Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH USHUL FIKIH

“ URF DAN SADD-DZARI’AH “

Oleh :
Kelompok 6

Ririn Dwiarianti Nim. 2130401123


Tasya Agustina Nim. 2130401138
Zulvi Hayatun Naurah Nim. 2130401154

Dosen Pengampu Mata Kuliah


Dr. Desi Yusdian, Lc., MA

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini salah
satu tugas mata kuliah Ushul Fikih yang berjudul “ Urf dan Sadd al-Dzari’ah “.

Tak lupa sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarganya, sahabatnya dan sampai kepada kita selaku umatnya.

Kami dari kelompok 6 telah menyusun sebuah makalah dengan judul Urf dan Sadd al-
Dzari’ah untuk itu apabila terdapat dalam susunan makalah yang kami susun ini terdapat
kesalahan dan kekhilfan yang tidak kami sengaja, maka kami dari kelompok 6 mengharapkan
gagasan, ide, kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah kami ini. Atas ide,
gagasan, serta kritikan dari peserta diskusi/kuliah semua kami ucapkan terimakasih.

Wassalam,

Batusangkar, 16 April 2022

Pemakalah Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR..................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan Makalah................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................3

A. Pengertian ‘Urf..................................................................................................................3
B. Dasar Hukum ‘Urf.............................................................................................................4
C. Macam-macam ‘Urf..........................................................................................................5
D. Kedudukan/kehujjahan ‘Urf..............................................................................................7
E. Kaidah-kaidah Fikih Tentang ‘Urf.....................................................................................8
F. Implikasi Perubahan ‘Urf..................................................................................................9
G. Pengertian Sadd al-Zari’ah................................................................................................9
H. Dasar Hukum Sadd al-Zari’ah..........................................................................................9
I. Kedudukan/kehujjahan Sadd al-Zari’ah............................................................................11
J. Macam-macam dan Tingkatan Sadd al-Zari’ah................................................................12
K. Aplikasi Sadd al-Zari’ah di Zaman Kontemporer.............................................................15

BAB III PENUTUP......................................................................................................................18

A. Kesimpulan........................................................................................................................18
B. Saran..................................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang
harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu.
Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-
Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.

S.Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan


konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan
penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijadikan oleh Nabi
Muhammad SAW. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang
dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau
masyarakat.

Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan
salah satu metode Ushul Fikih untuk meng-Istinbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.
berikut dalam makalah ini penulis akan memaparkan metode dari Ushul Fikih untuk meng-
Istinbathkan hukum yaitu “ Urf dan Sadd al-Zari’ah”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ‘urf ?
2. Apa dasar hukum ‘urf ?
3. Apa saja macam-macam ‘urf ?
4. Bagaimana kedudukan/kehujjahan ‘urf ?
5. Apa saja kaidah-kaidah fikih tentang ‘urf ?
6. Bagaimana implikasi perubahan ‘urf ?
7. Apa pengertian sadd al-zari’ah ?
8. Apa dasar hukum sadd al-zari’ah ?
9. Bagaimana kedudukan/kehujjahan sadd al-zari’ah ?
10. Apa saja macam-macam dan tingkatan sadd al-zari’ah ?
11. Bagaimana cara mengaplikasi sadd al-zari’ah di zaman kontemporer ?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian‘urf.
2. Untuk mengetahui dasar hukum‘urf.
3. Untuk mengetahui macam-macam‘urf.
4. Untuk mengetahui kedudukan/kehujjahan’urf.
5. Untuk mengetahui kaidah-kaidah fikih tentang‘urf.
iv
6. untuk mengetahui implikasi perubahan‘urf.
7. Untuk mengetahui sadd al-zari’ah.
8. Untuk mengetahui dasar hukum sadd al-zari’ah.
9. Untuk mengetahui kedudukan/kehujjahan sadd al-zari’ah.
10. Untuk mengetahui macam-macam dan tingkatan sadd al-zari’ah.
11. Untuk mengetahui cara mengaplikasi sadd al-zari’ah di zaman kontemporer.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Urf

Secara etimologi ‘urf berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu, yang berarti: sesuatu yang dikenal
dan baik, sesuatu yang tertinggi, berurutan, pengakuan, dan kesabaran. Secara terminologi ‘urf
adalah keadaan yang sudah dalam diri manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh
tabiat yang sehat. Definisi ini menjelaskan bahwa perkataan dan perbuatan yang jarang dilakukan
dan belum dibiasakan oleh sekelompok manusia, tidak dapat disebut sebagai ‘urf.1 Abdul-Karim
Zaidan, mengemukakan istilah ‘urf yaitu: “sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat
karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
adan perkataan”.

Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-a’dah (adat
istiadat. Contoh ‘urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual
beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima
barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab qabul. Contoh ‘urf yang berupa
perkataan, seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm (daging)
kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan sepeti itu, menjadi bahan pertimbangan waktu akan
menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-
Qur’an dan Sunnah.2

B. Dasar Hukum ‘Urf

Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk dijadikan
landan hukum. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang ‘urf sahih. Menurut hasil penelitian al-
Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fikih di Universitas al-Azhar Mesir dalam karyanya
al-ijtihad fi ma la nassa fih , bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai
landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya oleh
kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya mazhab-mazhab
besar fikih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum,
meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di antara mazhab-mazhab tersebut,
sehingga ‘urf dimasukkan ke dalam kelompok dalil-dalil yang dipersilisihkan di kalangan ulama.

‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:

1. Firman Allah SWT dalam surah al-A’raf (7) ayat 199, surah al-Ma’idah (5) ayat 6
dan dalam surah al-Hajj (22) ayat 78 sebagai berikut:

1
Sunan Autad Sarjana. 2017. Konsep ‘urf dalam Penetapan Hukum Islam. TSAQAFAH, (13), 2.
2
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
vi
َ‫ض ع َِن ۡال ٰج ِهلِ ۡين‬ ِ ‫ُخ ِذ ۡال َع ۡف َو َو ۡا ُم ۡر بِ ۡالع ُۡر‬
ۡ ‫ف َواَ ۡع ِر‬

Artinya : “Jadilah engkau pemaafdan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-urfi), serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf/7:199)

Kata al-‘urfi dalam ayat tersebut, di mana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh
para ulama Ushul Fikih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan
sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 6:

َ‫ج و َّٰل ِك ْن ي ُِّر ْي ُد لِيُطَهِّ َر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬ ‫هّٰللا‬
ٍ ‫َما ي ُِر ْي ُد ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َر‬

Artinya: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS Al-Ma’idah: 6)

Ma yuridu Allahu liyaj’ala ‘alaykum min haraj pada ayat di atas menegaskan bahwa
Allah tidak ingin menyulitkan hambanya baik dalam syarak maupun yang lainnya. Allah akan
penyayang. Allah tidak memerintahkan hambanya untuk mengerjakan sesuatu kecuali di
dalamnya terdapat kebaikan dan di dalamnya terdapat unsur kemanfaatan bagi hambanya. Seperti
memperbolehkan berbuka puasa bagi orang yang sakit, orang musafir (orang yang sedang dalam
perjalanan jauh), orang yang sedang mengandung dan orang yang sedang menyusui.

