‘URF/ADAT
Disusun Oleh :
Kelompok 8
1. Putri Khoerunnisa Azzahra : 214110201157
2. Ashila Sindi Nabila : 214110201010
3. Puput Mutia Farda : 214110201214
4. Muhammad Khanif Amrulloh : 214110201253
5. Ariendra Bagus Putra Fauzan : 214110201212
KELAS 1 ES B
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………...………
A. Simpulan ……………………………………………………………………...
B. Saran ………………………………………………………………………..…
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Fiqh merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh umat muslim
karenayang menyangkut hukum-hukum Islam. Secara keseluruhan, ilmu tersebut tidak
mudahdipahami. Oleh karena itu, mereka perlu sebuah pengantar dari ilmu tersebut sangat
pentingkarena dapat mengarahkan pemahaman menuju Ilmu Fiqh yang susungguhnya.
Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan, Ilmu Fiqh akan terus dan harus
berkembang.Sekalipun demikian, perubahannya dalam sejarah menunjukkandinamika.
Kadang-kadang ia berubah sangat pesat. Adakalanya pula terlihat lambat.
Bahkan, tidak jarang tampakstatis. Padahal, tuntutan atas perkembangannya
merupakan konsekuensi logis dari beban dan tuntutan perubahan masyarakat dan umat Islam
sendiri.
Di makalah ini, akan membahas sesuatu yang berhubungan kehidupan sosial masyarakat
yaitu kebiasaan atau dalam bahasa Ilmu Fiqh“ ‘Urf “.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari ‘Urf?
2. Apa saja macam-macam dari ‘Urf?
3. Bagaimana kedudukan ‘Urf sebagai sumber hukum?
4. Bagaimana kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’?
5. Apa saja syarat-syarat pemakaian ‘urf sebagai sumber hukum?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ‘arafa, ya‘rufu sering diartikan
dengan al-ma‘ruf ( ُ )اَ ْل َم ْع ُروفdengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat
kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh
akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab
ٌ ; عَا َدةakar katanya: ‘ada, ya‘udu (ُوْ دTTيَ ُع-َادTT ) َعmengandung arti perulangan. Oleh karena itu
sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak
melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul
Karim Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah
menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau
perkataan.
Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: )العرفmerupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai
adat kebiasaan. ‘Urf terbagi menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya,
menjadi Umum atau Khusus dari segi cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi
keabsahan menurut syariat. Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah
ialah yang tidak bertentangan dengan syari'at.1
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."QS. Al-A’raf: 199
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu
yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-
ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa
seruan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang
menurut kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata
umum yang mencakup setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya
disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam
soal mu‘amalah maupun adat istiadat.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di
Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang
dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan
kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah.
1
Ushul Fiqh II, Amir Syarifuddin, Jakarta, logos wacana Ilmu, 1999
5
Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat
istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya
terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan
kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat
atau tradisi itu selam tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan
masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang
dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi
untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam.
Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara
sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
2
Kaidah-Kaidah Fikih, A. Djazuli, Jakarta, Kencana. Cet. IV, 2011
6
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
a. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk
dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang
berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh
kilogram.
b. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu.
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli
dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat
mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi
terhadap barang tertentu.
7
berkaitan dengan ‘urf lafazh dan ‘urf amal, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
syara’
Definisi ‘urf menurut kamus bahasa Arab semakna dengan ma’ruf yaitu sesuatu yang
diketahui manusia dari segala kebaikan dan mereka menerimanya degan tenang dan nyaman.
Dalam bahasa Melayu, diterjemahkan dengan sesuatu yang dipahami sebagai adat.
Sedangkan ‘adah dalam kamus bahasa Arab dipahami dengan sesuatu yang berulang-ulang
dan dalam bahasa Melayu disebut dengan kebiasaan.3
Dan pengertian yang lain, ‘urf adalah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa
merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan
dapat diterima oleh watak kemanusiaannya. Sedangkan ‘adah dapat didefinisikan dengan
suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat
diterima akal dan secara kontinyu manusia mahu mengulanginya. Berdasarkan definisi diatas
dapat dipahami antara, ‘urf dan ‘adah memiliki arti yang sama.
