Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

USHUL FIQIH I

‘URF, SADDUZ ZARI’AH, QAULUSH SHAHABI


DAN SYAR’UN MAN QABLANA

Dosen Pembimbing : Ahmad Adri Riva’i, M. Ag

DISUSUN OLEH:

KELAS III.B
KELOMPOK VII

makalah Sad zari'ah

kelompok 8

misalman(12020115405)

muhammad asri(12020115415)

muhammad dede kusmana(12020115185)

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UIN SUSKA RIAU

PEKANBARU

2021

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga pemakalah
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “‘URF, SADDUZ ZARI’AH,
QAULUSH SHAHABI DAN SYAR’UN MAN QABLANA”. Lalu, tidak lupa pula
kita bershalawat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita
semua dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang dengan dibawanya
cahaya Islam dalam kehidupan kita sekarang ini.
Makalah ini telah pemakalah susun dengan semaksimal mungkin dan tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Ahmad Adri
Riva’i, M. Ag pada Mata Kuliah Ushul Fiqih I. Dalam penulisan makalah ini
pemakalah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu pemakalah menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

1. Allah SWT yang telah memberikan ridho-Nya, kesehatan dan kesempatan kepada
pemakalah untuk membuat makalah ini.
2. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan pemakalah doa, dukungan dan
semangat kepada pemakalah.
3. Bapak Ahmad Adri Riva’i, M. Ag sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Ushul
Fiqih I serta pembimbing pemakalah dalam pembuatan makalah.

Terlepas dari semua itu, pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi sususan kalimat maupun dari tata bahasa serta tatacara

ii
penyusunan makalahnya. Seperti kata pepatah “Tiada gading yang tak retak”,
demikian pula dengan makalah ini. Oleh karena itu dengan hati dan tangan terbuka
pemakalah menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar pemakalah dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata pemakalah berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Pekanbaru, September 2021

Pemakalah
(Kelompok VII)

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah................................................................................1


B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3

A. ‘Urf................................................................................................................3
B. Sadduz Zari’ah...............................................................................................6
C. Qaulush Shahabi..........................................................................................10
D. Syar’u Man Qablana....................................................................................17

BAB III PENUTUP...................................................................................................21

A. Kesimpulan..................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA

iv
v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu fiqih merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh
seluruh umat muslim dikarenakan menyangkut dengan hukum-hukum Islam.
Secara keseluruhan, ilmu tersebut tidak mudah untuk dipahami. Oleh karena
itu, dalam mempelajarinya diperlukan sebuah pengantar agar dapat
mengarahkan pemahaman kita tentang fiqih yang sesungguhnya.
Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan, ilmu fiqih akan terus dan
harus berkembang. Sekalipun demikian, perubahannya dalam sejarah
menunjukkan dinamika, terkadang berubah dengan pesat, namun adakalanya
terlihat lambat. Padahal tuntutan atas perkembangannya merupakan
konsekuensi logis dari beban dan tuntutan perubahan masyarakat dan umat
Islam sendiri.
Al-Quran dan Sunnah telah mengisahkan tentang salah satu dari Allah
SWT kepada umat terdahulu. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan
kepada umat-umat terdahulu. Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa
yang disyariatkan kepada kita yaitu berupa peraturan-peraturan yang wajib
kita patuhi dan ikuti. Tidak disyari’atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil
nash. Setelah Rasulullah SAW wafat, yang memberikan dan menyebarkan
fatwa adalah para sahabat sesuai dengan ketentuan Al-Quran dan Sunnah.
Pada makalah ini pemakalah akan menyajikan tentang “‘Urf, Sadduz
Zariah, Qaulush Shahabi dan Syar’u Man Qablana”

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ‘urf?
2. Apa saja macam-macam ‘urf?
3. Apakah yang dimaksud dengan sadduz zari’ah?

