Anda di halaman 1dari 48

Tasawuf Falsafi – Pengertian dan Tokoh-tokohnya

Sebelum membahas tentang Tasawuf Falsafi, mari kita Sedikit mengulas tentang apa itu pengertian
tasawuf. Sacara bahasa Tasawuf berasal dari beberapa kata.

Pertama, Tasawuf berasal dari kata suffah. Suffah adalah sebutan atau istilah bagi orang-orang yang
hidup sederhana, dan bisa dikatakan miskin yang jauh dari kesan glamor. Mereka ini adalah sahabat nabi
yang ikut berhijrah dan tinggal di sekitar masjid Madinah.

Kedua, Tasawuf berasal dari kata shuf. Shuf artinya benang wol. Sebutan untuk orang-orang yang
menggunakan baju berbahan wol atau bulu domba yang kasar. Tidak seperti wol sekarang, dulu baju
tersebut digunakan oleh kebanyakan orang yang miskin. Sedangkan orang kaya pada masa dahulu
biasanya menggunakan baju dari bahan Sutra.

Ketiga, Tasawuf berasal dari kata shafa’ yang artinya, orang–orang yang mensucikan hatinya untuk
mendekatkan diri kepada Allah.

Sedangkan menurut istilah Tasawuf adalah, cara mensucikan jiwa dan hati dari segala bentuk hiruk-pikuk
keduniaan dan mengisinya dengan kecintaan kepada Allah. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan diri
sedekat dekatnya dengan tuhan. Tasawuf sendiri muncul pada masa Tabi’in pada abad II. Kemudian pada
abad selanjutnya yaitu abad III dan IV barulah muncul aliran-aliran dalam Tasawuf. Ada beberapa aliran
yang terdapat dalam tasauf, yaitu Tasawuf Falsafi,Tasauf Tasawuf Amali dan Tasawuf Akhlaki. Selain itu
ada juga terdapat aliran Tasawuf Syiah, Tasawuf Sunni pada bahasan kali ini, kita akan membahas
tentang Tasawuf Falsafi.

Pengertian Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi secara bahasa bisa kita bagi menjadi dua, yaitu antasa Tasawuf dan Filsafat. Tasawuf
artinya kecintaan terhadap tuhan, sedangkan ilmu Filsafat Islam adalah yang berkenaan dengan akal atau
fikiran. Falsafi disini adalah cara yang digunakan dalam bertasawuf. Baca juga : aliran dalam islam,

Tasawuf Falsafi adalah sebuah aliran dalam bertasawuf yang menggabungkan antara visi mistik dan visi
yang rasional. Tasawuf ini merupakan hasil dari pemikiran-peminkiran para tokoh-tokoh yang
diungkapkan dengan bahasa filosofis.Tasawuf ini tidak bisa dikatakan sebagai Tasawuf yang murni
karena telah menggunakan pendekatan fikiran dan rasio, namun juga tidak bisa dikatakan filsafat
seutuhnya karena didasarkan pada rasa. Dengan kata lain Tasawuf Falsafi merupakan penggabungan
antara rasa dan rasio.

Secara istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari Tasawuf Falsafi adalah, kajian terhadap tuhan,
manusia dan sebagainya yang menggunakan motode rasio atau akal. Aliran dalam Tasawuf Falsafi
terkesan tidak jelas, karena banyaknya istilah-istilah yang diungkapkan oleh tokoh-tokkohnya dalam
aliran ini yang tidak bisa dimengerti, lantaran menggunakan istilah Filsafat.

Tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi pada umumnya mengerti dan akrab dengan ilmu Filsafat. Mereka
mempelajari Filsafat Barat, Yunani Kuno,dan Filsafat Islam, serta mengenal para filosof barat seperti,
Socrates, Aristoteles serta pemikiran-pemikiran filosof Islam seperti Al Farabi dan Ibnu Sina. Baca juga :
hubungan ilmu kalam dan filsafat.
Menurut Ibnu Khaldun dikutip dalam karyanya Al Ma’rifat, objek dari kajian Tasawuf Falsafi ini ada 4 :

Latihan yang bersifat kebatinan atau rohaniyah dengan menggunakan rasa, intuisi dengan dan introspsesi
diri dengan tingkatan maqam, hal dan rasa.

Kajian tentang hakekat dari sifat-sifat tuhan, malaikat,arsy, kursy, wahyu, kenabian, roh, hakekat dari
alam ghaib dan yang nyata serta susunan kosmos dan penciptaannya. Biasanya para filosoh dalam
kajiannya dan latihan rohaniahnya melakukan zikir-zikir dengan meninggalkan keduniaan dan membuka
kekhusukan terhadap Allah.

Peristiwa yang luar. Kejadian yang terdapat di alam ini atau kosmos, yang mempengaruhi kekeramatan.

Pengungkapan teory dengan istilah yang filosofis. Istilah tersebut tidak bisa dipahami seutuhnya oleh
masyarakat awam. Istilah Tasawuf Falsafi hanya bisa dimengerti oleh para tokoh Tasawuf Falsafi itu
sendiri.

Pada intinya, cirri dari Tasawuf Falsafi adalah mengabungan antara pemikiran atau rasionalitas dengan
perasaan (dzuq). Aliran ini mendasarkan pada dalil naqli dan diungkapkan dalam istilah filosofis

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari merupakan tasawuf yang ajarannya-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya. Berbeda denga tasawuf akhlaki,
tasawuf falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.

2.2. Perkembangan Tasawuf Falsafi

Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke-6
H, meskipun tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan
berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya
pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat
ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani,
Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab,
meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring
dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga
kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam.

2.3. Objek tasawuf Falsafi


Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya
istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.
Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa
(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena
ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.

Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Dalam hal ini Ibnu
Kladun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya Al-Muqaddimah, menyimpulkan
bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yaitu:

a. Ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:

1) Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan
rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq), para sufi filosof
cenderung sependapat dengan para sufi Sunni. Sebab, masalah tersebut menurut Ibnu Khaldun,
merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun.

2) Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi,
malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib yang tampak, dan susunan
komos, terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi melakukan
latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan
menggiatkan dzikir.

3) Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk
kekeramatan atau keluarbiasaan.

4) Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar, yang dalam hal ini
telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengikarinya, menyetujuinya ataupun
menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.

b. Ciri-ciri khusus dari Tasawuf Falsafi antara lain :

1) Mengkonsepsikan ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara rasional dan perasaan.

2) Mendasarkan pada latihan-latihan ruhaniah (riyadah)

3) Iluminasi atau bayangan sebagai metode untuk mengatahui berbagai hakekat, yang menurut
penganutnya bisa dicapai dengan fana’

4) Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas-realitas dengan berbagai simbol


atau terminologi filsafat, dan cenderung mendalam ke dalam panteisme (teori yang berpendapat bahwa
segala sesuatu merupakan perwujudan Tuhan).

2.4. Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi


A. Ibn Arabi (560-638 H)

1. Biografi Singkat Ibn ‘Arabi

Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-
Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat,
hartawan, dan ilmuwan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal dunia di sana pada tahun 638 H.
di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Quran, hadis serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih
Andalusia terkenal, yaitu Ibn Hazm Az-Zhahiri.

2. Ajaran-Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi

a. Wahdat Al-Wujud

Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-
wujud berarti kesatuan wujud. Kata al-wahdah digunakan oleh para ahli filsafat sufistik sebagai suatu
kesatuan antara materi dan roh, hakikat dan bentuk, antara yang nampak dan yang batin, antara alam dan
Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang
terakhir itulah yang digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya
adalah satu kesatuan wujud.

Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya
orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya
hanya satu. Dan mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan.

Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud
makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat.
Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk). Hal itu tersimpul dalam
ucapan Ibn ‘Arabi berikut ini: “Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri
adalah hakikat segala sesuatu itu”.

Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu
dengan wujud alam. Menurut Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud
selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam
tidak memiliki wujud. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan)
dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai
wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki,
sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu
wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak
mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan Tuhan).

b. Haqiqah Muhammadiyyah
Menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah Pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaanya adalah
sebagai berikut:

1) Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabith.

2) Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas realitas rohaniah, yaitu alam
arwah yang mujarrad.

3) Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir.

4) Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.

5) Alam materi, yaitu alam indrawi.

Selain itu, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dipisahkan dari ajaran Haqiqah
Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam
dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu
apa pun. Kedua, wujud haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud
Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapan sebagaimana yang
dikemukakan di atas.

c. Wahdatul Adyan (kesamaan agama)

Ibn ‘Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyyah.
Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar
arif adalah orang yang menyambah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat
dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian
dari luang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal.

Sebagai kesimpulan, Hamka mengatakan:

“Jadi Ibn Arabi telah menegakan faham serba Esa dan menolak faham serba dua. Segala sesuatu
adalah atau hanyalah satu. Tetapi dia merupa dalam bentuk yang berbagi-bagi atau berubah-ubah.
Berhampir dengan faham Phitagoras dalam dunia Filsafat, yang mengatakan “Jiwa segala bilangan adalah
satu.”

Pandangan-pandangan Ibn Arabi di atas terutama wahdat al-wujud telah menimbulkan kontroversi.
Berbagai analisis dikemukakan oleh para ulama-ulama Islam tentang konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi
ini. Ibn Taimiyah misalnya berpandangan bahwa wahdat al-wujud adalah penyamaan (tasyabbuh) antara
Tuhan dan alam. Sedangkan Allah seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran berbeda dengan segala
sesuatu.
B. Al-JILI (1365-1417 M)

1. Biografi Al-Jili

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365, di Jilan (Gilan),
sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. ia adalah seorang sufi yang
terkenal dari Baghdad. Sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun
1387 M, kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Jailani, seorang pendiri dan
pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syekh Syarafuddin
Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.

2. Ajaran Tasawuf Al-Jili

a. Insan Kamil

Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu Insan dan Kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia,
dan kamil berarti sempurna. Jadi, insan kamil berarti manusia yang sempuran.

Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis:

‫ق هللاُ اَ َد َم َعلَى صُوْ َر ِة الرَّحْ َم ِن‬


َ َ‫َخل‬

Artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”.

Sebagaiman diketahui, Tuhan mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan
sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari
sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya. Sebab pada
dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah
itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian inheren dengan esensinya. Sebab
sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.

Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat
dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat
dirinya kecuali demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat meliht dirinya, kecuali
melalui cermin insan kamil. Dan dijelaskan dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 33

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semunya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”

Ketidak sempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada
dalam kandungan ibunya. Al kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara
profesional (bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang terdapat dalam wali-wali,
dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda.

Ciri-ciri Insan Kamil, yaitu:

1) Berfungsi Akalnya Secara Optimal

Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang
demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil.

2) Berfungsi Intuisinya

Intuisi ini dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang
berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat
dan mendekati kesempurnaan.

3) Menghiasi Diri dengan Sifat-Sifat Ketuhanan

Pada uraian tentang arti insan di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang
mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan
mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi.

4) Berakhlak Mulia

Sejalan dengan ciri keempat di atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga
aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan.

