Di tengah perkembangan kemajuan dunia dengan tingkat peradaban manusia yang semakin
pesat, keberadaan syari’at Islam di tengah umatnya – dalam tataran konsep maupun praktik –
sedikit demi sedikit telah tergeser dan tergantikan oleh paradigma pragmatis manusia dalam
memenuhi kebutuhannya. Di satu sisi terdapat sekelompok umat Islam yang secara gigih
mengupayakan pemberlakuan syari’at Islam secara utuh. Sikap idealis mereka cenderung
menjurus ke arah penentangan hegemoni budaya barat secara frontal, bahkan tak jarang
dibarengi dengan aksi-aksi fisik yang kerap dicap sebagai teror. Tindakan ini, jelas tidak
simpatik, bahkan dalam pandangan mayoritas orang Islam sekalipun. Bagaimanapun, upaya
pemahaman dan penegakan syari’at Islam adalah sebuah keharusan. Dan tentunya, dalam
mensosialisasikannya, haruslah secara arif. Kendati mengharuskan umatnya untuk tunduk pada
segala aturannya, namun melalui tata aturan syari’at, Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan tertentu serta hikmah di balik pemberlakuan hukum-hukumnya. Dalam terminologi
syari’at, cita-cita, dan tujuan serta hikmah tersebut dikenal dengan istilah maqashid al syariah.
Melalui pendekatan semacam inilah, pemahaman syari’at Islam lebih menemukan ruh dan
substansinya.
Maqashid al Syariah memiliki sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’
dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau
rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan
Rasul-Nya. Pengetahuan terhadap Maqashid al Syariah ini, selamanya merupakan kebutuhan
bagi semua kalangan. Bagi mujtahid, maqashid al syariah tentu saja dibutuhkan dalam
memahami teks-teks syari’at, dalam melakukan istimbat, tarjih, atau qiyas. Bagi kalangan awam,
pengetahuan terhadap maqashid syariah tak kalah pentingnya. Karena, dengan memahami
hikmah di balik pensyari’atan hukum, seseorang akan lebih mantap dalham menerima dan
melaksanakan tata aturan syari’at tersebut. Banyak sekali nash Al-Qur’an maupun sunnah yang
menegaskan bahwa Allah menciptakan alam dan segala instrumen kelengkapannya – termasuk
tata aturan syari’at – tidak secara sia-sia, namun dengan tujuan dan sasaran tertentu. Allah swt.
berfirman:
Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”[1]
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa maqashid berasal dari gabungan (idhafah) kata majemuk antara :
لغة المقاصد: جمع،ٍصد َ والم ْقصد َم ْق: قصد " يقال الفعل من مأخوذ ميمي مصدر: َصد ِ صد ي ْق
َ َصد ق َ َوم ْق, صد ا
ْ صد ا ق ْ فالق
ْ المعنى اللغة في يأتي والق, األول لمعان: ، االعتماد، وإتيان واأل َ ُّم،[والتو ّجه الشيء2] .
َ واحد بمعنى والم ْق. صد
صد
- Maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il
qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu
artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah: ali’timad: berpegah teguh, al amma: condong,
mendatangi sesuatu dan menuju.
(اربة الماء
ِ شَّ [) َم ْو ِرد ال3]
Secara istilah terdapat beberapa pengertian yang disebutkan oleh para ulama dalam literature
mereka diantaranya adalah:
Berpendapat syariat itu semuanya mengandung nilai maslahah yang bertujuan menolak kejahatan
atau menarik kebaikan [5]
3. Al Khadimi
Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.[6]
4. Ibnu Asyur
Beliau berpendapat bahwa maqashid adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada hukum-
hukum yang disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, menurut beliau maqashid
terbagi menjadi dua yaitu; maqashid umum dan maqashid khusus.maqashid umum dapat dilihat
dari hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum, sedangkan maqashid khusus
cara yanag dilakukan oleh syariah untuk merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan
seseorang.[7]
6. As Syatibi
Beliau tidak mengemukakan definisisecara spesifik tentang maqashid syariah disebabkan karena
masyarakat umum sudah memahaminya baik langsung maupun tidak langsung. [9]
menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh
syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at,
atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah
dan Rasul-Nya. [10]
Definisi terakhir inilah yang menurut pemakalah lebih dekat kepada yang diharapkan, karena
mendekati pengertian yang jami’mani’
2. Urgensi Maqashid al Syari’ah
Maqashid syariah memiliki peranan yang penting dalam proses terjadinya hukum, oleh karena
itulah Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az Zuhaili, menyebutkan dalam kitabnya maqashid
syariah, ada beberapa faidah maqashid al syariah yang bisa dipetik diantaranya:
c. Membatasi makna lafadz yang dimaksud ( madlul al alfadz ) secara benar, karena nash-
nash yang berkaitan dengan hukum sangat variatif baik lafadz maupun maknanya. Maqashid al
syari’ah berperan dalam membatasi makna yang dimaksud.
