Cabang-cabang Kaidah ‫ ْال َعادَة ُ ُم َح َّك َمة‬Beserta Contohnya ....................................... 9
BAB III PENUTUP ........................................................................................................
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 13
B. Saran................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muamalah adalah segala aturan agama yang mengatur hubungan


antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, yang
mengatur kehidupan manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia
dengan alam sekitarnya.1 Muamalah dapat dipahami juga sebagai aturan-
aturan hukum Allah SWT, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan
manusia dalam urusan keduniaan dan sosial masyarakat. Dengan
demikian, manusia tidak lagi melanggar segala bentuk aturan yang ada
kaitannya dengan muamalah tersebut. Sehingga apapun bentuk aktivitas
manusia di dunia ini senantiasa dalam rangka mengabdikan diri hanya
kepada Allah SWT dan sesama manusia, dengan tetap menjalankan segala
yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya. Dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, manusia dituntut untuk melakukan tindakan dengan
penuh kehati-hatian. Pada dasarnya manusia diciptakan Allah SWT
sebagai makhluk sosial. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa
hidup sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya. Oleh karena itu,
manusia selalu memerlukan kerjasama antara sesama manusia di bumi.
Hal ini berarti bahwa manusia akan terdorong untuk berinteraksi dengan
sesamanya dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya, baik dari segi
sosial, agama, budaya, serta masalah ekonomi. Dengan demikian akan
tercapai kehidupan yang tenteram dan harmonis
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully
(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa‟id
fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti
pembahasan dalam makalah ini yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat atau
kebiasaan itu bisa menjadidasar dalam menetapkan suatu hukum) yang
diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di

4
dalam masyarakat sehingga dapat dijadikandasar dalam menetapkan suatu
hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui segala
permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih
dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubah-ubah.
Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya
budaya (adat atau kebiasaan ) serta lebih mudah mencari solusi terhadap
masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Didasari itulah pemakalahmerasa tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah
fiqih khususnya berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang
sering kita jumpai yaitu tentang adat (kebiasaan) dengan kaidah, al-adah
al-muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar
dalam menetapkan suatu hukum. Dalam makalah ini akan dikaji mengenai
pengertian al-aadah, dasar-dasar hukum, cabang kaidah al-‘adah
muhakamah

B. Rumusan Masalah

ْ
1. Bagaimana pengertian kaidah ‫?ال َعادَة ُ ُم َح َّك َمة‬
ْ
2. Bagaimana dasar hukum kaidah ‫?العَادَة ُ ُم َح َّك َمة‬
3. Bagaimana cabang-cabang kaidah ‫ ْالعَادَة ُ ُم َح َّك َمة‬beserta contohnya?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian kaidah ‫ْالعَادَة ُ ُم َح َّك َمة‬


2. Untuk mengetahui dasar hukum kaidah ‫ْالعَادَة ُ ُم َح َّك َمة‬
3. Untuk mengetahui cabang-cabang kaidah ‫ ْال َعادَة ُ ُم َح َّك َمة‬beserta contohnya

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah ‫ا ْلعَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

“Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”


Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa
dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari
syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada
dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh
nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama
sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus
berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu
masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa
dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai.
Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau
kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai
ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan
elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa
dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’. 1
Secara bahasa,al-‘adah diambil dari kata a-‘aud (‫ )العود‬atau al-
mu’awadah (‫ )المعاودة‬yang artinya berulang(‫)التكرار‬.2
Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-‘adah dengan:
‫عبارة عما يستقر فى النفوس من األمور المتكررة المقبولة عند الطباع السليمة‬
“Sesuatu ungkapandari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang
terulang-ulang yaang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”
Para ulama mengartikan al-‘adah dalam pengertian yang sama karena

1
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN
Maliki Press,2010). h. 203
2
Prof.H. A. Djazuli. KAIDAH KAIDAH FIKIH: kaidah-kaidah hukum islam dalam
menyelesaikan masalah yang praktis. (Jakarta: Prenada Media, 2007).cet. I, hlm.79.

6
substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya
al-‘urf didefinisikan dengan:
َّ ‫ار ٰذلِكَ ُم‬
‫ط ِردًا أ َ ْو‬ َ ‫ص‬َ ‫اس َوا ْعتَادَهُ فِى أ َ ْق َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْفعَا ِل ِه ْم َحتَّى‬
ُ َّ‫علَ ْي ِه الن‬
َ ‫ف‬ ُ ‫ْالعُ ْر‬
َ َ‫ف ه َُو َما تَع‬
َ ‫ار‬
‫غَا ِلبًا‬
“Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya
dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan
berlaku umum”

Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefinisikan


dengan: ‘Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum
(al-‘adah al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.
Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada dua macam
pertimbangan yang harus diperhatikan. Pertama, pertimbangan keadaan
kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya, dimana dan kapan terjadinya,
bagaimana proses kejadiannya, mengapa terjadi, dan siapa saja pelakunya.
Kedua, perimbangan hukum. Dalam perimbangan hukum inilah terutama
hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam Al-Qur’andan Al-Hadis,
adat kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam
pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi
rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja
hijau. 3Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang
khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat
islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan,
selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus
melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu
terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.