1
4. Apa saja klasifikasi dan bagaimana pandangan imam madzhab serta ulama
terhadap sadduz zari’ah?
5. Apakah yang dimaksud dengan madzhab/qaulush shahabi?
6. Bagaimana penggunaan mazhab/qaulush shahabi oleh para imam
madzhab?
7. Apakah yang dimaksud dengan syar’u man qablana?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami maksud ‘urf.
2. Untuk mengetahui macam-macam ‘urf.
3. Untuk mengetahui dan memahami tentang sadduz zari’ah.
4. Untuk mengetahui kelompok-kelompok serta pandangan imam madzhab
dan ulama terhadap sadduz zari’ah.
5. Untuk mengetahui dan memahami maksud dari mazhab/qaulush shahabi.
6. Untuk mengetahui penggunaan mazhab/qaulush shahabi oleh para imam
madzhab.
7. Untuk mengetahui dan memahami tentang syar’u man qablana.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. ‘Urf
1. Pengertian ‘Urf
Dari segi etimologi  al-‘urf  berasal dari kata yang terdiri dari
huruf ‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah
(yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan),
dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Adapun dari segi terminologi, kata ‘urf  mengandung makna:
“Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam
bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata
yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam
pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain”
Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita
mengetahui bahwa ‘urf dalam sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali
apabila ‘urf itu mesti berlaku atau selalu (berulang-ulang) berlaku pada
perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai ‘urf tersebut selalu
memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi, unsur pembentukan
‘urf ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat
pada keadaan terus-menerus dan kalau tidak demikian, maka disebut
perbuatan perseorangan.
Sebagai contoh adalah kebiasaan masyarakat Indonesia pada
perkawinan ialah bahwa keluarga dari pihak calon mempelai laki-laki datang
ke tempat orang tua calon mempelai perempuan untuk meminangnya. Selain
itu, pada akad perdagangan, seperti kebiasaan manusia berjual beli dengan
tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Dan juga
kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan”.

3
2. Macam-Macam ‘Urf
Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf kepada tiga macam :
a. Dari segi objeknya
1) Al-‘Urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan).
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi,
padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada.
Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual
daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli
mengatakan “saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil
daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
2) Al-‘Urf al-‘Amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa”
adalah kebiasaan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang
tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur
kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat
memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-
acara khusus.
b. Dari segi cakupannya
1) Al-‘Urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum).
Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan  di seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil,
seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci,
tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad

4
sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang
berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat
terbang adalah 20 kilogram.
2) Al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat
tertentu. Misalnya di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat
tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat
lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan
barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa
garansi terhadap barang tertentu.
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
1) Al-‘urf al-Shahih (kebiasaan yang dianggap sah)
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak
menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa
mudharat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak
laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak
dianggap sebagai mas kawin.
2) Al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’
dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan
yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti
peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam
sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar
sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan
bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam,
penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena
keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin
melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah

5
kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’,
karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling
melebihkannya.

B. Saddu al-zari’ah
1. Definisi Saddu al-zari’ah
Kata Saddu al-dzari’ah terdiri dari dua kata, yaitu sad yang berarti
menyumbat atau menutup dan dzari’ah yang berarti sarana yang
mengantarkan pada sesuatu. Sadd al-dzari’ah artinya menutup sarana.
Sedangkan menurut istilah, sadd al-dzari’ah ialah menyumbat semua jalam
yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Kebalikannya adalah fath al-
dzari’ah, yaitu membuka jalan yang menuju pada kebaikan. Jalan keburukan
harus ditutup, sedangkan jalan kebaikan harus dibuka. Imam Al-Qarafi
mengatakan: “Ketahuilah! Dzari’ah itu wajib ditutup sebagimana halnya ia
wajib dibuka. Karena itu menutup dan membuka dzari’ah itu bisa makruh,
bisa sunnah dan mubah hukumnnya.
2. Kedudukan dan pengelompokkan saddu al-zari’ah
Meskipun  hampir semua ulama dan penulis menyinggung tentang
saddu al-dzari’ah, namun sangat sedikit yang membahasnya dalam
pembahasan khusus secara tersendiri. Ada yang menempatkan bahasannya
dalam deretan dalil-dalil syara’ tersendiri dan ada juga yang menempatkan
bahasannya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode
dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut
bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima
sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak
sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para

6
ulama di kalangan mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam
berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan
lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini
dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-
Syathibi  (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-
Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode
istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang
lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah
ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan
atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada
tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga
dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah
SWT. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-
lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu
perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-
dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash
secara langsung.
Ditempatkannya saddu al-dzariah sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung
arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum
suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi
suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau

7
dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan
syara’ terhadap perbuatan pokok.
Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat Al-
Qur’an yang mengisyaratkan ke arah saddu zari’ah itu. 
Surat Al-An’am (6) :108:

َ Kِ‫ ل‬K‫ َذ‬Kٰ KKK‫ َك‬Kۗ K‫م‬Kٍ K‫ ْل‬K‫ ِع‬K‫ ِر‬KKْK‫ ي‬K‫ َغ‬Kِ‫ ب‬K‫ ا‬K‫ ًو‬K‫ ْد‬K‫ َع‬Kَ ‫ هَّللا‬K‫ا‬K‫ و‬KُّK‫ ب‬K‫ ُس‬Kَ‫ ي‬Kَ‫ف‬
K‫ك‬ Kِ ‫ هَّللا‬K‫ ِن‬K‫ و‬K‫ ُد‬K‫ن‬Kْ K‫ ِم‬K‫ن‬Kَ K‫ و‬K‫ ُع‬K‫ ْد‬Kَ‫ ي‬K‫ن‬Kَ K‫ ي‬K‫َّ ِذ‬K‫ل‬K‫ ا‬K‫ا‬K‫ و‬KُّK‫ ب‬K‫ ُس‬Kَ‫ اَل ت‬K‫و‬Kَ
K‫ا‬K‫و‬Kُ‫ن‬K‫ ا‬KKKKK‫ َك‬K‫ ا‬KKKKK‫ َم‬Kِ‫ ب‬K‫ ْم‬Kُ‫ه‬Kُ‫ ئ‬KِّK‫ ب‬Kَ‫ ن‬Kُ‫ ي‬Kَ‫ ف‬K‫ ْم‬Kُ‫ ه‬K‫ ُع‬K‫ج‬Kِ K‫ر‬Kْ KKKKK‫َم‬ K‫ ْم‬K‫ ِه‬KِّK‫ ب‬K‫ َر‬K‫ى‬Kٰ Kَ‫ ل‬Kِ‫َّ إ‬K‫ م‬Kُ‫ ث‬K‫ ْم‬Kُ‫ ه‬Kَ‫ ل‬K‫ َم‬K‫ َع‬K‫َّ ٍة‬K‫م‬Kُ‫ أ‬KِّK‫ ل‬KKKKK‫ ُك‬Kِ‫ ل‬K‫َّا‬K‫َّ ن‬K‫ ي‬K‫ز‬Kَ
K‫ َن‬K‫ و‬Kُ‫ ل‬K‫ َم‬K‫ ْع‬Kَ‫ي‬

Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka


sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa sebenarnya mencaci dan


menghina  penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu
boleh memerangnya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu
akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka
perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang. Dari contoh ayat
tersebut terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan
sesuatu yang terlarang, meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh
hukumnya. Dalam hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi para ulama adalah
bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi: (1) sisi yang mendorong untuk
berbuat, dan (2) sasaran atau tujuan yang menjadi nahtijah
(kesimpulan/akibat) dari perbuatan tersebut. Dari ayat yang sudah dibahas
diatas juga dapat diketahui bahwa sadduz zari’ah mempunyai dasar dari Al-
Qur,an, sedangkan dasar-dasar sadduz zari’ah dari sunnah.

8
3. Pandangan ulama tentang Saddu Az-Zari’ah
Pada dasarnya, tidak ada dalil yang jelas dan pasti dalam bentuk nash
maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan saddu al-
zari’ah. Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad
dengan, berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan
sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan.
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan
mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada
dasarnya juga menerima metode saddu al-zari’ah itu, meskipun berbeda
dalam kadar penerimaannya. Kalangan ulama Malikiyah dikenal banyak
menggunakan faktor maslahat, dengan sendirinya juga banyak menggunakan
metode saddu al-zari’ah. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddu
al-zari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan
antara maslahat dan mafsadat yang dominan, maka boleh dilakukan dan bila
mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat di antara
keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang
berlaku.
Ulama yang menolak metode saddu al-zari’ah secara mutlak adalah
ulama Zhahariyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibeberkan oleh Hazm
yang intisarinya adalah sebagai berikut:
“Hadis yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan saddu al-zari’ah itu
dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya.”
Dasar pemikiran saddu al-zari’ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan
kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama Zhahiriyah menolak
secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nalar). Hukum syara’ hanya
menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an atau dalam
sunah dan ijma ulama. Adapun yang ditetapkan di luar ketiga sumber itu

9
bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan saddu al-zari’ah dalam
bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma,
hanyalah hukum pokok atau maqashid, sedangkan hukum pada washilah atau
dzari’ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma’. Oleh karena itu cara
seperti ini ditolak oleh kalangan ulama Zhahiriyah.