5) Berjiwa Seimbang

Perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan
spiritual. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat Islam,
terutama ibadah, zikir, tafakur, muhasabbah, dst.

Uraian diatas diyakini belum menjelaskan ciri-ciri insan kamil secara keseluruhan. Tetapi ciri-ciri itu saja
jika diamalkan secara konsisten dipastikan akan mewujudkan insan kamil. Seluruh ciri tersebut
menunjukan bahwa insan kamil lebih menunjukan kepada manusia yang segenap potensi intlektual,
intuisi, rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah dan kejiwaannya berfungsi dengan baik.

Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya,
sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang
ajarannya lebih mengedepankan akal.

b. Maqamat (Al-Martabah)

Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran insan kamil, maka ia juga merumuskan
maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:
1) Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya
melakukan kelima pokok itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.

2) Iman, yakni membenarkan dalam hati denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman merupakan
tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu seseorang untuk mencapai
maqam yang lebih tinggi.

3) ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus
kepada Allah, sehingga hal ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan menjalankan
syari’at-syari’atnya dengan baik.

4) Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat
menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada
dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqomah dalam tobat,
inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.

5) Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah dengan ciri-ciri: mahabbah
kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang
bersifat pribadi.

6) shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang
ghaib sehingga dapat mengetahui hakikat dirinya.

7) qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan
diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sungguhpun manusai mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, akan
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.

C. IBN SAB’IN (614-669 H)

1. Biografi Ibn Sab’in

Nama lengkap Ibn Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufi yang juga
filosof dari Andalusia. Ia di panggil Ibn Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan dikenal pula dengan
panggilan Abu Muhammad. Dia berasal dari keturunan Arab dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218 M)
di kawasan Murcia dan lahir dari keluarga terhormat. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra, dia juga
mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa
guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq, yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat 611 H).

2. Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in

a. Kesatuan Mutlak
Ibn Sabi’in adalah pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis yang dikenal dengan paham
kesatuan mutlak. Gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.
Wujud yang lainnya hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal dengan paham
kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau menguasai, menurut terminologi Ibn
Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri.

Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah
menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Pemikiran-
pemikiran Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an yang diinterpretasikan secara filosofis maupun
khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid ayat 3

uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ

“Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..”

Dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya: ”Apa yang pertama-tama diciptakan adalah akal budi,
maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun menerimanya...

Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut merupakan dasar paham, khusunya tentang para
pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat
Muhammad SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut Ibn Sabi’in adalah individu yang paling sempurna,
sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf ataupun sufi.

b. Penolakan terhadap Logika Aristotelian

Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Terbukti dalam karyanya Budd
Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang
berdasaarkan pada konsepsi jamak. Ibn sabi’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian
kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk
tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah
didengarnya.

Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah bahwa realitasa-realitas logika dalam
jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka. Ibn Sab’in
mengembankan pahamnyan tentang kesatuan mutlak, ke berbagai bidang bahasan filosofis. Misalnya,
menurutnya jiwa dan akal-budi tidak mempunyai wujudnya sendiri, tetapi wujud keduanya berasal dari
yang satu , dan yang satu tersebut tidak terbilang.

Di samping itu, Ibn Sab’in berpendapat bahwa para pencapai kesatuan mutlak adalah kebahagiaan itu
sendiri, kebajikan itu senidri, dan kedermawanan itu sendiri. Yang menarik dari pendapat Ibn Sa’bin ialah
bahwa latihan-latihan rohaniah, yang bisa mengantar pada moral luhur, tunduk di bawah konsepsinya
tentang wujud. Misalnya saja dzikir seorang pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak ada yang
wujud selain Allah” sebagai ganti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Si pendzikir dalam dzikir ini sendiri
adalah yang dzikir. Sementara tingkatan dan keadaan, yang merupaka buah dari dzikir, tidak keluar dari
ruang lingkup kesatuan mutlak tersebut.
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari materi-materi yang dijelaskan di atas mengenai pembahasan tasawuf falsafi, maka dapat disimpulkan
bahwa:

1. Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan
pendekatan rasional (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan
saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdat al- wujud (kesatuan wujud).

Pengertian Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional
pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut berasal dari bermacam-macamajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya.

Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak Islam sejak abad
keenam hijriyah, meskipun atikohnya baru dikenal seabad kemudian.

Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya
istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.
Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada
rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena
ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.

Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai
alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo_Platonisme dengan filsafatnya tentang
emanasi. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang
karya-karyanya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat Timur kuno, baik dari
Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.
Mereka pun dipengaruhi aliran Batiniyah sekte Ismailiyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-
Shafa.

Objek yang menjadi perhatian para tasawuf filosof adalah

latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan
rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta rasa(dhauq
Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani, ‘arty, kursi, malaikat,
wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun yang tampak, dan susunan
kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut
melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan
menggiatkan Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.

Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi

1. Ibn Arabi dan Karyanya

Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhamad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitimi. Ia
lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tahun 560 H, beliau lahir dari keluarga berpangkat,
hartawan, dan ilmuwan.[1] Ia tinggal di Hizaj dan meninggal pada tahun 638H. Di Sevilla (Spanyol) Ia
mempelajari Al-Qur’an, Hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm
Az-Zuhri. Di usiannya 30 Ibn Arabi berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian
Barat dan berguru kepada Abu Madyan, Al-Ghauts At_Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali
dari kalangan perempuan). Kemudian ia bertemu juga dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib istana
dinasti Barbar dari Alomond, di Kordova[2]. ia pun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah, seorang sufi
falsafi yang cukup berpengaruh pada zaman itu.

Di antara karyanya adalah Al-Futuhat Al-Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang
menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang
kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.[3]
Karya lainnya sebagaimanan dilaporkan oleh Muolvi Al-Abdal, Kimiya As-Sa’adat,Muhadharat Al-
Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasa’il, Al-Ilahiyyah, Mawaqi’ An-Nujum, Al-Jam’ wa At-Tafsishil
fi Haqa’iq At-Tanzil, Al-Ma’rifah dan Al-Isra’ila Maqam Al-Atsana.[4]

c. Ajaran-Ajaran Tasawuf Ibn Arabi

Ajaran pertama dari Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran
sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tetapi dari Ibn Taimiyah yang sekaligus
merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut.

Untuk lebih jelasnya kritikan Ibn Taimiyah atas ajaran Ibn Arabi, terlebih dahulu dapat kita perhatikan
pandangan mereka terhadap wahdat al-wujud; menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan
Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud
mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajibul wujud yang dimiliki oleh khaliq juga
mumkinul wujud yang dimiliki oleh makhluk selain itu, kemudian mereka mengatakan juga bahwa wujud
alam sama dengan wujud tuhan tidak ada perbedaan.

Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud mahluk
merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Kalaupun
ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut
pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemapuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada
pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Dari pengertian tersebut,
Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek tasybihnya saja (penyerupaan Khaliq
dengan makhluq), tetapi belum menilai dari aspek Tanzihnya (penyucian khaliq).

Terkait dengan ajaran Ibn Arabi mengenai wahdat al-wujud kita dapat menilai dari isi syair dan
pandangan atau penafsirannya terhadap isi Al-quran yang berhubungan dengan wahdat al-wujud
diantaranya; “Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat
segala sesuatu itu”.[5] Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah
adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (Khaliq) dengan wujud yang baru
(makhluk). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut,
Ibn arabi mengemukakan lewat syairnya sebagai berikut;

”Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba. Demi syu’ur (perasan)ku, siapakah yang mukallaf? Jika
engkau katakan hamba padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakana Tuhan, lalu
siapa yang dibebani taklif?”[6]

Dari syair tersebut timbullah pertanyaan; kalau antara Khaliq dan mahluk bersatu dalam wujudnya,
mengapa terlihat dua? Ibn Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandang dari sisi yang
satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khaliq dari sisi yang satu
dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu atau keduanya
adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikah keduanya, yakni
dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah. Sehubungan dengan hal tersebut, Ibn Arabi pun
menyatakan dalam sya’irnya sebagai berikut;

“Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkannlah. Pada sisi lain, Dia bukan makhluk, maka
renungkannlah. Siapa saja yang menangkap yang aku katakan, penglihatannya tidak akan perna kabur.
Tidak ada yang akan menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan. Satukan dan pisahkan
(bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu. Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak
kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar.”
Dari keterangan di atas Ibn Arabi terkesan menyatukan wujud tuhan dengan wujud alam yang dalam
istilah Barat disebut Panteisme dan didefinisikan Henry C.Theissen seperti berikut:

“Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi
atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada denag natural (alam). Tuhan adalah semuanya,
semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang di antaranya mempunyai pula
unsur-unsur atestik, politestik, dan teistik.”[7]

Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu
dengan wujud alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme di atas, perlu diingat bahwa
Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud
adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada wujud
selain wujud tuhan, adapun Ibn Arabi menggunakan wujud terhadap selain tuhan yaitu wujud alam, pada
hakikatnya wujud tersebut milik Tuhan yang dipinjamkan kepadanya, untuk hal ini Ibn Arabi
memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para
penghuni bumi.

Selanjutnya Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya, alam adalah bayangan
Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena
itu, alam merupakan tempat Tajali dan Mazhar (penampakan) Tuhan. ketika Allah menciptakan alam ini,
ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan
seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas
cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan difat Allah
yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam
bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak hanya dikenal
oleh siapa pun.

Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan sya’irnya: “wajah itu
sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak.”[8] Untuk memperkuat
pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits qudsi: “Aku pada mulanya adalah perbendaharaan
yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makluk, lalu, dengan itulah mereka
mengenal Aku.” Penjelasan konsep tanzih dan tasbyh dapat kita pahami melalui syairnya sebagai berikut;
“Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikatNya. Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau
membatasiNya.
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah iman dan tuan dalam
berbagai pengetahuan.

Siapa saja yang berkata dengan dualitis Tuhan dan alam adalah musyrik; dan siapa saja yang berkata
dengan pemisahan Tuhan dan alam adalah muwahid. Oleh karena itu, berhati-hati terhadap tasybih jika
engkau mengakui dualitas, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika engkau mengakui monistis.

Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya dalam ‘ain segala sesuatu, baik
sebagai sesuatu yang lepas maupun sebagai sesuatu yang terikat.

Berkaitan dengan tanzih dan tasybih Ibn Arabi menjelaskan firman Allah, laisa kamitslihi syaiin
mengandung pengertian, “Tanzihkan-lah Dia”, sedangkan firmannya, wahua samii’ul bashiir,
mengandung pengertian, “Tasybihkan-lah Dia”. Dengan demikian, firman Allah laisa kamitslihi syaiin
wahua samii’ul bashiir mengandung pengertian, Tasybihkan-lah Dia dan jadikannlah dualitas, dan tanzih-
kanlah Dia dan jadilah monistis”.[9]

Dari kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam,
dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan menyamakan Tuhan
dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya persamaan. Di samping itu, jika kita merujuk
pada definisi penteisme yang telah dirumuskan oleh Norman L. Geisler yang menyatakan tidak ada
pencipta di luar alam, wahdat al-wujud menurut konsep Ibn Arabi tidak dapat dikatakan sama dengan
panteisme, sebab Ia masih mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam,
sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya, mazhar asma dan sifat-sifatnya.

