Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan
rahmat serta anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah kami
dengan judul “Ajaran Tasawuf” ini.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung
kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT
untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah
agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi
seluruh alam semesta.
Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah yang
telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara historis akhlak tasawwuf adalah pemandu perjalanan hidup umat
manusia agar selamat dunia dan akhirat, itu di karenakan Akhlak Tasawuf merupakan
salah satu khazanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin
dirasakan. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad saw adalah
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor
pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya
yang prima.
Melihat betapa pentingnya akhlak tasawuf dalam kehidupan ini tidaklah
mengherankan jika akhlak tasawuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti
oleh kita semua. Sebagai upaya untuk menanggulangi kemerosotan moral yang tengah
dialami bangsa ini.
Untuk mengungkap segala permasalahan yang terkait dengan Akhlak Tasawuf,
kami akan mencoba menguraikannya dalam makalah yang berjudul “Pengertian
Akhlak Tasawuf, Sejarah Perkembangan Tasawuf, dan Fungsi Tasawuf”.
2
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan tentang pengertian tasawuf
2. Memberitahu sejarah perkembangan tasawuf
3. Menjelaskan tentang fungsi tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
3
berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini
dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok
para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka
dikenal sebagai ahli suffah. Mereka adalah orang yang menyediakan waktunya untuk
berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usaha-usaha duniawi.
Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat
orang-orang yang tinggal di serambi mesjid (suffah) yang hidup pada masa nabi
SAW.Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, yaitu
bulu domba atau wol. Hal ini karena mereka (para sufi) tidak memakai pakaian yang
halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa.
Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang
terbuat dari kain wol kasar (suf).
4
cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek
kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang
kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti dalam
al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8); petunjuk
bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada
(al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendaki
(an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak
oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan senantiasa bersikap
sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).
Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam
beribadah (al-Bayinah: 5); berperilaku jujur (al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6);
yakin, tawakal (al-Anfal: 49); qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37);
beribadah dengan penuh pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110),
takut terhadap murka Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6); menahan hawa
nafsu (Yusuf: 53); amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi
konsep akhlak dan amal diajarkan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah sumber
tasawuf dalam Islam.
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak
berbicara tentang kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami
dengan pendekatan tasawuf:
كنت كنزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenal-Ku”.
Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah
merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya
melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi
ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam
raya ini pada hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya,
sebagaimana firman-Nya dalam al-Baqarah: 156: “Orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”
Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.” dan
al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan
Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Juga hadis riwayat Imam Bukhari berikut yang menyatakan:
ال يزال العبد يتقرب الي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه
الذى يسمع وبصره الذى يبصر به ولسانه الذى ينطق به ويده الذى
يبطش بها ورجله الذى يمشوى بها فبى يسمع فبى يبصر وبى ينطق
.وبى يعقل وبى يبطش وبى يمشى
5
“Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan
sunat, sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya maka jadilah
Aku pendengarannya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia
pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia
pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berjalan; maka dengan-Ku
lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninju dan berjalan.”
Hadis tersebut memberi petunjuk dapat bersatunya manusia dan Tuhan, yang
selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’ yaitu fana’nya makhluk kepada Tuhan
yang saling mencintai.
Benih-benih tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam
kehidupan kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat menjadi
Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan.
Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan acuan utama para sufi
dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah terjadi ketika beliau
melakukan Isro’ wal mi’roj. Dikisahkan Nabi berdialog langsung dengan Allah ketika
menerima perintah Shalat lima waktu.
Perikehidupan (sirah) Nabi SAW juga merupakan benih-benih tasawuf, yaitu
pribadi Nabi yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan
dunia. Dalam salah satu do’anya nabi bermohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku
dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Hakim). Pada suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah
binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti
ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau menahan laparnya dengan berpuasa (HR.
Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering mengganjal perutnya dengan batu
sebagai penahan lapar.
Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW
adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA
disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi SAW mengerjakan shalat malam di dalam
shalat lututnya bergetar karena panjang, banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya.
Tatkala ruku’ dan sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus
melakukan shalat sampai suara azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh.
Melihat Nabi SAW demikian tekun melakukan shalat, Aisyah bertanya: “Wahai
junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah,
kenapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi SAW menjawab: ‘Aku
ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi
bukan hanya dipuji oleh manusia termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah
SWT. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi
pekerti yang agung”. (QS. 68:4). Dan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi
SAW, ia menjawab:“Akhlaknya adalah al-Qur’an”. (HR. Ahmad dan Muslim).
