Anda di halaman 1dari 13

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Ushul Fiqih Ahda Fithriani,SHI, MHI

MAKALAH

TAQLID, MAZHAB, TALFIQ, DAN IFTA

Oleh:

Auva Audi Ahmad : 230103030020


Ahmad Dzikri Septian : 230103030108
Mutmainnah : 230103030022
Silviana Ayu Fitri Lestari : 230103010005

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
BANJARMASIN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang " Taqlid, Mazhab,
Talfiq, Dan Ifta".
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu,
kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang saya susun ini memberikan manfaat untuk
pembaca dan pendengar presentasi kami nanti.
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat
berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan
dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam
menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya. Dalam ushul fiqh juga
dibahas masalah Taklid, Madzhab, Talfiq , dan Ifta. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dan
maksudnya pun berbeda.

Makalah ini mencoba menguraikan masalah yang berkenaan dengan Taklid,


Madzhab, Talfiq , dan Ifta yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan
pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia, oleh
karena itu kita dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu usul fiqh terutama
untuk materi ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau
pertanyaan tentang masalah ini. Makalah ini hanyalah sebagai pengantar, agar nantinya kita
bisa lebih mendalami dengan mengkaji khazanah-khazanah keilmuan yang ada di negeri
ini.
B.Rumusan masalah
1. Apa definisi dan hakikat dari Taqlid?
2. Apa pengertian dari Madzhab, apa latar belakang munculnya Mazhab, apa dampaknya
terhadap Fiqih, dan siapa para pendiri madzhab?
3. Apa definisi, hukum, dan ruang lingkup dari Talfiq?
4. Apa definisi dan rukun dari Ifta?
C.Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dan hakikat tentang Taqlid.
2. Untuk mengetahui pengertian madzhab , latar belakangnya dan dampaknya terhadap
fiqih, dan mengetahui siapa pendiri pendiri madzhab.
3. Untuk mengetahui definisi, hukum, dan ruang lingkup dari Talfiq.
4. Untuk mengetahui definisi dan rukun Ifta.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Taqlid
Kata taqlid (‫ )تقليد‬berasal dari fi'il mâdhi (kata dasar) ‫ تقلد‬dan ‫ قلد‬yang secara lughawi
berarti "mengalungkan" atau "menjadikan kalung". Kalau dikatakan: lill aside de, berarti
Masyarakat awam Mesir mengikuti pendapat Imam al-Syafifi. Hal demikian mengandung
arti menjadikan pendapat Imam al-Syafifi sebagai kalung.1
Kata taqlîd mempunyai hubungan rapat dengan kata qalâdah sedangkan galadah itu
sendiri berarti kalung. Menurut asalnya, (kalung) itu digunakan untuk sesuatu yang
diletakkan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi itu mengikuti
sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik orang. Kalau yang dijadikan "kalung" itu adalah
"pendapat" atau "perkataan" seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan
mengikuti "pendapat" orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut
demikian.2
Dari uraian di atas, maka jelas bahwa secara lughawi bila dikatakan, "si A ber-taqlid
kepada si B", berarti si A mengikuti pendapat si B itu dengan patuh tanpa merasa perlu
mengetahui kenapa pendapat si B begitu. Dari taqlid menurut pengertian lughawi itu
berkembang menjadi istilah hukum yang hakikatnya tidak berjauhan dari maksud lughawi
itu. Di antara definisi tentang taqlid tersebut, ialah:
1. Al-Ghazali memberikan Definisi
“Menerima ucapan tanpa hujah”
2. Al-Asnawi dalam Nihaayat Al-Ushul mengeluarkan definisi
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
3. Ibn Subki dalam kitab Jam’ul Jawaami’ merumuskan definisi
“Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”3
Perorangan adalah bukan hujah, maka bila seorang mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa
mengetahui dalilnya, disebut taqlid.
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi di atas dapat dirumuskan hakikat
taqlid yaitu :
1. Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2. Pendapat atau ucapan orang lain yang di ikuti itu tidak bernilai hujah.
3. Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak dapat mengetahui sebab-sebab
atau dalil-dalil dan hujah dari pendapat yang diikutinya itu.4