Ajaran kedua dari Ibn Arabi adalah Haqiqah Muhamadiyyah. Dari konsep wahdat al–wujud Ibn Arabi,
muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep tersebut, yaitu konsep al-
hakikat al-muhammadiyyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama). Menurut Ibn Arabi, Tuhan
adalah pencipta alam semesta adapun proses penciptaannya adalah sebagai bertikut:

Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.

Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani kea lam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah
yang mujarrad.

Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir.

Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal(ide) atau khayal.
Alam materi, yaitu alam indrawi.[10]

Penjelasan berikutnya dari Ibn Arabi mengenai proses kejadian penciptaan alam dan hubungannya
dengan kedua ajaran tersebut sebagai berikut; Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat
yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah sebagai
emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses
tahapan-tahapannya sebagaimana yang dikemukakan di atas. Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran
yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihili). Selanjutnya, ia
mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam
kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada para nabi semenjak Adam sampai Muhamad
dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan person-person
insane kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyyah tersebut
dengan Quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.[11]

Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibn Arabi memandang
bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Konsekwensinya, semua agama adalah
tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah
Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar
hendaknya seorang abid memandang bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang
semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal, Ibn Arabi
Mengemukakan dalam sya’irnya,

“Kini kalbuku bisa menampung semua ilalang perburuan kijang atau biara pendeta. Kuil pemuja berhala
atau Ka’bah. Lauh Taurah dan mushaf Al-Quran. Aku hanya memeluk agama cinta kemana pun
kendaraan-kendaraanku menghadap. Karena cinta agamaku dan imanku.[12]

Para penulis berpendapat bahwa, Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat
sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain, dengan ungkapan lain paham ini menyimpang dari
Islam.

2. Al-Jili (1365-1417)[13]

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan),
sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-jili diambil dari tempat
kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Bagdad. Riwayat hidupnya tidak banyak
diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan
ke India tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang
pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syeh
Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[14]

a. Ajaran Tasawuf Al-Jili

– Insan Kamil

Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-jili,
insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan
adam dalam bentuk yang Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-
Nya.”

Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak,
mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi
setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah
Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam
segala hakikat-Nya.[15] Melaui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya
merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat
dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya
merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat
dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.

Labih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah
bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu.
begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan
cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan
kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan
amat bodoh.” (Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki
oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh
hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam
konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara
aktual (bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang
berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW sehingga
manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil
(yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan al-afdhal
(yang paling utama).

Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah(nuktah Al-Haqq) melalui proses empat
tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhamad
SAW.

Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn
Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad.
Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan
kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.

– Maqamat (al-Martabah)

Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi,
yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:

Pertama, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya
dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.

Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-
dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu
seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.

Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus
kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah
Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan memtaati syariat Tuhan
dengan baik.

Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat
menyaksikan efek(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada
dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat,
inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah
kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang
menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada
Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua
makhluk-Nya secar ‘ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.

Keenam, shiddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang
diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut Al-Jili seorang
sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat
rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.

Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang dapat menampakan diri
dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu hal
yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui dzat yang Mahatinggi itu secara kasyaf Ilahi,
yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia dihapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan
Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya.[17]
Dengan pernyataan ini, kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat
Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya.

3. Ibn Sab’in

a. Biografi Singkat Ibn Sab’in dan Karyanya

Nama lengkapnya Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhamad Ibn Nashr, seorang sufi dan juga filosaof dari
Andalusi. Ia di panggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin. Dan dikenal pula dengan Abu Muhamad dan
mempunyai asal-usul Arab, dan dilahirkan tahun 614 H(1217/11218M) di kawasan Murcia. Dia
mempelajari bahasa Arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu
logika, dan filsafat. Ia mengemukakan gurunya bahwa diantara guru-gurunay adalah Ibn Dihaq, yang
dikenal juga dengan Ibn Al-Mir’ah. [18] Ibn Sab’in tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan, hidupnya
dalam suasana penuh kemuliaan dan berkecukupan tetapi beliau menjauhi kesenangan hidup kemewahan
dan kepemimpinan duniawi, lalu hidup sebagai asketis maupun sufi yang mempunyai banyak murid.
Ibn Sab’in meninggalkan karya yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis. Sebagian
karyanya hilang dan sebagaian risalahnya telah di sunting Abdurrahman badawi dengan judul Rasa’il Ibn
Sab’in (1965 M.) dan karya yang lainnya; Jawab Shahih Shiqilliyah, telah disunting oleh Syarifuddin
Yaltaqiya. Dapat terlihat jelas dari karyanya beliau tampak berpengetahuan yang sangatlah luas dan
beraneka. Dia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani dan faisafat-filsafat Hermetitisme, Persia dan
India, selain itu dia juga banyak menelaah karya-karya filosof-filosof Islam dari dunia Islam bagian
Timur, seperti Alfarobi dan Ibn Sina, dan filosof bagian Barat seperti Ibn Bajah, Ibn Tufail dan Ibn
Rusyd. Dan dia menguasai kandungan risalah-risalah Ikhwanul Ashafa, dan secara rinci mengetahui
aliran Teologi, khususnya aliran sy’ariyah.

Ibn Sab’in mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat As-Sab’iniyyah. Para pengikutnya
memakai pakaian khusus yang dikecam para fuqaha, dan tarekat ini mempunyai sanad yang aneh. Asy-
Susytari mengemukakan bahwa dalam sanad tersebut terdapat antara lain Hermes, Socrates, Plato,
Aristoteles, Iskandar Agung, Al-Hallaj, An-Niffari, Al-Habsyi,Qadhi serta Ibn Sab’in sendiri. Dari sini
kita dapat memperoleh gambaran bahwa tarekat tersebut bercorak sinkretis dan mengompromikan
berbagai aliran, yang diantaranya bercorak Islam, Yunani, dan Timur kuno. Tampaknya tarekat ini
bertahan sampai masa Ibn Taimiyyah (meninggal pada tahun 728H).[20] Dari uraian di atas dapat terlihat
bahwa Ibn sab’in sangat berkiblab pada filusuf barat.

c. Ajaran Tasawuf Ibn SAb’in

1. kesatuan Mutlak

Ibn Sab’in menggagas sebuah faham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan
mutlak, gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang
lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri.

Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan
murni -atau menguasai- menurut terminologi Ibn Sab’in pun, hampir tidak mungkin mendeskripsikan
kesatuan itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab
wujud Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan.
Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan
demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material.
Pemikiran Ibn Sab’in ini mengambil rujukan dari Al-quran, yang diinterpretasikan secara filosofis
ataupun khusus. Misalnya firman Allah ”Dia itulah Yang Awal dan Yang Akhir, yang dzahir dan yang
Batin.”(Q.S.Al-Hadid ; 3) dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (Q.S Al-
Qashas :28) terkadang dia memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di antarnya dengan hadis
Qudsi, “Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Maka firman Allah kepadanya,
terimalah! Ia pun menerimanya…”. Namun Ibn Taimiyah menolah menolak dan mengecam keras
pendapat Ibn Sab’in tentang kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa interpretasi Ibn Sab’in terhadap nash-
nash agama tidaklah benar. Begitu juga dengan hadits qudsi yang digunakan adalah hadis maudu’.

Paham kesatuan mutlak Ibn Sab’in ini mirip dengan paham “hakikat Muhamad” ataupun “Qutb” dari
sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn Arabi dan Ibn Al-Faridh, atau paham “manusia
Sempurna” dari Abdul karim Al-jalili. Menurut Ibn Sab’in pencapaian kesatuan mutlak adalah individu
yang paling sempurna. Sempurna yang dimiliki seorang fuqaha, teolog, filosof, maupun sufi. Inilah
pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus, yaitu ilmu pencapaian yang
menjadi pintu gerbang kenabian, sosok pribadi yang dari segi hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan
nabi, yang mengendalkan semesta; dan segala sesuatu pun didasarkan padanya.

b. Penolakan terhadap Logoka Aristotelian

Paham tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristetelian. Terbukti dalam
karnyanya Budd Al-Arif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatf, sebagai pengganti
logika yang berdaasarkan pada konsefsi jamak, Ibn Sab’in menamakan logika barunya itu dengan logika
pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan penalaran, tetapi
termasuk tembusan Ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun
mendengar yang belum pernah didengarnya. Dengan demikian logika tersebut bercorak intuitif.
Kesimpulan penting dari logika Ibn Sab’in tersebut adalah realitas-realitas logika dalam jiwa manusia
bersifat alamiah dan keenam kata logika (gebus, species, difference, proper, accident, person) yang
memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka, begitu juga dengan kesepuluh kategori,
sekalipun berbeda dan beraneka, tetap merujuk pada wujud tunggal yang mutlak.

Studi Kritis Paham Tasawuf Falsafi


1. Aspek Sumber Ajaran

Ibrahim Hilal menyatakan, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh filsafat Plato dan Plotinus,
seperti wujud, alam semesta atau makrifat.[21] Begitupun Ibn Masarrah (tokoh pertamaa tsawuf falsafi)
telah menganut paham emanasi yang serupa dengan Plotinus.[22] Senada dengan pendapat tersebut,
analisa lain menyatakan, ungkapan Neo-Platoisme, misalnya “Kenalilah dirimu dengan dirimu”,
kemudian diambil oleh para sufi (termasuk sufi falsafi) menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya
maka akan mengenal tuhannya”,[23] hal ini bisa jadi mengarah pada munculnya teori hulul, wahdah asy-
syuhud dan wahdah al-wujud.[24]

Jika demikian faktanya, seyogyanya kita merenungi sebuah riwayat, ketika Rasulullah saw. memarahi
Umar Ibn al-Khattab ra., karena kedapatan membawa sobekan taurat, waktu itu beliau saw. bersabda:

‫ْضا َء نَقِيَّةً؟ لَوْ أَ ْد َر َكنِي أَ ِخي ُمو َسى َحيًّا َما َو ِس َعهُ إِالَّ اتِّبَا ِعي‬ ِ ‫َما هَ َذا أَلَ ْم آ‬
َ ‫ت بِها َ بَي‬

“Apa yang kamu bawa ini, bukankah aku telah membawa (al-Qur’an) yang jelas dan jernih? Kalau
seandainya saudaraku Musa as. hidup pada zamanku, tentu beliau tidak akan susah-susah lagi, kecuali
mengikutiku.” (HR. Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam)[25]

Dalam hadits ini dapat dipahami, umat Muhammad saw. wajib mengikuti tuntunan Rasulullah saw. dan
al-Quran. Jika Musa as. saja mesti mengikuti Rasulullah saw. apalagi umatnya. Sedangkan celaan yang
dialamatkan kepada Umar ra. menunjukan larangan yang bersifat pasti (haram). Artinya umat Islam
haram mengambil sumber pemikiran dari peradaban lain jika perkara tersebut sudah terdapat dalam
sumber hukum Islam, hal ini di isyaratkan dengan ungkapan “bukankah aku telah membawa al-Qur’an“.
Karena itu, dari aspek sumber pemikiran, tasawuf falsafi melakukan kesalahan, karena mengambil
sumber teori tasawuf dari filsafat yunani. Maka dapat dikatakan teori tasawuf sunni sedikit lebih baik,
karena mengambil teori tasawuf masih dalam sumber Islam, baik al-Quran maupun as-Sunnah, sedangkan
tasawuf falsafi –walaupun terkesan orisinal dengan istilah-istilah sufi– telah mengambil sumber yang
bukan berasal dari Islam, meskipun mereka pada akhirnya selalu mencoba menjustifikasi teori falsafinya
dengan dalil atau hadits.

