Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TASAWUF FALSAFI : PENGERTIAN, TOKOH DAN


AJARANNYA (IBNU ARABI DAN AL JILI)
Dosen Pengampu: Nilyati, S. Ag. M. Fil. I

Disusun Oleh : Kelompok 8

Luki Rahmat Aditya (302220007)


Roland (302220016)

PROGRAM STUDI
AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA
SAIFUDDIN JAMBI
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada saya. Sehingga, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah  Akhlak Dan Tasawuf yang berjudul “Tasawuf
Falsafi “. Penulisan makalah ini disusun sebagai Tugas Kelompok dalam proses
pembelajaran mata kuliah Akhlak Dan Tasawuf di UIN STS JAMBI.

Kami  mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Ibu Nilyati, S. Ag.
M. Fil. I selaku dosen  Akhlak Dan Tasawuf yang telah memberikan tugas ini
pada kami. kami memperoleh banyak manfaat setelah menyusun tugas ini. Dalam
penyusunan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan penyusunan makalah ini. Demikian makalah ini kami susun.
Semoga bisa memberikan manfaat kepada pembaca.

ii
DAFTAR ISI

Cover.........................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................1

C. Tujuan Penulisan..............................................................................................1

D. Manfaat Penulisan............................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................2

A. Pengertian Tasawuf Falsafi...............................................................................2

B. Tokoh-Tokoh Taswuf Falsafi Beserta Ajarannya.............................................3

BAB III..................................................................................................................10

PENUTUP..............................................................................................................10

A. KESIMPULAN...............................................................................................10

B. KRITIK DAN SARAN...................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologi kata tasawuf  berasal dari kata ahlu suffah yang berarti
sekelompok orang di masa rasulullah yang semasa hidupnya banyak berdiam di
serambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan seluruh hidup nya kepada
Allah. Pengertian Tasawuf secara istilah menurut Muhamad Ali Al-Qassab
Tasawuf adalah akhlak yang muliayang timbul pada masa yang mulia di tengah-
tengah kaumnya yang mulia. Tasawuf memiliki landasan baik dalam Al-qur’an
maupun dalam Hadits.

Tasawuf ini terbagi menjadi tasawuf akhlaqi. Tasawuf irfani, dan tasawuf
falsafi, dan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah tasawuf falsafi. Ada
beberapa macam tasawuf falsafi yaitu hulul, wahdag al-wujud, ittihad, insane
kamil, wujud al mutlak Ibn Sabi’n.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari Tasawuf Falsafi ?


2. Tokoh-tokoh Tasawuf Flasafi dan Ajarannya?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa pengertian dari Tasawuf Falsafi.
2. Mengetahui lebih dalam tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi dan Ajarannya.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah penyusun dan pembaca
dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan tasawuf falsafi dan pembaca dapat
mengetahui siapa saja yang termasuk tokoh-tokoh tasawuf falsafi beserta
ajarannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi
mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf
falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapanya serta berasal
dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi tokohnya.

Menurut At-Taftazani, tasawuf muncul dengan jelas dalam khazanah islam


sejak abad keenam hijriyah. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf
falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran
filsafat yang paling banyak dipegunakan dalam analisis tasawuf adalah paham
emanasi neo-plotinus.

Adapun ciri umum tasawuf falsafi adalah ajaranya yang samar-samar akibat
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai
filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak
dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertianya yang murni, karena
ajaranya sering diungkapakan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi
pada panteisme. Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal
dengan baik filsafat Yunani serta berbagai aliranya,seperti Socrates, Plato,
Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo-Platonisme dengan filsafat nya tentang
emanasi.1

