Anda di halaman 1dari 18

TASAWUF SUNNI

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teosofi


Dosen Pengampu : Dr. Badruddin, M.HI

Disusun Oleh: Kelompok XII


Rizky Nanang Sugianto (17230054)
Ullyl Vaizatul Viananda Masruroh (17230046)
Nanda Dwi Oktaviana (17230055)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dari kelompok XII dapat
menyelesaikan makalah tepat pada waktunya yang berjudul “Tasawuf Sunni”

Sholawat serta Salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi besar kita
Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah tanpa
adab dan etika menuju zaman yang berbudi luhur sebagaimana yang kita rasakan
saat ini , ialah seorang pahlawan yang sangat berjasa bagi umat manusia, tiada
kenal lelah untu memperjuangkan umat.

Terimakasih juga kami haturkan kepada bapak dosen Dr. Badruddin, M.HI
sebagai dosen pengampu mata kuliah Teosofi, yang telah memberikan kepada
kami kesempatan untuk menyusun makalah ini. Harapan kami, semoga dengan
disusunnya makalah ini, dapat menambah wawasan keilmuan kami sebagai
penyusun dan para pembaca, serta menjadi referensi dalam pembahasan tentang
Tasawuf Sunni.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
sangat minim. Oleh kerena itu kami harapkan kepada bapak dosen pengampu dan
para pembaca untuk memberikan saran dan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Malang, November 2017


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Dalam diri manusia selalu ada yang namanya spiritualitas, karena


spiritualitas berkenaan dengan hati manusia. Manusia yang ditakdirkan memiliki
hati dan perasaan akan konsep spiritualitas yang membedakan hanyalah tingkat
kekuatan dan keyakinan akan perasaan itu muncul dari mana. Membahas tentang
spiritualitas dalam islam dikenal dengan tasawwuf. Disini akan membicarakan
tentang seberapa besar tingkat spiritualisme manusia yang akan mendekatkan
dirinya pada Tuhan. Sedangkan saat ini, telah banyak orang yang mementingkan
dunianya dan jauh dari Tuhannya. Apalagi ketika mereka mencapai titik
kesuksesan yang fana. Dan mereka tidak akan merasakan kenikmatan rasa syukur
dan kedekatan kepada Alloh yang sesungguhnya.pada intinya tasawuf ini sangat
menolak pendekatan kepada Allah SWT dengan akal rasio. Dalam makalah ini,
kami akan membahas tentang konsep pendekatan diri kepada Allah dengan
berpegang teguh pada al-Qur‟an dan sunnah yang biasadisebut tasawwuf sunni.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa pengertian Tasawuf Sunni?
b. Bagaimana sejarah munculnya tasawuf Sunni?
c. Apa sajakah ciri-ciri dari tasawuf Sunni?
d. Siapa tokoh-tokoh Tasawuf Sunni dan bagaimana ajarannya?

1.3. Tujuan Makalah


a. Untuk mengetahui pengertian dari Tasawuf Sunni
b. Menambah wawasn tentang sejarah munculnya tasawuf Sunni
c. Untuk mengetahui ciri-ciri yang menandakan tasawuf Sunni
d. Agar mengetahui bagaimana ajaran tasawuf Sunni dan siapa yang
menjadi pelopor munculnya tasawuf Sunni.

1.4. Manfaat Makalah


Untuk memenuhi tugas yang diberikan bapak dosen pengampu mata
kuliah teosofi, dan untuk menambah wawasan penyusun dan para pembaca
yang ingi mengetahui tentang tasawuf Sunni.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Tasawuf Sunni


Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab, tetapi ulama berbeda pendapat
apa asal-usul kata tersebut. Ada yang berpendapat itu tasawuf berasal dari kata
Shuf (bulu domba), Shaff (barisan), Shafa’ (Jernih), Shuffah (serambi masjid)1.
Dari pendapat ulama-ulama ini, secara bahasa tasawuf dimaknai menjadi
beberapa pengertian, yaitu:
a. Kata Shuf, yang artinya bulu domba atau kain yang terbuat dari bahan
wol. Kain yang terbuat dari bahan wol melambangkan kesederhanaa.
Jadi penganut tasawuf ini adalah orang-orang yang hidupnya
sederhan, tetapi berhati mulia.
b. Kata Shaff, yang artinya barisan, dinisbahkan kepada orang-orang
yang sholat di shaf terdepan yang mendapatakan kemuliaan dan
pahala yang lebih besar dari Allah SWT. Maka penganut tasawuf ia
mereka yang dimuliakan oelh Allah SWT.
c. Kata Shafa, yang artinya jernih atau suci. Maksud dari kata ini ialah
orang-orang yang menyucikan diri dihadapan Allah melalui latihan
yang berat dan lama.
d. Kata Shuffah, yang artinya serambi masjid, maksud nya ialah
sekelompok orang yang berdiam di serambi masjiddan mengabdikan
dirinya untuk beribadah kepada Allah.
Inilah pendapat ulama tentang tasawuf, tetapi yang paling benar
tasawuf berasal dari kata “Shuf”, kain yang terbuat dari wol.

1
Samsul munir amin, Ilmu Tasawuf, cet.2, (Jakarta, Bumi Aksara, 2014), h. 3
Secara istilah menurut H. M. Amin Syukur adalah latihan dengan
kesungguhan untuk memebersihkan, mempertinggi dan memperdalam aspek
kerohaniandalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan
menurut Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari tasawuf adalah ilmu yang
menerangkan cara mencuci bersih jiwa, memeperbaiki akhlak, dan membina
kesejahteraan lahir serta bathin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.
Jadi, tasawuf adalah usaha secara sungguh-sungguh dalam melatih jiwa
agar tidak terpengaruh dengan kenikmatan dunia untuk tujuan mendekatkan
diri kepada Allah SWT hinnga jiwa menjadi suci dan bersih, berakhlak mulia,
dan mendapatkan kebahagiaan dalam beribadah.
Sunni atau Ahlu Sunnah Wal Jama’ah juga berasal dari bahasa Arab,
yaitu Ahlu (keluarga, pengikut, dan golongan), As-Sunnah (segala sesuatu
yang dinukilkan dari nabi Muhammad SAW), Al-Jama’ah (orang-orang yang
memelihara kebersamaan)2. Jadi arti Sunni adalah sekelompok orang yng
hidup dalam islam berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, dengn pemahaman para
sahabat, tabi’in, dan itba’ tabi’in
Dari pengertian Tasawuf dan Sunni diatas dapat disumpulkan bahwa
Tasawuf Sunni adalah yang pengikut-pengikutnya membatasi dan berpegang
teguh dengan Al-qur’an dan Hadist serta berusaha mendekatkan diri kepada
Allah dengan jalan dan metode yang telah ditentukan sehinnga jiwa menjadi
suci dan bersih, berakhlak mulia, dan mendapatkan kebahagiaan dalam
beribadah

2.2. latar belakang munculnya Tasawuf Sunni


Kemunculan Tasawuf Sunni dikarenkan dua faktor, yaitu faktor internal
dan eksternal. Faktor internal yang nyebabkan munculnya Tsawuf Sunni ialah
kritik-kritik pada saat itu oleh tokoh-tokoh sufi yang menyimpang, sedangkan
sebab eksternlanya ialah permasalahan yang akidah yang menjadi masalah
besar.

