Anda di halaman 1dari 8

   Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdatartinya sendiri,

tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, Wahdatul wujud memiliki


arti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di
kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-
bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan
sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah,
karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari Allah.
          Paham wahdatul wujud  merubah sifat nasuf yang ada dalam Hulul menjadi Khalaq ( ‫ﻤﺨﻠﻮﻖ‬ :
makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq (‫ﺤﻕ‬ : Tuhan). Keduanya (Khalaq dan Haq) menjadi suatu
aspek, dimana  Khalaq sebagai aspek disebelah luar, dan Haq sebagia aspek sebelum dalam. Kata
Khalaq dan Haq merupakan sinonim dari “Al-‘ard” dan “Al-Jauhar” dan juga dari “Al-Zahir”(lahir,
dalam) dan ”Al-Batin” (batin, dalam).Aspek ‘Ard dan khalaq mempunyai sifat kemakhlukan, dan Al-
Jauhar dan haq mempunyai arti ketuhanan. Sehingga setiap yang berwujud pasti memunyai sifat
kemakhlukan dan sifat ketuhanan.
          Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang
terpenting adalah aspek batin atau Al-Haqq yang merupakan hakikat essensi dan substansi. sedangkan
aspek Al-Khalq, luar danyang tampak merupakan bayangan yang ada karena aspek yang pertama (Al-
Haqq). Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk dan tuhan
sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhanyang, dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu.
Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam Al-hulul,
ingin melihat diriNya diluar diriNya, dan oleh karena itu dijadikannya alam ini. Dengan demikian
alam ini merupakan cermin Allah. Paham ini juga mengatakan seperti bahwa yang ada di alam ini
terlihat banyak, namun pada dasarnya hanya satu. Hal ini sama halnya jika seseorang bercermin
dalam beberapa kaca. Ia melihat dirinya terlihat banyak, namun sebenarnya hanya satu.
DalamFushush Al-Hikam sebagai dijelaskan oleh Al-Qashimi dan dikutip oleh Harun Nasution,
pandangan wahdatul wujud ini terlihat dalam ungkapan hadist:
                                         

       “wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”

          Sebagai pokok persoalan wahdatul wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai wujud


hanyalah satu, yaitu Tuhan. dan wujud dari selain tuhan hanyalah wujud bayangan-Nya. Pemikiran
filasafat demikian berkembang dan membias pada konsep insane kamil atau manusia sempurna. yang
dimaksud manusia sempurna menurut Abdul Karim Al-Jili (w.1428 M) adalah manusia cerminan
Tuhan. Yang dimaksud manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap
sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi aakriteria-kriteria tertentu.

          Tuhan adalah maha suci, Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci. Dan
pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan
diri dengan Tuhan sedekat mungkin, dan jika bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih hidup.
Untuk mencapai macam insane kamil, seseorang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai
seorang hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan seorang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya
dalam kehidupannya. Tentu prinsip ajaran yang berkaitan dengan hidup kerohaniannya akan
senaniasa diukur dengan Al-Quran dan sunah Nabi SAW.
          Dalam dunia yang masyarakatnya berkembang, seringkali menghadapi problema seperti
kesenjangan antara nilai duniawiyah dengan nilai ukhrawiyah. Dalam situasi demikian tasawuf
merupakan solusi pilihan untuk mengatasi masalah ini.
          Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf lebih memilih ajaran
tasawuf yang dapat memadukan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Maka saat-saat
kontemplasi diinterpretasikan bukan sebagai saat untuk mengisolisir diri dari masyarakat, tetapi lebih
untuk merenung, menyusun konsep, dan berinovasi untuk melakukan perubahan sosial dengan acuan
Al-Quran dan hadist.