Firman Allah SWT dalam surah al-Hajj (22) ayat 78:

ٍ ۗ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِى ال ِّدي ِْن ِم ْن َح َر‬


‫ج‬

Artinya: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalm agama suatu kesempitan”.
(QS al-Hajj; 78)

Al-Harraj pada ayat diatas berarti kesempitan. Dalam hadist Nabi dikatakan bahwa
Allah akan menghapuskan kesulitan yang dihadapi oleh hamba-Nya dengan kebesaran-Nya. Hal
ini menunjukkan bahwa Allah tidak menyulitkan hamba-Nya dan Allah senantiasa memberikan
kemudahan kepada hamba-Nya baik di dalam hal ibadah maupun bermuamalah.

2. Hadist Rasulullah SAW:

ٌ
‫حسن‬ ِ‫َما َرَأهُ ْال ُم ْسلِ ُمونَ حسنًا فهو عن َد هللا‬

Artinya: “Sesuatu yang dianggap oleh orang muslim itu baik maka Allah menganggap perkara
itu baik pula”. (HR. Imam Ahmad)

Yang dimaksud hadist tersebut adalah semua perbuatan yang terjadi di masyarakat
tertentu apabila yang menilai adalah seorang mukmin sejati dan dinilai baik suatu perbuatan
tersebut. Maka perbuatan tersebut, dianggap baik pula oleh Allah SWT.
vii
3. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek kebiasaan orang Arab dalam menetapkan
hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti
akad salam dan mewajibkan denda kepada pembunuh yang tidak sengaja. Selain itu, Islam
juga telah membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti mengubur
anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta warisan. Semua ini adalah bukti
nyata bahwa syariat Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.
4. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan memudahkan urusan
manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat
kebiasaan mereka karena sama artinya menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesulitan.
5. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampyng dan mengakui adat atau
tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an
dan as-Sunnah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah
menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta
adapula yang dihapuskan.3

C. Macam-macam ‘Urf

Secara umum, para ulama ushul fikih membagi ragam, ’urf dari tiga perspektif, yakni:

1. Dari sisi bentuk atau sifatnya,’urf terbagi menjadi dua:


a. ‘Urf lafizhi yakni kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan
tertentu, sehingga ada makna khusus yang terlintas dalam pemikiran mereka,
meskipun sebenarnya dalam kaidah bahasa ungkapan itu bisa mempunyai arti lain.
Beberapa contoh klasik yang akan kita temui dalam banyak literature Ushul Fikih
untuk ’urf dalam bentuk ini adalah kata walad, yang arti sebenarnya, yang arti
sebenarnya bisa berupa putra atau putri seperti firman Allah SWT:

‫َر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَي ِْن‬ ‫هّٰللا‬


ِ ‫ص ْي ُك ُم ُ فِ ْٓي اَوْ اَل ِد ُك ْم لِل َّذك‬
ِ ْ‫يُو‬.....

Artinya: ”Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan) untuk


anak-anakmu”. (QS. An-Nisa’: 11)

Akan tetapi kebiasaan orang-orang Arab memahami kata walad dengan arti anak
laki-laki. Selain itu kata dabbah yang sebenarnya berarti binatang melata, oleh penduduk
Iraq dipahami sebagai Keledai. Contoh yang berkenaan dengan hukum adalah kata thalaq
dalam bahasa Arab, yang sebenarnya berarti lepas atau melepaskan, tapi kemudian dipahami
dengan konotasi putusnya ikatan perkawinan. Maka seseorang suami yang mengatakan
kepada istrinya: “thalaqtuki”, maka terjadi talak dalam pernikahan mereka.

b. ‘Urf amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan atau
muamalah. Seperti jual-beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah menjadi kebiasaan
masyarakat. Atau garansi dalam membeli sesuatu, seperti garansi jam bahwa jam itu

3
Musa Aripin. 2016. Eksistensi ‘Urf Dalam Komplikasi Hukum Islam. Al-Maqasid, (2), 1.
viii
bagus untuk waktu tertentu. Atau memberikan mahar dalam pernikahan di kalangan
masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dan lain sebagainya.

2. Dari segi cakupannya, ataupun keberlakuannya di kalangan masyarakat maka ‘urf ini
dibagi menjadi dua bagian juga, yakni ‘urf yang umum dan yang khusus:
a. ‘Urf yang umum adalah tradisi atau kebiasaan yang berlaku secara luas di dalam
masyarakat dan di seluruh daerah. Akan tetapi kami tidak mendapatkan batasan yang
jelas tentang batasan dan cakupan ‘urf yang umum ini. apakah hanya dengan
berlakunya sebuah kebiasaan di kalangan mayoritas masyarakat ‘urf itu bisa disebut
dengan ‘urg ‘amm atau tidak. Atau tidak ‘urs yang hanya berlaku di suatu tempat saja
seperti Minangkabau saja bisa dikatakan ‘urf yang umum atau tidak.
b. ‘Urf yang khusus adalah kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di
daerah tertentu atau di kalangan tertentu. Meskipun para ulama Ushul Fikih tidak
mensyaratkan zaman tertentu dalam mengkategorikan ‘urf yang khusus ini, tapi dari
beberapa contoh yang sering mereka ajukan terlihat bahwa waktu juga termasuk
kondisi yang bisa membedakan sesuatu apakah ia termasuk dari ‘urf yang umum atau
yang khusus.

