Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

USHUL FIQIH
„URF, QAULUSH SHAHABI,
& SYAR‟UN MAN QABLANA

Dosen Pengampu:
Ahmad Adri Riva‟i, M.Ag
Kelompok 8:

Ibnu Mas‟ud 12120110668


Muhammad Alfurqon.M 12120110496
Muhammad Fadhil Saputra 12120110755

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2022 M / 1443 H
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “URF, QAULUSH
SHAHABI, SYAR’U MAN QABLANA’ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Ahmad Adri Riva’i, M.Ag. Pada mata kuliah Ushul Fiqih. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga para penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad Adri Riva’i, M.Ag.
Selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqih yang telah memberikan tugas ini sehingga kami
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang kami tekuni.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan informasi yang berguna
bagi para pembacanya, baik bagi teman-teman mahasiswa maupun masyarakat pada
umumnya.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pekanbaru, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I: PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAAN .................................................................................... 3
2.1. Pengertian U‟rf ............................................................................................ 3
2.2. Landasan Hukum U‟rf ................................................................................. 5
2.3. Syarat U‟rf ................................................................................................... 6
2.4. Macam-macam „Urf .................................................................................... 7
2.5. Pengertian Qaulush Shahabi ........................................................................ 11
2.6. Pendapat Ulama Tentang Qaulush Shahabi ................................................ 12
2.7. Pengertian Syar‟un Man Qablana ................................................................ 15
2.8. Pendapat Ulama Tentang Syar‟un Man Qablana ........................................
BAB III : PENUTUP ............................................................................................... 18
3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 18
3.2. Saran ............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 19

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah
samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia
dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini,
maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan
komperhensif.

Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang
ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan
kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan
zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam
hukum Islam:

(1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang
zaman.

(2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal
yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.

Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra‟yu (logika-logika yang
benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih
sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan
hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra‟yu para fuqaha.
Dan diantaranya adalah ,„urf, qaul shahabi dan syar‟u man qablana yang akan dibahas
dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang diatas maka dapat dirumuskan masalahnya seperti


berikut :
1. Apa defenisi „Urf, landasannya, serta syarat-syaratnya?
2. Apa definisi Qaulush Shahabi dan Syar‟u Man Qablana?
3. Bagaimana pendapat ulama‟ tentang Qaul Shahabi & Syar‟u Man Qablana?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memudahkan mahasiswa dalam memahami fokus
konsep pembelajaran ilmu uhsul fiqh tentang „Urf, Qaul Shahabi & Syar‟u Man
Qablana. Selain itu makalah ini dibuat juga untuk memudahkan pembaca dalam
menerapkan perilaku sahabat nabi pada masa lampau yang akan digunakan untuk masa
sekarang tentang pola piker, perilaku dan ilmunya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

‘URF
2.1 Pengertian ‘Urf
Secara etimologi „urf berasal dari kata „arafa, ya‟rifu (‫عرف‬-‫ )ي عرف‬sering
diartikan dengan al-ma‟ru>f (‫ )ال م عروف‬dengan arti “sesuatu yang dikenal”, atau berarti
yang baik. Kalau dikatakan (Si Fulan lebih dari yang lain dari segi „Urf-nya),
maksudnya bahwa si fulan lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian
“dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui” oleh orang lain.1
Sedangkan secara terminology kata „urf, mengandung makna sesuatu yang telah
terbiasa (di kalangan) manusia atau sebagian mereka dalam hal muamalat (hubungan
kepentingan) dan telah melihat/tetap dalam diri-diri mereka dalam beberapa hal secara
terus-menerus yang diterima oleh akal yang sehat. „Urf lahir dari hasil pemikiran dan
pengalaman manusia.2
Kata „Urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al- „a>dah
(kebiasaan), yaitu: “Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya
diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.”3
Kata al-„Adah disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang,
sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Ulama‟ Wahbah al-Zuhayli berpendapat
bahwa „urf mengandung makna: apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka ikuti
dari setiap perbuatan yang umum diantara mereka, atau lafaz yang mereka kenal secara
umum atas makna khusus bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar
kata itu, mereka tidak memahaminya dengan penngertian lain.4

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hal.387.
2
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 & 2, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2010), hal.162.
3
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hal.209.
4
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal.829.