2
Tim Batartama PonPes Sidogiri, Trilogi Ahlusunnah Akdiah, Syriah dan Tasawuf, cet.2, (Jawa
Timur, Pustaka Sidogori Pondok Pesantren Sidogiri, 2015), h. 15
Tasawuf Sunni sebenarnya sudah ada semenjak abad ke-3 dan ke-4
hijriyah, tetapi pada saat itu belum terlihat jelas ketasawufannya, yan jelas
hanyalah orang-orang yang berpengang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah.
Pada abad ke-5 hijriah, terjadi percekcokan masalah akidah yang melanda
ulam fiqh dan tasawuf, dan ditambah dengan orang syi’ah yang ingin
mengembalikan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu orang-orang
syi’ah mempengaruhi para sufi degan sebuah doktrin, yaitu imam yang Ghaib
akan pindah ketangan sufi yang pantas menjadi waliallah, dan dari sisi lain,
para sufi juga terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme yang menimbulkan
corak pemikiran bertentangan dengan kehidupan para sahabt, tabiin, danitba’
tabiin. Karena permasalahan inilah banyak sufi yang kembali kepda Al-
Qur’an dan hadist.

2.3. Ciri-ciri Tasawuf Sunni


Tasawuf Sunni terus berkembang dari zaman klasik hingga modern,
tasawuf ini banyak berkembang didunia islma, yaitu dikalangan masyarakat
yang bermazhab Syafi’i. Berikut adalah ciri-ciri dari Tasawuf Sunn3i;
a. Berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah, tasawuf ini tidak mau
menerjunkan paham yang berada diluar pembahasan Al-Qur’an dan
Hadist.
b. Tidak menggunakan terminologi-terminologi sebgaimana terdapat
pada ungkapan syahat. Terminologi dikembangkan tasawuf Sunni
lebih secara transparan sehingga tidak kerap bergelut dengan term-
term syahat
c. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan Tuhan dan
Manusia. Yang dimaksud dualisme disini bukan lah manusia dapat
menyatu dengan Tuhan, akan tetapi ajaran yang mengakui manusia
dapat berhubungan dengan tuhan dalam hal esensi, hubungan nya
tetap dalam kerangka yang berbeda antara Tuhan dan manusia.

3
Samsul munir amin, h.142
d. Berkesinambungan antara haqiqah dan syariah, yaitu keterkaitan
antara tasawuf sebagai aspek batiniyah dan fiqh sebagai aspek
lahiriyah.
e. Lebih mengutamakan dan berkonsentrasi pada soal pembinaan,
pendidikan akhlak, dan pengeobatan jiwa dengan cara latihan mental
(riyadhah) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.

2.4. Tokoh-tokoh tasawuf Sunni dan Ajarannya.


HASAN AL-BASRI DAN BENTUK TASAWUFNYA
.Biografi
Nama lengkap beliau adalah Abu Sa‟id al-Hasan binYasar. Tokoh ini lahir diMadinah
tahun 21 H. (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H. (728 M). Ayahnya seorang
budak yang menjadi sekretaris nabi , yaitu Za‟id bin Tsabit.
Ia dinisbatkan ke kota Basrah, karena ia lama belajar di Basrah dan mengembangkan
kepakarannya hingga kepuncaknyadikota yang sama. Dari segi keilmuan, ia sangat
unggul dan sangat dalam ilmunya, sehingga ia digelari Syekh al-Bashrah. Ia
seorang faqih ,muhadis, muffasir, sekaligus seorang suffi. Nasihat-nasihatnya tersebar
dalam berbagai kitab,demikian hadist-hadist yang diriwayatkannya banyak menghiasi
kitab-kitab. “Bergurulah kepada Hasan Basri”, demikian kata Qotadah,”karena saya
sudah menyaksikan sendiri , tidaklah ada seorang tabi‟in yang menyerupai sahabat nabi
kecuali beliau (Hasan Basri)”. Khalid bin Safwan menjelaskan kepada maslamah bin
Abdul Malik tentang Hasan Basri. “Hasan adalah orang yang saat sendirinya sama
dengan berada dimuka umum. Jika merasa tidak semangat dalam kebaikan segera bangkit
dan jika sedikit saja melakukan kesalahan segera ia menahan diri. Jika menyuruh orang
lain beramal ia paling dulu melakukannya, dan jika ia melarang sesuatu, ia paling dulu
meninggalkannya. Ia tidak membutuhkan orang lain, sementara orang lain membutuhkan
dirinya”.
B. Bentuk Ajaran Tasawuf Hasan Basri
Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik daripada perasaan
tenterammu yang kemudian menimbulkan rasa takut.Dunia adalah negeri tempat beramal.
Barang siapa bertemu dengan dunia dengan rasa benci dan zuhud, maka bahagialah dia
dan ia mendapat faidah dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam
dunia, lalu hatinya rindu dan perasaannya tersangkut kepada dunia maka akhirnya ia akan
sengsara. Dia akn terbawa pada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.Tafakur
membawa kita pada keaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan
jahat dan meninggalkannya. Barang yang fana walau bagaimana banyaknya tidaklah
dapat menyamai barang yang baqa’walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negeri yang
cepat datang dan cept pergi juga karena tipuan. Dunia ini laksana seorang nenek tua yang
telah bungkuk dan telah banyak kematian laki-laki.Orang yang beriman berduka cita
pagi-pagi dan berduka cita diwaktu sore, karena ia hidup dalam dua ketakutan, takut
mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan
tahu bahaya apakah yang sedang mengancam. Patutlah orang insaf bahwa mati sedang
mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan ia mesti berdiri dihadapan Allah akan
dihisab (dihitung amalnya) Banyak duka cita didunia memperteguh amal sholeh.
AL-MUHASIBI (W.243 H/857 M) .

