Anda di halaman 1dari 14

1.

PENGERTIAN TASAWUF DALAM AL QUR’AN DAN HADITS


Ketika menelusuri berbagai literatur, akan banyak dijumpai pengertian
tasawuf yang sangat variatif dengan keragaman pencetus dan penggagasnya.
Keragaman varian ini tentu saja bukan menunjukkan kontradiksi antar pengertian
tasawuf itu sendiri. Hal itu disebabkan tasawuf pada hakikatnya merupakan
pengalaman pribadi seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kecenderungan
dan pengamalan spiritual individu tentu saja berbeda-beda sesuai dengan maqam
tasawufnya. Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang dalam menjelaskan arti
atau definisi tasawuf dalam konteks pemikiran pengalaman keberagamaannya
berdasarkan intuisi masing-masing individu dimana kemunculan istilah tasawuf,
dan setiap sufi pun memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan kondisi
pengalaman yang dialaminya. 1
Namun jika dilihat secara umum makna tasawuf ialah suatu ilmu yang
mempelajari tentang cara-cara membersihkan hati dari berbagai macam penyakit
hati, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji melalui mujahadah dan riyadhah,
sehingga merasakan kedekatan dengan Allah dalam hatinya dan merasakan
kehadiran Allah dalam dirinya, sehingga dapat tampil sebagai sosok pribadi yang
berbudi luhur dan berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Lalu apakah
pengertian tasawuf itu sendiri dalam perspektif Al Qur’an dan Hadits?
Sedangkan pengertian tasawuf sendiri tidak dikenal dalam Al Qur’an,
maka predikat sufi pun sebenarnya bukan menjadi target ukuran kesalehan. Dalam
hal ini beberapa ulama menyamakan sufi dengan wali agar lebih Qurani. Ini masih
perlu diperdebatkan, sebab wali ada juga yang berkontosi tinggi, wali thogut, wali
syaithan. Akan lebih aman lagi jika term muflihun adalah term yang patut
dipopulekan dan dilestarikan karena lebih mencerminkan jiwa Al Qur’an.
Semangat ahl al salaf al shalih masih terus relevan dengan slogan “back to Al
Qur’an and as-Sunnah”. Istilah lain yang mungkin tepat untuk penamaan tasawuf
berdasarkan Al Qur’an adalah “Ilmu al Qarb”. Diartikan oleh Valiudin sebagai
“pengetahuan mengenai pendekatan kepada Allah”.

1
Dra. Silawati, 2015, Pemikiran Tasawuf Hamka Dalam Kehidupan Modern, Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 40 No. 2, hal. 118

