“Khilafiah”
Disusun Oleh:
Dosen Pengampu:
FAKULTAS SYARIAH
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat ALAH SWT. yang telah
memberikan kemudahan bagi penyusun dalam menyelesaikan makalah ini sehingga
makalah ini dapat dikumpulkan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Terimakasih
kepada dosen pembimbing mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqih, Bapak Yahdi Dinul Haq,
S.H.I.,M.N , yang telah mengarahkan kelompok dalam penyusunan makalah ini. Dan
terimakasih juga kepada seluruh pihak yang ikut berkontribusi dalam penyusunan
makalah ini.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
terdapat kekurangan didalam nya dan saran yang membangun dari pembaca sangat
diharapkan.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2
BAB I................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4
A. Latar Belakang....................................................................................................... 4
C. Tujuan .................................................................................................................... 5
BAB II .............................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN............................................................................................................... 6
PENUTUP ...................................................................................................................... 12
A. Simpulan .............................................................................................................. 12
B. Saran .................................................................................................................... 12
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa Rasulullah, para sahabat mendengarkan ajaran agama dari
Rasulullah, baik berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Rasulullah, secara
lisan dari Rasulullah sendiri, yang dikenal dengan hadis qawliy, melihat praktek
Rasulullah, yang dikenal dengan hadis fi’liy, dan terkadang juga sahabat
mengerjakan sesuatu pekerjaaan yang boleh jadi diakui oleh Rasulullah, yang
terkenal dengan sebutan hadis taqririy. Pada saat Rasulullah mengerjakan
sesuatu, para sahabat meniru begitu saja, tanpa mengetahui apakah yang
dikerjakan oleh Rasulullah tersebut, hukumnya wajib atau sunnah. Para sahabat
menyaksikan Rasulullah shalat, mereka langsung mengikutinya, menyaksikan
Rasulullah melaksanakan ibadah haji, mereka langsung menirunya, dan mereka
melihat Rasulullah berwudlu’, juga langsung menirunya. Demikian kebanyakan
perilaku Rasulullah, tanpa disertai penjelasan, apakah sesuatu yang dikerjakan
oleh Rasulullah tersebut, hukumnya wajib atau sunnah dan sebagainya. Keadaan
tersebut berlangsung sampai Rasulullah wafat. Setelah Rasulullah wafat, para
sahabat terpencar ke daerah-daerah, dan mereka menjadi panutan bagi
masyarakat tempat tinggal mereka. Peristiwa dan permasalahan makin
berkembang, dan merekalah yang menjadi tumpuan pertanyaan masyarakat.
Mereka memberi jawaban, sesuai dengan dalil al-Quran dan hadis Rasulullah
yang mereka hafal, dan sesuai dengan kemampuan istinbath (kemampuan dalam
mengambil keputusan hukum) mereka, dari dalil-dalil tersebut. Seandainya
jawaban para sahabat belum memenuhi harapan masyarakat, maka para sahabat
berijtihad dengan menggunakan ra’yu (pendapat) dengan mempertimbangkan
illat (faktor) yang dijadikan pertimbangan oleh Rasulullah, ketika bersabda atau
melakukan sesuatu perbuatan. Mereka berusaha tanpa mengenal lelah untuk
memahami apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam kondisi
4
demikian, terjadilah khilafiyah di kalangan para sahabat, yang dilatarbelakangi
oleh berbagai faktor.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian khilafiyah
2. Menyebutkan dan menjelaskan bentuk-bentuk khilafiyah dalam fiqih
3. Menjelaskan sebab-sebab umum terjadinya khilafiyah
4. Menjelaskan sikap muslim dalam menghadapi khilafiyah
C. Tujuan
Tujuan makalah ini dibuat adalah supaya para pembaca dapat mengerti
dan memahami penjelasan dari khilafiyah, bagaimana bentuk-bentuk nya yang
terdapat di dalam fiqih, sebab-sebab kenapa khilafiyah bisa terjadi dan sikap
seorang muslim dalam menghadapi khilafiyah.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khilafiah
Khilafiah dalam bahasa sering diartikan dengan “perbedaan pendapat,
pandangan atau sikap”. Masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama.