A. Biografi
Nama lengkapnya adalah Adul Abdillah al-Haris al-Muhasibi, dilahirkan di
Basrah dan menghabiska sebagian hidupnya di Bagdad. Pemikiran tasawuf
tercover dalam kitab utamanya ” Ar-Ri’ayah li huquqillah”
( Hak-hak Allah dan pengaruh egoisme terhadapnya). Misi utama kitab itu adalah
mengembangkan psikologi moral dengan sangat ketat, dan ternyata karyanya ini
berpengaruh kuat pada tradisi tasawuf. Buku al-Muhasibi disusun dalam bentuk
dialog antara guru dan muridnya sendiri. Murid bertanya kepada guru secara
singkat kemudian guru menjawab dengan jawaban yang luas,rinci dan detail.

B. Bentuk Ajaran Tasawuf Al-Muhasibi


Bentuk utama egoisme yang dianalisis al-Muhasibi adalah (1) riya yang biasa
disebut narsisisme; (2) kibr didefinisikan oleh al-Muhasibi sebagai tindakan
hamba yang menempatkan dirinya pada kedudukan Tuhan, dalam istilah
kontemporer biasa disebut megalomania, yakni seorang melihat dirinya
sebagai pusat realitas (3) ujub maknanya seorang memperdaya dirinya sendiri
dengan melebih-lebihkan penilaiannya atas segala tindakannya,serta melupakan
kesalahan-kesalahan dirinya. (4) ghirrah dengannya seseorang berkhayal
bahwa penolakannya untuk merubah perangi buruknya dibenarkan oleh
harapannya akan sifat rahmat rahim Allah.
Setiap bentuk egoisme ini berhubungan satu sama lain dan masing-masing
melahirkan sub bentuk egoisme baru, sepertipersaingan, permusuhan, ketamakan
serta tafakhur(membangga-banggakan diri) masing-masing sub bentuk tersebut
memiliki suatu modalitas dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk prinsipal.
Oleh sebabitu, terdapat persaingan yang berladaskan pada kecongkakan
dan bentuk persaingan yang berbeda berlandaskan pada kibr dan ujub Masing-
masing bentuk dan sub bentuk egoisme memiliki penawar dalam kehiduan
manusia. Ikhlas, misalnya adalah penawar bagi riya. Setiap penawar bersumber
pada renungan pada keesaan tuhan, AlQuran , sunnah nabi dan akal sehat manusia
selama ia berpijak pada wahyu Ilahi
4