3
Sedangkan Abdul Karim Zaidah mendefinisikan „urf sebagai sesuatu yang tidak
asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, „urf adalah segala apa yang dikenal oleh
manusia dan berlaku padanya baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan
sesuatu.5
Para ulama‟ ushul fiqh mendefinisikan „urf sebagai suatu yang telah saling kenal
oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan,
perbuatan ataupun sikap meninggalkan sesuatu, dimana „urf juga disebut sebagai adat
istiadat.6
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa „urf terdiri dari dua bentuk yaitu,
„urf al-qauli> (kebiasaan dalam bentuk perkataan), misalnya kalimat “engkau saya
kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam Indonesia mengandung arti
talak. Sedangkan „urf al-fi‟li> (kebiasaan dalam bentuk perbuatan) seperti transaksi
jual-beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul
yang disebut jual-beli muathah.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan pengertian „urf adalah apa
yang dikenal oleh masyarakat baik berupa perkataan, perbuatan atau aturan-aturan yang
telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat tersebut. Sehingga tidak menimbulkan
penafsiran lain yang berbeda kalangan masyarakat mengenai tradisi tersebut.
Para ulama ushul fiqh membedakan adat dan „urf sebagai salah satu dalil untuk
menetapkan hukum syara‟. Menurut mereka „urf adalah kebiasaan mayoritas kaum, baik
dalam perkataan maupun perbuatan. Sedangkan adat didefinisikan dengan sesuatu yang
dilakukan berulang kali tanpa adanya hubungan rasional.7

5
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hal.123
6
Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh, (Jogjakarta:IRCiSoD, 2014), hal.151
7
Ibid, hal.152

4
2.2 Landasan Hukum ‘Urf
Landasan syariah berupa Al-Qur‟a>n, Hadis serta kaidah fiqh yang berkaitan
dengan maslahah akan di uraikan secara terperinci, jumhur ulama dalam menetapkan
maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan:
a. Al-Qur‟an
Dasar hukum yang digunakan ulama mengenai kehujjahan „urf disebutkan dan
dijelaskan dalam al-Qur‟an yaitu :
1. Dalam surat al-A‟raf (7) ayat 199:
‫لعرف و ر الع‬ ‫ع واعر‬ ‫ال‬
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Melalui ayat di atas, Allah swt. memerintahkan kaum muslimin untuk
mengerjakan yang ma‟ruf. Sedangkan yang disebut ma‟ruf ialah yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan
watak manusia yang benar, dan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.8
2. Firman Allah swt dalam surat Al-maidah (5) ayat 6 yakni:
‫يري‬ ‫ل ع‬ ‫ع‬ ‫ر‬ ‫ر يري ول‬ ‫ل‬ ‫عم ول‬ ‫ع‬ ‫رو لع‬
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Pada ayat di atas menegaskan bahwa Allah tidak ingin menyulitkan hambanya
baik di dalam syarak maupun yang lainnya. Allah akan melapangkan esempitan dan
mengurangi kesusahan kerena Allah swt maha kaya dan maha penyayang. Allah tidak
memerintahkan hambanya untuk mengerjakan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat
kebaikan dan di dalamnya terdapat unsure kemanfaatan bagi hambanya.
3. Dalam Surah Al-Hajj (22) ayat 78:
‫ع و‬ ‫ع‬ ‫ال ي‬ ‫ر‬
“Dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.”
Al-Haraj pada ayat diatas berarti kesempitan. Dalam hadis Nabi dikatakan
bahwa Allah akan menghapuskan kesulitan yang dihadapi oleh hamba-Nya dengan
kebesaran-Nya. Hal ini menunjukan bahwa Allah tidak akan menyulitkan hamba-Nya

8
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh…, hal.212.

5
dan Allah senantiasa memberikan kemudahan kepada hamba-Nya baik di dalam hal
ibadah maupun bermuamalah.

b. Hadist
Adapun dalil Sunnah sebagai landasan hukum „urf yakni hadis dari Nabi
Muhammad saw yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud:
‫م‬ ‫الم م‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫الم م‬ ‫ع‬
“Apa yang dipandang oleh orang-orang Islam baik, maka baik pula disisi Allah swt.,
dan apa yang dianggap orang-orang Islam jelek maka jelek pulalah di sisi Allah
swt”. (HR. Ahmad).

Ungkapan Abdullah bin Mas‟ud di atas, baik dari segi redaksi ataupun
maksudnya menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam
masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntutan umum syariat Islam adalah
merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya hal-hal yang bertentangan
dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat akan melahirkan kesulitan dan
kesempitan dalam kehidupan sehari-hari.9

2.3 Syarat ‘Urf


Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa „urf dapat dijadikan sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syara', jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. „Urf bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini merupakan
kelaziman bagi „urf yang shahih sebagai persyaratan untuk diterima secara
umum.
b. „Urf berlaku umum artinya „urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:
“Sesungguhnya adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara umum.
Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan”.10

9
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh…, hal.212.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2..., hal.401.