Pada awalnya ajaran tasawuf falsafi yang menjelaskan tentang konsep


penyatuan makhluk dengan Tuhan ini bisa diterima oleh kalangan ulama sufi,
kemudian konsep ini menjadi sesuatu yang kontroversial setelah kemunculan
beberapa sufi yang memperlihatkan secara nyata dalam bentuk ucapan seperti
yang dilakukan oleh al-Hallaj yang berupa ucapan “Ana al-Haq”. Sehingga
pemahaman tentang konsep penyatuan jiwa dengan Tuhan difatwakan sesat dan
membahayakan bagi umat Islam yang belum paham tentang hal tersebut.
1
Tirtaharja, Umar. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.1995

2
Konsekuensi bagi yang menganut paham ini serta mengajarkannya ialah dengan
eksekusi mati, sama seperti yang terjadi pada sososk al-Hallaj yang dieksekusi
mati dengan cara tragis.2

B. Tokoh-Tokoh Taswuf Falsafi Beserta Ajarannya


1. Ibnu Arabi
a) Biografi Singkat
Abu Bakar Muhammad ibn - Ali al-Khatami al-Tha‖i alAndalusi (1165
– 1240 M). Di Timur ia dikenal dengan sebutan Ibn - Arabi, di Barat ia
dikenal dengan sebutan Ibn Suraqah, alSyaikh al-Akbar (Doktor
Maximus), Muhyiddin, bahkan Neo Plotinus. Ia dibesarkan dalam
keluarga yang mempunyai tradisi kehidupan sufistik yang kuat. Tetapi Ibn
- Arabi sendiri dalam pertumbuhannya justru menempuh pendidikan
dengan tradisi intelektual rasional-filosofis yang kala itu berkembang pesat
di wilayah Andalusia dengan Ibnu Rusyd sebagai tokoh besarnya kala itu.
Hal ini tampaknya menimbulkan pergolakan tersendiri pada diri Ibnu -
Arabi sehingga memengaruhi pemikirannya yang dikenal tidak beraturan
(desultory) dan eklektik (eclectic). Tetapi kelebihannya sebagai seorang
guru filsafat paripatetik inilah yang membantunya mampu memfilsafatkan
pengalaman spiritualnya sebagai seorang mistikus ke dalam suatu teori
metafisik yang berpengaruh, yang kemudian dikenal sebagai teori wahdat
alwujud3.
Seperti kebanyakan sufi lainnya, Ibnu - Arabi percaya bahwa para wali
merupakan pewaris sipiritual Nabi yang beroleh cahaya Muhammad (Nur
Muhammad). Sufi adalah orang-orang yang dengan segala
kemampuannya, baik lahir maupun batin, berusaha mendekatkan diri
dengan Allah. Tujuan utama kesufian sejatinya bukanlah hasil berupa
surga dan neraka, melainkan proses pengembaraan cinta yang mendasari

2
Muhammad Zaairul Haq and M. habibi Al-Hallaj : Kisah perjuangan Total
Menuto Tuhan (Kreasi Wacana, 2010). h. i
3
Suteja Ibnu Pakar : Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta :
Deepublish, Mei 2013.