Maka dapat dipahami ‘urf adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima akal
manusia dan dianggap baik oleh masyarakat. Sehingga ‘urf dapat dapat dipahami dengan
sesuatu yang baik dan menjadi kebiasaan masyarakat. Sedangkan ‘adah adalah sesuatu
perkataan atau perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat dan dapat diterima
oleh akal dan manusia serta dilakukan secara berulang-ulang.
Pada dasarnya kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan yang mencolok bahkan
keduanya memiliki pengertian yang serupa yaitu sesuatu perkataan atau perbuatan yang
dilakukan berulang-ulang dan disepakati oleh suatu komunitas tertentu secara umum.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama yang menyatakan bahwa, ‘adah
dan ‘urf secara terminologis tidak memiliki perbedaan prinsipil. Misalnya dalam kitab fiqh
terdapat ungkapan yang artinya, ketentuan ini berlandaskan ‘urf dan ‘adah, maka makna
yang dimaksud keduanya adalah sama. Penyebutan ‘adah setelah kata ‘urf berfungsi sebagai
penguat saja, bukan kalimat tersendiri yang mengandung makna berbeda.
Adapun perbedaan, antara ‘adah dan’urf adalah sebagai berikut, ‘adah lebih luas
cangkupannya bila dibandingkan dengan ‘urf, ‘urf terdiri dari ‘urf sahih dan ‘urf fasid
sedangkan ‘adah tanpa melihat apakah baik atau buruk, ‘urf merupakan kebiasaan orang
banyak sedangkan ‘adah mencakup kebiasaan pribadi. persamaannya, antara ‘adah dan’urf
adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan
berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya.
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah ‘adah dan ‘urf memang berbeda jika ditinjau
dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah ‘adah hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara ‘urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu, ‘adah bisa
dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara ‘urf harus harus dijalani oleh komunitas
tertentu. Sederhananya, ‘adah hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan ‘urf lebih
menekankan aspek pelakunya.
3
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), 235.
8
E. Penerapan ‘Urf Dalam Menjawab Problematika Hukum Kontemporer
Kajian di atas mempertegas bahwa setiap aktivitas ekonomi Islam haruslah selalu
berlandaskan kepada sumber-sumber hukum ekonomi Islam. Artinya dalam berijtihad
terhadap suatu fenomena perekonomian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
ekonomi Islam. Prinsip-prinsip ini harus dijadikan sebagai aturan dalam melakukan aktivitas
ekonomi.
Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual)
karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi
(sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek, dan sekaligus subjek (pelaku,
pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau
menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya
terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat (‘urf). ’Urf telah terbukti dapat dijadikan
sebagai dasar untuk mencari titik temu antara aktivitas ekonomi yang berkembang di
masyarakat dengan praktek ekonomi yang bersendikan Islam. ’Urf shahih terbukti
mempunyai titik temu yang sangat jelas, karena ‘urf merupakan segala sesuatu yang sudah
saling dikenal di antara manusia yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat
perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Dengan
demikian ‘urf untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai metode dan sumber hukum Islam
(justifikasi) dalam perkembangan perekonomian karena sesuai dengan hukum dan prinsip-
prinsip ekonomi Islam.4
Dari penjelasan diiatas dapat disimpulkan bahwa ‘urf dapat dapat dijadikan landasan
hukum untuk melakukan transaksi ekonomi. Karena perkembangan industri yang semakin
maju akan berdampak pada perkembangan transaksi dalam ekonomi yang semakin komplek
sehingga banyak kegiatan transaksi yang membutuhkan ijtihad untuk mencari solusinya dari
permasalan yang mungkin muncul. Adapun yang dimaksud ekonomi Islam adalah sebuah
usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi dan tingkah laku manusia
secara relasional dalam perspektif Islam.38Jadi dapat difahami ekonomi Islam merupakan
ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam kegiatan-kegiatan ekonomi seperti produksi,
distribusi, konsumsi dan investasi sehingga tercipta suatu perekonomian yang teratur, terarah
sesuai dengan tujuannya berdasarkan ajaran Islam.