____________
1 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 434
2
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta/ushul-fiqh-ii/ushul-fiqh-ii-2-taqlid/
36804749
3
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 434
4 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 436
B. Mazhab
1. Pengertian Mazhab
Kata mazhab (‫ ) مذهب‬menurut bahasa merupakan isim makan ( kata yang
menunjukkan tempat) yang diambil dari fi'il madhi (kata dasar) yang berarti pergi. Bisa bisa
juga berarti Al ra’yu yang artinya pendapat. Pengertian mazhab menurut istilah fiqih atau
ilmu fiqih meliputi dua pengertian yaitu:5
a. Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu kejadian.
b. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau Mufti tentang hukum suatu kejadian.
2. Latar Belakang Munculnya Mazhab dan Dampaknya terhadap Fiqih
Salah satu sebab munculnya mazhab ialah taqlid. Sebelum lahirnya mazhab, para
ulama bahkan umat Islam secara keseluruhan mempunyai kebebasan untuk mengikuti
pendapat siapa saja yang dikehendakinya. Namun setelah pintu ijtihad dinyatakan ditutup
( sekitar pertengahan abad ke-4 H) . Dan para ulama mulai memusatkan perhatiannya
kepada ulama-ulama tertentu bahkan umat Islam secara keseluruhan mulai terbagi dan
masuk ke dalam aliran-aliran (mazhab) nya masing-masing. Munculnya mazhab-mazhab
ini menunjukkan bahwa betapa pesatnya perkembangan islam pada waktu itu. Hal ini tidak
akan lepas dari beberapa faktor yang sangat mempengaruhi bagi perkembangan hukum
islam setelah wafatnya Rasulullah SAW yaitu sebagai berikut : 6
1. Daerah kekuasaan islam yang semakin bertambah luas, yakni meliputi Arab, Irak,
Mesir dan lainnya.
2. Pergaulan kaum muslim dengan bangsa yang ditaklukkannya.
3. Akibat jauhnya kota-kota yang ditaklukkannya itu dengan ibukota pemerintahan
islam, sehingga para gubenur, ulama, dan hakim harus melakukan ijƟhad guna memberikan
jawaban untuk pertnyaan yang harus di pecahkan.
3.Perkembangan dan Macam Macam Mazhab
Mazhab yang dapat berkembang dan bertahan sampai sekarang serta banyak di ikuti
oleh seluruh umat muslim sedunia hanya ada empat yaitu sebagai berikut :7
a. Mazhab Hanafi pendiriannya Imam Abu Hanifah
b. Mazhab Maliki pendirinya Imam Malik
c. Mazhab Syafi’i pendirinya Imam As-Syafi'i
d. Mazhab Hanbali pendirinya Imam Ahmad bin Hanbal
Keempat Imam tersebut sudah di akui oleh seluruh umat islam di dunia bahwasanya beliau
ber-4 sudah memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Hal itu dikarenakan oleh ilmu,
akhlak, dan amal yang mereka miliki.
1