1
Meskipun kata tasawuf tidak terdapat dalam Al Qur’an, para tokoh sufi
dan juga termasuk dari kalangan cendekiawan muslim memberikan pendapat
bahwa sumber utama ajaran tasawuf adalah bersumber dari Al Qur’an dn Hadits,
Karena Al Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan sejumlah ayat yang
berbicara tentang inti ajaran tasawuf. Adapun ajaran-ajaran tasawuf yang terdapat
dalam Al Qur’an seperti ajaran tentang khauf, raja’, taubat, zuhud, tawakal,
syukur, sabar, ridha, fana, cinta, rindu, ikhlas, ketenangan, dan sebagainya secara
jelas diterangkan dalam Al Qur’an, antara lain tentang (mahabbah cinta) terdapat
dalam Surah al Maidah ayat 54, tentang taubat terdapat dalam surah at Tahrim
ayat 8, tentang tawakal terdapat dalam surat at Tholaq ayat 3, tentang syukur
terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7, tentang sabar terdapat dalam surah al
Mukmin ayat 55, tentang ridha terdapat dalam surah al Maidah ayat 119 dan
sebagainya. 2
Selain itu, dalam Tasawuf terdapat beberapa praktik yang sesuai dengan
ajaran Islam, contohnya berupa ibadah, dzikir, nilai-nilai yang terdapat dalam
maqamat dan ahwal, penghormatan terhadap guru dan lain-lain. Sedangkan
praktik-praktik dalam bentuk tradisi Islam dalam tasawuf adalah praktik
keseluruhan tasawuf dalam bentuk individual, atau dalam bentuk tarekat yang
berkelompok. Berkontemplasi atau membentuk komunitas tertentu kemudian
mengadakan ritual atau ceremonial untuk be riyadhah pada tempat-tempat tertentu.
Sedangkan implikasi terhadap kata tasawuf itu sendiri dalam ayat-ayat Al
Qur’an, dari akar kata yang paling tepat untuk kata tasawuf diatas maka hanya ada
satu ayat yang menyinggung tentang itu, yaitu dalam QS. An Nahl ayat 80.
َ ‫س َكنًا َّو َجعَ َل لَ ُك ْم ِّم ْن ُجلُ ْو ِّد األ َ ْنعَ ِّام بُي ُْوتًا ت َ ْست َِّخفُّ ْو َن َها يَ ْو َم‬
‫ظ ْعنِّ ُك ْم َويَ ْو َم إِّقَا َم ِّت ُك ْم َو ِّم ْن‬ َ ‫َوهللاُ َجعَ َل لَ ُك ْم ِّم ْن بُي ُْو ِّت ُك ْم‬
)80( ‫ارهَآآثَاثًا َّو َمتَاعًا إِّلَى ِّحي ٍْن‬ ِّ َ‫ارهَا َوأ َ ْشع‬ ِّ َ‫أَص َْوافِهَا َوأ َ ْوب‬
Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal
dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang
ternak yang kamu merasa ringan (membawa nya) diwaktu kamu berjalan dan
waktu kami bermukim dan (dijadikan Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan

2
Umar Sulaiman, Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Tasawuf, Jurnal Islam,
(Malaysia : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong), hal. 09

2
bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai
waktu (tertentu)”.
Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang mendorong umat manusia untuk
bersikap sufi, seperti ayat yang memerintahkan agar manusia selalu menyucikan
jiwanya (Q.S. As Syams : 9), (Q.S. Al-A’la :14), (Q.S. ‘Abasa : 3 dan 7), ayat
yang memandang rendah kehidupan duniawi dan menjelaskan bahwa kehidupan
akhirat jauh lebih baik seperti dalam (Q.S. Al An’am : 32 dan 70), (Q.S. Al
Ankabut :64), (Q.S. Muhammad : 36), (Q.S. Ad Dhuha : 4). Selain itu Al Qur’an
juga mendeskripsikan sifat-sifat orang wara’ dan taqwa (Q.S. Al Ahzab : 35), ayat
yang menjelaskan posisi mulia bagi yang melaksanakan shalat tahajjud (Q.S. Al
Isra’ : 79) dan lain sebagainya. Ajaran-ajaran yang disebutkan dalam ayat-ayat di
atas merupakan esensi seorang muslim dalam pengamalan tasawuf sebagaimana
yang tersebut belum dapat disebut sebagai seorang muslim sejati.
Dengan begitu, maka dapat disimpulkan bahwa kata tasawuf secara
tekstual tidak termaktub dalam Al Qur’an, namun didalamnya sarat dengan
tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi bimbingan yang mengarahkan
tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah barang tentu ilmu tasawuf
memiliki dasar-dasar normatif yang jelas dalam Al Qur’an.
Adapun untuk implikasi dari ilmu tasawuf itu sendiri sangat tergantung
dengan penempatannya dalam klasifikasi keilmuan, yaitu ilmu hak dan ilmu bathil.
Jika bagian dari ilmu hak, maka wajib diikuti. Namun jika bagian dari ilmu bathil,
maka wajib untuk dihindari. Praktik-praktik tasawuf itu sendiri secara institusi
bukanlah bagian dari syariat agama Islam yang tertera dalam Al Qur’an. Kata
tasawuf secara etimologi tidak terdapat dalam Al Qur’an terutama dari segi wazn
nya. Satu-satunya kata dalam Al Qur’an yang ada adalah kata ‫ أصواف‬yang berarti
bulu binatang/domba, yang notabene dalam konteks ayat dan terminologi tasawuf
tidak tepat. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban dan larangan untuk menjalani
atau menempuh jalan tasawuf. Namun, tasawuf sebagai jalan yang sah-sah saja
untuk ditempuh, artinya boleh diikuti dan boleh tidak diabaikan. Tidak wajib
diikuti dan tidak haram ditinggalkan.
Lalu bagaimanakah pengertian dan keterikatan tasawuf dalam perspektif
hadits atau as-Sunnah?