3. Sedangkan ditinjau dari keabsahannya menurut syari’at, ‘urf dibagi menjadi dua macam,
yaitu: ‘urf yang baik dan ‘urf yang jelek konsepnya adalah apakah ia sesuai dan sejalan
dengan syar’ah atau tidak. Pembagian ‘urf dalam bentuk inilah yang menjadi pusat kajian
para ulama Ushul dalam kajian ‘urf. Maka tidak mengherankan bila beberapa kajian sekilas
tentang ‘urf hanya akan mengemukakan pembagian ‘urf dari segi kesesuaiannya dari
syar’ah ataukah tidak.
a. ‘Urf shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an al-Karim ataupun Sunnah Nabi, tidak menghilangkan
kemashlahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka. Misalnya
bercadar bagi wanita yang merupakan kebiasaan wanita-wanita Arab sebelum
datangnya Islam atau seperti menetapkan konsep haram oleh masyarakat Arab untuk
beribadah dan berdamai. Ada banyak contoh-contoh yang bisa kita dapatkan dalam
kajian sejarah di mana kemudian al-Qur’an al-Karim ataupun Sunnah menetapkan
sebuah kebiasaan menjadi salah satu bagian dari hukum Islam, meskipun setelah
diberi aturan tambahan. Selain cadar dan konsep haram, kita juga bisa melihat mahar,
sunnah atau tradisi, denda, poligami dan lain sebagainya.
b. ‘Urf fâsid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’. Seperti
praktek riba yang sudah mewabah dalam kalangan bangsa Arab sebelum datangnya
Islam, atau juga meminum minuman keras. Setelah datangnya Islam maka ‘urf-‘urf
yang seperti ini ditentang dan dikikis baik secara perlahan-lahan maupun langsung.
Kalau untuk masa sekarang, mungkin kita mengenal kebiasaan yang berlaku luas di
kalangan masyarakat Indonesia, yaitu marpangir, yakni berpergian ke suatu tempat
tanpa ada batasan yang jelas antara wanita dan laki-laki dan mandi bersama-sama,
kebiasaan ini dilakukan untuk menyambut bulan puasa. 4
4
Sucipto. 2015. ‘Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam. ASAS, (7), 1.
ix
D. Kedudukan atau Kehujjahan ’Urf
1. Kehujjahan ‘Urf
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf al-sahih sebagai
salah satu dalil syara’. Baik yang menyangkut al-‘urf al-‘am dan al-‘urf al-khas, maupun
yang berkaitan dengan al-‘urf al-lafidzi dan al-‘urf al-‘amali, dapat di jadikan hujjah
dalam menetapkan hukum syara’. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan dari
segi intensitas penggunaannya sebagai dalil.
Menurut ulama Hanafiyah, al-‘urf al-sahih yang bersifat umum dapat bersifat
konstan (al-‘urf al-sahih al-‘am al-muntharid) bukan saja dapat menjadi dapat menjadi
hukum syara’, tetapi juga dapat mengesampingkan hukum yang didasarkan atas kias dan
dapat pula melakukan takhsis dalil syara’ lainnya.
Adapun ‘urf yang bersifat khusus hanya dapat mengesampingkan pendapat-
pendapat mazha yang didasarkan atas hasil ijtihad terhadap nash yang zanni saja. Ia tidak
dapat mengesampingkan nash syara’ dan ketentuan kias, serta tidak dapat melakukan
takhsis athar (yang berlaku di kalangan sahabat).
Sementara itu, al-‘urf al-fasid (‘urf yang salah) sama sekali tidak diakui
keberadaannya dalam hukum dan ditolak. Apabila manusia telah saling mengerti
mengenai akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar, maka dalam hal ini
‘urf tidak berpengaruh untuk membolehkan akad ini.
‘Urf al-fasid dapat diakui jika itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka, maka
hal itu diperbolehkan. Karena darurat memperbolehkan hal-hal yang telah di haramkan
dan jika bukan termasuk darurat dan bukan termasuk kebutuhan mereka. Maka dihukumi
dengan batalnya akad tersebut, dan berdasarkan ‘urf tidak diakui.
2. Kedudukan ‘Urf
Pada dasarnya seluruh ulama mazhab, menurut Imam al- Shatibi (ahli Ushul
Fikih Maliki) dan Imam Qayim al- Jauziyah (ahli Ushul Fikih Hanbali), menerima dan
menjadikan ‘urf sebagai salah satu dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak
ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah.
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan al-‘urf (istihsan yang menyandar pada
‘urf). ‘Urf mereka dahulukan atas qiyas khafi dan juga mendahulukan atas nash yang
umum. Begitu juga dengan ulama Malikiyah yang menjadikan ‘urf dikalangan Madinah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadist ahad.
Sedangkan Imam al- Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagai
pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau berada di
Baghdad. Perubahan tersebut disebabkan karena perbedaan ‘urf. Oleh karena itu beliau
mempunyai dua mazhab yaitu kaul qadim dan kaul jadid. Kaul qadim adalah adalah
pendapat Imam al- Syafi’i yang lama yaitu ketika beliau berada di Baghdad. Sedangkan
kaul jadid adalah pendapat beliau ketika berada di Mesir.
Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘urf dapat digunakan sebagai
landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama atas ‘urf bukan

x
merupakan dalil yang berdiri sendiri. Pada umumnya, adat atau ‘urf itu menjadi dalil
karena ada sandarannya, baik dalam bentuk ‘ijma maupun dalam bentuk maslahat.
Dasar dari ungkapan ini adalah ‘urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Oleh sebab itu, menurut Muhammad Baltaji dan Mustafa Ahmad al- Zarqa, seluruh
ulama mazhab menjadikan ‘urf sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ketika nash
yang menentukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan dalam pertentangan ‘urf dengan
metode ijtihad lainnya, para ulama mazhab juga menerima ‘urf, sekalipun kuantitas
penerimaan tersebut berbeda.5

E. Kaidah-kaidah Fikih tentang ‘Urf


1. Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat
Maksudnya: adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu
syarat yang dibuat meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya: apabila orang
bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan
orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar, jadi tidak bisa menuntut bayaran.
Lain halnya dengan sebagai tukang kayu yang biasa diupah maka harus dibayar, karena
kebiasaan tukang kayu apabila bekerja mendapat bayaran.
2. Sesuatu yang telah dikenal antara pedagang berlaku sebagai syarat diantara merek
Kaidah ini adalah dhabith, karena berlaku hanya di bidang muamalah saja, dan itu pun
dikalangan pedagang.
3. Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash
Maksud kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat
adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan nash.
Contohnya: apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang
bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut, maka penyewa bisa memanfaatkan rumah
tersebut tanpa mengubah bentuk rumah kecuali dengan izin yang punya.
4. Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat
Maksudnya arti sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditujukan oleh adat
kebiasaan. Contohnya: yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan
uang oleh si penjual. Akan tetapi bila si pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang
muka), maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi, maka si penjual
tidak bias lagi membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik. 6