1
5 Firdaus, M., USHUL FIQH Mentode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensip. (Jakarta Timur: Penerbit Zikrul
Hakim Anggota IKAPI,2004) hlm 475
6 Firdaus, M., USHUL FIQH Mentode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensip. (Jakarta Timur: Penerbit Zikrul
Hakim Anggota IKAPI,2004) hlm 475
7 https://sinar5news.com/kajian-tentang-madzhab-taqlid-talfiq-dan-ifta/
Maka seluruh ahli fiqih memfatwakan bagi umat islam agar memilih salah satu mazhab
yang empat tersebut.8
1. Mazhab Hanafi Dinamakan Hanafi karena pendirinya bernama Imam Abu Hanifah An-
Nu'man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun ke-80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H.
Mazhab ini dikenal sebagai Mazhab ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak
sedikit, sehingga beliau banyak menggunakan qiyas.
2. Mazhab Maliki Dinamakan Maliki karena pendirinya bernama Al-Imam Maliki bin Anas
Al-Ashbahy. Beliau lahir di Madinah pada tahun ke-93 H dan wafat pada tahun 179 H.
Mazhab ini pertama kali ada di Madinah kemudian menyebar luas ke seluruh penjuru
negara khususnya Maroko. Mazhab ini dikenal sebagai Mazhab hadits, karena menurut
beliau tidak mungkin penduduk Madinah berbuat sesuatu yang menentang dari perbuatan
Rasulullah. Beliau lebih banyak fokus kepada hadits, karena bagi beliau perbuatan
penduduk Madinah termasuk hadits mutawaƫir.
3. Mazhab Syafi’i Mazhab ini didirikan oleh Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i Al-
Quraisy. Beliau lahir pada tahun 150 H di Ghuzzah dan wafat di Mesir pada tahun 204.
Mazhab ini mempunyai keistimewaan karena Imam Syafi’i berikhtiar untuk
mempersatukan Mazhab terpadu yaitu Mazhab hadits dan Mazhab qiyas. Salah satu
kelebihan Imam As-Syafi'i ialah beliau hapal alquran dari umur 7 tahun.
4. Mazhab Hanbali Dinamakan Hanbali karena pendirinya bernama Al Imam Ahmad bin
Hanbal As-Syaebani. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 284
H.Beliau merupakan salah satu murid imam Asy-Syafi’i yang teristimewa dan tidak pernah
jauh dari imam AsySyafi’i sampai beliau pergi ke Mesir.
C. Talfiq
1. Pengertian Talfiq
Dalam bahasa Arab, kata talfiq (‫ )الَّتْلِفيُق‬berasal dari kata (‫ )َلَّفَق – ُيَلِّفُق – َتْلِفيقًا‬yang berarti
menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya seperti ungkapan ( ‫ )َلَّفْقُت الَّثْو َب‬yang
artinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang
lain, lalu menjahitnya. Dan pembahasan talfiq yang akan dibahas di sini ialah, sebagaimana
banyak diperbincangkan oleh para ulama ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah
bertaklid kepada madzhab-madzhab para imam mujtahid. Kami angkat berdasarkan kitab
Ushul Al Fiqhi Al Islami, karya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Juz II, hlm. 1171-1181.9
Talfiq, yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak
pernah dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-madzhab
serta mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang
memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan
(rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para imam mujtahid), tidak
oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun imam ‘barunya’. Justru masing-masing
imam tersebut menetapkan batilnya penggabungan dalam ibadah tersebut.
2

2
8 https://sinar5news.com/kajian-tentang-madzhab-taqlid-talfiq-dan-ifta/
9 https://almanhaj.or.id/3105-talfiq-dalam-pandangan-ulama.html
10 Umdatut Tahqiq, hlm. 101
11 https://almanhaj.or.id/3105-talfiq-dalam-pandangan-ulama.html
Contoh, seseorang mentalak tiga terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya
menikah dengan anak laki-laki berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan kembali
pernikahan dengan suaminya yang pertama, pent.). Dalam hal ini, suami keduanya bertaklid
kepada madzhab Asy Syafi’i yang mengesahkan pernikahan seperti itu, kemudian ia
menggauli wanita tersebut dan lalu menceraikannya dengan bertaklid kepada madzhab
Imam Ahmad yang mengesahkan jenis talak seperti itu dan tanpa melalui masa ‘iddah,
sehingga suaminya yang pertama boleh menikahinya kembali.10

Syaikh Ali Ajhuri Asy Syafi’i memberi komentar, bahwa (contoh) seperti itu
dilarang pada masa kami, dan hal itu tidak boleh serta tidak sah untuk diamalkan. Karena
menurut madzhab Asy Syafi’i, disyaratkan yang menikahkan anak kecil harus ayah atau
kakeknya, dan harus seorang yang adil, serta mesti ada kemaslahatan bagi anak tersebut
dalam pernikahannya. Kemudian yang menikahkan si wanita harus walinya yang adil
dengan dua saksi yang adil pula. Jika ada satu syarat tak terpenuhi, maka tidak sah tahlil
tersebut, karena pernikahannya tidak sah.11