3
Berbicara tentang tasawuf maka sangat erat kaitannya dengan masalah hati,
karena hati merupakan objek kajian dari tasawuf itu sendiri. Hati memegang
peranan penting bagi manusia, karena baik buruknya manusia tergantung kepada
apa yang ada dalam hatinya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Rasulullah dalam haditsnya :“Ingatlah, bahwa didalam tubuh manusia itu ada
segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh perbuatannya. Dan jika ia
rusak, maka rusaklah seluruh perbuatannya. Ingatlah ia adalah hati” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
Nabi juga menjelaskan kepada para sahabatnya, bahwa : “Allah tidak
melihat seseorang itu kepada jasad dan bentuk tubuhnya, melainkan Allah melihat
apa yang ada dalam hatinya” (H.R. Bukhari)
Sedangkan untuk pengertian tasawuf sendiri atau secara etimologi,
pengertian tasawuf tidak terdapat dalam Hadits. Akan tetapi banyak hadits yang
menjelaskan tentang konsep-konsep yang diajarkan dalam tasawuf, seperti zuhud
yang dijelaskan dalam Hadits Rasulullah yang artinya berikut ini :
“Berbuat zuhudlah terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan
berbuat zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, maka orang-orang
pun akan mencintai engkau”. (H.R. Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi). Dalam
hadits lain Rasulullah menjelaskan : “Apabila engkau menghendaki seorang
hamba Nya menjadi baik, maka diberinyalah pemahaman akan rahasia agama,
ditimbulkannya rasa zuhud terhadap dunia dan diberinya anugerah dapat
memandang yang gaib dan aib dirinya sendiri”. (H.R. Baihaqi). 3
Meskipun lafadz Tasawuf tidak ditemukan dalam Hadits, akan tetapi secara
historis Nabi Muhammad saw telah memberikan teladan secara konkrit dalam
mengaplikasikan kehidupan sufi sebagaimana yang diajarkan oleh Al Qur’an
tersebut. Seperti kesederhanaan beliau dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam
salah satu haditsnya beliau menganjurkan agar para sahabatnya untuk makan
dikala lapar saja dan berhenti makan sebelum kenyang. Beliau juga
menggambarkan pembagian dunia menjadi 3, sepertiga dimakan maka akan
hancur, sepertiga dipakai maka akan rusak, dan sepertiga diberikan (diinfakkan)

3
Muhammad Haifun, 2012, Teori Asal Usul Tasawuf, Jurnal Dakwah, Vol. XIII No. 2,
(Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga), hal. 246

4
maka hasilnya akan dipetik di kemudian hari. Selain itu, akan sirna dan
ditinggalkan oleh manusia. Pada kesempatan yang lain, Nabi Muhammad sering
kali berpuasa sunnat, senantiasa melaksanakan shalat tahajjud, rumah dan
pakaiannya sangat sederhana, bahkan pernah menahan makan dengan cara
melilitkan batu diperutnya. Jika beliau mempunyai kelebihan harta, tidak segan-
segan beliau menginfakkannya di jalan Allah SWT. Demikian bersahajanya
penampilan seorang nabi, sehingga membuatnya sangat dicintai oleh para
pengikutnya dan disegani sekaligus dikagumi oleh lawan-lawannya.
Dengan begitu, maka dasar-dasar tasawuf dalam ajaran Islam secara
gamblang telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Kemudian
diimplementasikan oleh generasi sesudahnya, yakni para sahabat, tabi’in, tabi’it
tabi’in serta segenap umat Islam berikutnya, sampai sekarang. Dan dalam
menerapkan ajaran tasawuf ini, terkadang mereka mengalami kemajuan dan
terkadang mengalami kemunduran sebagaimana yang telah diceritakan dalam
sejarah.
Jadi pada intinya, ajaran tasawuf merupakan ajaran yang berasal dari Islam
itu sendiri yang ditemukan dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah. Walaupun,
secara tekstual tidak termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah, namun didalam
keduanya sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi
bimbingan yang mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah
barang tentu ilmu tasawuf memiliki dasar-dasar normatif yang jelas di dalam Al
Qur’an ataupun hadits.4