2. Aspek Pemikiran
Berbagai paham dalam tasawuf falsafi selalu dipresentasikan dalam ungkapan-ungkapan ganjil dan aneh
(syathahat) yang meresahkan umat Islam. Karena itu wajar jika para fuqaha merasa gelisah sehingga
mengeluarkan berbagai kritik bahkan kecaman serius terhadap para sufi falsafi.[26] Islam adalah agama
yang mudah untuk diamalkan, bukan untuk elit-elit tertentu, ajarannya universal bagi seluruh manusia,
karena itu Rasul saw. bersabda:

‫ْر ثالثًا يَقُولُهَا‬


ٍ ‫إِ َّن ِد ْينَ هللاِ فِي يُس‬

Sesungguhnya Agama Allah itu mudah (diamalkan), beliau mengucapkannya sampai tiga kali. (HR.
Ahmad)[27]

‫يَ ِّسرُوا َوالَ تُ َع ِّسرُوا َوبَ ِّشرُوا َوالَ تُنَفِّرُوا‬

Mudahkanlah oleh kalian (pengajaran agama ini), jangan kalian buat sulit; Dan berikanlah kabar gembira,
jangan engkau buat orang-orang menghindar dan menjauh. (HR. Bukhari)[28]

Disini terlihat bahwa, ungkapan dan isyarat yang digunakan para sufi falsafi bertentangan dengan ke-
universalan Islam itu sendiri, shalih likulli zaman wal makan, yang pada gilirannya akan menimbulkan
fitnah ditengah umat Islam.[1] Begitupun dengan maqamat (al-martabah), yang mesti dilalui oleh para
sufi,[2] semua martabah hanya bersifat individualistis, bisa jadi akan menyebabkan Agama Islam menjadi
jumud dan tidak bisa menyelesaikan persoalan hidup yang kian hari kian kompleks. Bahkan sebagian sufi
falsafi selalu meremehkan para fuqaha dengan keilmuannya, para sufi falsafi menyebut para fuqaha
dengan sebutan ahli ilmu kertas (tekstualis), sedang mereka memuji-muji ilmu laduni. Padahal ejekan
para sufi falsafi tersebut bertentangan dengan hadits Rasul saw.: “Ikatlah ilmu dengan tulisan“.[3]

[1] Misal ucapan yang bisa menimbulkan fitnah: “Hamba adalah tuhan, dan Tuhan adalah hamba“, juga
tentang Insan Kamil sebagai duplikat Tuhan, hal ini bisa mengarah pada pengkultusan sebagian sufi
falsafi yang berimplikasi pada syirik.

[2] Misal maqamat yang dicetuskan Al-Jili (1417 M), 1.Islam; 2. Iman; 3. Shalah; 4. Ihsan; 5. Syahadah;
6. Shiddiqiyah; 7. Qurbah; begitupun dengan maqam para sufi falsafi yang lain.

[3] Ibrahim Hilal, at-Tashawwuf al-Islami … hlm. 187


[1] Ibir hal 193

[2] Annemarie Schimmel, <ystical Dimension of Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Pustaka Firdaus,
1975 hal 272.

[3] Ibid

[4] Maolavi S.A.Q. Husaini, Ibn Al-arabi, Muhamad Ashraf, Lahore, t.t., hal 34-36

[5] Ibn Arabi, Al-Futuhat Makiyah, jilid II, Dar Shadir, Beirut,t.t, hal 604.

[6] Ibn Arabi, Fushush Al-Hikam wa At-Ta’liqqat, Ed. Abu Al’Ala’Afifi. Dar al-fikt Beirut, t.t., hal 92

[7] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-Arabi Wahdaat Al-wujud dalam perdebatan, Paramadina 1995, hal 162.

[8] Ibn Arabi, Fushush….hal 70

[9] Ibid, hal 70

[10] Ibis., hal 334

[11] Muhamad Yasir Syaraf, Harakat At-Tasawuf Al-Islami, Al-Hai’at Al-Mishriyyat Al-Ammah li Al-
Kitab, Mesir, 1987, hal 211-222

[12]Hilmi, Al-Hayat Ar-Ruhiyyah Fi Al-Islam hal 180


[13] Disarikan dari diskusi Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam di Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1995, dengan judul makalah “Al-Jili: Insan Kamil”

[14] R.A. Nicholsin, Studies in Islamic Mysticism, Idarah-I Delli, India 1981, hal 81.

[15] Harun Nasution, dkk., Ensiklopedia Islam, Jambatan, Jakarta,Juz II, 1992, hal 77.

[16] Al-Jili, Al-Insan Al-Kamil…Juz II hal 130

[17] Ibid., juz I hal 34.

[18] Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ‘ulum Ad-Din, Vol.2, Kairo, tanpa Penerbit 1334H., hal 201-202

[19] At-Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman, hal 206

[20] Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, 2008 Bandung, hal 196

[21] Ibrahim Hilal, at-Tashawwuf al-Islami baina ad-Din wa al-Falasifah (Tasawuf antara Agama dan
Filsafat, terj: Ija Suntana & E. Kusdian), cet. I., Bandung: Pustaka Hidayah. 2002., hlm. 144

[22] M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,… hlm. 70

[23] Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbahu, adalah hadits palsu menurut Ibn Taimiyah, Imam Nawawi
sebelumnya telah berkata hadits ini tidak tsabit (tidak jelas), Abu al-Muzhfir menyatakan hadits ini tidak
marfu. (Kasyf al-Khafa, juz II/262)

[24] M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,… hlm. 50


[25] Hadits semakna terdapat di Musnad al-Bazzar no. 124; Musnad Ahmad no. 14104; Sunan ad-Darimi
(1/115); al-Haitsami berkata: hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, Ahmad dan Abu Ya’la (Majma’ az-
Zawaid, juz I/174); hadits ini Hasan menurut al-Bani (Irwa’ al-Ghalil, 6/34)

[26] M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,… hlm. 234

[27] Musnad Imam Ahmad (V/69)

[28] Shahih al-Bukhari no. 67

[29] Misal ucapan yang bisa menimbulkan fitnah: “Hamba adalah tuhan, dan Tuhan adalah hamba“, juga
tentang Insan Kamil sebagai duplikat Tuhan, hal ini bisa mengarah pada pengkultusan sebagian sufi
falsafi yang berimplikasi pada syirik.

[30] Misal maqamat yang dicetuskan Al-Jili (1417 M), 1.Islam; 2. Iman; 3. Shalah; 4. Ihsan; 5. Syahadah;
6. Shiddiqiyah; 7. Qurbah; begitupun dengan maqam para sufi falsafi yang lain.

Pembahasan

Tasawuf falsafi

Tasawuf falsafi dalam islam merupakan tasawuf lain yang nuansanya berbeda dengan tasawuf suni yang
telah dianut oleh ghazali dan sufi suni sebelumnya yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang bersandarkan pada perpaduan intuisi para sufi dengan cara pandang rasional mereka serta
menggunakan terminologi-teminologi filsafat dari berbagai macam sumber untuk mengungkapkan
tasawufnya itu.

Tasawuf falsafi muncul dengan sangat jelas dalam islam semenjak kurun ke 6 dan 7 H. kedua kurun
tersebut telah menjadi saksi akan kemunculan para pemimpin tasawuf falsafi, disaat tasawuf bercampur
dengan filsafat maka ia menyerap beraneka ragam ajaran filsafat asing misalnya filsafat
yunani,Persia,india dan Kristen namun semua itu tak meniadakan keontetikannya sendiri. Sebab para sufi
menyerap budaya-budaya tersebut, tetap menjaga orisinalitas pemikiran mereka sebagai seorang muslim
Inilah yang memberikan pengertian kepada kita tentang upaya mereka menselaraskan antara pemikiran-
pemikiran yang asing dan mereka dengan islam, upaya tersebut tampak jelas di dalam karya-karya
mereka itulah yang telah memberikan pemahaman kepada kita akan adanya terma-terma filsafat asing
dalam karya mereka yang mayoritasnya telah berubah dikarenakan adanya upaya menselaraskan atau
menyamakan dengan aliran tasawuf islam mereka.

Tasawuf falsafi adalah konsep guna mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio( filsafat) hingga
menuju ke tingkatan yang lebih tinggi bukan hanya mengenal tuhan saja (ma`rifatullah) melainkan lebih
dari itu yaitu widhatul wujud atau yang berarti dengan kesatuan wujud bisa di bilang jika tasawuf falsafi
ini merupakan tasawuf yang didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran filsafat[1]

Para sufi falsafi mengenal filasafat barat dan para fiusuf-fillusufnya khususnya filsafat yunani dan aliran-
aliranya seperti aliran Socrates,plato,aristoteles,rowaqiyah,sebagaimana juga mengenal filsafat
neoplatonisme dan teori emanasinya dan merekapun mengenal juga mempelajari filsafat-filsafat timur
klasik seperti persia dan india dan juga filsafat-filsafat muslim sendiri seperti al-farabi,ibnu sina dan lain
sebagainya

dan mereka juga terpengaruh pemikiran syiah ekstrim seperti syiah islmaiyah,batiniyah dan juga dengan
istilah ihwan shifa disamping itu pula mereka memiliki pengetahuan yang sangat luas mengenai ilmu
syariat seperti fiqih,kalam,hadist dan tafsir sehingga mereka merupakan encyclopedia dan intelektualitas
mereka terbentuk dari berbagai macam pemikiran yang berbeda-beda, dapat disimpulkan baahwa mereka
bercorak ensiklopedis dan memiliki berlatar budaya bermacam-macam.[2]

Berkembangnya tasawuf sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju
kedekatan dengan allah,menarik perhatian para pemikir musilim yang berlatar belakang teologi dan
filsafat dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filusuf yang sufis tasawuf mereka
disebut dengan tasawuf falsafi atau biasa di kenal dengan tasawuf yang yang kaya dengan pemikiran
filsafat.

