Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH AKHLAK DAN TASAWUF

Tasawuf Falsafi

Dosen Pengampu :
Alwi Bani Rakhman, S.Th.I., M.Hum

Disusun oleh :

Deni Prasetyo (19105050003)


Dimas Maulana Sutopo Putra (19105050015)
Hakami Mundziri Sastra (19105050020)
Wafa Amirah Binti Razemi (19105050114)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin yang memiliki sumber-sumber ajaran dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Seiring berkembangnya zaman
dari masa khulafa ar Rasyidin ke masa Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah, Daulah
Fathimiyah, hingga ke masa kerajaan-kerajaan besar Islam keilmuan semakin berkembang pesat
baik ilmu umum maupun ilmu agama.
Dari ilmu agama muncullah ilmu Hadis yang membahas hadis nabi, ilmu Tafsir yang
membahas penjelasan-penjelasan ayat Al-Qur’an, ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf dan sebagainya.
Berbicara tentang ilmu tasawuf, inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah. Meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia dan bersunyi diri
dalam beribadah.
Dalam perkembangannya, tasawuf mempunyai beberapa aliran. Dan setiap aliran tasawuf
memiliki pemahaman terhadap arti dari tasawuf itu sendiri. Salah satu diantaranya adalah
tasawuf falsafi, dimana tasawuf ini menarik untuk dijelaskan ataupun ditelaah, baik dari segi
pengertiannya, konsepnya ataupun tokoh-tokohnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf falsafi?
2. Siapa saja tokoh tasawuf falsafi dan ajarannya?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui apa itu tasawuf falsafi.
2. Untuk mengetahui siapa saja tokoh tasawuf falsafi beserta ajarannya .
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Falsafi


Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya. 1
Sedangkan dalam definisi lain, tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang
mengenal Tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang
lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari
itu yaitu wahdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. 2
Adanya perpaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan
sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat
di luar Islam seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nashrani. Akan tetapi orisinalitasnya
sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan
pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada
waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama
bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dengan sendirinya dapat
menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan
ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta
menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajaran
tasawuf yang mereka anut.3
Masih menurut Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang
samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. 4 Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat
karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan
sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam
bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf sunnni. Dalam
hal ini, Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya Al-
Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi
filosof, antara lain sebagai berikut.

1
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rifa’I Utsmani, Pustaka, Bandung,
1985, hlm. 187.
2
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 33.
3
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 187.
4
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 188.
Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul darinya.
Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa
(dzauq), para ssufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi Sunni. Sebab, masalah
tersebut menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani,
‘arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun
yang nampak, dan susunan kosmos, terutama tentang Penciptanya serta penciptaannya.
Mengenai iluminasi ini, para sufi yang juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan
mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikir.
Dengan dzikir, menurut mereka jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan
Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syathahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya,
menyetujui, ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.
Selain karakteristik umum di atas, tasawuf falsafi mempunyai beberapa karakteristik
secara khusus, di antaranya:
Pertama, tasawuf falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan
menggabungkan antara pemikiran rasional-filosofis dan perasaan (dzauq). Meskipun demikian,
tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber
naqliyah, tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-samar dan sulit dipahami orang
lain. Kalaupun dapat diinterpretasikan orang lain, interpretasi itu cenderung kurang tepat dan
lebih bersifat sunjektif.
Kedua, seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf falsafi didasarkan pada latihan-latihan
rohaniah (riyadhah), yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai
kebahagiaan.
Ketiga, tasawuf falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai
hakikat realitas, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana.
Keempat, para penganut tasawuf falsafi ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan
tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.
Perlu dicatat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini melebihi para sufi Sunni. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka adalah para teoritisi yang baik tentang wujud,
sebagaimana terliaht dalam karya-karya atau puisi-puisi mereka. Untuk yang satu ini, mereka
tidak menggunakan ungkapan-ungkapan syathahiyyat. Kedua, kelihaian mereka menggunakan
simbol-simbol, sehingga ajarannya tidak begitu saja dapat dipahami orang lain di luar mereka.
Ketiga, kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmu-ilmunya. 5

5
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 193.
Semenjak masanya Abu Yazid al-Bustami, pendapat sufi condong kepada konsepsi “kesatuan
wujud” dengan pelopor utamanya Ibn Arabi. (A. Kadir Mahmud : 500-501). Inti dari konsepsi ini
adalah, bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari “realita” yang sesunguhnya, yaitu Tuhan.
Satu-satunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan, sesuatu yang menjadi dasar bagi adanya segala
sesuatu yang ada. Tuhan adalah wujud yang tak dapat dipertelakan dan tak dapat diberi sifat-sifat. Dunia
hanyalah bayangan dan khayal, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan.

Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu mereka berpendapat, bahwa alam ini
termasuk manusia merupakan refleksi dari hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke-
Tuhanan karena ia merupakan pancaran dari Nur Ilahi, seperti pancaran cahaya matahari. Oleh karena
itu, jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya.

Kalau bagi sementara sufi mengartikan ma’rifah itu sebagai pengenalan Allah melalui qolbu dan
merupakan stasion tertinggi yang dapat dicapai manusia, tetapi bagi sementara sufi, manusia masih
dapat melewati maqom ma’rifah. Manusia masih mampu naik kejenjang yang lebih tinggi dari ma’rifah
yaitu bersatu dengan Allah, yang kemudian dikenal dengan istilah Ittihad.

Dengan munculnya tipe perenungan tasawuf seperti ini maka pembahasan-pembahasan tasawuf
itu sudah lebih bersifat filsafat. Karena pembahasannya meluas ke masalah metafisika, yaitu proses
bersatunya manusia dengan Tuhan dan sekaligus membahas konsepsi manusia dan Tuhan. Dilain pihak,
menurut M. Mujeeb dalam bukunya The Indian Muslim, Chapter VI mengatakan bahwa untuk
memecahkan persoalan ini harus dengan mengerahkan seluruh ekspresi manusia. Faham sufi yang
semacam dan senada dengan ittihad ini, yang terpenting adalah :