3
Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam
dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012). h. 204.

7
B. Dasar Hukum Kaidah ‫ا ْلعَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

Ketika hadis ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis


nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadis nabi yang
menguatkannya. Sedangkan kaidah tersebut setelah di kritisi dan diasah
oleh para ulama sepanjang sejarah hukum Islam, akhirnya menjadi kaidah
yang mapan.
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah sebagai berikut:
َ‫ع ِن ْال َجا ِهلِين‬ ْ ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْر ِب ْالعُ ْرفِ َوأَع ِْر‬
َ ‫ض‬
Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf serta berpaling dari orang-orang yang bodoh”(QS. Al-A’raaf:199)
ِ‫علَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْع ُروف‬
َ ‫َولَ ُه َّن مِثْ ُل الَّذِي‬
Artinya: “Dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 228)
ِ‫عاش ُِروه َُّن ِب ْال َم ْع ُروف‬
َ ‫َو‬
Artinya: “Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf
(baik)” (an-Nisa:19)
ْ ُ ‫س ِط َما ت‬
‫ط ِع ُمونَ أ َ ْهلِيكُ ْم أ َ ْو ِكس َْوت ُ ُه ْم‬ َ ‫ساكِينَ م ِْن أ َ ْو‬
َ ‫عش ََرةِ َم‬ ْ ‫ارتُهُ ِإ‬
َ ‫ط َعا ُم‬ َ َّ‫فَ َكف‬
Artinya: “Kaffarat (melanggar sumpah) ialah memeberi makan sepuluh
orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu atau memberi pakaian” (QS. al-Maidah:89)
Kataawsath tidak di nash-kan ukurannya dengan ketentuan yang
pasti, maka ukurannya kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan
atau pakaian yang dimakan atau dipakai oleh kkeluarga tersebut.
Adapun Hadist-hadis nabi diantaranya:
‫ص ََلة َ قَدْ َر ْاألَي َِّام‬
َّ ‫ص ََلة َ فَ َقالَ ََل إِ َّن ذَلِكِ ع ِْرق َولَك ِْن دَعِي ال‬ ُ ‫ت إِنِِّي أ ُ ْست َ َح‬
ْ َ ‫اض فَ ََل أ‬
َّ ‫ط ُه ُر أَفَأَدَعُ ال‬ ْ َ‫قَال‬
‫ص ِلِّي‬
َ ‫ْضيْنَ فِ ْي َها ث ُ َّم ا ْغت َ ِسلِي َو‬
ِ ‫ت تَحِ ي‬ ِ ‫الَّتِ ْي كُ ْن‬
Artinya: “Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, dia
berkata: “Saya ini berada dalam kondisi haidh yang tidak berhenti apakah
saya harus meninggalkan shalat”? nabi menjawab:” Tidak, itu adalah
darah penyakit, tapi tinggalkanlah shalat berdasarkan ukuran hari-hari

8
yang engkau biasa menstruasi. Kemudian mandilah dan shaalatlah”.
(HR.Al-Bukhari dari ‘Aisyah)
Dari hadis diatas, jelas bahwa kebiasaan paawanita, baik itu
menstruasi, nifas, dan menghitung waktu hamil yang paling panjang
adalah jadi pegangan dalam penetapan hukum. Kata-kata qadra ayyam dan
seterusnya menunjukkan bahwa ukuran-ukuran terteentu bagi wanita
mengikuti yang biasa terjadi pada diri mereka.

C. Cabang-cabang Kaidah ‫ ا ْلعَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬dan Contohnya

Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidahal-‘adah muhkamah adalah


sebagai berikut:
‫إستعمال الناس حجة يجب العمل به‬
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaaan
dimasyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah
menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan
menjahitnya adalah tukang jahit.
‫إنما تعتبر العادة إذا اضطردت أو غلبت‬
Artinya: “Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah
adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.
Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan
pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-sekali terjadi
dan/atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua
syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus dilakkandan bersifat
umum (keberlakuannya). Contohnya: apabila seseprang berlangganan
majalah atau surat abar, maka majalah atau surat kabar itu diantar kerumah
pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapat majalah atau surat kabar
tersebut maka ia bisa komplain(mengadukannya) dan menuntutnya kepada