F. Implikasi Perubahan ‘Urf

Hukum Islam dapat berubah karena ada perubahan ‘urf (adat kebiasaan masyarakat
setempat). Al-Qarafi berkata: Hukum Islam yang dihasilkan dari adat kebiasaan akan berubah

5
Siti Nuraini, Udin Johrodin. 2021. Analisis ‘Urf Terhadap Acara Tradisi Metik Pada Saat Memanen Padi. JIMMI,
(2), 2.
6
Jaya Miharja. 2011. Kaidah-kaidah Al-’Urf Dalam Bidang Muamalah. Pendidikan dan Kajian Keislaman, (IV), 1.
xi
sesuai dengan perubahan adat kebiasaan tersebut. Hukum tersebut akan batal dengan sendirinya
jika adat kebiasaan tersebut sudah tidak ditemukan lagi.

Ibnu al-Qayyim berkata: Sesungguhnya fatwa akan berubah sebab perubahan waktu,
tempat, adat kebiasaan dan kondisi masyarakat. Semua itu berasal dari Allah, dan hanya Allah
lah kita meminta perlindungan. Sedangkan Al-Zarqa berkata: Semua hukum yang didasarkan
pada ‘urf (adat kebiasaan), maka hukum tersebut akan berubah sesuai dengan perubahan‘urf
(adat kebiasaan) tersebut. Ini karena, ada satu kaidah yang telah ditetapkan bahwa: “Hukum
Islam tergantung pada illat-Nya”. Dari kata itu muncul kaidah fikih yang menyatakan: “Tidak
dapat dipungkiri bahwa hukum Islam bisa berubah sebab perubahan waktu”.

Oleh sebab itu, sebagian ulama berpendapat bahwa kaidah “Perubahan hukumIslam
sebab perubahan tempat dan waktu”, merupakan bagian dari kaidah umum: “Adat kebiasaan
dapat dijadikan dasar hukum”. Jadi, jika sebuah hukum didasarkan pada ‘urf (adat kebiasaan),
maka hukum tersebut dapat berubah sebab perubahan adat kebiasaan yang ada di masyarakat.
Sebagai contoh, menurut al-Zuhaily, boleh mengambil upah atau gaji bagi guru ngaji al-Qur’an,
imam masjid, dan khatib solat Jumuat, hal ini karena adat kebiasaan yang telah berubah. 7

G. Pengertian Sadd al-Zari’ah

Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata al-zari’ah berarti “wasilah” atau
“jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd al-zari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan
kepada suatu tujuan”. Menurut Makmur Syarif, al-dzari’ah secara bahasa ada empat macam
bentuk, dzari’at: pertama: perantara baik dan tujuan baik seperti menuntut ilmu pengetahuan
menjadi atau perantara untuk memperoleh rezki. Kedua: pengantara atau jalan yang ditempuh
jahat dan tujuan jahat seperti meminum minuman yang memabukan sebagai pengantara
melakukan tindakan kejahatan seperti merampok. Ketiga: perantara jahat sedangkan tujuan baik,
seperti merampok sebagai pengantara membangun mesjid. Keempat: perantara baik sedangkan
tujuan jahat, seperti berdagang sebagai perantara memperoleh riba. Menurut istilah Ushul Fikih,
seperti dikemukakan Abdul-Karim, al-zari’ah berarti: “Menutup jalan yang membawa kepada
kebiasaan atau kejahatan”.8

H. Dasar Hukum Sadd al-Zari’ah

Mayoritas fuqaha’ sepakat menggunakan sadd al-zari’ah sebagai dasar dalam penetapan
hukum Islam. namun mereka berbeda pada kuantitas penggunaannya. Fuqaha’ yang
menggunakan sadd al-zari’ah sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam mengemukakan
dalil yang terdapat dalam al-Qur’an, sunnah, amal sahabat dan tabi’in.
1. Al-Qur’an sebagai dasar sadd al-zari’ah
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung sadd al-zari’ah adalah sebagai
berikut
Firman Allah dalam surah al-An’am ayat 108:

7
Murtadho Ridwan. 2018. Implementasi Kaidah Perubahan Hukum Islam Sebab Perubahan Tempat Dan Waktu
Persepektif Ekonomi Islam. Kajian Ekonomi dan Perbankan, 2(2), 18-32.
8
Effendi, Satria. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
xii
‫سبُّوا هّٰللا َ َع ْد ًو ۢا بِ َغ ْي ِر ِع ْل ۗ ٍم ك َٰذلِ َك زَ يَّنَّا‬ ‫هّٰللا‬
ُ َ‫سبُّوا الَّ ِذيْنَ يَ ْدع ُْونَ ِمنْ د ُْو ِن ِ فَي‬
ُ َ‫َواَل ت‬
‫و‬ ُ
َ‫ْ َ ْ َ ْ ن‬‫ل‬ ‫م‬‫ع‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫و‬ُ ‫ن‬ ‫َا‬‫ك‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ُئ‬ ‫ب‬َ ‫ن‬ ‫ي‬َ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ه‬‫ع‬ ‫ج‬ ‫ر‬‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ب‬‫ر‬ ‫ى‬ ٰ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ُ ‫ث‬ ۖ
‫م‬ ‫ه‬َ
َ ِ ْ ُ ِّ ُ ْ ُ ُ ِ ْ َّ ْ ِ ِّ َ ِ َّ ْ ُ َ َ ٍ َّ ُ‫لِ ُك ِّل ا‬
‫ل‬ ‫م‬‫ع‬ ‫ة‬ ‫م‬

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.
Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa
yang telah mereka kerjakan” . (QS. al-An’am; 108)

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-zari’ah
yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan.
Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan
akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena
itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain
merupakan tindakan preventif (sadd al-zari’ah).

Firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 104:

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَقُوْ لُوْ ا َرا ِعنَا َوقُوْ لُوا ا ْنظُرْ نَا َوا ْس َمعُوْ ا َولِ ْل ٰكفِ ِر ْينَ َع َذابٌ اَلِ ْي ٌم‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
“Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”.Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih”. (QS. al-Baqarah: 104).

Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan
terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan
terjadi. Kata raa ‘ina berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat
menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada
mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata
raa’inan sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah yang berarti bodoh atau tolol.
Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang
biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar
belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-
zari’ah.

1. Hadist

َ‫َعليِهَ َو َّسلَ ِمَّإنِ ْمنْأ َكبِر ْالَكَباِِئرْأن َ ْيلَ َعنالَّ ُرجُل َواِل ْديِه ِقيَل َيا َر ُس َوالل ِل َ َو ْكي َف َ ْيلَعُنالَّ ُر ُجل‬
ْ ‫اللل َصلَّىال ُل‬
ِ ‫ضيال ُل َ ْعنُهَماقَاَلقَاَلَرُس ُو‬ َ ‫ْعن َ ْعبِداِّ ْللبِن َ ْع‬
َ ‫مرو ِر‬
‫َواِل ْديِهقَالَي ُسبالَّ ُرجُل‬
‫ُّأ‬
‫ُجلفَي ُسبَأباُه َ َوي ُسب مه‬ ِ ‫َأباالَّر‬

Artinya: “Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya,
xiii
“Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab,
“Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut”.

Hadist ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep
sadd al-zari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu,
dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd
al-zari’ah.

2. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzari’ah
adalah: “Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(maslahah).
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di
bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd al-
dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-
zari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, mestinya ia juga
membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun
sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang
segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan
ungkapan Ibnu Qayyim (tt) dalam kitab A’lam al-Muqi’in: ”Ketika Allah melarang suatu
hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa
mengantarkan kepadanya”. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut.
Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak
belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan. 9

I. Kedudukan dan Kehujjahan Sadd al-Zari’ah

1. Kedudukan Sadd al-Zari’ah


Para ulama berbeda pendapat dalam penggunaan Sadd al-Zari’ah sebagai salah
satu pendekatan ijtihad dalam rangka pendapatan hukum Islam sebagai perwujudan
bahwa hukum Islam bertujuan untuk terealisasinya kesejahteraan manusia.
Imam al-Qarafi menyatakan bahwa Imam Malik menggunakan Sadd al-Zari’ah
tidaklah seorang diri dan juga bukan khususiatnya, tetapi sebenarnya setiap ulama itu
memakainya, hanya saja tidak dikatakan Sadd al-Zari’ah, mereka menamakannya dengan
ijma’. Seperti mereka melarang penggalian sumur (lubung) di tempat yang dijadikan lalu
lintas orang-orang Islam. Dilarang mencaci (mencela) makanan yang akan dimakan dan
mencaci patung yang menyebabkan orang kafir mencela Allah.
Abu Zahrah menyatakan, bahwa Sadd al-Zari’ah adalah salah satu dasar
pertimbangan Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam. Dalam hal ini didapati
dalam furu’-furu’ yang ia nukilkan dalam tulisan-tulisannya. Pembahasannya meliputi,
bahwa yang mendatangkan kepada haram itu hukumnya halal pula. Setiap yang
mendatangkan maslahat itu diperintah dan segala yang mendatangkan kerusakan adalah
hukumnya haram.
9
Muhammad Takhim. 2019. Saddu al-Dzari’ah dalam Muamalah Islam. Ekonomi dan Bisnis, (14),1.
xiv
Pernyatan Abu Zahrah seperti terungkap di atas itu menunjukkan betapa
kedudukan Sadd al-Zari’ah dalam tasyri’ Islami itu sangat pentingnya sebagai
sumbangan pikiran turut menentukan keberadaan hukum Islam yang kondusif dalam
setiap masa dan tempat. Sadd al-Zari’ah tidak hanya digunakan oleh Imam Malik, juga
telah digunakan ulama-ulama lain.10

2. Kehujjahan Sadd al-Zari’ah


Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd al-zari’ah sebagai
alat atau dalil dalam menetapkan hukum (istinbath) syara’. Ulama mazhab Malikiyah dan
ulama mazhab Hanabilah menyatakan bahwa sadd al-zari’ah dapat diterima sebagai
salah satu alat atau dalil untuk menetapkan hukum.

Alasan yang mereka kemukakan ulama mazhab Malikiyah dan ulama mazhab
Hanabilah adalah hadist Rasulullah SAW, yang artinya:
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang
tuanya. Lalu Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah bagaimana mungkin
seseorang melaknat orang tuanya?” Rasulullah menjawab, “Seseorang mencaci
ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan seseorang
mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci maki orang itu”. (HR.
Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud).

Hadist ini menurut Ibn Taimiyah menunjukan bahwa sadd al-zari’ah termasuk
salah satu alasan untuk menetapkan hukum syara’. Walaupun hanya masih berupa
praduga, namun atas dasar dugaan itu pula Rasulullah SAW melarang perbuatan
tersebut.11