1. Al-Fana dan Al-Baqa


Di antara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Allah adalah Abu
Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai penemu faham al-fana dan al-baqa,
sehingga A.J. Arberry mengatakannya sebagai “The Founder of intoxicated school of Sufism”.
Faham fana dan baqa ini merupakan peningkatan dari faham ma’rifah dan mahabbah.
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu
denganNya apabila ia mampu melebur eksistensi keberadaannya sebagai suatu pribadi sehingga
ia tidak meyadari pribadinya, fana an nafs. Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran akan jasad
tubuh kasarnya, kesadarannya menyatu dengan dzat Allah.
Mengenai pengertian fana dan baqa ini, al-Junaid melukiskan dalam sebuah rangkaian
kalimat :
Artinya : “Sirnanya daya tangkap kalbu terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan
sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari
cerapan indrawi sehingga tidak ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”.
(Ibrahim Basyuni : 238).
Dengan demikian jelaslah bahwa, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang
atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi
akan eksistensi jasad kasarnya. Lebih jelas lagi al-Qusyairi mengatakan :
Artinya : “Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya
(jasadnya) tetap ada dan demikian pula makhluk lainnya, tetapi ia tidak sadar lagi
pada alam sekitarnya dan pada dirinya sendiri” (Al-Qusyairi : 23).
Penulis barat mengartikan faham fana dan baqa itu sebagai The passing – away of the sufi
from his phenomenal existence, involves baqa, the continuance of his real existence”. Ini adalah
pendapat R.A. Nicholson dalam bukunya “The Mystics of Islam : 149”.
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana ‘an nafs sehinga yang tinggal adalah
rohaninya maka pada saat itulah ia dapat bersatu dengan Tuhan.
2. Al-Ittihad
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Bayazid dipandang sebagai pembawa arah
timbulnya aliran “kesatuan wujud”. Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat
sufi, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi, “aku”nya manusia itu adalah pancaran
dari yang Maha Esa. Barangsiapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriyah ini, atau
mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya, maka ia akan memperoleh jalan kembali ke
sumber asalnya, ia akan menyatu padu dengan Yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya
satu. Keadaan yang seperti itulah yang disebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut “tajrid fana fit
Tauhid”, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan Bayazid
yang puitis berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad itu, Bayazid berkata :
Artinya : “Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya Ia berkata : Hai Abu Yazid,
“Makhluk Ku ingin melihatmu”, Esa an Mu, dan pakaikanlah aku dengan sifat-sifat
kedirian Mu, dan angkatlah aku kedalam ke-Esa-an Mu sehingga apabila makhluk
Mu melihat aku mereka akan berkata : Kami telah melihat Engkau”. Maka yang
demikian adalah Engkau dan aku tidak di sana”.
Rangkaian ungkapan Bayazid itu merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihad. Dalam
bagian awal ungkapannya itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam
fana’an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan.
Situasi ittihad itu diperjelas lagi oleh Bayazid dalam ungkapannya :
Artinya : “Tuhan berkata : “Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku”. Akupun
berkata : “Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau”
(Terjemahannya dikutip dari : Harun Nasution : 85)
Selanjutnya Abu Yazid berkata :
Artinya : “Saya inilah Allah, Tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku” (Abdul Qadir
Mahmud : 314).
Secara harfiyah, ungkapan-ungkapan Bayazid itu seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan
dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan
ucapannya “Aku” adalah “Engkau”, bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang
terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang
disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Pada saat bersatunya
Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu
wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam
hal ini Bayazid menjelaskan :
Artinya : “Sebenarnya dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan
fana” (A. Kadir Mahmud : 310)
Oleh karena itu sebenarnya Bayazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang
dilakukan oleh Fir’aun. Proses “Ittihad” menurut versi Bayazid ini adalah naiknya jjiwa manusia
kehadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Faham ittihad penemuan Abu Yazid ini kemudian
berkembang dengan mengambil bentuk hulul atau wahdatul wujud.
3. Hulul
Faham hulul sebagai salah satu aliran dalam tasawuf adalah tipe lain dari faham ittihad
yang diajarkan Bayazid. Hulul ini pertama kali ditimbulkan oleh Husein Ibn Mansur al-Hallaj.
Ia lahir di Persia sekitar tahun 244 H/858 M, dan meninggal karena dihukum mati di Baghdad
tahun 922 M, (James Hasting : vol. VI : 481). Al-Hallaj dihukum bunuh antara lain karena
faham hulul yang ia ajarkan itu.
Pengertian hulul secara singkat ialah : Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana
(A. Qadir Mahmud :337). Sebab menurut al-Hallaj, manusia itu mempunyai sifat dasar yang
ganda, yaitu sifat ke-Tuhan-an dan sifat kemanusiaan. Demikian juga Allah mempunyai sifat
dasar Ketuhanan (Lahut) dan juga terdapat sifat kemanusiaan (Nasut). Apabila sifat-sifat
kemanusiaan itu telah dapat dilenyapkan melalui fana dan sifat-sifat ke-Tuhan-an
dikembangkan, maka akan tercapailah persatuan dengan Tuhan dalam bentuk hulul. (R.A.
Nicholson : 150)
Teori Lahut dan Nasut ini ia dasarkan kepada konsepsinya tentang kejadian manusia,
dimana al-Hallaj berpendapat, bahwa Adam sebagai manusia pertama dijadikan Tuhan sebagai
Copy dari diriNya dengan segala sifat dan kebesarannya. Konsep ini ia tuangkan dalam bentuk
sebuah syair :
Artinya : “Maha sucilah dzat yang menampakkan sifat kemanusiaannya, menyingkapkan tabir