C. Qaulush Shahabi / Madzhab Shahabi


1. Pengertian mazhab (qaul) al-Shahabi
Hampir semua kitab ushul fiqh membahas tentang madzhab shahabi,
meskipun mereka berbeda dalam keluasan beritanya, juga berbeda dalam
penamaannya. Ada yang menamakannya dengan qaul shahabi, ada juga yang
menamakannya dengan fatwa shahabi. Hampir semua literatur yang
membahas madzhab shahabi menempatkan pada pembahasan tentang dalil
syara’ yang diperselisihkan. Bahkan ada yang menempatkannya pada
pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak seperti yang dilakukan Asnawi
dalam kitabnya Syarh Minbaj al-Ushul. Hal ini menunjukkan bahwa madzhab
shahabi itu berbeda dengan ijma’ shahabi yang menempati kedudukan yang
tinggi dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak,
meskipun di kalangan sebagian kecil ulama ada yang menolak kehujjahan
ijma’ secara umum.
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat
Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan
secara tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti
dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib ahli hadis berkebangsaan
Syiria, dalam karyanya Ushul al-Hadist mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan
Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari
Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit,

10
Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini
adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum Islam.
2. Macam-macam mazhab (qaul) al-Shahabi
Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di
antaranya,
a. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa
dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar,
sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-
Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini
dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh
perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad
seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh
dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah
tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari. Namun contoh-
contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal
tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek
ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita
berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
b. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini
perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
c. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan
tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya.
Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’
sukuti, bagi mereka yang berpendapat bahwa ijma’ sukuti bisa
dijadikan hujjah.
d. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.
Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara
para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.

11
Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan
beberapa poin mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, diantaranya:

a. Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini


para ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku
dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
b.  Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan di
tentang oleh sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama
berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqaha
mengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.
3. Kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi
Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini
telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat
sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’n dan orang-orang setelah
tabi’in. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya,
a. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat
menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-
Razi, Abu Said sahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam
Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin
Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman Allah
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar.” (QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka
menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena
itu pendapat para sahabat wajib diterima.

12
Alasan yang kedua adalah hadis Rasul:
Artinya: “Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara
mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk”.
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan kepada
siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah).
Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah
hujjah dan wajib kita terima/amalkan.
b. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulus
shahabi)  secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah (dasar hukum).
Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’iyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i
dalam mazhabnya yang jadid (baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari
golongan Hanafiyah.
Alasan mereka antara lain adalah firman Allah:
Artinya:  “. . . Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS. Al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan kepada
orang-orang yang mempunyai pandangan/pikiran untuk mengambil i’tibar
(pelajaran). Yang dimaksud i’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan
ijtihad, sedangkan dalam hal mujtahid sama saja apakah mujtahid  itu
sahabat atau bukan sahabat.
c. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat
terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat
sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan
dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam
Surah At-Taubah ayat 100:
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang

13
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka”
(QS. At-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat
karena merekalah yang pertama kali masuk Islam.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin
Hushain yang berbunyi: “Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada)
masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Di
samping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang
waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas
kepada mereka dalam memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan
persyari’atan hukum syara’. Bergaul dengan Rasulullah berarti mereka
merupakan murid-murid langsung dari beliau dalam menetapkan hukum,
sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh
karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka
sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan untuk itu.
Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat
al-‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan
pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.
Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in
berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam bentuk:
1) Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2) Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3) Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang
agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.
4) Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui
salah seorang sahabat.

14
5) Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa
maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan
Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib
diikuti.
6) Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan
ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.
4. Penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para imam mazhab
Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi
sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah
ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah
ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi
(informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari
Rasulullah.
a. Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu
apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan
atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan
bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul
sahabat,  dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat
dari sahabat manapun yang ia  kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah
telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari al-
Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat.
Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami
tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka
kepada selain mereka.”
b. Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam
kitab al-Risalahnya sebagai berikut:

15
Artinya : “Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat
seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka
meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian
pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang
teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda
terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan
dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan
sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang
sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam
kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: 
Artinya : “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-
Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para
sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami
harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti)
pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak
menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf
yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami
mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(Al-Umm, juz 7,
hal. 247 ) 
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan
hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan
Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat.
Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak
mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadits, maka dia
mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena
pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’
banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.