B.     Tokoh Wahdatul wujud dan Ajarannya

1.      Muhy Al-Din Ibnu Arabi


          Ibnu Arabi lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165. Ibnu Arabi belajar di Seville,
kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran sufi. Negeri
negeri yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq, Turki, dan akhirnya ia menetap di
Damaskus. Disana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M. Diantara karya beliau yang terkenal adalah
buku dlam bidang tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-Makkah” (pengetahuan-pengetahuan yang
dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak 12 jilid. Buku terkenal lain          nya berjudul
“Futuh Al-Hikmah” (Permata-permata hikmat). 
          Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada
puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan
filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bacaan yang agak berbelit-belit
dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagai mana dialami
Al-Hallaj. Baginya, wujud itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain ujud Khaliq. Dalam Futuhat
Al-Makkah, Ibnu Arabi berkata,”Wahai yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi
apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti
adanya pada Engkau Maka engkaulah yang sempit dan lapang.”
          Ringkasannya  tasawuf Ibnu Arabi yang bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia tetapi
semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu dengan Tuhan. Oleh sebab itu ada orang yang
menyebut filsafat Ibnu Arabi ini panteisme, sungguhpun nama itu tidak sesuai dengah Wahdah Al-
wujud
2.      Syekh Siti Jenar
          Juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang.
Adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar agama islam dipulai
Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian
cerita mengenai asal usul Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena
ajarannya yang terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain
menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu
sendiri. Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang di buatnya meskipun demikian,
ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup
sufi yang dinilai bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek sufi beliau dengan Walisongo
terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang ditentukan oleh Walisongo.
Insanul Kamil atau manusia yang sempurna menurut Abdul Karim Al-Jili (wafat 1428 M) adalah
manusia cerminan Tuhan.

Habib Adullah Al-Haddad menjelaskan di dalam Al-Nafaisul Ulwiyah fil Mas`alatissufiyah, Wali


Quthub al-Ghaust adakalanya dikenal dengan nama khalifah, adakalanya pula dikenal dengan nama
insanul kamil.
Insan Kamil berasal dari bahasa arab, yang berarti manusia yang sempurna. Insan Kamil
artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia yang sempurna adalah
sempurna dalam hidupnya.

Insan kamil mengacu kepada makhluk pertama, merupakan hakikat yang menghimpun segala
hakikat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris, ia juga merupakan wadah tajali,
pancaran, atau manifestasi dari segenap nama dan sifat yang memancar dari wujud mutlak (Tuhan).

Umat Islam sepakat bahwa di antara manusia, Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang
telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap peri kehidupan
beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun dalam diri Nabi
SAW, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya.

Pola hidup dan kehidupan Rasulullah SAW yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi
para sahabatnya, baik bagi sahabat yang dekat maupun sahabat yang jauh.

Tuhan adalah Maha Suci, yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan
pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan
diri kepada Tuhan sedekat mungkin, dan kalaunya bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih
berada di dalam hidup ini.

Untuk mencapai Insanul Kamil, seseoarang lebih senang dengan menempuh cara hidup
sebagai seorang sufi. Kehidupan seorang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam
kehidupannya. Tentu prinsip ajran yang berkaitan dengan hidup kerohanian akan senantiasa diukur
dengan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW.

Hasan Al-Basri (21-110 H) adalah seorang zahiddan rohaniawan besar, beliaulah yang mula-
mula memperbincangkan berbagai macam yang berkaitan dengan kerohaniawan tentang ilmu akhlak
yang erat hubungannya dengan mensucikan jiwa dan membersihakan hati dari sifat-sifat tercela.

Hidup sufi yang dilalui oleh para ahli sufi untuk menyempurnakan hidupnya dihadapan
Tuhan, namun demikian cara hidup sufi yang dilalui atau yang dijalani oleh para ahli sufi satu dengan
yang lainnya tidak serupa. Misalnya Rabiatul Adawiyah (seorang sufi perempuan) yang telah
menghias sejarah lembaran sufi dalam abad kedua Hijriyah. Ajaran tasawuf yang dibawanya adalah
dikenal dengan istilah “Al-Mahabbah”, atau cinta. Ia hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin
berada dekat dengan Tuhan. Segala hidupnya diperuntukkan kepada Tuhannya dengan sadar rasa
kecintaan.

Hasan Al-Basri dalam menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan
harapan. Hidup kerohanian beliau dijalani dengan cara hidup zuhud terhadap dunia, menolak akan
kemegahan, semata menuju kepada Allah, khauf (takut) dan raja (mengharap) keridhaan Allah. Di
antara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah :” Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati
tentram lebih baik dan perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan rasa takut”.

Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan Al-Basri itu dijadikan pedoman bagi seluruh
ahli tasawuf dalam usahanya mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran mahabbah yang dibawa oleh
Rabiatul Adawiyah merupakan kelanjutan dari tingkatan kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh
Hasan Al-Basri. Cinta yang murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan.