d. Kembali ke maqashid al syari’ah ketika tidak terdapat dalil yang pasti dalam Al qur’an dan
sunnah pada masalah-masalah yang baru ( kontemporer ), sehingga para mujtahid merujuk ke
maqashid al syari’ah dalam istimbath hukum setelah mengkombinasikan dengan qiyas, ijtihan,
istihsan, istislah dll.
e. Maqashid al syari’ah membantu mujtahid untuk mentarjih sebuah hukum yang terkait
dengan ( perbuatan manusia) af’al mukallafin sehingga menghasilkan hukum yang sesuai dengan
kondisi masyarakat.[11]
a. Al-Hikmah ( )الحكمة
Ibn Rusyd menyifatkan maqasid sebagai hikmah dari pensyariatan hukum. Al-hikmah memiliki
arti yang sama dengan maqasid. Istilah al-hikmah lebih kerap digunakan oleh fuqaha.Contohnya
Ibn Farhun berkata:"Dan adapun hikmah qadha ialah mengurangi kekacauan, menolak bala
bencana, mencegah orang zalim, membantu yang dizalimi, memutuskan pertikaian, menyuruh
yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran".[12]
Sifat yang ada pada sesuatu hukum itu seolah-olah menggambarkan maqasid syara.Ini
menjadikan al-'illat dan maqasid membawa pengertian yang sama. Atau dengan kata lain,
maqasid sesuatu hukum dapat difahami daripada kefahaman terhadap 'illatnya.Istilah ini lebih
banyak digunakan di dalam bidang tafsir ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum
syara' [14]
c. Al-ma'na ( )المعنى
Dari segi penggunaannya, istilah al-ma'na adalah sinonim kepada maqasid kecuali al-ma'na lebih
popular digunakan oleh fuqaha terdahulu seperti al-Syatibi, al- Ghazali dan al-Tabari.
Ibnu Asyûr berpendapat bahwa sesuatu bisa dinyatakan secara spesifik sebagai tujuan dari
syari’at melalui tiga cara penetapan yaitu:[15]
Pertama, penelusuran (istiqra’) terhadap hukum-hukum syari’at yang telah diketahui ‘illat-nya
secara tekstual, atau melalui penggalian ‘illat melalui penalaran.
Kedua, dalil-dalil Al-Qur’an yang lugas sisi penunjukan tekstualnya dan secara tegas
menentukan tujuan tertentu di balik pensyari’atan sebuah kasus hukum. Ketiga, sunnah
mutawatirah.
Menurut Asy-Syathibi, ada tiga bentuk pemikiran mengenai bagaimana cara mengetahui tujuan
dari syari’at (maqashid syari’ah)
Pertama, bahwa maqashid syari’ah tidak bisa diketahui kecuali dukungan nash sharih yang
menjelaskannya. Kesimpulan akhir dari pemikiran ini hanyalah mengarahkan nash atas sisi
dhahir-nya saja. Ini adalah metode Madzhab Dhahiriyah yang hanya memandang makna dhahir
dari nash untuk menentukan maqashid syari’ah.
Kedua: klaim bahwa maqashid syari’ah bukanlah apa yang tersurat atau tersirat dalam nash,
namun hal lain di balik itu. Ini diberlakukan pada seluruh hukum syari’at, hingga tak tersisa
sedikitpun sisi dhahir dari nash yang dapat dijadikan pegangan. Klaim ini hakikatnya adalah
pembatalan syari’at, sebagaimana yang dikemukakan kalangan madzhab Bathiniyyah.
Ketiga, maqashid syari’ah bisa diketahui melalui dua pendekatan di atas secara moderat dan
sinergis, yakni dengan berpedoman pada sisi dhahir tanpa mengesampingkan makna atau
hikmah tersembunyi di balik itu, atau sebaliknya, dengan menggali makna atau hikmah di balik
pensyari’atan sebuah hukum tanpa bertentangan dengan sisi dhahir nash. Dan, inilah yang
dijadikan pijakan oleh manyoritas ulama’.