J. Macam-macam dan Tingkatan Sadd al-Zari’ah

1. Macam-macam Sadd al-zari’ah


Para ulama Ushul Fikih mengelompokkan sadd al-zari’ah ke dalam dua kategori.
Sadd al-zari’ah dilihat dari segi kualitas mafsadat nya dan sadd al-zari’ah dilihat dari
segi jenis mafsadat nya. Pertama, sadd al-zari’ah dilihat dari segi mafsadat nya. Imam
al-Syatibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas ke mafsadat-an nya, sadd al-zari’ah
terbagi kepada empat macam, yaitu:
a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadat-an secara pasti
(Qhot’i) misalnya, seseorang menggali sumur di depan pintu rumahnya sendiri
dan ia tahu bahwa pada malam yang gelap itu ada orang yang berkunjung ke
rumahnya. Perbuatan ini pada dasarnya boleh-boleh saja (mubah fi dzati), akan
tetapi dengan melihat akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya secara pasti
akan mendatangkan mafsadat maka menjadi dilarang.
b. Perbuatan yang akan dilakukan itu biasanya membawa kepada mufsadat atau
besar kemungkinan (Dzan al-ghalib) membawa kepada mafsadat. Misalnya,
seseorang menjual anggur kepada produsen minuman keras. Pada dasarnya
menjual barang (anggur) itu boleh-boleh saja, akan tetapi apabila ternyata
dijual kepada produsen minuman keras besar kemungkinan anggur itu diproses
menjadi minuman keras yang memabukkan (khamr). Perbuatan seperti ini
10
Hasanuddin Hambali. 1997. Kedudukan Al-Dzari’ah Dalam Hukum Islam. Al-Qalam, (XII), 63.
11
Basri, Rusdaya. 2019. USHUL FIKIH 1. IAIN Parepare Nusantara Press.
xv
dilarang, karena ada dugaan keras bahwa perbuatan itu membawa kepada
mafsadat-an.
c. Perbutan yang dilakukan itu jarang atau kecil kemungkinan membawa kepada
mafsadat, misalnya seseorang mengendarai sepeda motor di jalan raya dengan
kecepatan 30-50 km/jam pada jalur serta kondisi yang normal. Perbuatan
seperti ini boleh-boleh saja.
d. Perbuatan yang dilakukan itu mengandung ke maslahat-an, tetapi
memungkinkan juga perbuatan tersebut membawa kepada mafsadat. Misalnya
seseorang menjual pisau, sabit, gunting, jarum dan yang sejenisnya di pasar
tradisional secara bebas pada malam hari.
Untuk jenis yang pertama dan kedua di atas, para ulama sepakat melarangnya
sehingga perbuatan tersebut (dzari’ah) perlu dicegah atau ditutup (sadd). Untuk
jenis ketiga para ulama tidak melarangnya, sedangkan jenis yang keempat terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Kedua, sadd al-zari’ah dilihat dari segi jenis mafsadat yang ditimbulkannya.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, sadd al-zari’ah dilihat dari segi jenis mafsadat
yang ditimbulkannya terbagi kepada:
a. Perbuatan itu membawa kepada suatu mafsadat, seperti meminum
minuman keras dapat mengakibatkan mabuk dan mabuk merupakan itu
suatu mafsadat.
b. Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan bahkan dianjurkan,
tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik
dengan tujuan yang disengaja maupun tidak. Perbuatan yang mempunyai
tujuan yang disengaja misalnya seseorang menikahi wanita yang telah di
talak tiga oleh suaminya, dengan tujuan agar suami pertama dapat
menikahinya lagi (nikah al-tahlil). Sedangkan perbuatan yang dilakukan
tanpa tujuan sejak semula seperti seseorang yang mencaci maki ibu bapak
orang lain akibatnya orang tuanya sendiri akan dibalas caci-makian.

Kedua macam sadd al-zari’ah ini oleh Ibn Qayyim dibagi lagi kepada:
1. Perbuatan tersebut maslahat-nya lebih kuat dari mafsadat-nya.
2. Perbuatan tersebut mafsadat-nya lebih besar maslahat-nya.
Adapun akibat hukum yang ditimbulkan dari kedua macam
perbuatan sadd al-zari’ah tersebut, oleh Ibn Qayyim diklasifikasikan
kedalam empat kategori, yaitu: Pertama, Perbuatan yang secara sengaja
ditujukan untuk suatu kemafsadatan maka dilarang (haram) oleh syara’,
seperti meminum minuman keras (khamr). Kedua, Perbuatan yang pada
dasarnya mubah tetapi ditujukan untuk melakukan kemafsadat-an, maka
dilarang (haram) oleh syara’, seperti nikah tahlil. Ketiga, Perbuatan yang
pada dasarnya mubah dan pelakunya tidak bertujuan untuk suatu
kemafsadat-an tetapi biasanya (dzan al-ghalib) akan berakibat suatu
kemafsadat-an maka dilarang (haram) oleh syara’. Seperti mencaci maki
sesembahan orang musyrik akan berakibat munculnya cacian yang sama
bahkan lebih terhadap Allah SWT. Keempat, Perbuatan yang pada
dasarnya mubah dan akibat yang ditimbulkan ada mafsadat dan maslahat-
nya. Dalam kategori yang keempat ini dilihat dulu, apabila unsur maslahat-
nya lebih banyak maka boleh, begitu pula sebaliknya.
Dari uraian di atas nampaknya sadd al-zari’ah dapat dipandang dari
dua sisi, yaitu :

xvi
a. Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu
pekerjaan, baik bertujuan untuk yang halal maupun yang haram.
Seperti pada nikah al-tahlil, dimana pada dasarnya nikah itu
dianjurkan oleh agama akan tetapi memperhatikan motivasi
muhallil mengandung tujuan yang tidak sejalan dengan tujuan
serta prinsip-prinsip dasar nikah, maka nikah seperti ini dilarang.
b. Dari sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa
dampak negatif (mafsadat). Seperti seorang muslim yang
mencaci maki sesembahan orang non muslim. Niatnya mungkin
untuk menunjukkan kebenaran aqidahnya. Akan tetapi akibat
cacian ini bisa membawa dampak yang lebih buruk lagi. Oleh
karenanya perbuatan ini dilarang.12

2. Tingkatan Sadd al-zari’ah


Sadd al-zari’ah dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa sisi, yaitu:
a. Dengan melihat kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim
membagi sadd al-zari’ah kepada empat macam, yaitu:
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti membawa dan
menimbulkan kerusakan (mafsadah).
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan (mustahab), namun
secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu perbuatan
buruk yang merusak (mafsadah).
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja
untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja, yang mana keburukan
tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih
besar akibatnya daripada keburukannya.
b. Dari sisi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Syatibi membagi sadd al-zari’ah
kepada empat macam, yaitu:
1. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadat-an yang pasti.
Misalnya menggali lobang didepan rumah orang lain pada waktu malam,
yang menyebabkan setiap orang yang keluar dari rumah tersebut pasti akan
terjatuh kedalam lobang tersebut. Sebenarnya penggalian lobang
diperbolehkan, akan tetapi penggalian yang dilakukan pada kondisi tersebut
akan mendatangkan mafsadah.
2. Perbuatan yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan
terlarang. Dalam hal ini, seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu
akan menimbulkan kerusakan. Seperti menggali lobang dikebun sendiri yang
jarang dilalui orang, jual beli makanan yang dibolehkan (tidak mengandung
mafsadah). Perbuatan seperti ini diperbolehkan karena tidak mebawa
mafsadah atau kerusakan.
3. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadat-
an. Seperti menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan
untuk membunuh, menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman

12
Yusida Fitriati. 2015. Perubahan Sosial dan Pembaruan Hukum Islam Perspektif Sadd Al-Dazri’ah. Nurani, (15),
2.
xvii
keras, menjual pisau kepada penjahat yang akan digunakan untuk membunuh
orang.
4. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan,tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadat-an, seperti jual
beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba,
namun pada perakteknya sering dijadikan sarana untuk riba. Jual beli seperti
ini menjadi perdebata diantara ulama madzhab, menurut Imam Syafi’I dan
Abu Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam
jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan tidak bisa dijadikan dasar
keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk sadd al-zari’ah
tersebut dibolehkan. Sementara Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih
memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut,
yakni menimbulkan riba, dengan demikian sadd al-zari’ah seperti itu tidak
dibolehkan.
c. Dilihat dari hukumnya, Al Qarafi membaginya kepada tiga bagian, yaitu:
1. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala
tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain
adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui
bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
2. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau
hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan
tetangga.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,
seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina;
dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba. 13

K. Aplikasi Sadd al-Zari’ah di Zaman Kontemporer

Dalam amaliyah sehari-hari, sering dijumpai berbagai fenomena yang memerlukan suatu
kepastian hukum baru secara syari’i. Berbagai model kasus kerap kari muncul diera modern,
sehingga menuntut dinaamisasi hukum Islam. Kendati demikian, seorang hamba diharuskan agar
lebih berhati-hati dalam menentukan hukum baru tersebut. Kajian yang mendalam dengan
didasari ilmu syari’at yang kokoh serta keimanan dan ketaqwaan yang tulus diharapkan mampu
menuntun manusia (seorang mukallaf) kepada pengetahuan yang benar tentang hak dan
kewajibannya, baik interaksinya dengan Allah maupun dengan sesama manusia.
Diantara contoh permasalahan kontemporer adalah kloning. Majma` Buhus Islamiyah Al-
Azhar di Cairo Mesir telah mengeluarkan fatwa yang berisi bahwa "kloning manusia itu haram
dan harus diperangi serta dihalangi dengan berbagai cara”. Naskah fatwa yang dikeluarkan
lembaga itu juga menguatkan bahwa kloning manusia itu telah menjadikan manusia yang telah
dimuliakan Allah menjadi objek penelitian dan percobaan serta melahirkan beragam masalah
pelik lainnya.
Fatwa itu menegaskan bahwa Islam tidak menentang ilmu pengetahuan yang bermanfaat,
bahkan sebaliknya, Islam justru mensupport bahkan memuliakan para ilmuwan. Namun bila ilmu

13
Hifdhotul Munawaroh. 2018. Sadd al-Dzari’ah dan Aplikasinya Pada Permasalahan Fiqih Kontemporer. Ijtihad,
(12), 1.
xviii
pengetahuan itu membahayakan serta tidak mengandung manfaat atau lebih besar mudharatnya
ketimbang manfaat, maka Islam mengharamkannya demi melindungi manusia dari bahaya itu.
Karena dalam qaidah fiqhiyah dalam Islam dijelaskan bahwa menolak mafsadah (kerusakan)
lebih didahulukan daripada mengambil mashlahat.
Dalam hal ini terutama masalah nasab dan hubungan famili Islam sangat memperhatikan
hubungan nasab dan famili, karena berkait dengan urusan yang lebih jauh. Dengan proses
kelahiran yang tidak wajar ini maka akan timbul kekacauan hukum yang serius. Misalnya,
seseorang bisa memesan sel telur pada sebuah bank sel telur yang mungkin sudah dilengkapi
dengan penyedia jasa rahim sewaan. Atau seseorang bisa saja punya anak tanpa istri atau suami.
Selanjutnya adalah permasalahan operasi selaput darah. Selaput darah adalah selaput tipis yang
ada di dalam kemaluan wanita, oleh masyarakat sering disebut keperawanan. Keperawanan sama
seperti anggota tubuh lainnya, bisa tertimpa kerusakan, baik secara keseluruhan atau sebagian
darinya, dikarenakan oleh kecelakaan yang disengaja ataupun tidak disengaja, atau karena
perbuatan manusia, dan perbuatan itu sendiri bisa jadi merupakan maksiat atau bukan maksiat.
Operasi selaput dara atau pengembalian keperawanan adalah memperbaiki dan
mengembalikannya pada tempat semula. Masalah ini adalah masalah baru yang tidak disebutkan
dalam nash dan termasuk masalah kontemporer yang belum ditemui oleh para ulama pada masa
lalu sehingga penetapan hukumnya dapat diambil ijtihad dengan melihat berbagai aspek, tujuan,
kaidah secara umum dan manfaat serta mudharat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut. Untuk
itu, pembahasaan ini, dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan penyebab hilangnya selaput
darah.
Seorang gadis yang kehilangan selaput darahnya (keperawanannya) akibat kecelakaan,
jatuh, tabrakan, membawa beban terlalu berat, atau karena terlalu banyak bergerak dan lain-
lainnya . Begitu juga jika ia masih kecil dan diperkosa seseorang ketika dalam keadaan tidur atau
karena ditipu. Maka, menurut sebagian ulama hal tersebut dibolehkan. Sementara itu, seorang
wanita yang hilang selaput darah karena maksiat seperti berzina. Keadaan pertama, seorang telah
berzina, tapi masyarakat belum mengetahuinya. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat di
dalamnya, sebagian membolehkannya untuk melakukan operasi selaput darah, dengan dalih
bahwa hal itu untuk menutup aib dan maksiat yang pernah dilakukannya, apalagi dia bersungguh-
sungguh ingin bertaubat, dan ajaran Islam menganjurkan untuk menutup aib saudaranya. Namun,
sebagian ulama yang lain tidak membolehkannya, karena hal itu akan mendorongnya dan
mendorong orang lain untuk terus-menerus berbuat zina, karena dengan mudah dia akan
melakukan operasi selaput dara setelah melakukan zina dan ini akan membawa mafsadah yang
besar dalam masyarakat. Selanjutnya adalah seorang wanita yang telah melakukan zina, tapi
masyarakat sudah mengetahuinya. Dalam keadaan seperti ini, para ulama sepakat untuk
mengharamkan operasi selaput darah, karena madharatnya jauh lebih besar dan tidak ada
maslahat yang di dapat dari operasi tersebut sama sekali.
Al Syanqithi mengatakan bahwaoperasi seperti ini akan memudahkan atau membuka
peluang para gadis remaja untuk melakukan perzinaan, karena obat untuk mencegah kehamilan
akibat persetubuhan dapat ditemukan dengan mudah di toko-toko obat atau apotik-apotik
terdekat. Hubungan intim baik sah maupun tidak sah pada hakekatnya dapat merusak selaput
clitoris wanita, akan tetapi hal itu dapat dikembalikan melalui operasi. Operasi seperti ini
hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, para dokter dilarang mempraktekkan operasi semacam
ini.14