rahasia Ketuhanan-Nya, kemudian nampaklah ia bagi makhlukNya, dalam bentuk
manusia yang makan dan minum”. (A. Qadir Mahmud : 337-361).
Kalau Tuhan memiliki sifat kemanusiaan, maka kata al-Hallaj manusia itu juga memiliki
sifat-sifat ke-Tuhan-an. Pendapat ini ia dasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 34. Menurut penafsiran al-Hallaj, adanya perintah untuk sujud kepada Nabi Adam itu
adalah karena Allah telah menjelma dalam tubuh manusia.
Al-Hallaj sebagai pencetum paham hulul menurut ungkapan-ungkapannya sendiri telah
mengalami hulul, antara lain dapat dibaca dalam syairnya :
Artinya : “Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu
dalam tiap hal Engkau adalah aku. Aku adalah Dia yang kucintai adalah aku. Kami
adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika Engkau lihat aku engkau
lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami”.
Dari syair tersebut di atas secara jelas dapat dipahami bahwa persatuan dengan Tuhan
dalam bentuk hulul itu, wujud manusia itu (al-Hallaj) tidak hancur atau hilang, dirinya tetap ada.
Dengan demikian ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh, seperti bersatunya air dengan
anggur. Oleh karena itu kata-kata ana al haq yang keluar dari lidah al-Hallaj itu bukanlah ia
maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan, sebab yang mengucapka kata itu
adalah Allah melalui lidah al-Hallaj. Hal ini lebih dipertegas lagi dalam ucapannya :
Artinya : “Aku adalah rahasia yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku. Aku
hanyalah satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami” (Harun Nasution :
90)
Lagi pula, adalah sangat tidak logis apabila orang-orang sufi yang sepanjang usianya selalu
merindukan dan mencari Tuhan itu, mengaku dirinya sebagai Tuhan. Sebab, jika mereka merasa
dirinya Tuhan tentu mereka tidak mencari Tuhan.
4. Wahdatul Wujud
Bentuk lain dari faham ittihad adalah wahdatul wujud (unity of existence) yang berarti
kesatuan wujud. Faham ini merupakan perluasan dari faham hulul, yang dibawa oleh Muhy ad-
Din Ibn Arabi kelahiran Andalusia (Spanyol) pada tahun 560 H/1165 M dan meninggal pada
tahun638 H/1240 M di Damaskus (M. Luthfi Jum’ah : 100).
Dikatakan faham ini sebagai perluasan adalah karena Nasut yang ada dalam hulul ia ganti
dengan Khalq = makhluk, sedang Lahut menjadi al-Haq = Tuhan. Khalq dan al-Haq adalah dua
sisi bagi segala sesuatu, dua aspek yang ada pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut Khalq
dan aspek batinnya disebut al-Haq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung
aspek lahir dan aspek batin atau terdiri dari ‘ard (accident) dan jauhar (substance). Aspek Khalq
atau aspek luar memiliki sifat kemakhlukan atau Nasut sedangkan aspek bathin atau al-Haq
memiliki sifat ke Tuhan-an atau Lahut. Tiap-tiap yang berwujud tidak lepas dari kedua aspek
itu, yaitu sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan (A. Qadir Mahmud : 496-497), tetapi aspek
yang terpenting adalah aspek batinnya atau aspek al-Haq dan aspek ini yang merupakan hakikat
(esense) dari tiap-tiap wujud. (R.A. Nicholson :155).
Renungan dzauq tasawuf yang didasarkan kepada renungan filsafat-filsafat ini, timbul
sebagai kelanjutan dari konsepsinya tentang penciptaan makhluk. Menurut Ibn Arabi, alam ini
diciptakan Allah dari ‘ain wujudnya sehingga apabila Tuhan ingin melihat diriNya, maka Tuhan
cukup melihat alam ini yang pada hakikatnya tidak ada perbedaan di antara keduanya. Dengan
kata lain, bahwa walaupun pada lahirnya alam ini kelihatan berbeda-beda tetapi pada tiap-tiap
yang ada itu terdapat sifat ketuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi
sesuatu itu. Di sinilah timbulnya faham kesatuan wujud dengan pengertian, bahwa alam yang
nampak dengan indra yang penuh variasi ini, sebenarnya adalah satu, sebab bayangan itu tidak
mempunya substansi. Ibnu Arabi berkata lewat syair yang ia nukilkan dalam al-Futuhat jilid 2
halaman 604 :
Artinya : “Wahai Pencipta segala sesuatu dalam diri-Nya, Engkau dengan segala makhluk-Mu
adalah sama, Engkau ciptakan sesuatu yang tak terbatas dalam diri-Mu, maka Engkau adalah
yang sempit dan meliputi seluruhnya”.
Orang-orang orientalis mengatakan bahwa faham ini adalah pantheistic tetapi sebenarnya
ada perbedaan yang mendasar antara wahdatul wujud dengan pantheisme. Sebab, menurut
faham Ibn Arabi ini hakikat wujud itu hanya satu yaitu Allah sedang wujud yang banyak itu
hanya bayangan (Ilusi) dari yang satu itu. Atau dengan istilah lain : essential identification of
manifested order with ontological principle, sedangkan pengertian pantheisme adalah :
Substantial identification of universe with God. Dalam pantheisme, jauhar atau esensi Tuhan itu
terdapat dalam setiap yang ada.
Jelasnya, menurut faham wahdatul wujud, bahwa wujud segala yang ada ini tergantung
dengan wujud Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada maka wujud yang selain Tuhan ini tidak ada.
Dengan demikian, wujud yang lain itu tergantung kepada wujud Tuhan. Oleh karenanya yang
mempunya wujud hakiki hanyalah Tuhan, yang lain tidak punya wujud (yang hakiki), hanya ada
satu wujud yaitu Allah.
5. Al-Isyraq
Secara harfiah a-isyraq dapat diartikan bersinar atau memancarkan cahaya, tetapi melihat
dari isi ajaran itu, kata-kata ini lebih tepat dapat diartikan : penyinaran, pancaran cahaya atau
illumination. Faham ini dibawa oleh Suhrawardi al-maqtul, lahir tahun 549 H di Persia dan
meninggal karena dihukum bunuh pada tahun 587 H, karena fahamnya dianggap bertentangan
dengan ajaran Islam. (Qomar Kailani : 126)
Corak pemikiran dan perenungan Suhrawardi ini merupakan gabungan dari filsafat dan
tasawuf yang bersumber dari berbagai aliran yang ia tuangkan dalam kitabnya Hikamtul Isyraq.
Dalam teori al Isyraq itu ia mengatakan bahwa sumber segala sesuatu yang ada ini adalah
cahaya yang mutlak atau Nur al-Qahir. (James Hasting et al-ed : vol. XII : 20). Teorinya ini jelas
merupakan penggabungan dari pengaruh konsep Neo Platonis dengan ide-ide Persia. Ini berarti
bahwa faham al isyraq itu merupakan gabungan antara rasio dan rasa.

Anda mungkin juga menyukai