6
c. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku)
pada saat itu, bukan yang akan muncul kemudian. Dalam hal ini ada kaidah yang
mengatakan:
„Urf yang diberlakukan padanya suatu lafad (ketentuan hukum) hanyalah yang
dating beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian”.11
d. „Urf itu tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti.
e. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah merumuskan kaidah hukum yang berkaitan
dengan „urf diantaranya adalah:
“Semua yang diatur oleh syara‟ secara mutlak, namun belum adaketentuan
dalam agama serta dalam bahasa, maka semua itu dikembalikan kepada „urf”.12
„Urf berbeda dengan ijma‟ disebabkan karena „urf itu dibentuk oleh kebisaan-
kebiasaan orang yang berbeda-beda tingkatan mereka, sedang ijma‟ dibentuk dari
persesuaian pendapat khusus dari para mujtahidin. Wahbah az-Zuhaily berpendapat
mengenai hal ini beliau mengatakan ijma‟ dibentuk oleh kesepakatan para mujtahid dari
umat Rasulullah saw. setelah wafatnya terhadap suatu masalah. Ijma‟ tidak dapat
dijadikan sebagai sumber hukum kecuali melalui hukum syara‟ yang kadang sampai
kepada kita atau kadang pula tidak sampai. Oleh karena itu ijma‟ dianggap sebagai
hujjah yang mengikat.
Sedangkan „urf menurut beliau tidak disyaratkan adanya kesepakatan, tidak
dituntut pula bersumber dari dalil syara‟ dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat selamanya karena „urf ada yang shahih dan ada pula yang fasid.
2.4 Macam-Macam Urf’
Para ulama‟ ushul membagi „urf menjadi tiga macam
1) Dari segi objeknya „urf dibagi kepada : kebiasaan yang menyangkut ugkapan dan
kebiasaan yang berbentuk perbuatan.
a. Kebiasaan yang menyangkut ungkapan(al-„Urf al-lafdzi)
Kebiasaan yang menyangkut ungkapan ialah kebiasaan masyarakat yang
mengunakan kebiasaan lafdzi atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan

11
Ibid
12
Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh…hal.154-159

7
sesuatu. Misalnya ungkapan ikan dalam masyarakat mengungkapkan lauk pauk.
Padahal dalam maknanya ikan itu berarti ikan laut. Tetapi ini sudah umum pada
suatu daerah tertentu.
Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain, maka tidak
dinamakan „urf, misalnya ada seseorang datang dalam keadaan marah dan
ditanganya ada tongkat kecil, saya berucap “ jika saya bertemu dia maka saya
akan bunuh dia dengan tongkat ini.” Dari ucapanya ini dipahami bahwa yang dia
maksdu membunuh tersebut adalah memukul dengan tongkat. Ungkapan seperti
ini merupakan majaz bukan „urf13
b. Kebiasaan yang berbentuk perbuatan (al-„urf al-amali)
Kebiasaan yang berbentuk perbuatan ini adalah kebiasaan biasa atau
kebiasaan masyarakat yang berhubungan dengan muamalah keperdataaan.
Seperti kebiasaan masyarakat yang melakukan jual beli yaitu seorang pembeli
mengambil barang kemudian membayar dikasir tanpa adanya suatu akad ucapan
yang dilakukan keduanya.
2) Dari segi cakupanya „urf dibagi menjadi dua yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan
kebiasaan yang bersifat khusus.
a. Kebiasaan yang bersifat umum (al-„urf al-„am)
Kebiasaan yang umum adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas
diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah dan seluruh negara. Seperti mandi di
kolam, dimana sebagai orang terkadang melihat aurat temanya, dan akad
istishna‟ (perburuhan). Misalnya lagi dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban
serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh
lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap
penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.14
Ulama‟ Madzab Hanafi menetapkan bahwa „urf ini („urf „am) dapat
mengalahkan qiyas, yang kemudian dinamakan istihsan „urf . „urf ini dapat men-
takhsis nash yang „am yang bersifat zhanni>, bukan qath‟i. Di antara

13
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1…,139
14
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, cet ke-1, 2005),154.