Ajaran rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari
banyak diikuti oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan
6
seluruh Muslim hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).
7
kelihatannya lebih banyak masuk ke dalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam),
sedangkan untuk Neo Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.
Filsafat emanasinya Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat
Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam
menyikapi asal mula tasawuf di dunia Islam. Dalam emanasinya, Plotinus
menjelaskan bahwa roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Akan
tetapi ketika masuk ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk kembali ke tempat
asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Penyucian roh dilakukan dengan cara
meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sebisa mungkin, atau bersatu dengan
Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya
kaum zahid dan sufi dalam Islam.
3. Unsur Hindu/Budha
Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap
fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada
tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh
dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan
persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqamat sufiah al-Fana nampaknya ada persamaan dengan
ajaran Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan
persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.
Menurut Qomar Kailan pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau
diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi
Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang
sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
4. Unsur Persia
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik,
pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat
yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang
jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu
terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di
Arab dengan zuhud menurut agamaManu dan Mazdaq; antara istilah Hakikat
Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Dari semua uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu
bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang
dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang
menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani
dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama,
kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi
(Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama
Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.
8
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya
mengatur hubungan horizontal antara sesama manusia, sedangkan tasawuf mengatur
jalinan komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar
dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.
Hubungan akhlak dan tasawuf tidak bisa terpisashkan karena kesucian hati akan
membentuk akhlakjyang baik pula .Pada intinya seseorang yang masuk kedalamn
dunia tasawuf hgarus munundukan jasmani dan rohani dengan cara mendekatkan diri
kepada Allah dan menjaga akhlak yang baik.
9
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan bahwa
ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Allah. Menerima qada
dan qadar Allah dengan senang hati.
g. Muraqabah
Kata ini mempunyai arti yang mirip dengan introspeksi atau self correction. Dengan
kalimat yang lebih populer dapat dikatakan bahwa muraqabah adalah siap dan siaga
setiap saat untuk meneliti keadaan diri sendiri.
2. Hal
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal
adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas),
rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi sebagai
anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat
sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya
mendekati Tuhan.
3. Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yahibbu, mahabbatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh al-Qusyairi,
yaitu bahwa mahabbah adalah keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya adalah
disaksikannya kemutlakan Allah SWT oleh hambanya, selanjutnya yang dicintainya
itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba
mencintai Allah SWT.
4. Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan atau pengalaman. Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan
pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan
sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Selanjutnya Harun
Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk
pengetahuan dengan hati sanubari.
5. Fana dan Baqa
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Adapun arti fana menurut
kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan
sesuatu yang lazim digunakan pada diri.menurut pendapat lain, fana berarti
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula
berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan
baqa yang dimaksud oleh para sufi adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia.
6. Ittihad
Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu. Dalam situasi Ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan.
10
7. Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,
yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.
Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan
yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah Hulul.
8. Wahdat al-Wujud
Wahdat al-Wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan
al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya
ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Menurut pandangan
para sufi, wahdat al-wujud adalah paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada
hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
9. Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata; insan dan kamil. Secara
harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian,
insan kamil berarti manusia yang sempurna. Insan kamil pula lebih ditujukan kepada
manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi,
kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya.
10. Tariqat
Dari segi bahasa tariqat berasal dari bahasa arab thariqat yang artinya jalan, keadaan,
aliran dalam garis sesuatu. Lebih khusus lagi tariqat di kalangan sufi berarti sistem
dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang
tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir
dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dan bersatu secara
ruhiah dengan Tuhan.
11
A. ABAD PERTAMA DAN KEDUA HIJRIYAH
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai
fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf
pada fase ini adalah sebagai berikut:
1. Bercorak praktis ( amaliyah )
Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran.
Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum,
menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Amaliah ini menjadi lebih intensif terutama
pasca terbunuhnya sahabat Utsman. Para sahabat Nabi SAW digambarkan oleh
Allah SWT sebagai orang yang ahli rukuk dan sujud,
Artinya:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti
tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat
lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar. ( al-Fath: 29 )
Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak
kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman
dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman. Kehidupan spiritual
yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan
dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada dasar
kehidupan spiritual Islam pertama.
Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri
terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok
pertama orang-orang yang memeluk Islam ( al- Sabiqun al-Awwalun ), salah seorang
yang dijanjikan masuk surga, orang yang dengan gigih mengorbankan hartanya untuk
perjuangan Islam dan orang yang mengawini dua putri Nabi. Peristiwa Utsman
mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik
memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk beribadah.
Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah
seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak
terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak seratus rakaat dan ketika
terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi
shalat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi masing-masing seratus rakaat
ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”.
2. Bercorak kezuhudan
12
Tasawuf pada pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai
kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid.
Banyak ucapan dan tindakan Nabi SAW yang mencerminkan kehidupan zuhud dan
kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya
makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Dan secara logikapun
tidak masuk akal seandaikata Nabi SAW yang menganjurkan untuk hidup zuhud
sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
Kezuhudan para sahabat Nabi SAW digambarkan oleh Hasan al-Bashri salah seorang
tokoh zuhud pada abad kedua Hijriyah sebagai berikut, ”Aku pernah menjumpai suatu
kaum ( sahabat Nabi ) yang lebih zuhud terhadap barang yang halal dari pada zuhud
kamu terhadap barang yang haram”.
Pada masa ini, juga terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang
dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul yang di sebut dengan ahl al- Shuffah.
Mereka tinggal di emperan masjid Nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat
menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan
tekun beribadah di masjid, seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an,
berdzikir, berdoa dan lain sebagainya. Allah SWT sendiri juga memerintahkan Nabi
untuk bergaul bersama mereka,
Artinya:
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak)
mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim). ( al-An’am :
52 )
Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi.
Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul dan kehidupan mereka adalah
corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai
seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak
memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati harta-NYA yang
abadi, Salman al-Faritsi, seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan
menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian
dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran
Syiah, Abu Hurairah, salah seorang perawi Hadits yang sangat terkenal adalah ketua
kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar,
Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar,
Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl
al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu
didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka
tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian
sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan
mereka ( para sahabat ) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan
sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.
13
3. Kezuhudan didorong rasa khauf
Khauf sebagai rasa takut akan siksaan Allah SWT sangat menguasai sahabat
Nabi SAW dan orang-orang shalih pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Informasi
al-Qur`an dan Nabi tentang keadaan kehidupan akhirat benar-benar diyakini dan
mempengaruhi perasaan dan pikiran mereka. Rasa khauf menjadi semakin intensif
terutama pada pemerintahan Umayah pasca jaman kekhilafahan yang empat.
Pada masa pemerintahan Umayah, khauf tidak hanya sebatas sebagai rasa takut
terhadap kedasyatan dan kengerian tentang kehidupan diakhirat akan tetapi khauf juga
berarti kekhawatiran yang mendalam apakah pengabdian kepada Allah bakal diterima
atau tidak. Pada masa ini pula, khauf menjadi sebuah pendekatan untuk mengajak
orang lain pada kebenaran dan kebaikan. Pendekatan indzar (menakut-nakuti) lebih
dominan dari pada pendekatan tabsyir (memberi kabar gembira).
Semangat kelompok keagamaan pada masa ini adalah penyebaran rasa takut
kepada Allah, kritik terhadap kehidupan yang melenceng jauh dari nilai-nilai
keagamaan pada masa Nabi dan dua khalifah sesudahnya dan memperbanyak ibadah.
Tokoh utama keagamaan pada masa ini adalah Hasan al-Bashri. Bahkan para asketis –
yang nantinya disebut sebagai para shufi – mengidentikkan pemerintah dengan
kejahatan.
4. Sikap zuhud dan rasa khauf berakar dari nash ( dalil Agama )
Al-Qur`an dan al-Hadits memberikan informasi tentang kebenaran sejati hidup
dan kehidupan. Keduanya memberikan gambaran tentang perbandingan antara
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Keduanya memberikan informasi tentang
kengerian kehidupan akhirat bagi orang-orang yang mengabaikan huum-hukum Allah.
Selanjutnya orang – orang mukmin benar-benar meyakini informasi itu. Dan
keyakinan itu melahirkan rasa khauf. Rasa khauf selanjutnya memunculkan sikap
zuhud yaitu sikap menilai rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap akhirat.
Dunia dijadikan sebagai alat dan lahan ( mazraah ) untuk mencapai kebahagian abadi
dan sejati yaitu akhirat.
5. Sikap zuhud untuk meningkatkan moral
Cinta dunia telah membuat saling bunuh dan saling fitnah antar sesama. Cinta
dunia melahirkan ketidaksalehan ritual, personal maupun sosial. Itulah sebabnya
Hasan al-Bashri sebagai salah seorang zahid dalam mengajak baik masyarakat
maupun pemerintah ( para pemimpin kerajaan Umayah ) selalu mengajak untuk
bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan sahabat Nabi yang setia.