16
c. Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam
beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan
yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis
mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadduz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif
daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali
dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul
shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari
maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa
tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih
tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.

D. Syar’u Man Qablana


1. Definisi Syar’u Man Qablana
Syar’u man qoblana adalah syariat umat sebelum kita. Pembicaraan
ulama tentang kemungkinan Nabi Muhammad SAW mengikuti syariat
sebelumnya setelah beliau menerima risalah, berkembang pada pembicaraan
tentang apa sebenarnnya yang disebut  syari’at sebelum kita. Para ulama
menjelaskan bahwa syar’u man qoblana atau syariat sebelum kita adalah
hukum-hukum yang disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh
Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat
sebelum adanya syariat Nabi Muhammad SAW.
Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa syariat rasul yang datang
belakangan menghapuskan syariat rasul yang datang sebelumnya, kecuali jika
terdapat penjelasan bahwa syariat rasul terdahulu tersebut berlaku bagi kita,
seperti ibadah haji dan kurban yang diwarisi umat Islam dari khazanah ajaran

17
agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS. Nabi Muhammad
SAW  diriwayatkan mengamalkan ajaran Nabi Ibrahim AS, nenek moyangnya
dari jalur Isma’il AS. 
2. Pengelompokkan Syar’u Man Qablana
a.  Hukum-hukum yang tidak dinyatakan sebagai syariat bagi kita, baik oleh
Al-Qur’an maupun Hadits. Hukum-hukum seperti ini tidak menjadi
syariat kita menurut kesepakatan para ulama. Demikian juga hukum-
hukum yang secara tegas dinasakh oleh syariat kita, ulama sepakat bahwa
hukum-hukum tersebut bukan bagian dari syariat kita. Misalnya
keharaman memakan daging binatang yang berkuku, keharusan
membunuh diri sendiri sebagai bentuk taubat, memotong pakaian yang
terkena najis dan sebagainnya.
‫َو َعلَى الَّ ِذينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا ُك َّل ِذي ظُفُ ٍر ۖ َو ِمنَ ا ْلبَقَ ِر َوا ْل َغنَ ِم َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم ش ُُحو َم ُه َما‬
Artinya : “Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang)
yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan
pada mereka lemaknnya.
Hadits Nabi:

ْ‫أُ ِحلَّت‬ )‫لِ َي ا ْل َغنَا ُم َو لَ ْم تُ ِح َّل أِل َ َح ٍد ِمنْ قَ ْبلِ ْي (الحد ييث‬

Artinya : “dihalalkan untukku harta rampasan yang tidak pernah


dihalalkan untuk orang sebelumku.”
Hadits ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang)
itu tidak halal untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk
umat Nabi Muhammad SAW.
Ulama telah sepakat menyatakan bahwa syariat terdahulu yang
dalam bentuk ini (yang telah di nashakh) tidak berlaku untuk umat Nabi
Muhammad SAW.

18
b. Syarat yang diperintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian
dinyatakan berlaku bagi umat Muhammad SAW. Hukum-hukum seperti
ini mengikat umat Islam menurut kesepakatan ulama. Seperti ibadah
kurban yang merupakan salah satu sunnah Nabi Ibrahim AS yang
kemudian dinyatakan berlaku dan disunnahkan kepada umat Islam.
c. Syariat yang diperintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian Al-
qur’an dan Hadits menerangkannya kepada kita, tetapi tidak secara tegas
menetapkannya sebagai syariat kita dan juga tidak terdapat ayat yang
secara tegas menasakhkannya dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Syafiiyah dan Imam
Ahmad dalam satu riwayat menyatakan kita wajib mengikutinnya selama
tidak terdapat pengingkaran atau penolakan dari syariat kita.
3. Kehujahan Syar’u Man Qablana
Apabila Al-qur’an atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum
yang telah disyariatkan pada umat yang terdahulu pada para rasul  kemudian
nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka,
maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita.
Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti firman allah dalam surah Al-
Baqarah (2): 183, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman telah
diwajibkan kepada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada
orang-orang sebelum kamu.” Sebaiknya, apabila dikisahkan suatu syariat
yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut
telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak
disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa AS bahwa seseorang yang
telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh
dirinya. Apabila ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali
dengan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, syariat terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa
penetapan atau penghapusan telah disepakati oleh ulama. Jumhur ulama