8
meninggalkan keumuman dari nash zhanni> karena adanya „urf ialah larangan
nabi SAW mengenai jual beli yang disertai dengan adanya syarat. Dalam hal ini,
jumhur ulama madzab Hanafy dan Maliky menetapkan kebolehan
diberlakukanya semua syarat, jika memang berlakunya syarat itu dipandang
telah menjadi „urf (tradisi).15
Akan tetapi apa sesunggunya „urf „am yang dapat mentakhsis nash „am yang
zhanni> dan dapat mengalahkan qiyas?. Dalam hubungan ini, kami menemukan
alasan yang dikemukakan oleh fuqaha‟ tentang dibolehkanyan meninggalkan
qiyas dalam akad isthisna‟ sebagai berikut “menurut qiyas, akad isthisna‟ tidak
diperbolehkan. Akan tetapi kami meninggalkan dalil qiyas lantaran akad tersebut
telah berjalan dimasyarakat tanpa seorangpun yang menolak, baik dari kalangan
sahabat, tabi‟in, maupun ulama-ulama sesudahnya sepanjang masa”. Ini
merupakan hujjah yang kuat, yang dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan
qiyas. „Urf seperti itu dibenarkan berdasarkan ijma‟ yang paling kuat karena
didukung, baik oleh kalangan mujtahid maupun diluar ulama-ulama mujtahid;
oleh golongan sahabat maupun orang-orang yang datang setelahnya. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa „urf „am yang berlaku diseluruh negeri
kepada kenyataan pada abad-abad yang telah silam.16
b. Kebiasaan yang bersifat khusus (al-urf al-khash)
Kebiasaan yang bersifat khusus adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan
di masyarakat tertentu. Sedangkan menurut Abu Zahra lebih terperinci lagi
yaitu„urf yang berlaku di suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat
tertentu, Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada
barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainya dalam barang itu,
konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan
mengenai penentuan masa garansi terhadap barang-barang tertentu.17„Urf
semacam ini tidak boleh berlawanan dengan nash. Hanya boleh berlawanan
dengan qiyas yang ilat-nya ditemukan tidak melalui jalan qat}hiy, baik berupa
nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan terangnya.
15
Abu Zahro, Ushul Fiqh...,418.
16
Abu Zahro, Ushul Fiqh...,419
17
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam...,135.

9
3) Dari segi keabsahanya dari pandangan syara‟, „urf terbagi dua, yaitu kebisaaan yang
dianggap sah dan kebiasaan yang dianggap rusak.
a. Kebiasaan yang dianggap sah (al-„Urf al-s ah ih ).
Kebiasaan yang dianggap sah adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits) tidak
meghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mad}arat kepada
mereka. Atau dengan kata lain tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak
membatalkan yang wajib. Misalnya, dalam masalah pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak perempun dan hadiah ini tidak dianggap sebagai
mas kawin.
b. Kebiasaan yang dianggap rusak (al-Urf fasid)
Kebiasaan yang dianggap rusak adalah kebiasaan yang bertentangan dengan
dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟. Misalnya,
kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti
peminjaman uang antar sesama pedangang. Uang itu sebesar sepuluh juta rupiah
dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh
tempo, dengan perhitungan bunga 10%. Dilihat dari keuntungan yang diraih
peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena yang
diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%.
Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong-menolong
dalam pandangan syara‟, karena pertukaran barang sejenis, menurutsyara‟ tidak
boleh saling melebihkan. Dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang
berlaku di zaman Jahiliah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi‟ah (riba yang
muncuk dari pinjam meminjam). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut
ulama‟ ushul fikih termasuk dalam kategori al-„urf al-fasid.

10
QAULUSH SHAHABI
2.5 Pengertian Qaulush Shahabi
Sebagian ulama ushul fiqh menyebut istilah qaul ash-shahábi dengan istilah
madzhab ash-shahabi. Sebenarnya kedua istilah ini tidak persis sama maknanya. Sebab
yang dimaksud dengan qaul ash-shahábí ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh
seorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum
syara' yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Alquran maupun sunnah
Rasulullah. Sedangkan madzhab ash-shahábí menunjuk pengertian pendapat hukum
para sahabat secara keseluruhan, tentang suatu hukum syara' yang tidak terdapat, baik
dalam Alquran maupun sunnah, di mana pendapat para sahabat tersebut merupakan
hasil kesepakatan di antara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara
keduanya ialah, qaul ash-shahábí merupakan pendapat perorangan, yang antara satu
pendapat sahabat dengan pendapat sahabat lainnya dapat berbeda. Sedangkan madzhab
ash-shahábí merupakan pendapat bersama. Dalam hal ini, madzhab ash-shahábi lebih
tepat disebut dengan istilah ijma' ash-shahábi.
Bak juga disebutkan, terdapat perbedaan pengertian antara jumhur ulama ushul
fiqh dan jumhur ulama hadis tentang yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah.
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan sahabat ialah, setiap orang
mukmin yang bertemu dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan mukmin, dan bergaul
dengan beliau dalam waktu yang lama.
Sedangkan menurut jumhur ulama hadis, sahabat ialah: setiap orang mukmin
yang bertemu dengan Rasulullah, dan wafat dalam keadaan mukmin, baik pergaulan
mereka tersebut dalam waktu yang lama maupun sebentar.18
Sejarah membuktikan, qaul ash-shahábi merupakan rujukan hukum nengenai
peristiwa-peristiwa hukum yang baru terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang
tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Alquran dan sunnah. Akan tetapi harus
dikatakan, sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat ahli
dalam hukum Islam. Para sahabat Rasulullah tersebut, antara satu dengan lainnya,
memilik bakat dan keahlian yang berbeda-beda dalam masalah hukum syara. Sebagian
sahabat sangat mendalami dan menekuni masalah-masalah hukum, sehingga tidaklah

18
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet. 1 (Jakarta: Amzah, 2010) hal.223-224