Karakteristik tasawuf falsafi


di dalam tasawuf falsafi ini ajaran filsafat yang paling sering digunakan adalah emanasi Neo-Platiosme
dalam semua variasinya dikatakan falsafi sebab konteks bahasannya sudah memasuki wilayah ontologi
(ilmu kaun),yaitu hubungan allah dengan alam semesta dengan demikian wajarlah jika tasawuf ini
berbicara masalah emanasi (faidh),inkarnasionisme(hulul) persatuan roh tuhan dengan roh manusia
(itihad) dan keesaan (wahdah)

berdasarkan karakteristik tersebut tasawuf falsafi berbeda dengan tasawuf sunni. Menurut ibnu khaldun
dalam karyanya muqaddimah,yang menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang berbeda dengan
tasawuf sunni dan menjadi objek perhatian para sufi falsafi antara lain sebagai berikut

pertama, latihan rohaniah dengan rasa intuisi dan intropeksi diri. Mengenal latihan rohaniah baik dengan
tahapan (maqam),keadaan (hal),dan rasa (dzauq), atau biasa dikenal dengan mujahadah (memerangi hawa
nafsu ) dan segala sesuatu yang dihasilkan intuisi,naluri perasaan,kontrol jiwa dalam setiap perbuatan.
para sufi falsafi cenderung sependapat dengan para sufi sunni sebab masalah tersebut menurut ibnu
khaldun merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapapun

kedua,iluminasi (Istilah lain dari iluminasi adalah kasf) atau hakikat yang tersingkap dari alam
ghaib,seperti sang pencipta,sifat-sifatnya, arsy,kursi,malaikat,wahyu,kenabian,roh,dan hakikat realitas.
Dapat disimpulkan hakikat-hakikat segala sesuatu yang wujud baik yang tampak dan tampak,tatanan alam
dalam kemunculannya dari zat yang mewujudkan dan membentuknya,Mengenal iluminasi atau kasf ini
para sufi falsafi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan keukatan syahwat dan menggairahkan
roh dengan jalan menggiatkan dzikir. Menurut mereka dzikir membuat jiwa dapat memahami hakikat
realitas

ketiga,khawariqul adah yaitu otoritas terhadap alam melalui berbagi bentuk karomah atau dapat di pahami
dengan istilah peristiwa-peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan

Keempat,penciptaan ungkapan yang pengertianya sepintas samar-samar (syatahiyyat). Hal ini


memunculkan reaksi masyarakat yang beragam baik mengingkari,menyetujui,maupun
mengintepretasikannya dengan intepretasi yang berbeda-beda

Dari tinjauan mujahadah dan intuisi yang dihasilkan darinya seperti maqom(tigkatan) dan ahwal (kondisi)
merupakan titik temu antara mereka dengan sufi-sufi lainya sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu
khaldun “segala sesuatu yang tidak dipersoalkan oleh seseorang pun intuisi mereka dalam tasawuf adalah
benar dan menhghasilkan sebuah kebahagiaan”
Sedangkan tentang hakikat kasf hakikat-hakikat wujud yang ditemukannya, ibnu khaldun mengatakan
bahwa : “sufi-sufi falsafi melakukan olah diri dengan cara mematikan kekuatan indera dan menyirami ruh
yang berakal dengan zikir sehingga jiwa mampu menemukan hakikat-hakikat tersebut dari zat jiwanya.
Jika mampu menemukan itu mereka beranggapan bahwa segala wujud tercakup dalam temuanya tersebut
mereka telah menguak isi keseluruhan hakikat-hakikat wujud” kemudian ibnu khaldun berkata : “kasf
semacam itu muncul dari sebuah kelurusan yang bagi jiwa merupakan keterbukaan cermin yang senantia
selaras dengan berbagai macam kondisi”[3]

Tasawuf falsafi juga memiliki karaktersitik khusus yang membedakan dengan tasawuf lainya
diantaranya sebagai berikut.

Pertama, tasawuf falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman ajaranya dengan menggabungkan antara
pemikiran rasional filosofis dan perasaan (dzauq) kendatipun dengan demikian tasawuf jenis ini juga
sering mendasarkan pemikiranya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengan intepretasi
dan ungkapan yang samar-samar serta sulit dipahami dengan orang lain. Intepretasi tersebut cenderung
kurang tepat dan dan lebih bersifat subjektif

Kedua, seperti halnya tasawuf jenis lain , tasawuf falsafi didasarkan pada latihan-latihan rohaniah
(riyadhah) yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral dan mencapai kebahagiaan

Ketiga, tasawuf falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas
yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana

Keempat, para penganut falsafi ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan dengan hakikat realitas
dengan berbagai symbol atau terminologi

Dalam beberapa segi, para sufi falsafi ini melebihi para sufi sunni hal itu disebabkan oleh beberapa hal,
pertama mereka adalah penyusun teori yang baik tentang wujud sebagaimana terlihat di dalam karya-
karya mereka. Dalam hal yang satu ini mereka tidak menggunakan ungkapan-ungkapan syatahiyyat kedua
kelihaian mereka menggunkan symbol-simbol sehingga ajaranya tidak begitu saja dapat dipahami orang
lain, ketiga, kesiapan mereka yang bersungguh-sungguh terhadap diri sendiri atau ilmunya[4]
Para tokoh tasawuf falsafi dan ajaranya

Para tokoh falsafi cukup banyak yang berpengaruh di masyarakat

Ibnu arabi

Nama lengkapnya adalah muhamad ali bin ali bin ahmad bin Abdullah ath-tha’I al-haitami al-andalusia ia
dikenal dengan nama muhyidin ibnu arabi di samping itu dia biasa juga disebut dengan alqutb, al-gaus,al-
syaikh al-akbar atau al-kibrit al-ahmar dia lahir pada tanggal 17 ramadhan 560 H/28 juli 1163 M di
mercia dan meninggal pada tanggal 28 rabiul akhir 638 H/16 november 1240 M. ibn arabi berasal dari
keluarga yang berpangkat,hartawan,dan ilmuwan di

mercia, Andalusia tenggara.

Dan orangtuanya sendiri adalah orang sufi yang memiliki kebiasaan berkelana. Ketika berumur 8 tahun
keluarganya pindah ke lisabon dimana tempat ia belajar agama dan alqur’an dari seorang ulama yang
terkenal bernama syaikh abu bakar. Setelah menyelesaikan belajar al-qur,an kemudian ia pindah lagi ke
sevilla yang dimana itu merupakan tempat dimana pusat para sufi di spanyol pada masa itu. Disana ia
belajar alqur’an,hadist,fiqh,dari seorang ulama Andalusia yang terkenal yaitu ibnu hazm azh-zhairi ia
menetap selama 30 tahun untuk memperluas pengetahuan di bidang hokum islam dan hukum kalam
serta mulai belajar tasawuf ia juga sering berkunjung ke cordova untuk menimba ilmu dengan ibn rusyd.

Dari sana kunjungan nya ini ia lanjutkan ke wilayah maroko dan Tunisia. Ketika ia berusia 30 tahun ia
mulai berkelana keberbagai wilayah Andalusia dan kawasan islam bagian barat lainya. Diantara guru-
gurunya tercatat nama-nama seperti ibnu madyin Al-ghaust Al-talimsari dan yamin musyaniyah,
keduanya banyak yang mempengaruhi ajaran ibnu arabi.

Pada tahun 598 hijriah (1201 M) ibnu arabi meninggalkan spanyol karena situasi politik yang tidak
memungkinkan dan menguntungkan baginya serta tasawuf yang dianutnya tidak disukai dikawasan itu.
Lalu ia pergi haji melalui jalur timur dan mesir merupakan negri pertama yang disinggahinya namun
aliran tasawufnya tidak diterima di daerah tersebut kemudian ia melanjutkan perjalanan melalui jarusalem
dan menetap di mekkah untuk beberapa saat. Ternyata dikawasan itu ia diterima dengan baik oleh
penguasa dan masyarakatnya. Namun ia tidak menetap di kota suci tersebut karena tempat penegembaran
terakhirnya berakhir di kota damaskus sampai ia meningga pada tahun 638 H(1240 M) dan dimakamkan
di kaki gunung qasiyun. Ia memiliki dua orang anak, anak yang pertama bernama sa’dudin dan yang
kedua bernama imadudin dan saat mereka meninggal di makamkan berdekatan dengan ibn arabi.

Ibnu arabi merupakan penulis yang produktif menurut browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul
diantaranya asli tulisan tanganya sendiri yang disimpan di perpustakaan mesir. Lalu berdasarkan sumber
lain di dalam concise encyclopedia of Arabic civilization disebutkan bahwa karya-karya ibn arabi
mencapai 300 buah dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai saat ini dari semua karya itu hanya sebagian
kecil yang dapat ditemui saat ini[5].

Diantara karya yang monumentalnya adalah al-futuhat al-makiyah yang ditulis pada tahunn 1201 M
tatkala sedang menunaikan ibadah haji dan juga fushus al-hikam, karya lainya adalah tarjuman al-
asyuwaq yang dituliskanya untuk mengenang kecantikan,ketakwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik
dari keluarga sufi Persia. Dr muhamad yususf musa mengatakan bahwa kitab al-futuhat dan fusus
merupakan sumber utama bagi siapa yang ingin mengkaji ajaran tasawuf ibn arabi. Menurut ibn arabi
kitabnya fusus al-hikam adalah pemberian dari rasulullah saw.[6]

Ajaran-ajaran tasawuf ibnu arabi

Wahdah al-wujud

Ajaran sentral atau ajaran utama ibn arabi adalah tentang wahdah al-wujud (kesatuan wujud) isitilah ini
sebenarnya bukan berasal darinya tetapi dari ibnu taimiyah tokoh yang paling keras dalam mengecam dan
mengkritik ajaran tersebut, setidaknya lah ia yang mempopulerkan wahdah al-wujud ditengah masyarakat
islam semua orang sepakat dengan menggunakan istilah itu sebagai ajaran sentral ibnu arabi tetapi
mereka memiliki pendapat yang berbeda dalam memformulasikan pengertianya.

Dalam pemikiran tentang wujud ibn arabi meyakini teori emanasi (pemancaran) yang menganggap bahwa
allah menampakan sesuatu dan wujud serta kenyataan. Ibn arabi menafsirkan keberadaan wujud-wujud
sebagai “pencitraan (tajalli) tuhan secara terus menerus didalam sesuatu yang tak terhitung jumlah dan
bentuk nya disetiap waktu. Oleh karena itu pemikiran ibnu arabi dalam wahdatul al-wujud mengarah pada
pengingkaran keberadaan sesuatu yang “mungkin” sebagai bandingan “wajib” yang dimaksudkan dengan
mungkin adalah wujud yang bisa berubah dan baru (tidak dahulu). Sekiranya disaat kita melihatnya dari
tinjauan dari keberadaan nya sendiri maka ia adalah “adam”(tiada)
al-mukmin(mungkin) adalah sesuatu yang kemunculan wujudnya adalah karena zat lainya sebab
didalamnya mencakup 2 potensi untuk tiada dan ada, walaupun sebagian dari sesuatu yang mungkin
“mumkinat” tersebut terdapat sesuatu yan tetap. Sebab sesuatu yang tepat adalah “dharuriat”(pasti).