19
Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, dan Syafiiyah berpendapat bahwa
hukum tersebut disyariatkan juga pada kita, dan kita berkewajiban mengikuti
dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta
tidak terdapat hukum yang mengnashkannya. Alasannya, mereka mengangap
bahwa hal itu termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan
melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita. Orang-orang mukalaf
wajib mengikutinnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa syariat kita itu menasakh atau
menghapus syariat terdahulu, kecuali apabila dalam syariat Islam terdapat
sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat
pertama karena syariat kita hanya menasakh syariat terdahulu yang
bertentangan dengan syariat kita saja.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemakalah telah membahas setiap poin-poin makalah ini, hal tersebut
berdasarkan beberapa ahli, buku, maupun artikel-artikel dari internet sebagai
dasar pemikiran dalam penjelasan maupun pembahasan. Pemakalah berharap
penjelasan yang dipaparkan di makalah ini dapat dipahami dengan baik. Setelah
melakukan pembahasan mengenai ‘Urf, Sadduz Zari’ah, Qaulush Shahabi dan
Syar’u Man Qablana, penulis menyimpulkan dari temuan dan pembahasan mulai
dari definisi, macam, dan menurut pandangan para imam madzhab serta ulama.
Berikut simpulan dari makalah ini.
1. ‘Urf merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang (terus
menerus) dalam suatu masyarakat yang diikuti dan diakui oleh banyak orang
baik itu berupa perkataan maupun perbuatan.
2. ‘Urf terbagi menjadi beberapa macam, yakni dari segi objeknya (lafdzi dan
‘amali), dari segi cakupannya (‘am dan khash), dari segi keabsahannya dari
pandangan syara’ (shahih dan fasid).
3. Sadduz Zari’ah merupakan menutup, menyumbat, atau menghalangi sesuatu
yang menjadi sarana yang menuju kepada sesuatu yang mafsadat (kerusakan).
4. Tidak semua ulama menerima sadduz zari’ah sebagai metode menetapkan
suatu hukum. Oleh karena itu pendapat dan pandangan para ulama dapat
diklasifikasikan menjadi 3 yakni, a)Menerima sepenuhnya (Imam Hambali
dan Maliki), b)Menerima tidak sepenuhnya (Imam Syafi’i dan Hanafi),
c)Tidak menerima sepenuhnya (Zhahiriyah).
5. Qaul/Madzhab Shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang
suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Quran
dan sunnah Rasulullah SAW.

21
6. Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali dan Imam Hanafi sepakat
menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang
bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan
merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai
al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang
bersumber dari Rasulullah.
7. Syar’u Man Qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan untuk umat
sebelum Islam yang dibawa oleh nabi dan rasul terdahulu dan menjadi beban
hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad
SAW.

B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan dalam makalah ini, ada
beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan masukan bagi pembaca maupun
pemakalah selanjutnya. Makalah ini diharapkan dapat dijadikan saran yang tepat
untuk nantinya bisa dilakukan oleh pembaca. Pemakalah memiliki beberapa saran
untuk pemakalah selanjutnya agar makalah ini dapat berlanjut sehingga
memberikan banyak manfaat dalam masalah syari’at Islam yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa saran dari masalah yang bisa dilakukan
untuk pemakalah selanjutnya.
1. Dampak dari ‘urf dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pengaplikasian sadduz zari’ah di masa modern.
3. Buku-buku/kitab-kitab fiqih yang berhubungan dengan kemaslahatan umat.
4. Perkembangan dan pengaplikasian qaulush shahabi dan syar’u man qablana di
masa sekarang.

22
DAFTAR PUSTAKA

http://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/13/%98urf-pengertian-dasar-hukum-macam-
macam-kedudukan-permasalahannya/ (diakses pada 18 September 2021 pukul
08.32 WIB)
https://tafsirhadits2012.blogspot.com/2013/05/urf-dalam-hukum-islam-html/ (diakses
pada 18 September 2021 pukul 09.47 WIB)
Abdul Wahhab Khollab : Ushul Fiqh
Abdurrahman bin Abdullah : Ushul Fiqh
Suwarjin : Ushul Fiqh
Ahmad Hanafi : Pengantar dan Sejarah Hukum Islam

23

Anda mungkin juga menyukai