Pertama, cukup mengetahui dalil perintah atau larangan yang secara jelas, bahwa tujuan yang
dikehendaki adalah kepatuhan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan.
Kedua; dengan memandang ‘illat-’illat dari perintah atau larangan, seperti pensyari’atan nikah
yang bertujuan untuk memelihara keturunan.
Ketiga, bahwa dalam penerapan hukum syari’at, Syari’ memiliki tujuan pokok (maqashid
ashliyyah) dan tujuan pelengkap (maqashid tabi’ah), adakalanya tertera secara eksplisit, tersirat
secara implisit, ataupun didapatkan dari hasil penelusuran (istiqra’) terhadap nash. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa setiap maqashid yang tidak tertera dalam nash namun tidak
bertentangan dengan ketentuan di atas, adalah termasuk dalam maqashid al syariah.[16]
5. Syarat - syarat berhujjah dengan Maqashid al Syari’ah ( ( شروط حجية
مقاصد الشريعة
Selanjutnya, dalam sisi legalitas hujjahnya, maqâshid al-syarî’ah haruslah memenuhi empat
macam kriteria [17]:
Maksudnya bahwa sebuah hikmah dari pensyari’atan hukum bisa direkomendasikan sebagai
tujuan syari’at apabila dapat dipastikan keberadaannya, atau terdapat dzhanni (asumsi) yang
mendekati kepastian.
Dalam artian bahwa para ulama’ tidak mempertentangkan wujud keberadaanya sebagai tujuan
syari’at (‘illat). Seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara garis keturunan,
tujan semacam ini tidak dipungkiri oleh seorangpun ulama’.
Maksudnya bahwa suatu hikmah harus mempunyai standar yang jelas (jami’ mani’), seperti
perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql) yang merupakan tujuan diharamkannya khamr.
Maksudnya suatu hikmah haruslah stabil dan berke-sinambungan, tidak berbeda-beda atau
berubah karena perbedaan atau perubahan dimensi ruang dan waktu. Seperti keislaman dan
kemampuan atas nafkah yang menjadi persyaratan dari kafa’ah dalam nikah. Dengan demikian
setiap hikmah yang telah memenuhi keempat kriteria di atas, bisa dinyatakan sebagai maqashid
syari’ah. Sedangkan hal-hal yang hanya berdasarkan wahm (kemungkinan tanpa dasar) atau
takhayyul (imajinasi) dapat dipastikan bukan merupakan maqashid al-syari’ah.[18]
6. Klasifikasi Maqashid al Syariah
A. Maqasid Syari'
Yaitu maqasid yang diletakkan oleh Allah dalam mensyariatkan hukum. Tujuannya adalah (
jalbil masholih wa daf’il madhorroh) menarik kebaikan dan menolak kejahatan di dunia dan di
akhirat. Menurut as-Syatibi, Maqasid Syari' terbagi empat bagian [20]:
Pada pandangan As-Syatibi, Allah menciptakan syariat dengan tujuan untuk merealisasikan
maqasidnya untuk manusia yaitu untuk memberikan kebaikan (maslahah) kepada mereka dan
menolak keburukan (mafsadah) yang menimpa mereka. Menururtnya segala apa yang
disyariatkan tidak terlepas dari maqasid al syariah. Tujuan syariat dibagi menjadi tiga kategori
yaitu[21] :
Sehingga dalam syariat dikenal dengan al dharuriyaat al khamsah ( lima hal yang sangat penting
) diantaranya adalah :
a. Agama ( ( الدين
b. Jiwa ( ( النفس
c. Akal ( ( العقل
d. Keturunan ( ( النسل
e. Harta ( )المال
Kelima hal diatas merupakan maslahah yang senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan
jalan yang berbeda-beda, sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar
yaitu:
a. Agama ( ( الدين
Syariat mewujudkan agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan
segala konsekwensinya, akidah yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan, hisab dll. Dasar
– dasar ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu syariat juga menjaga agama ini
dengan mensyariatkan dakwah, kewajiban berjihad, amar makruf dan nahi mungkar.[23]
b. Jiwa ( ) النفس
Syariat mewujudkannya dengan menikah, karenanya akan menyehatkan jiwa, memperbanyak
keturunan dan generasi penerus. Disamping itu, syariat mewajibkan menjaga jiwa dengan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia. Begitupula
ketika Allah mensyariatkan qishah yang tujuannya untuk menjaga jiwa manusia.[24]
c. Akal ( )العقل
Merupakan karunia Allah yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya
dengan tidak mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba dan khamar,
d. Keturunan ( ( النسل
e. Harta ( )المال
Syariat membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah syariat, mewajibkan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat menjaga harta dengan mengharamkan
mencuri, menghikangkan harta orang lain dan menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa
bertanggungjawab atas harta tersebut.