2. TASAWUF DALAM PERSPEKTIF IMAN, ISLAM DAN IHSAN

Dalam agama Islam ada tiga pokok yakni Iman, Islam dan Ihsan. Laki-laki
itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam
adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan
shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab,
‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian
pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman

4
Muhammad Haifun, 2012, Teori Asal Usul Tasawuf............hal. 247

5
kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata,
‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu?
‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim)5

Iman adalah ucapan yang disertai dengan perbuatan diiringi dengan


ketulusan niat dan dilandasi dengan Sunnah.

Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi.

Ihsan adalah cara bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allah.

Islam, Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar aqidah.
Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun
Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara ihsan, sebagai
upaya pendekatan diri kepada Allah.6

Dalam Pandangan Islam


Di antara umat Islam terdapat sekelompok orang yang tidak merasa puas
dengan pendekatan diri kepada Allah melalui perilaku atau cara-cara ibadah yang
telah ditentukan seperti shalat, puasa dan haji. Mereka kemudian mencari dan
melakukan cara-cara lain dalam rangka mendekatkan hubungannya dengan Allah.
Cara-cara ini diharapkan akan mempermudah jalinan hubungan komunikasi
mereka dengan Allah. Sekumpulan cara yang mereka tempuh ini kemudian
dikenal dengan sebutan alTasawwuf . Istilah Tasawwuf atau Sufisme merupakan
istilah yang dipakai secara khusus untuk menggambarkan kehidupan mistik atau
5
Asep Usman Ismail, IntegrasiSyari’ahdenganTasawuf, (Ahkam: Vol. XII No.1 Januari
2012), hal. 130
6
http://jakhinjj.blogspot.co.id/2016/04/makalah-hubungan-antara-iman-islam-dan.html
(11:00, 9 januari 2018)

6
mistisisme dalam Islam. Menurut Harun Nasution (1979:71) hakekat sufisme atau
mistisisme, baik yang terdapat dalam agama Islam maupun di luar Islam adalah
‘memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari
benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan’. Intisari dari mistisisme,
termasuk dalam tasawuf Islam, adalah ‘kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan
kontemplasi’. Kesadaran yang demikian kemudian mengambil bentuk ‘rasa dekat
sekali dengan Tuhan’. Kesadaran itu dalam tradisi tasawuf dikenal dengan istilah
‘ittihad’ atau ‘mystical union’. Orang pertama yang mengunakan istilah sufi
adalah seorang zahid bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150H.).
Perkembangan sufisme dalam Islam menurut sejumlah ahli dikatakan
karena adanya pengaruh dari luar, tetapi sebagian ahli lain menetapkan bahwa
munculnya sufisme disebabkan karena ajaran Islam itu sendiri. Dengan demikian
sekalipun tidak ada pengaruh dari luar, ada kemungkinan ajaran Islam yang
mengarahkan umatnya untuk berprilaku semacam itu (sufi). Sejumlah teori
mengenai asal-usul perkembangan tasawwuf dalam Islam adalah karena adanya
pengaruh ajaran di luar Islam (Harun Nasution,1990:58-9), seperti misalnya:
Pertama, ajaran Kristen yang memiliki faham menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab dijelaskan tentang
adanya para rahib yang hidup terpencil di padang pasir.
Kedua, ajaran Hindu yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia
dan mendekati Tuhan. Dengan meninggalkan dunia, maka persatuan Atman
dengan Brahman akan dapat tercapai.
Ketiga, ajaran Buddha mengenai nirwana. Untuk mencapai nirwana,
manusia harus meninggalkan dunia dan hidup kontemplasi.
Mengenai perkembangan tasawwuf dalam Islam, apakah ia terpengaruh
oleh ajaran-ajaran di atas, nampaknya sulit untuk dibuktikan. Tetapi yang jelas,
bahwa ada dasar-dasar di dalam ajaran Islam yang dapat dijadikan sandaran bagi
berkembangnya kehidupan tasawwuf tersebut. Di dalam al-Qur’an sendiri
terdapat sejumlah ayat yang menggambarkan adanya hubungan yang sangat dekat
antara manusia dengan Tuhan: Al-Baqarah ayat 186 mengatakan: “Jika hambaKu
bertanya kepadamu tentang diriKu, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan

7
yang memanggil jika Aku dipanggil”. Kemudian pada al-Baqarah ayat 115
dikatakan: “Timur dan Barat adalah kepunyaan, ke mana saja kamu berpaling di
situ ada wajah Tuhan”. Juga dalam surat Qaf ayat 16 yang berbunyi: “Telah Kami
ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami
lebih dekat kepada manusia dari pada pembuluh darah yang ada di lehernya”.
Selain ayat-ayat al-Qur’an di atas, juga terdapat hadis Nabi yang juga
menginspirasi berkembangnya faham tasawwuf. Misalnya hadis yang berbunyi:
“Orang yang mengetahui dirinya, itulah orang yang mengetahui Tuhan”. Hadis ini
dapat diartikan bahwa manusia dengan Tuhan adalah satu. Untuk mengetahui
Tuhan, manusia tidak perlu pergi jauh-jauh. Cukup ia masuk ke dalam dirinya dan
mencoba mengetahui dirinya. Dengan kenal dirinya, maka akan kenal kepada
Tuhan.
Dalam Pandangan Iman
Iman yang disebut dalam Hadis Nabi Saw. di awal kemudian oleh para
ulama dinamakan “akidah”. Secara bahasa, kata “akidah” mengandung beberapa
arti. Di antaranya berarti: ikatan, janji, atau gagap (lidah).7 Secara terminologis,
“akidah” berarti kepercayaan yang dianut oleh orang-orang yang beragama atau
tali yang mengokohkan hubungan manusia dengan Tuhan. Menurut W.
Montgomery Watt, akidah sebagai salah satu istilah dalam Islam mengalami
perkembangan dalam penggunaanya. Pada permulaan Islam, akidah belum
digunakan untuk menyebut pokok kepercayaan Islam yang bersumber dari
syahadat, kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Istilah akidah baru
disebut-sebut dalam diskusi para mutakallimûn, ulama ilmu kalam, yang
membicarakan secara luas kepercayaan-kepercayaan yang terkandung dalam
prinsip syahadatayn, dua kesaksian, tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad
itu utusan Allah, yang kemudian bermuara pada munculnya beberapa aliran
(firqah) dalam Islam. Puncak perkembangannya, istilah akidah digunakan untuk
menunjuk keyakinan dasar dalam Islam yang komprehensif sebagaimana
dijelaskan dalam kitab al-’Aqîdah al-Nizhâmiyyah karya al-Juwaynî (w. 478
H/1085 M).8

7
LousMa`luf, al-Munjidfî al-Lughah, (Bayrût: Dâr al-Masyriq, t.t.), cet. XXI, h. 518-519.
8
W. Montgomery Watt, "Akida", dalam The Enscyclopedia of Islam, vol. I, h. 332.

8
Seseorang yang telah beriman wajib menjaga keimanannya dari segala
perbuatan buruk yang akan mengakibatkan rusaknya iman tersebut.