Lain halnya dengan Hasan Al-Basri dan Rabiatul Adawiyah. Lain pula Zunnun Al-Basri yang
hidup tahun 156 H-245 H. Selain sebagai seorang sufi, beliau juga seorang filosof. Ajaran tasawuf
yang dibawa oleh beliau dikenal dengan istilah Ma`rifat. Menurutnya ma`rifat adalah cahaya yang
dilimpahkan Tuhan kedalam hati seorang sufi.

Dalam dunia masyarakatnya tempat berkembang seringkali menghadapi problema seperti


kesenjangan antara nilai-nilai dunyawiyah dengan nilai-nilai ukhrawiyah. Dalam situasi yang
demikian tasawuf merupakan kendaraan pilihan untuk mengatasi masalah ini.

Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf yang lebih dapat
memadukan keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi.

HUBUNGAN WAHDATUL WUJUD DAN INSANUL KAMIL

Kata “Wahdatul Wujud” berarti kesatuan yang wujud. Dalam kata bahasa inggris UNITY OF
EXISTENCE. Paham ini merubah sifat nafsu yang ada dalam hulul menjadi Khalaq (makhluk) dan
sifat Lahut menjadi Haq (tuhan). Keduanya (khalaq dan haq) menjadi suatu aspek. Khalaq menjadi
aspek di sebelah luar dan Haq menjadi aspek sebelah dalam. Kata Khalaq dan Haq menjadi sinonim
dari kata “Al-Ard” dan “Al-Jauhar” dan juga dari “Al-Zahir” (lahir, luar) dan “Al-Bathin” (dalam).

Aspek Ard dan Khalaq mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam (jauhar dan haq)
mempunyai sifat ketuhanan. Sehingga setiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan (haq) dan
kemakhlukan (khalaq).

Aspek terpenting dari dua hal tersebut ialah aspek haq yang merupakan bathin jauhar
(substance) dan hakikat tiap-tiap yang berwujud. Dan aspek khalaq hanya merupakan ‘ard, sesuatu
yang mendatang. Karena itulah alam dipandang sebagai cermin bagi Tuhan. Semua benda-benda yang
ada dalam alam bagaikan gambar dalam cermin yang esensinya telah terdapat pada sifat-sifat Tuhan.

Sebagai pokok persoalan Wahdatul Wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai
mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Dan wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.
Pemikiran filsafat demikian berkembang dan membias pada konsep Insanul Kamil atau manusia yang
sempurna.

"Insan Kamil'' makna harfiahnya (tekstual) adalah manusia sempurna. ''Insan'' berasal dari
bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan manusia. ''Insan'' berbeda
maknanya dengan ''basyar'' yang juga diterjemahkan dengan manusia. ''Insan'' berarti manusia dalam
pengertian manusia yang memiliki dimensi rohani, sementara basyar mengarah kepada manusia
dalam pengertian jasad (biologis). Dengan demikian ''insan kamil'' adalah manusia yang sempurna
dalam pengertian rohani.

C.     TOKOH SUFI WAHDATUL WUJUD, INSANUL KAMIL DAN AJARANNYA.

Faham Wahdad Al-Wujud dan Insanul Kamil diajarkan oleh Muhy Al-Qin Ibnu Arabi.
Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai, sufi asal Murcia, Spanyol ini
lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-
Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama). Kendati tidak mendirikan
tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para
sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan
terminologi intelektual maupun filosofis.

Ibnu Arabi belajar di Seville, kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti
dan memperdalam aliran sufi.
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia,
Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-
Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya
menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik
istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria.

Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan
segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang
sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi.

Pada tahun 1202 M Ibni Arabi pergi ke Mekkah. Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap
secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya
sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-
Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din
merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn
’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah
290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang
menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut.

Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang
dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan
eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan terutama hadis.] Negeri-negeri yang pernah
ia kunjungi antara lain :  Mesir, Syiria, Irak, Turki dan akhirnya ia menetap di Damaskus. Di sana ia
meninggal dunia pada tahun 1240 M.

Di antara karya beliau yang terkenal adalah buku dalam bidang tasawuf yang berjudul “ Al-
Futuhat Al-Makkiyah” (pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di mekkah) dengan tersusun
sebanyak 12 jilid. Buku terkenal lainnya berjudul “ Futuh Al-Hikmah” (pemata-permata hikmah).