Perbedaan pendapat di antara kalangan umat islam bukan hanya terdapat dalam
masalah fiqih saja, tetapi khilafiah juga melingkupi berbagai macam hal.
Sebenarnya, ketidaksepakatan yang terjadi di kalangan umat islam terkadang
hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan
istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perebedaannya luas, yaitu antara halal dan
haram.
Khilafiah atau ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam perkara apa saja,
termasuk dalam masalah-masalah pandangan agama adalah sangat wajar.
Sesuatu yang mustahil dan akan menjadi suatu keajaiban apabila seluruh umat
islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, mazhab,
dan sikap dalam masalah ushul, furu’, dan siyasah (politik). Hanya sebuah
mimpi jika semua umat islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu padu dalam
satu istimbat hukum islam.
Kata ikhtilaf menjadi populer di dalam masyarakat kita dengan adanya
hadis Nabi yang mengatakan ikhtilaf baina ummati rahmah (perbedaan pendapat
di kalangan umatku adalah rahmat). Kata ikhtilaf sering digunakan sebagai
ungkapan pembenaran atau legitimasi perbedaan yang terjadi di dalam
masyarakat1
1
Syamsul Arifin, “implementasi Studi Agama Berbasis Multikultural Dalam Pendidikan”,
Malang: 2014, hlm 12.
6
B. Bentuk-bentuk Khilafiah Dalam Fiqih
Berdasarkan jenisnya, khilafiyah ada tiga:
1. Tanawwu’
yaitu perbedaan yang sifatnya variatif, misal: macam-macam doa
iftitah, macam-macam doa tasyahhud, macam-macam qiraat al-
Qur’an yang tujuh, dan seterusnya.
Karakteristik dari khilafah jenis ini adalah:
a. semua pendapat benar
b. bebas memilih dan berganti-ganti antara satu pendapat
dengan lainnya. Misla, suatu waktu iftitah dengan
“Allahumma ba’id....” suatu waktu dengan “Wajjahtu
wajhiya....”
c. tidak boleh saling mengingkari pendapat lain
2. tadhad saigh (mu’tabar)
yaitu perbedaan yang sifatnya saling bertentangan namun masih
dalam koridor ijtihadiyah. Misal: halal atau haramnya sesuatu,
wajib atau tidak wajib, masyru’ (disyariatkan) atau tidaknya
sesuatu, atau perbedaan terkait sebagian tata cara ibadah.
Karakteristik dari khilafiyah jenis ini:
a. hanya ada satu pendapat yang benar
b. setiap orang hanya bisa memilih salah satu pendapat dan
tidak mungkin untuk menganut dua pendapat sekaligus.
c. Namun tetap tidak boleh mengingkari pendapat yang
berlawanan jika sifatnya ijtihadiyah karena tidak adanya
nash yang jelas.
7
3. Tadhad ghairu saigh (tidak mu’tabar)
Yaitu perbedaan pendapat yang sifatnya bertentangan, namun
menyelisihi nash sharih sehingga tidak bisa ditoleransi.2
2
Madjid, DR Nucholis, “islam doktrin dan peradaban”, jakarta: yayasan wakaf para madinah,
(1992), hlm 117
8
Bila para-para ulama hadist sudah berbeda pendapat, sudah
dipastikan bahwa kesimpulan hukum yang dikeluarkan oleh
masing-masing ahli fiqih pun akan berbeda juga.
3. Perbedaan dalam metode istimbath hukum
Istimbath hukum atau metode dalam menggali dalil-dalil yang
ada di dalam Al-Qur’an dan Hadist untuk menghasilkan sebuah
hukum diantara para ulama berbeda.
Contohnya imam malik mengambil amalan penduduk madinah
hingga masa beliau sebagai dalil atau landasan sebuah hukum,
apabila tidak dijumpai dalil dari Qur’an dan sunnah, sedangkan
ulama lainnya tidak.
Pertimbangan imam malik bahwa mereka adalah generasi yang
menyaksikan langsung generasi sebelumnya yang dibimbing oleh
rasulullah saw dan mengalami sendiri peristiwa-peristiwa di
mana wahyu allah diturunkan. Sehingga tidak mungkin mereka
bersepakat dalam penyimpangan.