AL-QUSYAIRI A.
A. Biografi
Al-Qusyairi nama lengkapnya adalah Abdul Karim ibn Hawazim, lahir
tahun 376 H. Di Istiwa, kawasan Nishapur. Dia berdarah Arab, dan tumbuh
dewasa di Nishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah
dia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Al-Daqaq, seorang sufi terkenal.
B.Bentuk Ajaran Tasawwuf Al-Qusyairi
Beliau adalah tokoh sufi yang mampu mengkompromikan syariat dan hakikat.
Dan rujukannya pada doktrin Ahlussunnah Waljamaah, yang dalam hal ini ialah
dengan mengikuti tokoh-tokoh sufi Sunni pada abad ketiga-keempat Hijriyah
yang sebagaiman diriwayatkannya dalam Ar-Risalah. Adapun beberapa ajarannya
yaitu :
1. Membina prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, agar jauh dari
adanya penyimpangan.
2. Menolak tasawwuf Syathoiyyah, yaitu tasawwuf yang mengungkapkan adanya
penyatuan dengan Tuhan.
3 Tidak setuju dengan pakaian sufi yang compang-camping, karna baginya
tasawuf bukanlah masalah pakaian namun masalah batin.

AL-GHAZALI DAN BENTUK TASAWUFNYA

4
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, hal, 78-80
A. Biografi Dan Sejarah Ketasawufannya

Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad ibn
Ahmad, karena kedudukan tingginya dalam Islam, di digelari Hujjatul Islam. Ayahnya,
menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi
kita ini terkenal dengan Al-Ghazali (yang pemintal wol), sekalipun dia terkenal pula
dengan Al-Ghazali, sebagaimana halnya diriwayatkan Al-Sam’ani dalam karyanya, Al
Anshab, yang dinisbatkan pada satu kawasan yang disebut Ghazalah. Selama periode
kehidupannya Al-Ghazali menimba dan mempelajari banyak cabang ilmu pengetahuan,
dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali, untuk menghilangkan
keraguan sejak dia mengajar. Tetapi ternyata ilmu ilmu itu tidak memberinya ketenangan
jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelira sampai membuatnya tertimpa
krisis psikis yang kronis. Mengenai krisis yang terjadi pada Al-Ghazali, beliau berkata:
“Lalu keadaan diriku pun kurenungi, dan ternyata aku telah tenggelam dalam ikatan-
ikatan (yang bercorak duniawi) yang meliputi diriku dari segala sudut. Amalan-amalanku
pun ku renungi, khususnya amalanku yang terbaik yaitu mengajar,dan ternyata aku
menerima ilmu-ilmu yang sepele dan tidak berguna. Akupun lalu memikirkan niatku
dalam mengajar, dan ternyata niatku tidak ikhlas demi Allah. Bahkan hanya didorong
terhadap jabatan dan keinginan untk menjadi terkenal. Aku pun menjadi yakin bahwa aku
hampir mengalami kehancuran, dan aku benar- benar tidak akan lepas dari neraka, andai
saja aku tidak meinggalkan hal-hal
sepele tersebut.” inilah salah satu ucapan beliau pada saat itu. Maka ketika beliau
menyadari ketidakmampuannya, dan hilang seluruh kesanggupannya untuk memutuskan,
maka beliaupun memutuskan menuju Allah, sebagaimana kembalinya orang yang yang
tersudut dan tanpa daya. Begitulah timbulnya kecenderungan ke arah tasawuf pada diri
Al-Ghazali
Periode awal kehidupan spiritualnya tersebut merupakan persiapan psikis bagi beliau
untuk menempuh jalan tasawuf. Periode spiritualya itu sendiri ditandai dengan berbagai
kondisi intuitif, seperti keraguan, kegelisahan, rasa bosan, rasa sedih yang mendalam,
rasa takut kepada sesuatu yang tidak diketahui, upaya memahami realitas alam dan
menyingkapkan yang dibaliknya, dan perasaan- perasaan samar lainnya, yang kesemua
itu akhirnya menuju Allah. Dalam tasawuf, pilihan Al-Ghazali jatuh pada tasawuf Sunni
yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia
menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte
Islamiyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga beliau menjauhkan
tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi
dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar
bercorak Islam. Dan akhirnya, sekalipun Al-Ghazali dalam tasawufnya mengarah pada
aliran murni, namun pengetahuannya yang luas dalam bidang filsafat membuatnya
mampu menguraikan, menganalisa, bahkan memperbandingkan masalah-masalah tasawuf
yang dikajinya. Disamping itu beliau mempunyai kecakapan dalam mengkritik aliran-
aliran yang bertentangan dengan tasawuf Sunni, serta memancangkan persoalan-
persoalan yang beliau kemukakan. Atas upayanya tersebut, seperti dikatakan Macdonald,
“ Beliau membuat tasawuf mempunyai posisi terhormat dalam kalangan kaum muslimin
yang Sunni”