Menurt pemikiran tasawufnya, bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya dari luar diri-Nya maka
dijadikan-Nya alam, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Pada benda-benda yang ada dalam alam
karena esensinya ialah sifat ketuhanan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sini timbullah faham kesatuan
wujud. Yang banyak dalam alam ini hanya dalam penglihatan banyak, pada hakikatnya itu semua
satu. Tak ubahnya sebagai oarang yang melihat dirinya dalam bebrapa cemin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cemin ia lihat dirinya. Dalam cermin-cermin itu dirinya kelihatan
banyak, tetapi dirinya hanyalah satu.

Sebagai dijelaskan dalam Fusus Al-Hikam wajah sebenarnya hanyalah satu, tetapi kalau
cermin diperbanyak wajah kelihatannya banyak pula. Atau sebagai kata parmenides, yang ada itu
satu, yang banyak hanyalah ilusi.

Ringkasannya dalam tasawuf Ibnu Arabi yang bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia
tetapi semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu dengan Tuhan.

Ibnu Farud dari Cairo (1181-1235 M) menimbulkan faham Al-Haqiqah Al-Muhammadiah


(konsep Muhammad). Menurut fahamnya Al-Haqiqah Al-Muhammadiah diciptakan Tuhan semenjak
azal sesuai dengan bentu-Nya sendiri. Oleh karena itu orang ingin tahu Tuhan, harus berusaha
mencapai Abdul Karim Al-Jili (wafat 1428 M) membawa filasat Insanul Kamil (manusia yang
sempurna). Manusia yang semourna adalah Al-Insan Al-Kamil sama dengan Annur Al-
Muhammadiah atau Al-Haqiqah A-Muhammadiah tersebut di atas dan merupakan cermin bagi Tuhan.
D.    KONSEP INSANUL KAMIL.

1)      Ibn Arabi.

Ketika Ibn Arabi membahas manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada
manusia sempurna, bukan manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat
manusia sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh manusia sempurna
secara individual.

Menurut Ibn Arabi hanya insan kamil yang memiliki kemungkinan mengenal Tuhan secara
pasti dan benar, dan melalui insan kamil, Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri, karena insan kamil
adalah iradah dan ilmu Tuhan yang di manifestasikan.

Muhyiddin Ibn Arabi menggunakan istilah manusia sempurna (insan kamil) dari sisi
pandangan khusus tasawuf. Beliau mengambil pandangan al Hallaj lalu mengubahnya secara
mendasar dan cakupannya pun dikembangkan secara jauh lebih luas.

Ibn Arabi dualisme aspek “lahut” dan “nasut” ditampilkannya dalam satu hakikat, bukan
memiliki zat atau esensi tersendiri, lalu lahut dan nasut bukan hanya terdapat pada manusia, bahkan
secara potensial ia mewujud pada setiap perkara yang lain, bahkan di otak pun terdapat peran
keduanya, sehingga pada segala sesuatu dapat dikenali nasut sebagai manifestasi eksternal dan lahut
sebagai manifestasi internal/batin. Namun Allah SWT yang memanifestasi (tajalli) pada segala
sesuatu secara nyata, Dia mengejawantah secara sempurna pada sosok insan kamil dimana para nabi
dan para wali merupakan contoh kongkrit yang paling menonjol darinya.

Pandangan ini merupakan tema asli dua kitab utama beliau, Fushus al Hikam dan at Tadbirat
al Ilahiyyah, dan banyak bagian-bagian penting dari kitab tersebut yang kemudian ditelaah dan
dikajinya kembali dalam kitab Futuhat al Makkiyah dan pelbagai karya beliau lainnya. Kitab Fushus
al Hikam yang kemudian begitu tenar di kalangan umat Islam yang sangat disambut oleh para ulama
kenamaan. Dalam beberapa abad yang lalu, lebih dari seratus sepuluh syarah dalam bahasa Persia,
Turki, dan Arab ditulis untuk buku ini dan pandangan/teori insan kamil dipaparkan sebagai salah satu
diskursus klasik mistik teoritis.

Ibn Arabi memandang bahwa insan kamil adalah wakil yang benar/sah di muka bumi
dan muallimul mulk (pengajar alam gaib) di langit. Dalam perspektif beliau, insan kamil adalah potret
yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah dan derajatnya lebih baik dari batasan mungkin dan
lebih tinggi dari maqam ciptaan (makhluk). Karena kedudukannya, pancaran rahmat dan bantuan al
Haq (Allah SWT)—yang merupakan penyebab kelestarian alam—sampai kepada alam.

2)      Murtadha Muthahari.

Berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf,
Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan
Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang
menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.

Muthahari mengkitik tasawuf negatif yang hanya memperhatikan satu aspek dan nilai saja.
Beliau mengkritik tajam kaum sufi yang mengabaikan peran akal dalam mendekati dan memahami
agama serta perannya dalam perjalanan spiritual. Bagi Muthahri, pengembaraan dan pencerahan
spiritual harus memakai kendaraan akal supaya sukses.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa Muthahari tidak menyerang ajaran tasawuf secara
keseluruhan, namun sikap ifrath (ekstremitas) dan tafrith (kelonggaran) yang menjadi sasaran
kritikannya. Sebab bagi beliau, insan kamil adalah sosok manusia yang bukan hanya superior di satu
bidang dan nilai namun inferior di bagian yang lain. Insan kamil adalah sosok manusia yang mampu
merekat dan merajut pelbagai nilai dan prestasi secara seimbang. Insan kamil tidak bisa diwakili oleh
sosok petapa yang perutnya kempes, badannya lesu, mukanya pucat pasi, matanya merah karena
kurang tidur, namun kepekaan sosialnya hilang. Manusia seperti ini adalah abid yang individualis.

Insan kamil tidak juga diwakili oleh orang yang keberaniannya luar biasa bak macan
kumbang yang selalu siap menerkam mangsanya. Manusia seperti ini mengganggu kenyamanan dan
keamanan orang lain. Insan kamil bukan juga pada diri filosof yang mengkultuskan akal namun aspek
rohaninya kering kerontang. Ia lebih banyak mendiskusikan agama dan menghafal istilah-istilah
filosofis ketimbang mengamalkannya. Dan insan kamil tidak bisa diklaim oleh pemabuk cinta yang
kemana-mana mensenandungkan nyacian cinta dan mabuk dalam buaian arak cinta. Ia hanya
mendekati Tuhan-Nya dengan syair-syair cinta dan nada-nada mahabbah, namun ia mengebiri akal.
Sebab, baginya akal adalah “tirai” yang menutup jalan manusia menuju al Mahbub.

Jadi, insan kamil adalah sosok manusia yang berhasil memadukan nilai-nilai luhur dan bijak
secara proporsional. Ia abid, sekaligus `arif (pesalik jalan spiritual dengan makrifat),
sekaligus `akil (pengguna akal) dan asyiq (pecinta). Dan akhirnya ia sejatinya adalah
manifestasi ‘abdul haqiqi (hamba sejati) Wajibul Wujud.

Saat menjelaskan bentuk kesempurnaan manusia, Muthahari menyitir ayat Alquran yang berbunyi :

ِ َ‫َاج نَ ْبتَلِ ْي ِه فَ َج َع ْلنَاهُ َس ِم ْي ًعا] ب‬


)2(‫صي َْرا‬ ْ ُ‫اِ َّن َخلَ ْقنا اإل ْن َسان ِم ْن ن‬
ٍ ‫طفَ ٍة أَ ْمش‬
 )3(‫اِنَّا هَ َد ْينَاهُ ال َّسبِ ْي َل اِ َّما شَا ِكرًا َواِ َّما َكفُوْ رًا‬

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan
melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula
yang kafir.” (QS. Al Insan: 2-3)

Lalu beliau mengemukakan: “Ini berarti, manusia telah dianugerahi banyak kemampuan dan
dibiarkan bebas untuk membuktikan apakah ia patut memperoleh pahala atau hukuman atas
perbuatannya. Makhluk lain tak mendapatkan semua itu.

Manusia harus memilih jalannya sendiri, dan ia mendapatkan kesempurnaan melalui


pengendalian dan penyeimbangan diri dan dengan mengerahkan semua kemampuannya. Ini serupa
dengan kesempurnaan fisik. Perhatikanlah seorang bocah yang tumbuh. Bila seluruh organ dan
anggota badannya sehat dan berkembang secara harmonis, maka secara fisik ia sempurna. Tetapi, bila
ia tumbuh seperti kartun yang sebagian organ dan anggota badannya berkembang berlebihan sedang
yang lain sama sekali tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit, ia tak akan mencapai kesempurnaan
fisik. Jadi, perkembangan yang harmonis dan menyeluruh dapat menghasilkan kesempurnaan. Imam
Ali adalah manusia sempurna karena semua nilai manusiawi tumbuh secara maksimum dan harmonis
dalam dirinya.

Anda mungkin juga menyukai