Hal tersebut berbeda dengan imam madzhab yang lain, mereka
tidak menerima amalan penduduk madinah sebagai landasan
sebuah hukum.
Begitu juga perbedaan antara imam abu hanifah dengan
mayoritas ulama, imam abu hanifah tidak mengambil kesimpulan
hukum berdasarkan mafhum mukholafah, sementara mayoritas
ulama mengambilnya dengan persyaratan yang ketat, antara lain
tidak bertentangan dengan apa yang jelas-jelas ditunjukkan oleh
nash.
4. Perbedaan dalam memahami nash
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada cerita di awal antara para
sahabat Rasulullah yang memahami perkataan rasul dengan
pemahaman tekstual dan kontekstual. Dan rasulullah pun tidak
menyalahkan salah satu dari mereka.
9
Dengan adanya sebab-sebab tersebut, dan masih ada sebab
lainnya, maka perbedaan pendapat diantara para ulama menjadi
sesuatu yang tidak bisa hindari, dan bukanlah hal yang
proporsional kalau kita ingin menghapuskannya dan menjadi satu
pendapat saja. Karena, yang akan terjadi justru pemaksaan satu
pendapat kepada semua orang. Padahal rasulullah sendiri
memberikan toleransi atas perbedaan pendapat sepanjang masih
dalam frame pemahaman dalil yang dibenarkan.3
3
Isa’ Abdul Jalil, “masalah-masalah keagamaan yang tidak boleh diperselisihkan antara
sesama umat islam”, Bandung, (1978), hlm 65-67
10
dihasilkannya adalah wahyu yang diperoleh dan wajib diikuti oleh seluruh
manusia. Bahkan salah seorang imam berkata: “Inilah pendapatku, ianya benar,
dan kemungkinan adanya kesalahan. Sedangkan pendapat selainku keliru dan
kemungkinan adanya kebenaran”.
Oleh karena para ulama sangat menjaga etika dalam menyikapi
perbedaan pendapat. Sehingga tidak pernah ada rasa ingin menfitnah sesama
muslim pada agama dan akhlaknya. Bahkan para ulama tersebut menjadi teladan
dalam rasa saling menghargai dan menghormati sesama. Fenomena ini
berbanding terbalik dengan sikap sebagian kita yang begitu fanatik terhadap
pendapat tertentu dan menolak pendapat yang berbeda dengan pemahaman yang
diyakini.
Dapat diringkaskan aturan-aturan yang mesti dijaga dalam menyikapi
persoalan khilafiyah, yang digali dari perkataan dan perbuatan para ulama
sebagai berikut:
1. Tidak memaksakan orang lain dengan pendapat atau pandangan
yang dipilih
2. Tidak mengingkari pendapat orang lain dalam persoalan ijtihad
3. Tidak malu untuk kembali kepada kebenaran jika ia melihat
pandangannya keliru, dan tidak merasa risih dengan kebenaran
yang muncul atas lisannya atau lisan orang lain.
4. Menghindari persoalan yang mengundang kekisruhan4
4
Ibid, hlm 99-100
11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Khilafiyah tidaklah perlu dihilangkan karena adanya merupa- kan
sunnatullah, yakni merupakan implikasi dari adanya perintah ijtihad. Yang perlu
dilakukan adalah bagaimana mengelolanya menjadi sesuatu yang kostruktif
dalam kehidupan sosial. Cara menghadapi khilafiyah yang benar adalah dengan
memandangnya secara dewasa, toleran, dan penuh persaudaraan dan
perdamaian. Cara mensiasati khilafiyah adalah dengan mengembangkan etika
sosial, antara lain melalui jalur pendidikan Islam. Mau tidak mau, pe ndidikan
Islam harus be rse dia untuk me ndapat se ntuhan rekonstruksi dalam berbagai
aspeknya, yakni aspek teologi dan filosofis, aspek substantif, aspek metodologis,
dan aspek etika berbangsa dan bernegara.
B. Saran
Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terimakasih atas
antusiasisme dari pembaca yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah
ini.
Penulis banyak berharap pada pembaca untuk memberikan kritik dan
saran kepada penulis demi sempunanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan selanjutnya
12
DAFTAR PUSTAKA
13