9
agen majalah atau surat kabar tersebut.
‫العبرة للغالب الشائع َل للنادر‬
Artinya: “Adat yang diakui adalah yang umunya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Ruayidi menggunakan ungkapan lain yaitu:
‫الحكم بالمعتاد َل بالنادر‬
Artinya: “Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang
terjadi”
Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang,
tetapi bula menggunakan kaidah diatas, maka waktu hamil terpanjang
tidak akan melebihi satu tahun. Demikian pula menentukan menopause
dengan 55 tahun.
ً ‫ف عُ ْر ًفا ك َْال َم ْش ُر ْوطِ ش َْر‬
‫طا‬ ُ ‫ْال َم ْع ُر ْو‬
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena’urf seperti yang diisyaratkan
dengan suatu syarat”
Maksudnya : adat kebiasaaan dalam bermuamalah mempunyai daya
ikat seperti suatu syarat yang di buat, meskipun tidak secara tegas
dinyatakan. Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun
rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang
bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisamenuntun bayaran. Lain
halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang
biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedangdibangun. Lalu dia
bekerja disitu, maka dia harus dibayar upahnya seperti yang lainnya
meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu
atau tukang cat apabila dibayar, dia mendapatkan bayaran.
‫َّار ك َْال َم ْش ُر ْوطِ َب ْينَ ُه ْم‬ ُ ‫ْال َم ْع ُر ْو‬
ِ ‫ف َبيْنَ التُّج‬
Artinya: “ Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai
syarat di antara mereka”
Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya dibidang
muamalah saja, dan itu pun dikalangan pedagang.
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara

10
pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi. 4 Kaidah ini lebih
mengkhususkan adat atau ‘urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang
saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah
al-adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu
yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi
(status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan
syarat yang berlaku diantara mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan
dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan. Namun aplikasi kaidah ini
tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama pedagang saja, akan
tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait dalam
bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Adapun contoh aplikasi
kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk
menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata
yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya
pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah
menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam akad
pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos) pengiriman,
maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab penjual.
ِّ ِ َّ‫الت َّ ْعيِيْنُ بِ ْالعُ ْرفِ كَالت َّ ْعيِي ِْن بِالن‬
‫ص‬
Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Maksudnya kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf
yang memenuhi syarat seperti telah dikemukakan pada bagian c. Adalah
mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan
nash. Contohnya: apabila sseseorang menyewa rumah atau toko
tanpamenjelaskansiapa yangbertempat tinggal dirumah atau toko tersebut,
maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah
bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izizn orang yang
menyewakan.

4
Jaih, Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi),(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002). h. 157.

11
ً‫عادَة ً ك َْال ُم ْمتَن َِع َح ِق ْيقَة‬
َ ‫ْال ُم ْمتَنَ ُع‬
Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkann adat kebiasaan seperti
yang tidak berlaku dalam kenyataan’
Maksudnya kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi
berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi
dalam kenyataannya. Contohnya: seseorang mengaku bahwa harta yang
ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjekaskan dari
mana asal harta tersebut. Sama halnya seseperti seseorang mengaku anak
si A, tetapi ternyata umur dia lebih tua dari si A yang diakui sebagai
bapaknya.
‫ْال َحق ْيقَةُ تُتْ َركُ بِدَ ََللَ ِة ْالعَادَ ِة‬
Artinya: “Arti hakiki ( yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk
arti menurut adat”
Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain
yang ditunjukkan oleh adat kebiasaan. Contohnya; yang disebut jual beli
adalah penyerahan uang danpenerimaan barang olehsipembeli serta
sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan
tetapi, apabila sipembeli sudahmenyerahkan tanda jadi (uang muka),maka
berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si
penjualtidak bisa lagi membatalkan jual belinnya meskipun harga barang
naik.
‫اإلذن العرفى كاإلذن اللفظى‬
Artinya: “Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan
pemberian izin menurut ucapan” 5

5
Prof. H. A. Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007). h. 84-88.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bahwasannya secara bahasa,al-‘adah diambil dari kata a-‘aud


(‫ )العود‬atau al-mu’awadah (‫ )المعاودة‬yang artinya berulang (‫)التكرار‬.
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam
pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa
menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang
diajukan ke meja hijau. Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah
tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat menjadi sebuah
hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama
oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau
belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu,
atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum,
sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.
2. Ketika hadis ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadis nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadis nabi
yang menguatkannya. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut
adalah QS. Al-A’raaf:199, QS. Al-Baqarah: 228) dll.
3. Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidahal-‘adah muhkamah
adalah sebagai berikut:
‫إستعمال الناس حجة يجب العمل به‬
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan”
‫إنما تعتبر العادة إذا اضطردت أو غلبت‬
Artinya: “Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu
hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum. Dan
seterusnya

13
B. Saran

Dengan disusunnya makalah ini, penulis mengharapkan pembaca


dapat mengetahui isi makalah ini, dan lebih memahami tentang pengertian
kaidah al-‘adatu muhakkamah, dasar hukum al-‘adatu muhakkamah’ dan
cabang-cabang kaidah al-adatu muhakkamah dan serta contohnya.
Pembaca juga dapat membaca dan mempelajari buku-buku dari berbagai
pengarang, karena kami sadar penulisan makalah ini hanya membahas
garis besarnya., dan jauh dari kata sempurna, sehingga keritik dan saran
yang membangun untuk penulisan makalah-makalah selanjutnya sangat
diharapkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Arfan, Abbas. Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam


Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah.2012.Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI.

Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis).2007.Jakarta: Kencana.

Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah


Asasi).2002.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tamrin, Dahlan. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah).


2010. Malang: UIN Maliki Press.

15

Anda mungkin juga menyukai