Dalam pemikiran ibnu arabi ia menyatakan bahwa wujud adalah satu dalam hakikat dan banyak yang
tampak hanyalah semu belaka. Dalam hal ini ibnu arabi berkata : kemudian rahasia yang berada di dalam
masalah ini bahwa sesuatu yang mungkin “mukinat: pada dasarnya adalah sesuatu yang tiada. Tidak ada
wujud selain al-haq yang telah membentuk sesuatu yang mungkin dari dalam dirinya sendiri (buku merah
249-250 buku biru 274)

jelaskan hikmah penciptaan dengan cara menafsirkan sebuah hadist qudsi : “aku adalah perbendaharaan
yang tersembunyi yang tak mengetahui diriku sendiri. Kemudian aku menciptakan mahluk dari
perbendaharaan tersebut sehingga aku bisa mengetahui diriKU sendiri.

Hakikat wujud menurut ibn arabi adalah satu perbedaan antara zat dan mukminat hanyalah perbedaan
sudut pandang saja akal lemah yang membedakan keduanya dengan perbedaan yang hakiki oleh karena
itu ibn arabi berkata :

Terpisah-pisah dari kesatuan adalah hal yang satu

Ia aadalah banyak,tak tetap dan tak berpartikel

Kesimpulanya adalah bahwa sujud mumkinat dalam pandangan ibn arabi adalah wujud allah sendiri.
Aneka ragam banyak nya wujud tak lain adalah sesuatu yang ditimbulkan oleh indera dharir dan akal
manusia yang lemah yang tak mampu menemukan kesatuan zat pada diri segala sesuatu. Hakikat wujud
adalah satu dalam subtansi zatnya.

Insan kamil

Ibn arabi juga mempunyai pemikiran tentang insan al-kamil atau hakikat muhamadiyah yang dibangun
diatas dasar aliran wahdatul wujud. Insan lkamil (manusia sempurna) menurut ibn arabi adalah kumpulan
alam. Ketika allah ingin melihat subtansinya di dalam keseluruhan alam maka ia mengumpulkan segala
sesuatu yang disifatinya sebagi wujud dan menampakan intisarinya kepadanya. Maka munculah insan al
kamil yang menurut ibnu arabi adalah intisari dan cermin dari alam itu sendiri. Ibn arabi membedakan
insan alkamil dari dua tinjauan, pertama adalah insane alkamil sebagai manusia yang hadis (diciptakan),
sedangkan yang kedua adalah sebagai sesuatu yang azali dan abadi oleh karena itu, ibn arabi
menggambarkan insan alkamil dengan mengatakan “manusia yang hadis (baru diciptakan). Dan azali dan
muncul selamanya secara abadi.

Keseluruhan agama adalah satu yaitu Allah. Seorang Arif (sufi/wali) yang sesungguhnya adalah orang
yang menyembah allah ditiap-tiap pencitraanya atau dengan kata lain, ibadah yang benar adalah yang
sekiranya seorang hamba melihat keseluruhan bentuk dan tinjauan bahwa itu merupakan pencitraan dari
satu hakikat zat yang satu yaitu allah ibn arabi mengungkapkan pemikiran nya tersebut dalam bait-bait
berikut :

“Sebelumnya aku mengingkari sahabatku

Jika ia tidak beragama sama dengan agamaku

Namun akhirnya hatiku menghadap pada keseluruhan bentuk

Pemandangan bagi para pecumbu,gereja bagi para rahib

Rumah berhala,ka’bah di thaif

Lembaran-lembarn taurat dan mushaf al-qur’an

Aku beragamakan agama cinta

Cinta adalah agama keimananku”

Ia juga berkata :
“Manusia berkeyakinan tentang tuhan dalam satu akidah

Sedangkan aku meyakini segala sesuatu yang diyakini oleh mereka”

Menurut ibn arabi pada manusia terhimpun rupa tuhan dan rupa alam semesta manusia adalah
perwujudan dzat yang suci dengan segala sifat dan asma-NYA. Ia adalah sebuah cermin dimana tuhan
menampakan dirinya oleh karena itu manusia adalah penyebab terakhir dari dalam penciptaan.

Masalah insan kamil dalam pandangan ibnu arabi tidak dapat dilepaskan kaitanya dengan nur muhamad
seperti ditegaskan ketahuilah yang dimaksud insane kamil hanyalah nur muhamad yaitu roh ilahi yang
ditiupkan kepada nabi adam ia adalah esensi kehidupan awal manusia, sementara nabi muhamad adalah
insane kamil yang paling sempurna. Selanjutnya yang dimaksud dengan insane kamil disini adalah al-
haqiqah al-muhamadiyah itu seorang dapat mencapai derajat insan al kamil. Menurut ibnu arabi untuk
mencapai derajat itu harus melalui jalan sebagai berikut :

Fana, itu sirna di dalam wujud tuhan hingga kaum sufi menjadi denganNYA

Baqa, yaitu kelanjutan wujud bersama tuhan sehingga dalam pandangannya, wujud tuhan ada pada
kesegalaan ini

Semua ini, menurut ibnu arabi merupakan upaya pencapaian ke tingkat insane kamil yang hanya
dapat diperoleh melalui pengembangan daya intuisi atau dzauq

abdul karim Al-jilli

Biografi singkat abdul karim al-jilli


Nama lengkapnya adalah abdul karim bin ibrahiim al-ijili ia lahir pada tahun 1365 Masehi di jilan (gilan)
sebuah provinsisebelah selatan kasfia dan wafat pada tahun 1417.nama al-ijili di ambil dari tempat
kelahiranya, gilan. Ia merupakan tokoh sufi terkenal di bagdhad. Riwayat hidupnya tidak banyak
diketahui oleh sejarawan tetapi ada sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan
ke india paada tahun 1387. Ia kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan abdul qadir al-jailani,
pendiri dan pemimpin tarekat qadariyah yang sangat terkenal disamping itu ia juga berguru pada syaikh
syarafudin ismail bin Ibrahim al-jabarti di zabid (yaman) pada tahun 1393-1403.

Kitab al-ajilli yang paling terkenal yang menggambarkan ajaran tasawufnya khususnya konsep al-insan
al-kamil,berjudul al-insan al-kamil fi ma’rifah al-awakhir wa al-awail, kitab al-insan al-kamil unu
menurutnya tuliskan berdasarkan intruksi dari allah swt yang didapatnya dari ilham dan seluruhnya
sejalan dengan makna yang hakiki yang di isyaratkan al-qur’an dan al-sunnah. Dia menolak segala
pengetahuan yang tidak punya kaitan nya dengan kedua sumber ajaran islam tersebut.

Ajaran tasawuf abdul karim al-jilli

Ajaran tasawuf abdul karim al-jilli yang terpenting adalah paham insane kamil. Yang menurut nya adalah
nuskhah atau copy tuhan. Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup,pandai dan mampu berkehendak dan
mendengar. Manusia(adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses selanjutnya adalah setelah tuhan
menciptakan subtansi, huwiyah tuhan dihadapkan dengan huwiyah adam, aniyah-NYA di sandingkan
dengan aniyah adam,Dzat-Nya dihadapkan dengan Dzat adam. Dan akhirnya adam bertemu dengantuhan
dengan segala hakikatnya. Melalui konsep ini dapat dipahami bahwa adam dilihat dari sisi penciptaanya
merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kemampuanya. Sebab dirinya terdapat sifat dan
nama ilahiah.[7]

Al-jili berpendapat bahwa nama dan sifat ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai
kemestian yang inheren dengan esensi nya hal itu karena sifat dan nama tersebut memiliki tempat
berwujud hanya pada insane kamil. Lebih lanjut al-jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan
tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali dengan cermin
tersebut demikian dengan insan kamil ia tidak dapat melihat dirinya kecuali denga cermin nama tuhan
sebagaimana tuhan tidak dapat melihat diri-NYA melalui insan kamil.
Menurut al-jilli insan kamil merupakan proses tempat beredarnya segala yang wujud dari awal sampai
akhir. Ia adalah satu sejak wujud dan untuk selamanya ia dapat muncul dan menampakan dirinya dalam
berbagai macam, ia diberikan nama yang tidak diberikan kepada orang. Nama aslinya adalah muhamad
nama kehormatanya abdul al-qasim dan gelarnya adalah syamsudin

Dari uraian diatas, al-jilli menunjukan penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepada nabi
muahamad saw sebagai insan kamil yang sempurna. Adapun pendapatnya mengenai insan al-kamil al-jilli
, al-jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi dalam istilahnya maqam itu di
sebut martabah. Martabah-martabah sebagai berikut

islam. Islam didasarkan pada 5 rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual
tetapi harus dipahami secara lebih dalam

iman. Artinya membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar
iman

shalah. Pada maqam ini kaum sufi mencapai tingkatan ibadah yang gterus menerus kepada allah dengan
perasaan khauf.

ihsan. Pada maqam ini menunjukan bahwa kaum sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama
sifat dari tuhan

syahadah pada maqam ini kaum sufi telah mencapai iradat yang bercirikan mahabah dengan tuhan tanpa
pamrih

shiddqiyyah istlah ini menggambarkan tingkat hakikat ma’rifat yang diperoleh secara tahap dari ilm al-
yaqin

qurbah. Ini merupakan maqam yang memungkinkan kaum sufi dapat menampakan diri dalam sifat dan
nama allah

Semua yang maujud,menurut al-ajilli diciptakan untuk menyembah allah swt, dan secara hakiki taat
kepada-NYA kendati dalam konteks yang berbeda, ada ibadah yang mengaktualisasikan dengan asma
allah sebagai al-mudillu dan al-hadi sekaligus konsekuensinya di akhirat dengan al-mu’minun dab al-
mutaqim yang dalam ajaran tasawuf al-jili merupakan sarana allah swt untuk bertajallin

Ibadah mayoritas muslim, menurut nya merupakan manifestasi dimensi al-rabb yang memandang
kewajiban bagi al-mahrbub,berbeda dengan al-arifin yang beribadah dengan dimensi al-rahman dan al-
muhaqiqin dalam dimensi allah swt,yang beribadah untuk mengaggungkan allah dalam asma dan sifat-
NYA.[8]
3. ibnu sabi’in

Biografi ibnu sab’in

[9]Nama lengkapnya adalah abdul haqq bin Ibrahim muhamad bin nashr ia termasuk kelompok sufi yang
juga merupakan filusuf Andalusia ia sangatlah terkenal di benua eropa karena atas tanggapanya pada raja
freederik II penguasa silica. Ibnu sabi’iin di gelari “quthb ad-din” dan kadang dikenal pula dengan abu
muhamad. Ibnu sabi’in lahir pada tahun 614 H(1217-1218 M) dikawasan Murcia spanyol.

Ibnu sabi’in memiliki asal-usul dari kalangan arab ia mempelajari bahasa dan sastra arab pada kelompok
dan gurunya ia mempelajari ilmu agama dan mahzab maliki,ilmu logika,dan filsafat. Diantara guru-
gurunya adalah ibnu daihaq yang dikenal denganibnu mir’ahpensyarah karya aljuwani

Ibnu sabi’in meninggalkan karya sebanyak 41 judul yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun
praktis,dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar.kebanyakan karyan[10]ya telah hilang sebagai
risalah nya telah disunting oleh Abdurahman badawi dengan judul rasail ibnu sabi’in.