6. Sikap zuhud didukung kondisi sosial-politik
Meski sikap zuhud tanpa adanya keadan sosial politik tertentu masih tetap
eksis lantaran al-Qur`an dan perilaku serta perkataan Nabi SAW mendorong untuk
bersikap zuhud, namun keadaan sosial politik yang kacau turut menyuburkan
tumbuhnya sikap zuhud.
Selama abad pertama dan kedua hijriyah terutama setelah sepeninggal Rasul terdapat
dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan kekhalifahan (khilafah nubuwah)
dan sistem pemerintahan kerajaan (mulk). Pemerintahan pertama berlangsung selama
tiga puluh tahun sesudah Nabi Muhammad SAW yaitu sejak permulaan kekhalifahan
14
Abu Bakar hingga Ali bin Abi thalib tepatnya dari tahun 11 H/ 632 M. sampai dengan
tahun 40 H./661 H.
Mereka adalah para pengganti Nabi yang berpetunjuk ( al-khulafa`
al-Rasidun ). Sistem pemerintahan yang pertama ini mekanisme penggantiannya
melalui pemilihan. Pemerintahan kedua sejak pemerintahan dinasti Umayyah tepatnya
sejak tahun 41 H./661 M. Dan pemerintahan kedua ini mekanisme pengangkatan
pemimpin tertinggi melalui petunjuk atau wasiat penguasa berdasarkan pertalian
darah.
Pemerintahan kekhalifahan, dalam pandangan banyak orang muslim, suatu
bentuk kesalihan dan rasa tanggungjawab yang sangat dalam, sedangkan dinasti
umayyah pada umumnya hanya tertarik pada kekuasaan itu sendiri. Kecaman yang
sering ditujukan pada dinasti Umayyah adalah dinasti ini tidak menerapkan kebijakan
untuk membuat asas Islam sebagai dasar bagi keputusan – keputusan administratif,
oleh karenanya dinasti Umayyah lebih menomorsatukan politik dan menomorduakan
agama. Mereka pada umumnya dianggapmenghamba duniawi dan kurang beriman.
Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak
kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman
dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman. Kehidupan spiritual
yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan
dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada dasar
kehidupan spiritual Islam pertama.
a) Fase Sebelum Terbunuhnya Khalifah Utsman
Kehidupan spititual Islam sebelum terbunuhnya Utsman terhitung sejak masa
Rasul dan masa dua khalîfah sesudahnya yaitu khalîfah Abu Bakar dan Umar.
Kehidupan spiritual pada masa ini termasuk Islam murni. Ciri utamanya adalah amal
untuk merealisasikan dua kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian besar sahabat
Rasul tidak mengalahkan akhirat untuk dunia atau sebaliknya.
Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol
yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul yang di sebut dengan ahl al- Shuffah.
Mereka tinggal di emperan masjid nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat
menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan
tekun beribadah di masjid seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an,
berdzikir, berdoa dan lain sebagainya.
Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi.
Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul dan kehidupan mereka adalah
corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai
seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak
memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati harta-NYA yang
abadi, Salman al-Fartsi, seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan
menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian
dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran
Syiah, Abu Hurairah, salah seorang perawi hadits yang sangat terkenal adalah ketua
kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar,
15
Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar,
Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl
al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu
didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka
tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian
sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan
mereka ( para sahabat ) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan
sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.
Kesederhanaan kehidupan Nabi juga diklaim sebagai panutan jalan para shufi.
Banyak ucapan dan tindakan Rasul yang mencerminkan kehidupan zuhud
dan kesederhanaan baik dari segi pakaian ataupun makanan, meskipun makanan
yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Hal itu berlangsung hingga ahir
hayat Rasul Allah. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Rasul yang
menganjurkan untuk hidup zuhud dan sederhana sementara dirinya sendiri tidak
melakukannya
b) Fase Pasca Terbunuhnya Khalifah Utsman
Pasca terbunuhnya khalifah Utsman, kehidupan spiritual mengalami
perubahan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Peristiwa terbunuhnya khalifah
Utsman merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa
tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk Islam
( al- Sabiqin al-Awwalin ), salah seorang yang dijanjikan masuk surga, dan orang
yang mengawini dua putri Nabi.
