Tasawuf Falsafi
Dosen Pengampu :
Alwi Bani Rakhman, S.Th.I., M.Hum
Disusun oleh :
A. Latar belakang
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin yang memiliki sumber-sumber ajaran dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Seiring berkembangnya zaman
dari masa khulafa ar Rasyidin ke masa Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah, Daulah
Fathimiyah, hingga ke masa kerajaan-kerajaan besar Islam keilmuan semakin berkembang pesat
baik ilmu umum maupun ilmu agama.
Dari ilmu agama muncullah ilmu Hadis yang membahas hadis nabi, ilmu Tafsir yang
membahas penjelasan-penjelasan ayat Al-Qur’an, ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf dan sebagainya.
Berbicara tentang ilmu tasawuf, inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah. Meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia dan bersunyi diri
dalam beribadah.
Dalam perkembangannya, tasawuf mempunyai beberapa aliran. Dan setiap aliran tasawuf
memiliki pemahaman terhadap arti dari tasawuf itu sendiri. Salah satu diantaranya adalah
tasawuf falsafi, dimana tasawuf ini menarik untuk dijelaskan ataupun ditelaah, baik dari segi
pengertiannya, konsepnya ataupun tokoh-tokohnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf falsafi?
2. Siapa saja tokoh tasawuf falsafi dan ajarannya?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui apa itu tasawuf falsafi.
2. Untuk mengetahui siapa saja tokoh tasawuf falsafi beserta ajarannya .
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rifa’I Utsmani, Pustaka, Bandung,
1985, hlm. 187.
2
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 33.
3
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 187.
4
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 188.
Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul darinya.
Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa
(dzauq), para ssufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi Sunni. Sebab, masalah
tersebut menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani,
‘arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun
yang nampak, dan susunan kosmos, terutama tentang Penciptanya serta penciptaannya.
Mengenai iluminasi ini, para sufi yang juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan
mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikir.
Dengan dzikir, menurut mereka jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan
Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syathahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya,
menyetujui, ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.
Selain karakteristik umum di atas, tasawuf falsafi mempunyai beberapa karakteristik
secara khusus, di antaranya:
Pertama, tasawuf falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan
menggabungkan antara pemikiran rasional-filosofis dan perasaan (dzauq). Meskipun demikian,
tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber
naqliyah, tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-samar dan sulit dipahami orang
lain. Kalaupun dapat diinterpretasikan orang lain, interpretasi itu cenderung kurang tepat dan
lebih bersifat sunjektif.
Kedua, seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf falsafi didasarkan pada latihan-latihan
rohaniah (riyadhah), yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai
kebahagiaan.
Ketiga, tasawuf falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai
hakikat realitas, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana.
Keempat, para penganut tasawuf falsafi ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan
tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.
Perlu dicatat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini melebihi para sufi Sunni. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka adalah para teoritisi yang baik tentang wujud,
sebagaimana terliaht dalam karya-karya atau puisi-puisi mereka. Untuk yang satu ini, mereka
tidak menggunakan ungkapan-ungkapan syathahiyyat. Kedua, kelihaian mereka menggunakan
simbol-simbol, sehingga ajarannya tidak begitu saja dapat dipahami orang lain di luar mereka.
Ketiga, kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmu-ilmunya. 5
5
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 193.
Semenjak masanya Abu Yazid al-Bustami, pendapat sufi condong kepada konsepsi “kesatuan
wujud” dengan pelopor utamanya Ibn Arabi. (A. Kadir Mahmud : 500-501). Inti dari konsepsi ini
adalah, bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari “realita” yang sesunguhnya, yaitu Tuhan.
Satu-satunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan, sesuatu yang menjadi dasar bagi adanya segala
sesuatu yang ada. Tuhan adalah wujud yang tak dapat dipertelakan dan tak dapat diberi sifat-sifat. Dunia
hanyalah bayangan dan khayal, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan.
Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu mereka berpendapat, bahwa alam ini
termasuk manusia merupakan refleksi dari hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke-
Tuhanan karena ia merupakan pancaran dari Nur Ilahi, seperti pancaran cahaya matahari. Oleh karena
itu, jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya.
Kalau bagi sementara sufi mengartikan ma’rifah itu sebagai pengenalan Allah melalui qolbu dan
merupakan stasion tertinggi yang dapat dicapai manusia, tetapi bagi sementara sufi, manusia masih
dapat melewati maqom ma’rifah. Manusia masih mampu naik kejenjang yang lebih tinggi dari ma’rifah
yaitu bersatu dengan Allah, yang kemudian dikenal dengan istilah Ittihad.
Dengan munculnya tipe perenungan tasawuf seperti ini maka pembahasan-pembahasan tasawuf
itu sudah lebih bersifat filsafat. Karena pembahasannya meluas ke masalah metafisika, yaitu proses
bersatunya manusia dengan Tuhan dan sekaligus membahas konsepsi manusia dan Tuhan. Dilain pihak,
menurut M. Mujeeb dalam bukunya The Indian Muslim, Chapter VI mengatakan bahwa untuk
memecahkan persoalan ini harus dengan mengerahkan seluruh ekspresi manusia. Faham sufi yang
semacam dan senada dengan ittihad ini, yang terpenting adalah :