11
mengherankan, jika sebagian sahabat sangat populer dengan fatwa-fatwa hukumnya, di
mana pendapat mereka itu berserakan dalam berbagai kitab fiqh. Apabila pendapat-
pendapat tersebut dikumpulkan dalam satu kitab tersendiri, akan menghabiskan banyak
jilid dan halaman buku. Sementara itu, sahabat yang lainnya tidak demikian halnya,
hanya memfatwakan sebagian kecil hukum, bahkan sebagian lainnya sama sekali tidak
terdapat riwayat yang menukil pendapat hukum mereka.19

2.6 Pendapat Ulama Tentang Qaul ash-Shahabi


Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai
rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab,
dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi
dipandang berkedudukan sebagai al khabar at tawqif (informasi keagamaan yang
diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah SAW.
Para ulama juga sepakat, qaul ash shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan
dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijmá' ash-
shahabi), baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma' ash-sharih),
maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang
berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijmá as-sukuti), yang dalam istilah lain di
sebut dengan madzhab ash-shahabi, misalnya : bagian warisan nenek perempuan adalah
seperenam harta warisan.
Sebaliknya, para ulama juga sepakat, bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan
hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainnya. Sebab fakta
sejarah menunjukkan, di kalangan para sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat
dalam beberapa masalah hukum syara‟ tertentu. Sekiranya pendapat seorang sahabat
menjadi hujjah terhadap sahabat lainnya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak
terjadi. Yang menjadi persoalan ialah, apakah qaul ash-shahabi yang merupakan
pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi'in dan generasi berikutnya
ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama sebagai berikut.

19
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet. 1 (Jakarta: Amzah, 2010) hal.225

12
Menurut jumhur, yaitu ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat asy Syafi'i
yang lama (qaul al-qadim), dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul
ash-shahâbî merupakan hujjah. Bahkan menurut mereka, qaul ash-shahâbi didahulukan
dari pada al-qiyâs. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut.
a. Firman Allah pada surah Ali Imran (3): 110:
‫ر‬ ‫ا‬ ‫ا ر‬ ‫رو ل‬ ‫لمعروف‬ ‫الم ر ع و‬ ‫و‬

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Ayat ini ditujukan kepada para sahabat, sehingga menunjukkan bahwa apa yang
mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
b. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain ra

‫ع‬ ‫ال‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫ر‬ ‫ال ي‬ ‫ي‬ ‫ال ي‬ ‫ي‬
Dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku,
kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
c. Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasulullah Di samping
itu, karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang
lama, hal itu memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam
memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum syara' (maqashid
asy syari'ah). Dengan bergaul bersama Rasulullah, berarti mereka merupakan
murid-murid langsung dari beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini
pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat
mereka bertentangan dengan al qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadis
yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi
terbaik (memiliki sifat al-'adalah), yang sangat sulit diterima, menurut
kebiasaan, jika mereka melahirkan pendapat syara' tanpa alasan. Sebab hal itu
terlarang menurut syara'.20

20
Ibid hal.228

13
Menurut ulama Asya'irah, Mu'tazilah, Syi'ah salah satu pendapat asy Syafi'i
(qaul al-jadid) dan salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal: qaul ash-shahabi bukan
merupakan hujjah. Alasan pendapat mereka adalah sebagai berikut.
a. Firman Allah pada surah al-Hasyr (52): 2:
‫ع روا‬ ‫ي ول‬ ‫ا‬
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang. orang yang
mempunyai wawasan.”
Ayat ini, menurut mereka, memerintahkan orang-orang yang memiliki nalar
untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus melarang orang yang
memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid, apalagi jika qaul ash-shahábi
tersebut bertentangan dengan al-qiyas. Oleh karena itu, tidak boleh mengikuti qaul ash-
shahábi yang bertentangan dengan al-qiyas, karena kedudukan al-qiyas lebih tinggi dari
qaul ash-shahábi.
b. Ijma‟ telah terjadi di kalangan sahabat, bahwa di antara sesama sahabat boleh
berbeda pendapat. Oleh karena itu, pendapat mereka bukan merupakan hujjah.
Dalil yang kedua ini kurang tepat, karena objek persoalan ialah, apakah qaul
ash-shahabi menjadi hujjah bagi generasi setelah mereka? Bukan di antara
sesama sahabat.
c. Dari segi logika, para sahabat termasuk golongan mujtahid juga. Sedangkan
pendapat mujtahid mempunyai peluang untuk salah dan lupa. Oleh karena itu,
mujtahid dari generasi tabi'in dan sesudahnya tidak wajib mengikuti qaul ash-
shahabi.
d. Fakta sejarah menunjukkan, beberapa sahabat mengakui hasil ijtihad tabi'in yang
berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Hal ini tentu tidak akan terjadi, jika
memang qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Sebagai contoh: Ketika Anas bin
Malik ditanya mengenai suatu masalah, ia berkata: "Tanyakan masalah itu
kepada pemimpin kita, al-Hasan". Sebagai diketahui, Anas bin Malik adalah
generasi sahabat, sedangkan Hasan adalah generasi tabi'in. Hal ini menunjukkan
bahwa qaul ash-shahâbi bukan merupakan hujjah.21