Iman itu belumlah cukup apabila hanya diucapkan dengan lidah saja, tetapi
harus disertai dengan amal saleh, yaitu melaksanakan semua perintah syari’ah
agama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW.:

“Iman ialah kepercayaan (diyakini) di dalam hati, ditetapkan (diucapkan)


dengan lidah, dan dilaksanakan dengan anggota badan (perbuatan).”

Ada pula riwayat hadits yang menjelaskan tentang keagungan iman, seperti
riwayat berikut.

Dikeluarkan oleh Bukhari (6443) dan Muslim (94) dari Abi Dzar r.a. ia
berkata: “pada suatu malam aku keluar rumah, tba-tiba kulihat Rasulullah s.a.w.
berjalan sendirian tidak ada seorangpun yang bersamanya, lalu aku berkata dalam
hati: mungkin Rasulullah saw. Ingin sendirian, “ Abu Dzar r.a. berkata “ aku
kemudian berjalan di bawah bayang-bayang rembulan, Rasulullah saw. Menoleh
dan melihatku, “kemudian berkata: “siapakah ini?”, aku menjawab: ” aku Abu
Dzar, “ beliau berkata: “ wahai Abu Dzar kemarilah,” abu dzar r.a. berkata: “ lalu
aku berjaalan bersamanya sejam lamanya, “ maka beliau bersabda:
“ sesungguhnya orang yang memperbanyakharta didunia mereka itulah yang akan
kemiskinan pada hari kiamat, kecuali orang yang diberi kebaikan oleh Allah
subhanahu wa taala, hingga ia membelanjakan hartanya dari samping kanan, kiri,
dari depan, belakang dan selalu berbuat kebaikan, : Abu Dzar berkata: “ aku
berjalan bersama beliau sejam lamanya”, kemudian beliau berkata kepadaku:
“duduklah di sini! “, Abu Dzar berkata: “Rasulullah saw. Menyuruhku duduk di
sebuah tempat luas yang dipenuhi dengan batu, “ beliau berkata: “ tunggu di sini
sampai aku kembali,” Abu Dzar r.a. berkata: “Rasulullah saw. Pergi ke sebuah
tempat yang dipenuhi batu hitam, hingga aku tidak melihatnya, dan akupun lama
menunggu beliau, tidak lama kemudian aku mendengar suaranya ketika hendak
dekat padaku, “ setelah datang dan aku tidak sabar aku langsung bertanya
kepadanya: “wahai nabi Allah ! dengan siapa kau berbicara disana?: ”, aku tidak
mendengar seorangpun yang menjawabmu?, beliau menjawab: “ itu Jibril yang
sedang datang dengan membawa wahyu “, ia berkata kepadaku: “ Wahai

9
Muhammad! Berilah kabar gembira umatmu dengan surga bagi siapapun yang
mati dan tidak berbuat syirik kepada Allah sekalipun,“ lalu aku bertanya: “ Wahai
Jibril! Meski ia melakukan zina dan mencuri? “, Jibril menjawab: “Ya”, aku (Abu
Dzar) bertanya: “ wahai Rasulullah! Meski berzina dan mencuri?”, beliau
menjawab: “Benar”, aku bertanya lagi:” meski berzina dan mencuri?”, kemudian
beliau menjawab: “ Ya, meskipun ia meminum khomer (minuman keras)”.
(demikian disebutkan dalam jam’ul fawaid jilid 1 hal 7, dan ada tambahan dalam
Riwayat Bukhari, Muslim Dan Tarmidzi dalam pertanyaan keempat: “ meski kau
tidak bisa menerimanya wahai Abu Dzar”)

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa setiap orang beriman harus


mengamalkan keimanannya dalam perbuatan lahiriah dan batiniah (keyakinan hati
yang didasari oleh keikhlasan). Bila tidak demikian, maka keimannya belum
sempurna.9

Dalam Pandangan Ihsan

Ihsan adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau
“terbaik.” Dalam terminologi agama Islam, Ihsan berarti seseorang yang
menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu
membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa
sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.