Contoh ‘urf dalam ekonomi Islam adalah jual beli yang dilakukan masyarkat tanpa
mengucapkan shighat ijab (misal; saya jual-saya beli). Di supermarket atau pusat
perbelanjaan lainya pembeli tinggal mengambil barang yang diinginkan sendiri kemudian
langsung membayar dikasir. Apalagi uang sebagai alat pembayaran transaksi juga sudah
nontunai, cukup menggunakan uang elektronik, kartu ATM atau lainnya. Kemudian
diberbagai sektor pola konsumsi masyarakakat hari ini lebih ke nontunai dan online disegala
aspek ekonomi, dari jalan tol, gaji bulanan, bayar listrik, jasa ojek, pesan makan, pesan tiket
dan hotel, beli perabotan rumah tangga, buku dan lain sebagainya. Hari ini masyarakat
dimudahkan dengan hanya membuka aplikasi kemudian memencet tombol-tombol dan
akhirnya transaksi berhasil.
4
Abdul Hakim, “Kearifan Lokal dalam Ekonomi Islam (Studi Atas Aplikasi al-Urf Sebagai
Dasar Adopsi)”, Jurnal Akademika, Vol. 8, No. 1, (Juni 2014).
9
Dalam fiqh muamalah semestinya shighat merupakan hal yang menjadi rukun jual beli yang
harus dipenuhi. Namun secara substantif, shighat itu adalah untuk menunjukkan adanya ridha
(kerelaan) dari kedua belah pihak sebagaimana yang difirmankan Allah Swt yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu (Q.S.AN-Nisa’: 29). Nabi Muhammad Saw juga bersabda “Sesungguhnya jual-
beli itu haruslah dengan saling rela/ridha”(HR. Ibn Majah)”.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa setiap transaksi jual beli harus dilakukan
dengan kerelaan oleh kedua belah pihak. Pada mulanya, shighat haruslah berupa ucapan (saya
jual) dari penjual dan ucapan pembeli (saya beli). Namun kebiasaan kegiatan transaksi
ekonomi modern hari ini (‘urf) merubah segalanya menjadi lebih mudah. Misal shighat
menjual diwakili dengan label harga (online atau offline) pada produk yang diinginkan dan
shighat membeli diwakili dengan kesediaan memberi uang (tunai atau non tunai) ataupun
dengan hanya gerakan jari (pencet tombol “ok”) di Hp atau yang sejenisnya. Walaupun tidak
seperti shighat yang dijelaskan di literature klasik, namun karena mengandung arti yang
menunjukkan kerelaan dari kedua belah pihak maka dapat disimpulkan bahwa hukum
transaksi modern tersebut boleh berdasarkan ‘urf.
10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
‘Urf merupakan suatu hal yang dikenal dan sudah menjadi kebiasaan masyarkat, baik
berupa ucapan ataupun perbuatan. ‘Urf terbagi menjadi dua, yaitu ‘urf shahih dan ’urf fasid.
‘Urf shahih merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam,
sedangkan ‘urf fasid adalah kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Hanya ‘urf shahih yang bisa dijadikan sebagai landasan sumber hukum Islam. Jadi dapat
disimpulkan ‘urf dapat dijadikan landasan hukum untuk melakukan transaksi ekonomi.
Karena perkembangan industri yang semakin maju akan berdampak pada perkembangan
transaksi dalam ekonomi yang semakin komplek sehingga banyak kegiatan transaksi yang
membutuhkan ijtihad untuk mencari solusinya dari permasalan yang mungkin muncul.
Contoh penerapan ‘urf dalam transaksi ekonomi Islam haru ini adalah seperti dalam
jual beli yang dilakukan masyarkat tanpa mengucapkan shighat ijab qabul (saya jual-saya
beli). Di supermarket atau pusat perbelanjaan modern pembeli tinggal mengambil barang
yang diinginkan sendiri kemudian langsung membayar dikasir. Apalagi uang yang digunakan
sebagai alat pembayaran transaksi juga sudah nontunai. Dan masih banyak lagi kegiatan
trasaksi ekonomi modern saat ini yang berbasis elektronik dan internet. Walaupun tidak
seperti shighat yang dijelaskan di literature klasik, namun karena mengandung arti yang
menunjukkan kerelaan dari kedua belah pihak maka dapat disimpulkan bahwa hukum
transaksi modern tersebut boleh berdasarkan ‘urf.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami,
penulis mohon maaf yng sebesar-besarnya dan penulis sangat brterimakasih apabila ada
saran/kritik yang bersifat membangun sebagai penyempurna makalah ini.
11
12