B.Ruang Lingkup Talfiq


Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam
masalah-masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (bukan merupakan perkara qathi’ atau pasti,
pent.). Adapun setiap perkara yang ma’lum fiddin bidhdharurah (prinsipil) dalam agama
ini, berupa perkara-perkara yang disandarkan pada hukum syar’i (yang pasti), yang telah
disepakati oleh kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir, maka tidak boleh ada
taklid apalagi membuat talfiq di dalamnya.
Atas dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat mengarah kepada
pembolehan (penghalalan) perkara yang diharamkan seperti khamr (miras) dan zina.12

C.Hukum Talfiq
1. Talfiq yang Diperbolehkan
Dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa yang
dinyatakan oleh ulama ushul sebagai ijma’ yang melarang memunculkan pendapat ketiga,
jika para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok mengenai hukum dalam suatu
masalah. Jadi, kebanyakan dari mereka menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat
ketiga yang dapat melanggar wilayah kesepakatan.

Misalnya seperti masalah ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh
suaminya. Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan ulama. Pertama, berpendapat

12 https://almanhaj.or.id/3105-talfiq-dalam-pandangan-ulama.html
bahwa‘iddahnya adalah (dengan) melahirkan kandungannya. Kedua, berpendapat bahwa
‘iddahnya adalah masa ‘iddah yang paling jauh dari dua masa ‘iddah. Maka tidak boleh
memunculkan pendapat baru –misalnya- dengan menyatakan bahwa ‘iddahnya adalah
hanya dengan hitungan bulan (4 bulan 10 hari) saja.13

Untuk mengomentari (menyanggah) klaim kebatilan talfiq ini, bisa melalui dua metoda.
Metode penolakan (al man’u) atau peniadaan (an nafyu).
Metode penetapan lawannya (itsbatul ‘aks).14 3

Metode Penolakan atau Peniadaan.


Hal itu jelas, karena talfiq dibangun di atas pemikiran taklid yang ditetapkan oleh ulama
muta`akhirin (generasi akhir) pada masa-masa kemunduran (umat Islam dalam berijtihad,
pent.).
Artinya talfiq ini belum dikenal (tidak ada) di kalangan Salaf (pendahulu umat ini),
tidak di masa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak pula di masa
imam-imam (setelah mereka) dan para muridnya. Adapun di masa Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , maka tidak ada praktek talfiq sama sekali, karena masa itu merupakan era
penyampaian wahyu yang tidak memungkinkan adanya ijtihad.

Demikian pula di masa sahabat dan tabi’in, tidak dikenal adanya talfiq di tengah-
tengah mereka. Yang ada hanyalah seseorang bertanya kepada ulama yang disukainya dari
kalangan sahabat dan tabi’in, lalu ia (yang ditanya) memberi fatwa kepadanya tanpa
mengharuskan berpegang dengan fatwanya, dan juga tanpa melarang orang (penanya)
tersebut dari mengamalkan fatwa selainnya, padahal ia mengetahui adanya perbedaan
pendapat yang banyak di antara mereka.

Begitu juga di masa para empat imam atau ulama lainnya yang sudah masuk
kategori ulama mujtahid, tidak ada nukilan dari mereka tentang larangan beramal dengan
madzhab selainnya. Bahkan masing-masing saling mengikuti di belakang ulama yang lain,
padahal setiap dari mereka mengetahui perbedaan pendapatnya dengan yang lain dalam
masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (tidak pasti). Maka hal ini menunjukkan bahwa –
dahulu- orang yang meminta fatwa, mengambil pendapat-pendapat para ulama dalam dua
masalah atau lebih, dan tidak dikatakan bahwa dia telah melakukan talfiq, atau telah sampai
pada suatu kondisi yang tidak pernah disebutkan oleh para pemberi fatwa. Hal itu hanyalah
terhitung sebagai bentuk saling bercampurnya pendapat-pendapat para pemberi fatwa
tersebut pada diri orang yang meminta fatwa tadi tanpa ada kesengajaan (untuk
mencampuradukkan antara pendapat satu dengan yang lain). Sama halnya dengan saling
bercampurnya bahasa-bahasa antara satu dengan yang lain dalam bahasa Arab, misalnya.