14
Ja’far bin Abdurrahman Qasas, Qaidatu saddu Dazarai’ wa atsaruha al fiqhiyyu, 22.
xix
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologi ‘urf berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu, yang berarti: sesuatu yang dikenal
dan baik, sesuatu yang tertinggi, berurutan, pengakuan, dan kesabaran. Secara terminologi ‘urf
adalah keadaan yang sudah dalam diri manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh
xx
tabiat yang sehat. Definisi ini menjelaskan bahwa perkataan dan perbuatan yang jarang
dilakukan dan belum dibiasakan oleh sekelompok manusia, tidak dapat disebut sebagai ‘urf.
Abdul-Karim Zaidan, mengemukakan istilah ‘urf yaitu: “sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik
berupa perbuatan adan perkataan”.

‘Urf bisa dikatakan sebagai suatu perkataan dan perbuatan yang menyangkut kebiasaan
yang sering dilakukan. Macam-macam ‘urf yaitu  dari segi objeknya (Al-‘Urf al-Lafzhi  dan
Al-‘urf al-‘amali), dari segi cakupannya (Al-‘urf al-‘am dan Al-‘urf al-khash), dari segi
keabsahannya dari pandangan syara’ (Al-‘urf al-Shahih dan Al-‘urf al-fasid). ‘Urf dianggap
sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-unsurnya banyak diambilkan dari
hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam bentuk pasal-pasal dalam undang-
undang. Syarat ‘Urf sebagai sumber hukum Islam yaitu, ‘urf harus berlaku terus menerus atau
kebanyakannya berlaku, ‘urf yang dijadikan sumber hukum bagi sesuatu tindakan harus terdapat
pada waktu diadaknnya tindakan tersebut, tidak ada penegasan (nash) yang berlawanan dengan
‘urf, pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nash yang pasti dari syari’at.
Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata al-zari’ah berarti “wasilah” atau
“jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd al-zari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan
kepada suatu tujuan”. Menurut Makmur Syarif, al-dzari’ah secara bahasa ada empat macam
bentuk, dzari’at: pertama: perantara baik dan tujuan baik seperti menuntut ilmu pengetahuan
menjadi atau perantara untuk memperoleh rezki. Kedua: pengantara atau jalan yang ditempuh
jahat dan tujuan jahat seperti meminum minuman yang memabukan sebagai pengantara
melakukan tindakan kejahatan seperti merampok. Ketiga: perantara jahat sedangkan tujuan baik,
seperti merampok sebagai pengantara membangun mesjid. Keempat: perantara baik sedangkan
tujuan jahat, seperti berdagang sebagai perantara memperoleh riba. Menurut istilah Ushul Fikih,
seperti dikemukakan Abdul-Karim, al-zari’ah berarti: “Menutup jalan yang membawa kepada
kebiasaan atau kejahatan”.
Sadd al-Zari’ah adalah mencegah segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan.
Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka
hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah agar tidak terjadi kerusakan. Pada umumnya semua
ulama menerima metode sadd al-ari’ah, Hanya saja penerapannya yang berbeda. Perbedaan
tentang ukuran kualifikasi dzari’ah yang akan menimbulkan kerusakan dan yang dilarang. Sadd
al-Zari’ah yang dimaksudkan sebagai dalil syara adalah dzari’ah yang tidak disinggung oleh nash
tetapi mengarah kepada hukum yang dimaksud. Misalnya, tidakan-tindakan yang dapat
merangsang bangkitnya syahwat, merupakan dzari’ah terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal
ini tidak ada nash yang melarangnya. Meskipun demikian, karena mengarah kepada hukum yang
dilarang, maka larangan yang berlaku pada yang dituju (zina) dapat diterapkan di sini didasarkan
pada dalil sadd al-ari’ah. Penggunaan sadd al-ari’ah sangat efektif untuk mengantisipasi
dampak-dampak negatif dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. karena, metode ini
tidak hanya berfokus pada legal formal suatu tindakan, tetapi juga pada akibat suatu tindakan.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan
kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiiin.

xxi
DAFTAR PUSTAKA

Sunan Autad Sarjana. 2017. Konsep ‘urf dalam Penetapan Hukum Islam. TSAQAFAH, (13), 2.

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.

Musa Aripin. 2016. Eksistensi ‘Urf Dalam Komplikasi Hukum Islam. Al-Maqasid, (2), 1.

Sucipto. 2015. ‘Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam. ASAS, (7), 1.

Siti Nuraini, Udin Johrodin. 2021. Analisis ‘Urf Terhadap Acara Tradisi Metik Pada Saat Memanen Padi.
(2), 2.

Jaya Miharja. 2011. Kaidah-kaidah Al-’Urf Dalam Bidang Muamalah. Pendidikan dan Kajian
Keislaman, (IV), 1.

Murtadho Ridwan. 2018. Implementasi Kaidah Perubahan Hukum Islam Sebab Perubahan Tempat Dan
Persepektif Ekonomi Islam. Kajian Ekonomi dan Perbankan, 2(2), 18-32.

xxii
Effendi, Satria. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Muhammad Takhim. 2019. Saddu al-Dzari’ah dalam Muamalah Islam. Ekonomi dan Bisnis, (14),1.

Hasanuddin Hambali. 1997. Kedudukan Al-Dzari’ah Dalam Hukum Islam. Al-Qalam, (XII), 63.

Basri, Rusdaya. 2019. USHUL FIKIH 1. IAIN Parepare Nusantara Press.

Yusida Fitriati. 2015. Perubahan Sosial dan Pembaruan Hukum Islam Perspektif Sadd Al-Dazri’ah.
Nurani, (15), 2.

Hifdhotul Munawaroh. 2018. Sadd al-Dzari’ah dan Aplikasinya Pada Permasalahan Fiqih Kontemporer.
Ijtihad, (12), 1.

Ja’far bin Abdurrahman Qasas, Qaidatu saddu Dazarai’ wa atsaruha al fiqhiyyu, 22.

xxiii

Anda mungkin juga menyukai