3
niat sehingga tumbuh perasaan rindu yang mendalam (syauq). Ibnu - Arabi
mengembangkan pemikiran tenang rohani manusia, menurutnya dalam diri
manusia terdapat dimensi rohaniah yang terdiri dari unsur psikis, spiritual,
imajinasi dan alam khayal manusia. Rohani dapat membawa manusia
kepada alam antara sadar dan tidak sadar yang disebut dengan alam al-
mitsal (dunia cira rasa murni) di mana manusia siapapun juga dapat
mengenal Allah melalui imajinasi kreatif yang terlatih. Kajian rohani ini
meliputi dua cabang berurutan, yaitu (1) kajian tentang kaidah-kaidah yang
akan mengantarkan pada perilaku terpuji dan bermuara pada kebahagiaan
batin yang dalam (al-‖alam al-rasmi); dan (2) kajian tentang olah-rasa yang
mengantar jiwa pada cahaya keimanan dan pintu kema‖rifatan (al-alam
aldzauqi).
Dalam pemikiran Ibnu - Arabi, Allah adalah al-Khaliq bagi seluruh
alam. Seluruh yang ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allah
(ide Allah). Inilah yang membawanya kepada sebuah simpulan yang
menyatakan bahwa alam ini adalah esensi dari Allah itu sendiri. Teori
wihdat al-wujud (unity of existence, kesatuan wujud) ini menegaskan
bahwa variasi bentuk dalamwujud ini pada esensi merupakan substansi
wujud Allah yang tunggal.
Di sini Ibnu - Arabi membedakan dua pengertian tentang alHaq: (1) al-
Haq fi Dzatih, yakni hakikat mutlak yang transenden; (2) al-Haq yang
bertajalli ke dalam wujud dan dapat ditangkap alat indra manusia sehingga
identik dengan makhluk. Jadi, hakikat wujud mempunyai dua sisi: dari
segi dzatnya ia eka, tapi dari segi tajallinya ia aneka. Prinsip tesisnya ini
adalah bahwa - tidak ada dalam wujud kecuali Allah, maka faman kana
wujuduhu bighairihi fahuwa fi hukm al-adam (siapa yang berwujud karena
wujud yang lain, maka dia sejatinya termasuk tidak ada). Jadi terdapat
kesatuan antara tasybih dan tanzih yang transenden sekaligus imanen
dalam konteks ini. Inilah yang dikenal sebagai prinsip coincidentia
oppositorium atau al-jam‖ bayn al-‖adad yang secara paralel terwujud pula
dalam kesatuan ontologisme antara yang tersembunyi (al-batin) dan yang

4
manifest (al-zahir), antara yang satu (al-wahid) dan yang banyak (al-
katsir).
Ide dasar pemikirannyaini bila ditelusuriakan bermuara pada Ibnu
Masarah (883-931 M), Wujud Khalil al-Ghaffah. Wujud itu satu, adanya
makhluk ini sebagai isyarat nyata wujudnya Khaliq. Jadi hakikatnya tidak
ada perbedaan antara wujud khalik dengan makhluk kecuali dalambentuk,
jisim dan rupanya saja. Konsep ini melahirkan teori Nur Muhammad atau
al-Haqiqat alMuhammadiyah, yang berarti bahwa Allah menciptakan alam
semesta ini adalah pancaran dari esensi Allah. Ini lantas lahirkan wihdat
al-wujud yang mengatakan bahwa Allah merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan dengan makhluk. Keduanya menyatu, sekalipun tidak
secara fisik tetapi dalam konsep wahdaniyah Allah.
Jalan yang ditempuh seorang salik menurut Ibn Arabiadalah: taubat,
zuhud (menjauhkan pikiran dari pengaruh keduniawian dengan jalan
mengantarkan manusia kepada kehampaan diri dan peniadaan diri di
hadapan keagungan Allah, dan khalwat atau keterputusan diri dari seluruh
dunia luar baik fisik maupun pikiran dengan hanya memikirkan Allah
dengan dzikir dan merasakan kebersamaan denganNya. Pada konteks ini
Ibn Arabi melihat keniscayaan seorang pembimbing spiritual (murshid)
agar jalan yang ditempuh benar. Ia pernah mengatakan bahwa barang siapa
menempuh jalan kesufian (suluk) tanpa seorang guru, maka ketahuilah
bahwa gurunya adalah setan. Sebaliknya, bagi salik yang mampu (alim),
kehadiran guru justru akan mengurangi konsentrasi riyadhahnya dan akan
membatasi daya fantasi dan imajinasinya tentang Allah.4
b) Ajaran tasawufnya
Ajaran sentral Ibn ‘Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-
wujud  (kesatuan wujud).Meskipun demikian, istilah wahdat al wujud yang
dipakai yang disebut untuk ajaran sentral nya itu, tidaklah berasal dari dia,