Ia merupakan keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan akhirat, tanpanya
kehidupan manusia akan menjadi tidak sempurna dan mengalami kesempitan. Beberapa
kebutuhan yang dibolehkan oleh syariat adalah:
- Syariat membolehkan rukhsah dalah ibadah untuk memudahkan kesulitan yang terjadi
dalam melaksanakan perintah.
- Dalam muamalah, syariat membolehkan jaul beli yang merupakan pengecualian dari
kaodah umum jual beli, seperti salam, ijarah, dan muzaraah.
Kondisi ini merupakan kondisi pelengkap hidup manusia, sehingga manusia merasakan
kenyaman hidup.
Seperti:
- Menutup aurat, mengenakan pakaian yang baik, bersih dan bagus ketika memasuki masjid
dan bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah nafilah, shadaqah, shalat sunnah dll.
- Dalam muamalah, dilarang boros ( israf ), jual beli diatas pembelian orang lain dll.
Yang menjadi asas kepada semua kepentingan tadi adalah kepentingan asas. Sedangkan
kepentingan biasa ( al hajiyat ), sebagai pendukung saja.
Sementara keperluan mewah sebagai pendukung kepada kepentingan biasa. Kedudukan ini perlu
diprioritaskan dalam menentukan hukum.
- Wajib menjaga keperluan biasa dan keperluan mewah bagi tujuan menjaga keperluan
asas.
Maqashid mukallaf hendaklah selaras dengan maqashid syariah itu sendiri. Sehingga bila ada
yang ingin mencapai sesuatu yang lain dari maksud awal pensyariatannya, sesuatu itu dianggap
telah menyalahi syariat.[29]
Yaitu makashid yang diletakkan oleh syariat dalam menentukan semua atau sebagian besar
hukum-hukumnya.
Berdasarkan asas maslahah tersebut diatas, maka para ulama beristimbath sehingga
menghasilkan turunan kaidah – kaidah ushuliyah, diantaranya:[31]
b. الضرر يزال
Contoh: khiyar ( pilihan ) dalam mengembalikan barang ketika jual beli karena ada kekurangan
dalam barang tersebut, jaminan, berobat ketika sakit.
Contoh: mengkonsumsi barang yang haram terbatas pada menyelamatkan jiwa saja, bukan
dijadikan kebutuhan pokok.
Kemudharatan yang sifatnya lebih kecil bisa di kalahkan untuk menghindari kemudharatan yang
lebih besar.
Contoh: Ibnu Taimiyah membiarkan seorang pemabuk untuk minum khamar, karena jika ia tidak
minum khamar maka ia akan membunuh banyak kaum muslimin di sekitar tempat itu.
Contoh: larangan ekspor barang keluar negeri karena kondisi dalam negeri membutuhkan barang
tersebut pada kondisi sulit.
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah meneliti dan menelaah sumber-sumber yang terkait dengan maqashid syariah maka
penulis dapat mengambil kesimpulan diantaranya:
1. Islam mengatur semua sisi kehidupan manusia baik yang berkaitan dengan individu
maupun yang berkaitan dengan masyarakat luas dengan meletakkan dasar hukum dan
pertimbangan-pertimbangan syariat.
5. Maqashid syariah menjaga lima hal utama yaitu: agama, jiwa, harta, keturunan dan
kehormatan.
6. Ulama meletakkan kaidah-kaidah umum yang bertujuan menjaga syariat dan melindungi
hak-hak manusia secara pribadi maupun secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al Qur’an Al Karim
3. Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, Al-Mustashfâ min ’Ilm al-Ushûl,
Beirut, Dâr al-Fikr, tt.
4. Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot,
Penerbit Dar Ibn Qayyim, tahun 2003M/1424H
6. Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt.
8. Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun
1996
9. Ibnu Faris, Mu’jam Maqayiis Al Lughaat, Iitihad al Kitab Al Arabiyyah, tahun 2002
10. Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Mesir, tahun
1301H.
11. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-
Nafâ’is,Tahun 2001
12. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-
Nafâ’is, tahun 2001
15. Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998
http://fauzanabuna.blogspot.co.id/2013/05/maqashid-syariah.html