Ihsan ialah melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati karena menyadari


bahwa Allah selalu melihatnya, hingga ia merasakan berhadapan langsung dengan
Allah dan bahkan ia melihat Allah SWT. dengan hati nurani. Semua itu
dilakukannya dengan ikhlas.

Seseorang tidak akan merasakan nikmatnya ibadah apabila dia tidak merasa
melihat dengan tuhannya. Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami
kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam
hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk
kebaikan manusia.

9
http://jakhinjj.blogspot.co.id/2016/04/makalah-hubungan-antara-iman-islam-dan.html
(11:00, 9 januari 2018)

10
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, disebutkan bahwa
Nabi Muhammad SAW bersabda:

“sesungguhnya Allah mewajibkan al-Ihsan dalam segala masalah, oleh karena


itu jika kalian berperang harus dengan satria, dan jika menyembelih binatang
pun harus dengan cara yang baik (tidak sadis)”10.

Ada yang bertanya apakah Rasulullah dan para Sahabat mengamalkan


tasawuf ?

Tasawuf hanyalah sebuah istilah untuk perkara yang berkaitan dengan


ihsan atau akhlak

Jadi pertanyaan tersebut sebenarnya adalah “Apakah Rasulullah dan para


Sahabat mengamalkan ihsan?

Tentu jawabannya adalah, “Benar, Rasulullah maupun Salafush Sholeh


mengamalkan ihsan atau tasawuf”

Dalam hadits di atas muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul
karimah adalah muslim yang dekat dengan Allah ta’ala sehingga seolah-olah
menyaksikan Allah ta’ala atau menyaksikan Allah ta’ala dengan hatinya (ain
bashiroh).

Fitrah manusia adalah bertuhan, mencari Allah atau ingin kembali


menyaksikan Allah. Syarat untuk dapat menyaksikan Allah adalah fitri, suci
sebagaimana sebelum manusia lahir ke dunia. Syarat untuk dapat kembali
menyaksikan Allah adalah berakhlak baik atau berakhlakul karimah.

Tujuan beragama atau tujuan hidup adalah untuk menjadi muslim yang
berakhlakul karimah.11

10
http://jakhinjj.blogspot.co.id/2016/04/makalah-hubungan-antara-iman-islam-dan.html
(11:00, 9 januari 2018)

11
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/12/15/tasawuf-adalah-ihsan/(11:55,09 januari
2018)

11
Dan tasawuf adalah ilmu yang mepelajari cara menyembah Allah bukan
karena pahala-Nya atau karena takut siksa-Nya, tetapi karena ingin mengabdi
kepada Allah karena kecintaan kepadaNya. Jibril pernah datang kepada
Rasulullah saw dan bertanya, “Apa itu Islam?” Rasulullah saw menjawabnya
dengan mengatakan tentang rukun Islam. Jibril kembali bertanya, “Apa itu Iman?”
Rasulullah saw kembali menjawab dengan menjelaskan tentang rukun Iman. Dan
ketika Jibril mengajukan pertanyaan terakhir, “Apa itu Ihsan?” Rasulullah saw
menjawab, “Ihsan adalah kau beribadah kepada Allah seakan-akan kau melihat
Dia. Dan apabila kau tak melihat-Nya, maka rasakan bahwa Allah melihatmu.”

Ghazali menjelaskan bahawa konsep ihsan dapat diterapkan pada setiap


aspek yang dilakukan oleh manusia, tidak terbatas pada ibadah khusus saja.
Menurutnya, adalah tanggungjawab setiap Muslim untuk memastikan segala
tindakannya, pekerjaan yang dipilihnya, bidang yang digelutinya dilakukan
dengan sebaik mungkin untuk menjamin kualitas dan tahap kecemerlangan yang
tertinggi. Bahkan menurutnya, pelaksanaan fardu kifayah tersebut akan
menentukan setiap Muslim dapat melaksanakan fardu ‘ain. Dengan demikian
tidak ada alasan umat Islam ketinggalan dalam bidang sains, teknologi, militer,
ekonomi dsb. Kerena apabila wujud sikap untuk berbuat yang terbaik (ihsan)
dalam melakukan setiap perkara maka umat Islam tidak akan ketinggalan dan
mundur seperti sekarang ini.12