4
Suteja Ibnu Pakar : Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta :
Deepublish, Mei 2013.

5
tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dan mngecam
dalam menkritik ajaran sentralnya tersebut.
Menurut Ibn Taimiyah wahdat al wujud adalah penyamaan Tuhan
dengan alam. Menurutnya, orang orang yang mempunyai paham wahdat
al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan
wajib al wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin alwujud
yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang dengan paham wahdat
al wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam semesta sama dengan
wujud Tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada
hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan
antara keduanya (khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada
yang mengira adanya perbedaan wujud khaliq dan makhluk, hal itu dilihat
dari sudut pandang pancaindera lahir dan akal yang terbatas kemampuanya
dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan
dzatiah yang segala sesuatu berhimpun padanya. Hal ini tersimpil dalam
ucapan Ibn arabi berikut ini : “mahasuci Tuhan yang telah menjadikan
segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala esuatu itu.”5
Adapun yang dimaksud oleh Ibn Arabi tentang wahdat al wujud adalah
apabila Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak,
yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud menurut Ibn Arabi adalah wujud
Tuhan, tidak ada wujud selain wujudNya. Ini artinya apapun selain Tuhan
baik berupa alam maupun yang ada di alam, tidaklah memiliki wujud.
Kesimpulanya, kata wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Pada
kenyataanya, Ibn Arabi juga menggunakan kata wujud untuk sesuatu
selain Tuhan. Namun, ia mengatakan bahwa wujud sedangkan wujud yang
ada pada alam adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Ibn

5
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-islah Ad-Diniy, Dar
Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1997, hlm.

6
Arabi memberikan contoh bahwa cahaya adalah milik matahari, namun
cahaya tersebut dipinjamkan kepada para penghuni bumi.6
2. Al – Jilli
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abdul karim bin Ibrahim Al- Jilli. Ia lahir
pada tahun 1365 M, di Jilan (Gilan), sebuah provinsi disebelah selayan
Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Ia adalah seorang sufi yang terkenal
dari Bahgdad. Riwayat hidupnya tidak diketahui oleh para ahli sejarah,
tetapi ada sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan
perkalan ke India pada tahun 1387 M, kemudian belajar tasawuf dibawah
bimbingan Abdul Qadir Al- Jailani. Disampin itu ia juga berguru kepada
Syekh Syafarudin Ismail bin Ibrahim Al Zabarti di Zabid.
Al-Jîlî muda adalah orang yang sangat senang melakukan
pengembaraan spiritual dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika usia 20
tahun ia mengawali pengembaraannya ke daerah Kusyi (India). 115 Di
Kusyi ia pertama kali mengenal ajaran selain Islam, yakni ajaran Hindu
lengkap dengan acara ritualnya, namun di Kusyi ia tidak tinggal lama. Ia
kemudian melanjutkan pengembaraannya menuju Persia, di sini ia
mempelajari bahasa Persia dan menulis buku yang diberi judul - Jannat al-
Maârif wa Ghayat al-Murîd wa al-Maârif.
Pada tahun 796 H. saat ia menginjak usia 29 tahun, ia kemudian hijrah
dari Persia menuju Zâbid (Yaman). Di Kota ini ia menemukan guru
spiritual yang cocok bagi dirinya, yang di kemudian hari sangat
memengaruhi jalan pemikirannya dalam bidang tasawuf. Ia adalah Syeikh
Syarîf al-Dîn ibn Ismâ‖il al-Jabartî yang lebih dikenal dengan sebutan al-
Jabartî, seorang sufi yang sangat terkenal pada zamannya.
Sebagaimana layaknya seorang muslim, al-Jîlî senantiasa mendasari
pandangan-pandangannya pada al-Qurân dan al-Hadîts, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Namun demikian pendasaran

Suteja Ibnu Pakar : Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta :


6

Deepublish, Mei 2013.