3
13 Lihat Abhats Al Mu’tamar Al Awwal Li Majma’ Al Buhuts, hlm. 95)
14 Lihat pembahasan ini dalam kitab Umdatut Tahqiq Fi At Taqlid Wat Talfiq, hlm. 92-110, dengan perubahan
Dan selebihnya, pendapat mereka yang melarang perbuatan talfiq, dapat mengarah
kepada larangan bertaklid, yang pada dasarnya mereka sendiri mewajibkan taklid tersebut
bagi orang-orang awam meskipun kebanyakan taklid itu bukan merupakan bentuk talfiq.
Dan hal ini bertentangan dengan prinsip yang berbunyi perbedaan pendapat para imam
adalah rahmat bagi umat . Juga bertentangan dengan prinsip kemudahan dan kelonggaran
serta menghilangkan perkara yang memberatkan dan kondisi yang menyulitkan, yang
merupakan asas bangunan syari’at Islam.

D. Ifta
1. Pengertian dan Ketentuan Ifta
Ifta (‫ )افتاء‬berasal dari kata ‫افتى‬, yang artinya memberikan penjelasan. Secara definitif
melalui uraian sebelumnya dapat dibuatkan dirumuskan sederhana, yaitu: "Usaha
memberikan penjelasan tentang hukum syara'oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya"
Dari rumusan sederhana tersebut akan mudah diketahui ciri-ciri tertentu dari berfatwa,
yaitu:
1. Ia adalah usaha memberikan penjelasan ;
2. Penjelasan yang diberikan itu adalah tentang hukum syara' yang diperoleh melalui hasil
ijtihad;
3. Yang memberikan penjelasan itu adalah orang yang ahli dalam bidang yang
dijelaskannya itu;
4. Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya;

Rukun-rukun ifta
1. Usaha memberikan penjelasan yang disebut ifta'.
Ifta adalah salah satu cara untuk menyampaikan hasil ijtihad kepada orang banyak
melalui ucapkan.
Cara penyampaiannya lain adalah melalui perbuatan sepertinya kutukan palu seorang
hakim di pengadilan yang disebut qadha'.
2. Orang yang menyampaikan jawaban hukum terhadap orang yang bertanya yang disebut
mufti.
3. Orangnya meminta penjelasan hukum kepada orang yang telah mengetahui disebabkan
oleh ketidaktahuan nya tentang hukum suatu kejadian (kasus) yang telah terjadi. Orang ini
disebut mustafti.
4. Hukum syara' yang disampaikan oleh mufti kepada "mustafti" yang disebut "fatwa".
Fatwa itu adalah hukum syara' yang disampaikan oleh oleh mufti kepada mustafti, bukan
sesuatu yang berada di luar bidang hukum syara'. Hukum syara' merupakan hasil ijtihad
para mujahid, baik mujahid yang berhasil menggali nya adalah mufti itu sendiri, atau
mujahid lain yang selalu diikuti ini.
2. Mufti
Mufti (‫ )مفتى‬kedudukannya sebagai sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara'
yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat Islam. Umat akan selamat bila ia
memberikan fatwa yang benar dan akan sesat gila iya salah dalam berfatwa.
Syarat mufti dikelompokkan pada 4 kelompok yaitu;
1. Syarat umum:
Ia harus seorang mukalaf yaitu muslim, dewasa, dan sempurna akalnya.
2. Syarat keilmuan:
Yaitu bahwa ia ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijitihad, mengetahui secara
baik dalil-dalil sam'i dan mengetahui secara baik dalil-dalil aqli.
3. Syarat kepribadian
Adil dan dipercaya:
4. Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi di
diuraikan antara lain:
Dengan berfatwa iya bermaksud untuk mendidik dan mengetahui hukum syara', bersifat
tenang (sakinah) dan berkecukupan.