Peristiwa Utsman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat
dalam pertikaian politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta
konsentrasi untuk beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi
dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur
kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat
sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur
kepada Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga aku
menambahi masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa
Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”.
Dengan demikian pada masa ini mempunyai corak baru dalam kehidupan keagamaan
kaum muslimin. Fenomena keagamaan itu ditandai dengan munculnya para juru
cerita ( al-Qashshas ) baik di masjid-masjid ataupun di tempat khalayak ramai dan
para qurra` yaitu mereka yamg membaca al-Qur,an dengan menangis. Markas utama
para qurra itu ada di Bashra.
7. Fase Abad Kedua Hijriyah
Kehidupan spiritual pada fase ini mempunyai ciri tersendiri. Konsep zuhud
yang semula berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi
pembersihan jiwa, pensucian hati dan pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan
diri ( al-riyâdlah ) sangat menonjol pada fase ini seperti menyepi ( khalwah ),
bepergian (siyâhah ), puasa ( al-shwm ) dan menyedikitkan makan ( qillah
al-tha’âm ) bahkan sebagaian mereka tinggal di gua-gua.
16
Menurut Ibn Khaldun, orang yang mengkonsentrasikan beribadah pada fase ini
mendapatkan julukan al-Shufiyah atau al-Mutashawwifah.
Tema sentral zuhud pada fase ini adalah tawakal dan ridlâ. Konsep tawakal
dan ridlâ yang terdapat dalam al-Qur`ân itu yang oleh para asketis
sebelumnya dalam arti etis berubah menjadi madzhab yang sangat ektrim. Itulah
pada fase ini banyak kalangan asketis ( zâhid ) melakukan perjalanan masuk ke hutan
dengan bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap karunia apa saja
yang mereka terima.
Tokoh terkenal madzhab tawakal adalah Ibrahim bin Adham ( w. 161 H. / 790
M. ) . Ia meninggalkan kehidupan kebangsawanan di Balkh ibu kota kaum Budish
tempat ia dilahirkan. Perkembangan doktrin tawakal ini pada perkembangannya
mengarah kepada konsep sentral shufi tentang hubungan manusia dan Tuhan, konsep
ganda tentang cinta dan rahmat melebur dalam suatu perasaan.
Nampaknya Kehidupan spiritual pada fase ini terpengaruh oleh
pengaruh-pengaruh luar. Cerita Malik ibn Dinar banyak diriwayatkan dari al-Masih,
Taurat dan pendeta. Kehidupan Ibrâhim ibn Adham menyerupai kehidupan Sidarta
Gautama, seorang peletak agama Budha. Adalah hal biasa seorang abid kontak
dengan para pendeta ( râhib ) . Mereka saling tukar pengalaman mengenai
kebijaksanaan ( al-hikmah, wisdom ) dan cara-cara mujahadah. Itulah sebabnya fase
abad kedua hijriyah ini terutama pasca Hasan al- Bashri dapat disebut sebagai fase
transisi dari zuhud, yang puncaknya pada Hasan al-Bashri menuju tasawuf yang
dimulai sejak Râbiah al-Adawiyah. Fase ini juga kadang disebut dengan fase
kelompok para penangis ( al – Bukkâ’un ).
8. Fase Abad III dan IV Hijriyah
Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase
asketisisme ( kezuhudan ), maka abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase
tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai
sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga
hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani
mereka tidak semata – mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian
pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung
dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada
kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini
tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah
terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi
dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad
adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga
masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya
Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.
Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan
konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309 H. )
yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di
Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang ahirnya
17
membawanya dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya
adalah,
1. Hubungannya dengan kelompok al-Qaramithah
2. Ucapannya ” ( الحق أناsaya adalah tuhan yang maha benar)
3. Keyakinan para pengikutnya tentang ketuhanannya
4. Pendapatnya bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib
Tokoh lainnya adalah Dzunnun al-Mishri ( w. 245 H.) yang dikenal dengan
pencetus ma’rifat. Dia pernah belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga
dianggap orang yang berbicara pertama kali tentang maqamat dan ahwal di Mesir.,
al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H. ) dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli
( w.334 H.)