Karya-karya itu menggambarkan bahwa pengetahuan ibnu sabi’in sangat luas dan beragam. Ia juga
mengenal berbagai jenis aliran filsafat yunani,Persia,india,dan hermetisime selain itu ia juga menelaah
karya-karya filusuf dari bagian timur sepert al-faraby,ibnu sina juga filusuf barat islam lainya seperti ibnu
bajjah,ibnu thufail dan ibnu rusyd

Ajaran tasawuf ibnu sabi’in

Ia adalah penggagas sebuah paham dalam tasawuf yaitu yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak .
gagasan esenialnya sederhana saja yaitu wujud adalah wujud allah semata. Wujud-wujud yang lain
hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu dengan demikian wujud dalam kenyataanya
hanya satu persoalan yang tetap. Kesatuan mutlak menurut terminologi ibn sabi’in sendiri hamper tidak
mungkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri. Dalam hal ini katrena para pengikutnya beranggapan
dengan cara yang berlebihan dalm memutlakanya dan katrena gagasan tersebut menolak semua atribut
tambahan, atau nama dengan begitu pada gagasan ini di kenankan konsepsi manusia

Pendapat ibnu sabiin tentangt kesatuan mutlak metupakan dasar dari pahamnya khususnya tentang para
pencapai kesatuan mutlak atau pengakraban dengan allah. Paham ini mirip dengan paham insan kamil
yang di gagas oleh al-jili. Pencapaian mutlak menurut ibnu sabi’iin merupakan pencapaian individu yang
sempurna baik dimiliki oleh seorang filusuf,ahli fiqih,teolog maupun sufi. Ibnu sabi’in juga
mengembangkan pahamnya tentang kesatuan mutlak ke berbagai bidang filosofis menurutnya jiwa dan
akal budi tidak memiliki wujud sendiri tetapi wujud keduanya berasal dari yang satu dan yang satu
tersebut justru tidak terbilang jelasnya keduanya tidak keluar dari wujud satu.

Yang menjadi perhatian utama pada ibnu sabi’iin adalah bahwa pada latihan-latihan rohaniah praktis,
yang dapat mengantar pada moral luhur tunduk dibawah konsepsinya tentang wujud misalnhya dzikir
pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak ada wujud selain allah” sebagai ganti tidak ada tuhan
selain allah. Si pendzikir dalam dzikir ini adalah yang berzikir sementara itu tingkatan dan keadaan yang
merupakan buah dari dzikir juga tidak keluar dari ruang lingkup kesatuan mutlak tersebut, begitu pula
dengan menyendiri,berpuasa,berdoa dan mendengar semua itu mengangtar salik kesuatu keadaan sirna
dan merealisasikan kesatuan mutlak[11]

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Tasawuf Falsafi” sehingga dapat terbit sesuai waktu yang diharapkan. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SWT. Para sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir
zaman.

Penulisan makalah ini merupakan upaya untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akhlak
Tasawuf dan semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga dapat memperbaiki isi makalah ini. Disamping itu kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini
berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.

Penulisan makalah ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu pembaca untuk
memberikan saran dan komentar yang kontruktif sebagai perbaikan dan penyempurnaan untuk masa-masa
yang akan datang dan menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Pamekasan, 27 November 2017

Penulis,

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................

KATA PENGANTAR ....................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................................

B. Rumusan Masalah .........................................................................

C. Tujuan Masalah .............................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Falsafi ..........................................................

B. Ciri-ciri Tasawuf Falsafi ...............................................................

C. Para Tokoh Taswuf Falsafi .......................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................

B. Saran ..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


i

ii

iii

15

15

16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia mempunyai konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan
rasio (filsafat) hingga menuju ketempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal tuhan saja
(ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari kesatuan wujud (wihdatul wujud). Tasawuf juga bisa
dikatakan sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju kedatangan
dengan Allah.
Tasawuf falsafi ini sangat penting dibahas karena dengan adanya pembahasan ini kita dapat mengetahui
apa tasawuf falsafi, tokoh-tokohnya serta ciri umum yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf falsafi.

Tasawuf falsafi memiliki empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yakni latihan
rohaniah, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, peristiwa dalam alam yang berpengaruh
terhadap berbagai bentuk keramatan atau keluarbiasaan, dan menciptakan ungkapan-ungkapan. Oleh
karena itu makalah ini lebih menginformasikan tentang ajaran tasawuf falsafi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari tasawuf falsafi ?

2. Bagaimana ciri-ciri tasawuf falsafi ?

3. Siapa saja tokoh dalam ajaran tasawuf falsafi ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf falsafi

2. Untuk mengetahui ciri-ciri tasawuf falsafi

3. Untuk mengetahui siapa saja tokoh dalam tasawuf falsafi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (makrifat) dengan pendekatan
rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja
(ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga
dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.[1]

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah.
Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang filosof. Menurut At-Taftazani, tasawuf
falsafi tidak dapat di kategorikan sebagai tasawuf dalam arti yang sesungguhnya, karena teori-teorinya
selalu ditemukan dalam term-term filsafat yang lebih berorientasi pada pantheisme. Juga tidak dapat
dikatakan sebagai filsafat dalam arti yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa.[2]

Tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan rasional.
Terminologi falsafi yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi
para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Walaupun demikian, tasawuf falsafi
tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada ras (dzauq). Selain
itu, tasawuf ini tidak pula dapat dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan
dengan bahasa filsafat.

Tasawuf falsafi ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad VI Hijriyah, meskipun
para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Pada abad ini tasawuf falsafi terus hidup dan berkembang,
terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf sampai masa menjelang akhir-akhir ini.

Pemaduan antara tasawuf dan filsafat dengan sedirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf falsafi
bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat diluar islam, seperti Yunani, Persia, India, dan negeri nasrani.
Namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Para tokoh berusaha menjaga kemandirian ajarannya,
meskipun ekspansi islam meluas pada waktu itu sehingga membuat mereka memiliki latar belakang
kebudayaan dan pengetahuan yang beragam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjawab petanyaan
mengapa para tokoh tasawuf falsafi begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari
luar islam ke dalam tasawuf mereka serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf yang mereka anut.[3]

B. Ciri-Ciri Tasawuf Falsafi

Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya
dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat
dipandang sebagai filsafat karena ajarannya dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak
dapat pula di kategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering di
ungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[4]

Sebagai sebuah tasawuf yang bercampur dengan pemahaman filsafat, tasawuf falsafi memiliki
karakteristik tesendiri yang berbeda dengan tasawuf sunni. Adapun karakteristik tasawuf falsafi secara
umum mengandung kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat
dipahami oleh masyarakat yang memahaminya. Selanjutnya, tasawuf falsafi tidak dapat dipandang
sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) dan tidak pula dapat
dikategorikan sebagai tasawuf, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa dan terminologi
filsafat, serta cenderung kepada panteisme.

Berkembangnya tasawuf sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju
kedatangan dengan Allah SWT, menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi
dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filsuf yang sufis. Tasawuf
mereka disebut tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran
filsafat yang paling banyak dipergunakan adalah emanasi neo-platonisme dalam semua variasinya.
Dikatan falsafi, sebab konteksnya sudah memasuki wilayah pantologi (ilmu kaun), yaitu hubungan Allah
SWT dengan alam semesta. Dengan demikian wajarlah jika jenis tasawuf ini berbicara masalah emanasi
(faidh), ingkar nasionisme (hulul), persatuan roh tuhan dengan roh manusia (ittihad), dan keesaan
(wahdah).

Berdasarkan karakteristik umum itu tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan
tasawuf sunni. Menurut Ibnu Khaldun, dalam karyanya muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat
objek utama yang menjadi perhatian para sufi falsafi, antara lain sebagai berikut.

Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, dan introspeksi diri. Mengenai latihan rohaniah, baik
dengan tahapan (maqam), keadaan (hal), dan rasa (dzauq). Para sufi falsafi cenderung sependapat dgan
para sufi sunni sebab, masalah tersebut, menurut ilmu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat
ditolak oleh siapapun.

Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, seperti sang pencipta, sifat-sifat-Nya,
arsyi, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, dan hakikat realitas. Mengenai ilmu nasi ini, para sufi falsafi
melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat dan menggairahlan roh dengan jalan
menggiatkan dzikir. Menurut mereka dzikir membuat jiwa dapat memahami hakikat realitas.

Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan

Keempat, penciptaan ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyyat). Hal ini
memunculkan reaksi masyarakat yang beragam, baik mengingkari, menyetujui, maupun
menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.

Tasawuf falsafi juga memiliki karakteristik khusus yang membedakan dengan tasawuf lainnya,
diantaranya sebagai berikut.

Pertama, tasawuf falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman ajarannya dengan menggabungkan antara
pemkiran rasional filosofis dan perasaan (dzauq). Kendatipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering
mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyyah, tetapi dengan interpretasi dan
ungkapan yang samar-samar serta sulit dipahami oleh orang lain. Kalaupun dapat diinterpretasikan oleh
orang lain, interprertasi itu cenderung kurang tepat dan lebih bersifat subjektif.

Kedua, seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf falsafi didasarkan pada latihan-latihan rohaniah
(riyadhah), yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral dan mecapai kebahagiaan.

Ketiga, tasawuf falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui beberapa hakikat realitas,
yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana.

Keempat, para penganut tasawuf filsafi ini selalu menyamarkan ungkapan ungkapan tentang hakikat
realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.[5]

C. Para Tokoh Tasawuf Falsafi

Para tokoh Tasawuf Falsafi dalam dunia islam cukup banyak yang berpengaruh dimasyarakat, antara lain
Ibn `Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn Masarrah.[6]
1. Ibn ‘Arabi

a. Biografi Singkat Ibn `Arabi

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad ‘Abdullah ath-Thai Al-Haitami. Ia lahir di
Murcia, Andalusi Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.
Pada tahun 1201 M/598 H Ibnu Arabi meninggalkan Spanyol Karena situasi politik pada masa itu tidak
menguntungkan baginya serta tasawuf yang di anutnya tidak di sukai di kawasan itu. Barang kali dengan
tujuan utama untuk ibadah haji, ia berangkat menuju kawasan timur. Mesir adalah negeri pertama yang ia
singgahi untuk beberapa lama, tetapi ternyata di daerah itu aliran tasawufnya tidak diterima masyarakat.
Oleh karna itu, ia melanjutkan pengembaraannya melalui Jerussalem dan menetap di Makkah untuk
beberapa lama.