21
Ibid hal.229

14
SYAR’U MAN QABLANA
2.7 Pengertian Syar’u Man Qablana
Syaru man qablana artinya ialah, syariat orang-orang yang sebelum kita. Yang
dimaksud dengan syar'u man qablana yaitu, syariat hukum dan ajaran-ajaran yang
berlaku pada para nabi 'alaihim ash-shalat wa as salam sebelum Nabi Muhammad diutus
menjadi rasul, seperti: syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, Nabi Isa , dan
lain-lain.
Sebagaimana diyakini, syariat Nabi Muhammad, merupakan syariat terakhir
yang diturunkan Allah kepada manusia. Dalam itu, baik Alquran maupun hadis Nabi
banyak berisi kisah para nabi dan rasul Allah yang sebelumnya, serta hukum-hukum
syara' yang berlaku bagi mereka dan umatnya. Berkaitan dengan syariat para nabi
tersebut, dalam kajian ushul fiqh, para ulama mengemukakan pembahasan tentang
persoalan, apakah syariat yang diturunkan Allah kepada para nabi sebelum Nabi
Muhammad diutus, berlaku juga bagi Nabi Muhammad dan umat beliau atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, di bawah ini akan dikemukakan
pendapat para ulama sebagai berikut.22

2.8 Pendapat Ulama Tentang Syar’u Man Qablana


Sebelum lebih jauh mengemukakan perbedaan pendapat ulama tentang
persoalan di atas, lebih dahulu ditegaskan, bahwa semua ulama sepakat, syar‟u man
qablana yang tidak terdapat dalam Alquran maupun sunnah, tidak berlaku bagi Nabi dan
umat beliau. Sebab syariat Nabi Muhammad bersifat menggantikan syariat terdahulu.
Dengan demikian, dengan datangnya syariat Nabi Muhammad, maka semua syariat para
nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam nash Alquran dan sunnah, dengan sendirinya
menjadi tidak berlaku lagi. Misalnya, haramnya memakan semua daging binatang yang
berkuku genap, tindakan bunuh diri sebagai cara taubat, dan memotong bagian pakaian
yang terkena najis.

Selanjutnya, para ulama juga sepakat, syar'u man qablana yang tercantum dalam
Alquran atau sunnah dan secara tegas dinyatakan berlaku oleh Rasulullah SAW,

22
Anton Sujarwo, Kedudukan Syar’u Man Qablana (Duta Islam, Jakarta) Sabtu, 25 Juli 2020

15
keberlakuannya bukan karena kedudukanya sebagai syar'u man qablana, melainkan
karena disyariatkan oleh Alquran atau sunnah Rasulullah SAW. Syariat puasa,
misalnya, diberlakukan kepada Nabi dan umatnya, bukan karena ia merupakan syar'u
man qablana, melainkan karena disyariatkan oleh Alquran, sebagaimana terdapat dalam
firman Allah surah al-Baqarah (2): 183. Demikian pula syariat ibadah haji, berlaku
karena disyariatkan oleh Alquran, bukan karena mata ia merupakan syar'u man qablana.
Tambahan lagi, kedua syariat ibadah tersebut memiliki perbedaan-perbedaan dengan
ibadah puasa dan haji yang berlaku pada para Nabi dan rasul terdahulu.

Adapun yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama ialah, hukum dari masalah-
masalah yang tidak secara tegas diberlakukan pada syariat Nabi Muhammad, tetapi juga
tidak terdapat nash yang me-naskh-kannya/membatalkannya. Dalam hal ini, terdapat
dua kelompok pendapat ulama yang saling bertolak belakang tentang berlaku atau
tidaknya syar'u man qablana tersebut bagi Nabi, dan umat beliau. Pendapat pendapat
tersebut adalah sebagai berikut.

Mayoritas ulama Hanafiyyah, ulama Malikiyyah, sebagian ulama Syafi'iyyah dan


sebagian Hanabilah, antara lain: at-Tamimi, berpendapat, syar'u man qablana berlaku
bagi umat Islam, jika syariat tersebut di informasikan melalui Rasulullah, bukan karena
terdapat dalam kitab suci mereka yang telah mengalami perubahan, dan tidak terdapat
nashsh syara' yang membantahnya. Dasar pendapat mereka adalah:
a. Firman Allah pada surah al-An'am (6): 90:
‫ال ي اول‬ ‫ا‬
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka.”