3. Mustafti
Mustafti (‫ )مستفتى‬adalah orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang suatu hukum
syara' baik secara keseluruhan atau sebagian.
Oleh karenanya harus bertanya kepada orang lain yang lebih paham agar dapat mengetahui
dan beramal dalam suatu urusan agama.

4. Fatwa
Yang difatwakan atau materi fatwa adalah hukum syara' yang diperbolehkan
melalui ijtihad. Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim, yaitu
menyampaikan hukum kepada umat islam. Fatwa disampaikan mufti dengan ucapannya
telah menerima pertanyaan dan umat. Sedangkan wadhi menyampaikan hukum melalui
putusan hukum atau dalam proses persidangan setelah perkara nya disampaikan oleh umat.
Sehingga keduanya merupakan ijtihad.
Jika mufti itu adalah seorang mujtahid, maka hukum yang disampaikan yaitu
adalah hasil ijtihadnya sendiri. Namun jika mufti itu adalah seorang muqallid (bertaklid)
yang menurut sebagian ulama diperbolehkan, maka hukum yang di fatwa kanya adalah
hukum yang dihasilkan melalui ijtihad hasil temuan seorang imam yang iya ikuti
pendapatnya (Mazhab)-nya.

5. Berfatwa
Ber fatwa atau menyampaikan fatwa menduduki fungsi amar ma'ruf nahi munkar,
karena iya menyampaikan pesan-pesan agama yang harus dikerjakan atau dijauhi oleh umat
islam. Sehingga hukum ber fatwa itu menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam
suatu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanyain tentang suatu masalah hukum yang
sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa
atas mufti tersebut adalah fardhu ain. Namun bila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama
atau lebih baik dan masalah yang ditanyakan kepada nya bukanlah hal yang mendesak
untuk segera dipecahkan, maka hukum berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifayah

PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa taqlid adalah menerima pendapat
orang lain tanpa hujjah serta Terdapat perbedaan pandangan ulama dalam masalah boleh
atau tidaknya bertaqlid, terhadap pendapat orang lain tentang hukum-hukum bertaqlid yang
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok menurut para ulama.dan memiliki ketentuan
untuk Seseorang yang akan bertaqlid kepada seorang mujtahid, di isyaratkan bahwa ia
mengetahui orang yang di ikutinya itu memang mempunyai kemampuan untuk ber ijtihad
dan bersifat ‘adalah. Yaitu tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan
dosa kecil, dan selalu menjaga Muruahnya. Pengetahuannya itu dicukupkan dari berita yang
masyhur ditengah umat.
Kata mazhab menurut bahasa merupakan isim makan ( kata yang menunjukkan
tempat) yang diambil dari fi'il madhi (kata dasar) yang berarti pergi. Bisa bisa juga berarti
Al ra’yu yang artinya pendapat.
Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan .
pada hal ini ruang lingkup talfiq menurut Para ulama` fiqh sepakat bahwa hanya terbatas
pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi
yg masih perkiraan).
Ifta adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya
kepada orang yang belum mengetahuinya. Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai
keistimewaan.
B.Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kekurangan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
kepada para pembanca guna menyempurnakan makalah ini. Atas perhatiannya, Kami
ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, H. M. (1973). FIQIH ISLAM Tarjamah Matan Taqrib. Bandung: PT Alma'arif.


Dr. H. Ahmad Sanusi,M.A, & Dr.Sohari, M.H., M.M. (2015). Ushul Fiqih. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Firdaus, M. (2004). USHUL FIQH Mentode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensip. Jakarta Timur: Penerbit Zikrul Hakim Anggota IKAPI.
Kadar M. Yusuf, I. (2018). Fiqih Perbandingan. Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.
Prof.Dr. Rachmat Syafe'i, M. (2018). ILMU USHUL FIQIH. Bandung: CV PUSTAKA
SETIA.
Rifa'i, D. M. (1973). USHUL FIQIH. Bandung: PT Alma'arif Bandung.

Anda mungkin juga menyukai