12
Gina GiftiaAzmiana, RevitalisasiTasawuf di Masa Moder, (EdisiJuli 2012 Volume VI
No. 1-2), hal 46-47

12
PENUTUP

Tasawuf sebagai sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan


mengembangkan moralitas jiwa manusia, dapat direalisasikan melalui latihan-
latihan praktis sehingga mengakibatkan hanyutnya perasaan dan hakikat
transedental dengan pendekatan intuisi, yang pada akhirnya menghasilkan
kebahagiaan spiritual. Tasawuf pada hakikatnya mengarah ke satu titik, yakni
mencapai derajat yang sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Hakikat ini
diibaratkan sebuah taman yang indah yang didalamnya terdapat pohon-pohon
yang rindang, dan setiap sufi tersebut berteduh dibawah pohon-pohon di taman itu.

Dan tasawuf itu sendiri berasal dari Islam yang ditemukan dalam ayat-ayat
Al Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini, secara tekstual tasawuf memang tidak
termaktub dalam Al Qur’an maupun Sunah, namun didalam keduanya sarat
dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi bimbingan yang
mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah barang tentu ilmu
tasawuf memiliki dasar-dasar normatif yang jelas didalam Al Qur’an ataupun
hadits.

Akan tetapi, tasawuf bukanlah merupakan ajaran dalam arti syariat, yang
langsung tertera dalam Al Qur’an maupun Sunnah, Tasawuf tidal lebih sebagai
tradisi dalam Islam karena tasawuf merupakan produk fikiran dan perasaan para
sufi. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa tasawuf bukan bagian dari ibadah
syari’at. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban dan larangan untuk menjalani atau
menempuh jalan tasawuf. Sebagai tradisi dalam Islam, Tasawuf sebagai jalan
yang sah-sah saja untuk ditempuh, artinya boleh diikuti dan boleh tidak diabaikan.
Tidak wajib diikuti dan tidak haram ditinggalkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Alfi Julizun 2013, Tasawuf dan Al Qur’an Tinjauan Dunia Ilmu
Pengetahuan dan Praktek Kultural-Religius Ummat, Jurnal Intizar Vol. 19.
No. 2, (Palembang : IAIN Raden Fatah)
Silawati, 2015, Pemikiran Tasawuf Hamka Dalam Kehidupan Modern, Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 40 No. 2
Sulaiman, Umar, Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Tasawuf, Jurnal Islam,
(Malaysia : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong)
Haifun, Muhammad, 2012, Teori Asal Usul Tasawuf, Jurnal Dakwah, Vol. XIII
No. 2, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga)
Ismail, Asep Usman,Integrasi Syari’ah dengan Tasawuf, (Ahkam: Vol. XII No.1
Januari, 2012)
Ma`luf, Lous, al-Munjid fî al-Lughah, (Bayrût: Dâr al-Masyriq, t.t.), cet. XXI
Watt, W. Montgomery, "Akida", dalam The Enscyclopedia of Islam, vol. I
Azmiana, Gina Giftia, Revitalisasi Tasawuf di Masa Moder, (Edisi Juli 2012
Volume VI No. 1-2)
Ismail,Asep Usman, Syariah denganTasawuf, (Jakarta: Ahkam, 2012)
Muhammad al-Gazali, Khuluk al-Muslim, (Kuwait: Dar al Bayan, 1970)
Syaltut,Mahmud, IslamAqidahwa Syariah, I, ( Kairo: Dar al-Kalam)

http://jakhinjj.blogspot.co.id/2016/04/makalah-hubungan-antara-iman-islam-
dan.html
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/12/15/tasawuf-adalah-ihsan

14

Anda mungkin juga menyukai