Ayat di atas ditujukan kepada Rasulullah agar mengikuti para nabi dari Bani
Israil. Oleh karena itu, syariat mereka juga harus diikuti, selama tidak ada
nashsh yang me-naskh-kannya.

b. Firman Allah pada surah an-Nahl (16): 123:

16
‫او‬ ‫ا ال‬ ‫ا‬ ‫ار‬ ‫و‬ ‫الم ر‬
Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif" dan ia tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan.
Ayat ini memerintahkan kepada Rasulullah untuk mengikuti agama Nabi
Ibrahim, antara lain, mengikuti syariatnya.
c. Firman Allah pada surah al-An'âm (6): 161:
‫ا‬ ‫را ال‬ ‫م ي‬ ‫ار‬ ‫و‬ ‫الم ر‬
Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki Tuhanku kepada jalan yang
lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan ia tidak
termasuk orang-orang musyrik".
Ayat ini juga menegaskan bahwa syariat Nabi Ibrahim, sebagai bagian dari
syar'u man qablana wajib diikuti oleh umat Islam.
d. Firman Allah pada surah asy-Syûrâ (42): 13:
‫ر‬ ‫ل‬ ‫ال ي‬ ‫و‬ ‫وال‬ ‫او‬ ‫و ال‬ ‫و‬ ‫ار‬ ‫و‬ ‫ا وع‬
‫ر ا و ال ي ا م ا‬
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan yang telah Kami wahyukan kepada mu dan yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama ini, dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”
Ayat ini menegaskan bahwa syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
juga telah disyariatkan kepada para nabi sebelum beliau. Ayat ini juga
menunjukkan bahwa pada dasarnya semua syariat yang diturunkan Allah
merupakan satu kesatuan.23

Ulama Asya'irah, Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian ulama Syafi'iyyah dan mayoritas


ulama Hanabilah berpendapat, syar'u man qablana yang tidak ada ketegasan
pemberlakuannya dan tidak pula ada nashsh yang me-nasakh-kannya, maka ia tidak
berlaku bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Dalil yang mereka kemukakan, antara lain,
ialah:

23
Ibid, hal.232

17
a. Firman Allah pada surah al-Ma'idah (5): 48:
‫ع ل‬ ‫رع‬ ‫و‬
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang.”
Ayat ini menegaskan bahwa setiap umat sudah ada syariatnya masing-masing,
dan tidak diperintah untuk mengikuti syariat umat lainnya. Karena itu, syar'u
man qablana tidak berlaku bagi kita.

b. Jika syariat sebelumnya berlaku bagi kita, tentulah Rasulullah SAW dan
umatnya diperintah untuk mempelajari dan merujuk kitab-kitab suci
sebelumnya, untuk menemukan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam nashsh
Alquran dan sunnah. Sebagai contoh, ketika Rasulullah dihadapkan kepada
masalah zihâr, li'ân dan masalah masalah hukum waris, beliau tawaqquf (tidak
menyatakan pendapat hukum), karena menunggu datangnya wahyu yang
menjelaskan masalah-masalah tersebut. Dalam hal ini, Rasulullah tidak
bertindak meneliti hukum masalah-masalah tersebut dalam kitab-kitab suci
terdahulu, padahal kitab-kitab tersebut juga merupakan syariat yang diturunkan
Allah. Tambahan lagi, terdapat ijma' yang menyatakan perintah untuk itu tidak
ada. Hal ini menunjukkan bahwa syar'u man qablana tidak berlaku bagi kita.
c. Ketika Rasulullah mengutus Mu'az bin Jabal ke Yaman sebagai hakim, beliau
menanyai Mu'az tentang pedoman yang digunakannya untuk bertugas. Mu'az
kemudian menjawab bahwa ia berpedoman kepada Alquran, sunnah, dan ijtihad.
Jawaban ini disetujui Rasulullah, dan tidak mengarahkannya untuk mem
pedomani syar'u man qablanâ. Jika syar'u man qablanâ berlaku bagi kita, tentu
Rasulullah mengoreksi jawaban Mu'az, dan mengingatkan agar mempedomani
syar'u man qablana
d. Ahmad meriwayatkan hadis dari Jabir bin Abdullah, bahwa Umar bin al-
Khaththab membawa kitab yang didapatnya dari Ahl al-Kitab. Nabi
membacanya, kemudian beliau bersabda sambil marah:

18
‫ي‬ ‫ا‬ ‫ال‬ ‫وال‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ع‬
‫رو‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫وال‬ ‫ل‬ ‫و ع‬
‫ي ع‬
"Apakah kamu terkecoh karena kagum wahai Ibnu al Khaththab? Demi Allah
yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh saya diutus diutus agama yang putih
bersih. Jangan bertanya kepada Ahl al-Kitâb tentang sesuatu yang mereka
mengecoh kamu dengan kebenaran, maka kamu dustakan dengannya , atau
dengan kebatilan, maka kamu benarkan dengannya. Demi Allah yang jiwaku di
tangan-Nya, sekiranya Nabi Musa masih hidup, maka ia tidak dapat berbuat
banyak kecuali akan mengikutiku".
Dari hadis di atas dapat diketahui, jika syar'u man qablana berlaku bagi kita,
tentu Rasulullah tidak marah dengan sikap Umar tersebut, sebagaimana beliau
tidak marah ketika Alquran dibaca.
Demikianlah dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing kelompok unuk
mendukung pendapatnya. Masing-masing dalil memiliki kelemahan sehingga dapat
dikritik. Misalnya, dalil kelompok pertama yang berkaitan dengan perintah mengikuti
para Nabi sebelumnya, bahwa yang di perintahkan untuk mengikutinya adalah yang
berkaitan dengan akidah tauhid dan prinsip-prinsip umum syariat, yaitu yang biasa
diistilahkan dengan kulliyyat al-khams (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta), bukan yang berkaitan dengan syariat hukum secara keseluruhan.

Setelah memperhatikan perdebatan kedua kelompok di atas, sebagian ulama ushul fiqh
kontemporer, (misalnya: Khudhari Baik, Abdul Wahhab Khallaf, dan Zakiuddin
Sya'ban) lebih cenderung kepada pendapat kelompok pertama. Artinya, syar'u man
qablana berlaku bagi kita, dengan syarat: syariat tersebut terdapat dalam Alquran dan
hadis-hadis yang shahih. Alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut.
1) Dengan tercantumnya syar'u man qablana pada Alquran dan sunnah yang
shahih, maka ia termasuk dalam syariat samawi.
2) keberadaanya dalam Alquran dan sunnah tanpa diiringi dengan penolakan dan
tanpa naskh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syariat Nabi
Muhammad SAW.

19
3) Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa Alquran membenarkan kitab-kitab
Taurat dan Injil. Sebagai contoh, berbeda dengan ulama mazhab lainnya, ulama
Hanafiyyah berpendapat, laki-laki dijatuhi hukuman mati karena membunuh
perempuan, dan orang muslim dapat dijatuhi hukuman mati karena membunuh
orang kafir zhimmi berdasarkan firman Allah pada surah al-Ma'idah (5): 45:
‫و‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ال‬ ‫ل‬ ‫والع‬ ‫لع‬ ‫وا‬ ‫وا‬ ‫وال‬ ‫ل‬ ‫وال رو‬
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishash-nya.
Contoh lainnya, ulama Malikiyyah, asy-Syafi'iyyah, dan Hanabilah
membolehkan transaksi ji'alah berdasarkan kisah Yusuf yang terdapat dalam
Alquran surah Yusuf (12): 72:
‫ل ا‬ ‫ا‬ ‫ولم الم‬ ‫عر م‬ ‫وا‬ ‫ع‬
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan
aku menjamin terhadapnya".
Dari uraian pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan, syar'u man qablana
tidak berdiri sendiri, melainkan baru dapat diterapkan jika dikukuhkan dengan dalil-
dalil Alquran dan hadis yang shahih, sekaligus tidak terdapat dalil yang menunjukkan
bahwa ia telah mansukh.24

24
Ibid, hal.235

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara etimologi „urf berasal dari kata „arafa, ya‟rifu (‫عرف‬-‫ )ي عرف‬sering
diartikan dengan al-ma‟ru>f (‫ )ال م عروف‬dengan arti “sesuatu yang dikenal”, atau berarti
yang baik. Kalau dikatakan (Si Fulan lebih dari yang lain dari segi „Urf-nya),
maksudnya bahwa si fulan lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian
“dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui” oleh orang lain.
Sebagian ulama ushul fiqh menyebut istilah gaul ash-shahábi dengan stilah
madzhab ash-shahabi. Sebenarnya kedua istilah ini tidak persis sama maknanya. Sebab
yang dimaksud dengan qaul ash-shahábí ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh
seorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum
syara' yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Alquran maupun sunnah
Rasulullah.
Syaru man qablana artinya ialah, syariat orang-orang yang sebelum kita. Yang
dimaksud dengan syar'u man qablana yaitu, syariat hukum dan ajaran-ajaran yang
berlaku pada para nabi 'alaihim ash-shalat wa as salam sebelum Nabi Muhammad diutus
menjadi rasul, seperti: syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, Nabi Isa , dan
lain-lain.

3.2 Saran
Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan
saran yang membangun dari Bapak dan kawan-kawan sangat kami perlukan disini.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita tentang Urf, Qaulush Shahabi,
dan Syar‟u Man Qablana. Semoga bermanfaat, sekian dan terima kasih.

21
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2014)
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 & 2, (Jakarta: Kencana Prenada media Group,
2010)
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014)
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986)
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group, 1994)
Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh, (Jogjakarta:IRCiSoD, 2014)

22

Anda mungkin juga menyukai