18
Sakit keras yang pernah dialami mengubah sikap hidup yang sangat drastis. Dia
menjadi seorang zahid dan abid. Dia menghabiskan waktunya di beberapa kota di
Andalusia dan di Afrika Utara untuk bertemu para guru shufi. Umur tiga puluh tahun
pindah ke Tunis kemudia ke Fas. Disini, Ibnu Arabi menulis buku berjudul al-Isra
Ila Maqam al-Asra () األسرى مقام إلى اإلسراء. Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds yang
kemudian diteruskan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi beberapa
tahun tinggal di Mekkah dan disinilah ia menyusun kitab Taj al-Rasail ()الرسائل تاج
dan Ruh al-Quds ( )القدس روحdan pada tahun 598 H. Mulai menulis kitab yang sangat
terkenal al-Futuhat al-Makkiyyah ()المكية الفتوحات. Ahirnya Ibnu Arabi tinggal di
Damaskus dan menulis kitab Fushush al-Hikam ()الحكَم فصوص. ِ Ibnu Arabi meninggal
pada tahun 638 H.
Tokoh lainnya adalah al-Syuhrawardi (549 – 587 H.) dengan konsep
Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan
kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah
Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl
(632 H.)
Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi
yang bertujuan membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik
dzikir tertentu. Oleh sebagian orang dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk
membantu orang-orang –awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini
pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja (khawash).
Disamping itu kehadiran thariqat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada
dalam koridor syariat. Itulah sebabnya sistem thariqat sangat ketat.
Artinya :
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam surga-Ku" (QS. Al Fajr: 28-30).
Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah,
Artinya :
19
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri
(kepada) Allah" (QS. Al An'am: 162-163).
20
lahir dan batin, dunia dan ukhrawi, serta individu dan masyarakat. Keseimbangan ini
harus menjadi roh bagi peradaban manusia dalam kehidupan modern sekarang ini.
Itu semua hanya hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Adapun untuk
memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari
sekedar membersihkan atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan
nilai-nilai ilahiyah (tahalli) dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi Ilahi
dalam kehidupan dunia ini.
Selanjutnya, bila ia memang berada dalam perjalanan "menjadi" sufi, ia akan
mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya,
kemudian menjadi tahu. Dari tahap ini ia akan berlanjut pada musyahadah, menyadari
sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya. Yang ada dan berada hanya Allah
Yang Mahaesa. Tidak ada yang Ada selain Ia. Seseorang yang berada dalam posisi ini
pantas disebut muwahid (orang yang bertauhid). Posisi ini akan terus berlanjut pada
penyatuan dengan Tuhan. Namun dalam tahap ini kadang tidak setiap orang mampu
21
menerima pengalaman seorang sufi yang mengalami ektase (fana). Sebab kalimat
yang terlontar ketika dalam keadaan fana adalah kata-kata "janggal" seperti yang
dilontarkan Abu Mansur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Syeikh Siti Jenar, dan
lainnya.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan :
Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang
mulia dan dekat dengan Allah SWT.
Ajaran tasawuf yang benar adalah yang tidak mengabaikan akhlak terhadap
sesama manusia. Jadi, bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan saja yang harus
di bina, namun perlu juga hubungan dengan sesama manusia dengan akhlak yang
terpuji. Dalam Islam, bahwa walaupun tujuan hidup harus diarahkan ke alam akhirat,
namun setiap muslim diwajibkan untuk tidak melupakan urusan dunianya. Setiap
muslim wajib kerja keras untuk menikmati rezeki Tuhan yang telah dihalalkan untuk
umat-Nya, asal diperoleh melalui jalan yang halal. Yakni berlomba dengan cara yang
jujur dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Akan tetapi mengutamakan kehidupan
dunia dan berpandangan materialis-sekuler sangatlah dicela dan diharamkan dalam
Islam.
Fungsi Tasawuf :
Fungsi umum:
· agar kita itu mencontohi Rasulullah dalam perilaku kehidupan
sehari-hari.
· menyeimbangkan lahir dan batin dunia dan akhirat.
· agar hati ini teduh redup biar tidak gelisah.
· membuat kesadaran sosial menjadi lebih tinggi.
Fungsi khusus:
· untuk membersihkan hati kepada Allah.
· membersihkan jiwa dari pengaruh keduniaan.
· menerangi jiwa dari kegelapan.
· memperteguhkan dan menyuburkan keimanan.
23
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002
2. al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
3. Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada,
1996
4. MAHJUDIN, Drs. 1991. Kuliah Akhlak-Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
5. MUSTOFA, Drs. H. A. 1999. Akhlak-Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
6. NATA, Prof. Dr. H. ABUDDIN, M.A. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Taja
Grafindo Persada.
7. Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
8. Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia, 2000.
9. Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1996
24