7
pandangan-pandangannya terhadap al-Qurân dan alHadîts secara tidak
langsung tampak lebih dominan. Al-Jîlî lebih cenderung mendekati teks-
teks wahyu dengan pendekatan substansial, dalam arti ketika ia
mengartikan ayat tidak melalui makna harfî, akan tetapi mencari makna
yang terdalam dari ayat tersebut. Makna-makna ayat yang diungkapnya
sangat terkait dengan kecenderungan dan pemikiran-pemikiran dasarnya
dan hal ini senantiasa memengaruhi pemahamannya terhadap teks.
Landasan pemikiran al-Jîlî terhadap al-Qur‖ân dan al-Hadîs dari semua
hasil pandangannya tentang konsepsi al-Insân al-Kâmil ditegaskan dalam
sebuah statemennya yang menyatakan bahwa - setiap ilmu yang tidak
didasari oleh al-Kitâb dan al-Sunnah adalah sesat. Akan tetapi menurut al-
Jîlî, kebanyakan manusia dalam mengkaji kitab-kitab tasawuf tidak
mengetahui pertaliannya dengan sumber asal (al-Qur‖ân dan al-Hadîs),
karena kepicikan wawasan dan keilmuannya, sehingga timbul persepsi
yang salah tentang berbagai konsepsi yang ada dalam pemikiran tasawuf.
Apabila al-Qur‖ân dan al-Sunnah sebagai dasar atau landasan pemikiran
al-Jîlî, maka ta‖wîl, 130pengalaman ruhani dan al-Saqâfah al-Sa‖îdah 131
adalah metode dan sumber inspirasi al-Jîlî dalam merumuskan dan
menghasilkan konsepsinya.7
b) Ajaran tasawuf Al- Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham Insan
Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, Insan Kamil adalah muskhah
atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya : “ Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman” Kemudian hadits
lain berbunyi yang artinya : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-
Nya” Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu
berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memilik
sifat-sifat seperti itu.8
7
Suteja Ibnu Pakar : Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta :
Deepublish, Mei 2013.
8
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-islah Ad-Diniy, Dar
Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1997, hlm.

8
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya
merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren
dengan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliiki
tempat berwujud, melainkan pada insan kamil. Al- Jilli mengemukakan
bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insane kamil bahaikan
cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya, kecuali melalui
cermin tersebut. Demikikan pula halnya dengan insane kamil, ia tidak
dapat melihat cermin dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan,
sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diriNya kecuali melalui cermin
insane kamil. Inilah maksud  Q.S. Al- Ahzab : 72 yang artinya :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi,
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan menghianatinya dan dipikilah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh”.9
 Lebih lanjut Al-Jilli berkata bahwa duplikasi Al-Kamal
(kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia. Al-Kamal
dalam konsepnya mungkin dimiliki manusia secara professional, yang
terdapat dalam diri wali dan diri nabi meskipun dalam intensitas yang
berbeda. Intensitas yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhamad
SAW. Manusia lain, baik nabi ataupun wali bila dengan Nabi Muhamad
bagaikan Al Kamil ( yang sempurna) dengan Al-Akmal (yang paling
sempurna.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

9
Suteja Ibnu Pakar : Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta :
Deepublish, Mei 2013.

9
Berdasarkan pembahasan masalah diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya-ajarannya memadukan antara visi
dan mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasauwuf akhlaqi,
tasauf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang
telah mempengaruhi para tokohnya.

Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal


Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat
yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan
yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga
dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat.

B. KRITIK DAN SARAN


Di harapkan kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat
mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan,
untuk memotivasi penulis, agar dalam penyelesaian makalah ini bisa di perbaiki
dari kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

10
Muhammad Zaairul Haq and M. habibi Al-Hallaj : Kisah perjuangan Total
Menuto Tuhan (Kreasi Wacana, 2010). h. i

Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Batha Al-islah Ad-Diniy,


Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1997, hlm.

Suteja Ibnu Pakar : Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta :


Deepublish, Mei 2013.

Tirtaharja, Umar. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.1995.

11

Anda mungkin juga menyukai