Di kawasan Saudi ternyata ia di terima penguasa dan masyarakat yang baik. Akan tetapi, ia tidak menetap
di kota suci itu, Karena ternyata pengembaraan itu berakhir di Damaskus sebagai tempat menetapnya
sampai ia meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan di kaki gunung Qosiyun. Ia mempunyai dua
orang putra yang seorang terkenal sebagai penyair sufi, namanya Sa’duddin dan yang satu lagi
Imaduddin, keduanya di makamkan berdekatan dengan Ibnu Arabi. Ibnu Arabi adalah penulis yang
produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan tangannya
tersimpan di Perpustakaan di Negara Mesir. Tetapi menurut Sya’roni , Ibnu Arabi menulis buku sekitar
400 judul buku saja termasuk Fusus dan Futuhat. Produktifitasnya dalam menulis terutama ia bermukim
di Makkah dan Damaskus atau sekitar 20 tahun terakhir masa hidupnya.[7]

b. Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi

- Wahdat Al-Wujud

Ajaran sentral Ibn `Arabi adalah tentang Wahdat Al-Wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian,
istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia,
tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajran sentral
tersebut. Setidaknya Ibnu Taimiyah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke
tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun semua orang sepakat menggunakan
istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn `Arabi, mereka berbeda pendapat dalam
memformulasikan pengertian Wahdat Al-wujud. Menurut Ibnu Taimiyah, Wahdat Al-wujud adalah
penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berpaham ini mengatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq juga adalah mumkin al-wujud
yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa
wujud alam sama dengan wujud Tuhan , tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.

Menurut Ibn `Arabi wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah
wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun
kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khaliq dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang
pancaindera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada
dzat-nya dari kesatuan dzariyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.[8]
2. Al-Jilli

a. Biografi Singkat Al-Jilli

Nama lengkapnya adalah Abd .Karim bin Ibrahim al-Jili. Beliau dilahirkan di al-Jili bagian selatan laut
Kaspia yang terletak di Asia Tengah pada Tahun 767 H bertepatan dengan tahun 1365 M dan wafat pada
tahun 805 H/1405 M. Nicolson menilainya bahwa al-Jili terkait dengan Abd. Karim al-Jili atau Gilani
(masyarakat kita, tokoh ini lebih dikenal dengan nama Abd.Qadir Jaelani), seorang pendiri Tarekat
Qadariyah yang wafat pada tahun 300 sebelum kelahiran Abd. Karim al-Jili.

Al-Jili belajar agama di daerahnya setelah merasakan cukup baginya tentang pengetahuan agama. Beliau
mengembara untuk mencari ilmudi daerah lain. Di Zahid salah satu negeri di Yaman Selatan ,ia berguru
kepada Syarifuddin bin Ismail bin Ibrahim al-Jabari. Dengan berbasis ilmu dan pengalaman yang sangat
luas, beliau menekuni dunia tasawuf. Agaknya corak tasawuf yang di kembangkan banyak memiliki
kesamaan dengan Ibn Arabi, karena ia dianggap sebagai pelanjut ajaran tasawuf Ibn Arabi terutama
tentang konsep Nur Muhammad. Al- Jili sebagai seorang yang kreatif dan produktif dalam
mengembangkan ilmunya, beliau banyak mempunyai karya-karya, baik dalam bentuk buku maupun
dalam bentuk makalah. Adapun bukunya yang terkenal dengan judul al-Insan al- Kamil fi Ma’Rifat al-
Awakhir wa al- Awail[9].

b. Ajaran Tasawuf Al-Jili Insan Kamil

Ajaran Tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jili,
Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan. Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti
hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-
sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan substansi. Huwiyah
Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam dan akhirnya
Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa
Adam dilihat dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-
Jili berpendapat, bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil
sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak
memilki tempat berwujud melainkan kepada insan kami.

Lebih lanjut Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil adalah
bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu.
Begitu pula halnya dengan insan kamil sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui
cermin Insan Kamil. Al-Jili berkata bahwa duplikasi Al-Kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia,
bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang
bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Karnal dalam konsep Al-Jili
mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-qawah) dan mungkin pula secara aktual (bi Al-
fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam identitas yang berbeda.
Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW. Sehingga manusia
lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila di bandingkan dengan Muhammad SAW. Bagaikan Al-Kamil
(yang sempurna) dengan Al-Kamal (yang paling sempurna) atau Al-Fadhil (yang utama) dengan Al-
Afdal (yang paling utama).[10]

- Maqamat (al- Martabah)

Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqamat yang harus dilalui seorang sufi,
yang menurut istilahnya ia di sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:

Pertama, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya
dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.

Kedua, iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-
dasar islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap Tabir alam gaib, dan alat yang membantu
seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.

Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus
kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah
illahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan mentaati syariat Tuhan
dengan baik.

Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat
menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada
di hadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat,
inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.

Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah
kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang
menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi ke dalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada
Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikanTuhan pada semua
makhluk-Nya secara ‘Ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.[11]

Keenam, shiddiqiyah, istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang
diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yaqin. Menurut Al-Jili seorang
sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan meyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-
rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat dari-Nya.

Ketujuh, qurbah, Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri
dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu hal
yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui dzat yang Maha Tinggi itu secara kasyaf ilahi,
yaitu kamu di hadapan-Nya dan dia di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad, sebab hamba adalah hamba dan
Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya. Dengan
pernyataan ini, kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia
tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya[12]

3. Ibnu Sab’in
a. Biografi singkat Ibn Sab’in

Nama lengkapnya adalah Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr. Ia termasuk kelompok sufi
yang juga filsuf dari Andalusia. Ia terkenal di Eropa karena tanggapannya atas pernyataan Raja Frederik
2, penguasa Sicilia. Ibn Sab’in digelari “Quthb Ad-Din” dan terkadang dikenal pula dengan Abu
Muhammad. Ibn Sab’in lahir pada tahun 614 H(1217-1218 M) dikawasan Murcia, Spanyol.

Ibn Sab’in mempunyai asal usul dari kalangan Arab. Ia mempelajari bahasa dan sastra Arab pada
kelompok gurunya. Ia mempelajari ilmu agama dari Mazhab Maliki, Ilmu logika, dan filsafat. Di antara
guru-gurunya adalah Ibnu Dihaq, yang dikenal dengan Ibnu Al-Mir’ah( w.611 H), pensyarah larya Al
Juwaini.

Ibnu Sab’in meninggalkan karya sebanyak 41 judul, yang menguraikan tasawufnya secara teoretis
maupun praktis, dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan karyanya telah hilang,
sebagian risalahnya telah disunting Abdurrahman Badawi dengan judul Rasa’il Ibnu Sab’in (1965 M).

Karya-karya itu menggambarkan bahwa pengetahuan Ibnu Sab’in cukup luas dan beragam. Ia mengenal
berbagai aliran filsafat Yunani, Persia, India, dan Hermetisisme. Disamping itu, ia banyak menelaah
karya-karya filsuf islam bagian timur, seperti Al- Farabi dan Ibnu Sina, dan filsuf islam bagian barat,
seperti Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyid. Terlebih lagi, ia begitu menguasai kandungan risalah
risalah Ikhwan Ash-Shafa dan secara terperinci mengetahui aliran-aliran teologi, khususmya aliran
Asy’ariyyah. Pengetahuannya tentang aliran tasawuf begitu mendalam. Ini semua tampak jelas dari
kritiknya terhadap para filsuf, teolog dan sufi sebelumnya. Di samping itu, dia begitu menguasai aliran-
aliran fiqh, karena ia juga seorang fakih.[13]

b. Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in

Ibn Sab’in adalah seorang penggagas sebuah paham dalam kalangan tasawuf Falsafi, yang dikenal dengan
paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, wujud adalah wujud Allah semata.
Wujud-wujud yang lain hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud Yang Satu. Dengan demikian,
wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap. Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham
kesatuan mutlak, karena berbeda dari paham tasawuf yang memberi ruang lingkup yang pendapat-
pendapat tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk. Kesatuan mutlak menurut terminologi Ibnu
sab’n sendiri, hampir tidak mungkin mendreskipsikan kesatuan itu sendiri. Dalam hal ini karena para
pengikutnya terlalu berlebihan dalam memutlakkannya dan karena gagsan tersebut menolak semua atribut
tambahan, atau nama. Dengan begitu, pada gagasan ini dikenakan konsepsi-konsepsi manusia.

Dalam paham ini, Ibnu Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Wujud Allah, menurutnya,
adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kni, dan masa depan. Sementara itu, wujud materi yang
tampak justru ditujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, paham ini menafsirkan
wujud bercorak spiritual dan bukan material. Ibnu Sab’in terkadang menyerupakan wujud dengan
lingkungan. Porosnya adalah wujud yang mutlak (luas), sementara wujud yang nisbi (sempit) berada
didalam lingkaran. Sebenarnya antara kedua wujud tersbut tidak ada perbedaan sebab keduanya pada
hakikatnya adalah satu. Karena itu, yang mutlak dilihat didalam yang nisbi serta kesatuan diantara
keduanya adalah mutlak. Ada kalanya ia menggambarkan wujud Allah yang wajib dengan wujud yang
mungkin dalam kedudukan sebagaimana materi dengan bentuk. Menurutnya, wujud hanyalah satu, tidak
ada dua, apalagi banyak.[14]

4. Ibn Masarrah

a. Biografi singkat Ibn Masarrah

Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdullah Bin Masarrah (269-319 H). Ia merupakan salah
seorang sufi sekaligus filsuf dari Andalusia, Spanyol. Ia juga memberikan pengaruh yang besar terhadap
mazhab Al-Mariyyah. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Masarrah memiliki kecenderungan besar
terhadap filsafat. Sementara itu Mushthafa Abdul Raziq, Ibnu Masarrah termasuk sufi aliran ittihadiyyah.

Bersamaan dengan masa Ibn Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf falsafi. Ia lebih banyak disebut
sebut sebagai filsuf dibandingkan sufi. Namun, pandangan-padangan filfusi tertutupi oleh kezahidannya.
Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran mu’tazillah, tetapi ia berpaling pada
mazhab Neo-platonisme. Oleh karena itu, ia dianggap mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani
kuno. Walaupun demikian, Ibn Masarrah tergolong seorang sufi yang memadukan paham sufistiknya
dengan pendekatan filosofis.

b. Ajaran tasawuf Ibn Masarrah

Diantara ajaran ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut :

1) Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, dzuhud, dan mahabbah yang merupakan asal
dari semua kejadian.

2) Dengan penakwilan ala Philun atau aliran isma’iliyyah terhadap ayat ayat al-qur’an, iya menolak
adanya kebangkitan jasmani.

3) Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.[15]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf falsafi adalah ajaran yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasional (filsafat)
hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal tuhan saaja (ma’rifatullah) melainkan
yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdat al-wujud (kesatuan wujud).

Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya
dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Sedangkan ciri khusus tasawuf
falsafi yaitu mengonsepsikan pemahaman ajarannya dengan menggabungkan antara pemkiran rasional
filosofis dan perasaan (dzauq), falsafi didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah), falsafi
memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui beberapa hakikat realitas, dan tasawuf filsafi
selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas dengan berbagai simbol atau
terminologi.

Para tokoh Tasawuf Falsafi dalam dunia islam cukup banyak yang berpengaruh dimasyarakat, antara lain
Ibn `Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn Masarrah.

http://pbsbstainpamekasan.blogspot.com/2017/11/makalah-tasawuf-falsafi.html

Anda mungkin juga menyukai