B.Bentuk Tasawuf Al-Ghazali


Al-Ghazali setelah mengkaji aliran-aliran para teolog, filosof, dan batiniyah tersebut,
akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurut beliau, para sufilah pencari kebenaran yang
paling haqiqi. Lebih jauh lagi, menurutnya jaln para sufi adalah paduan ilmu dengan
amal, smentara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa
mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah tinimbang
mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak
mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan
rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf adalah
semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil. Karena itu, sebagaimana yang
dinyatakan Al-Ghazali,para sufi adalah “orang orang yang lebih mengutamakan keadaan
rohaniah tinimbang ucapannya”. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut telah berhasil
mendeskripsikan jalan menuju Allah sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu
menempuh fase-fase pencapaian rohaniah dalam tingkatan serta keadaan menurut jalan
tersebut, yang akhirnya sampai pada kefanaan, tauhid, ma‟rifat, dan kebahagiaan. Dalam
perinciannya sebagai berikut :

1. (At-thoriq)
Al-Ghazali berpendapat bahwa yang dimaksud jalan para sufi adalah “ penyucian diri,
pembersihannya, serta pencerahannya, lalu persiapan dan penantian (ma‟rifat)” Jadi
tujuan jalan para sufi adalah penempuhan fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta
penggantian moral yang tercela dengan moral yang terpuji. Sehingga dengan ini,
penempuh jalan sufi tersebut akan mencapai pengenalan Allah. Dengan kata lain, poros
penempuh jalan sufi adalah moralitas.
Penempuh jalan sufi, harus konsisten menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar,
dan tidak tidur malam hari. Hal ini semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya
dia dapat menyaksikan Tuhannya.
2. Ma’rifat
Ma’rifat adalah penyaksian hati yang mendapatkan pencerahan nur Illahi
sehingga mampu mendekat dan mendapat kasyaf/ keterbukaan kepada Allah.
Menurut Al-Ghazali, “ sarana ma‟rifat seorang sufi adalah kalbu”, bukan perasaan
an bukan pula akal budi.
Untuk mencapai tingkat ma‟rifah, para sufi berusaha melakukan beberapa
tahap perjalanan rohani (suluk), antara lain yang dipandang sangat mendasar :

a.) At-Taubah At-Taubah atau yang sering kita sebut dengan tobat terbagi menjadi 3
jenjang dalam penempuhannya, yang pertama
At-Taubah merupakan taubatnya orang yang takut akan siksaan dan hukuman Tuhan.
Yang kedua Al-Inabah yaitu taubatnya orang yang mengiginkan pahala. Dan yang ketiga
adalah Al-Aubah yaitu taubatnya orag yang mematuhi perintah Tuhannya, bukan karena
takut disiksa ataupun menginginkan pahala.
b.) Az-Zuhd Zuhud adalah meninggalkan kesenangan duniawi dan mengharapkan
kesenangan ukhrowi. Sifat dan sikap zuhud telah dicontohkan Nabi Muhammad
SAW kepada sahabat-sahabatnya. Mereka menganggap harta dan kenikmatan
duniawi ini sebagai hal yang tidak penting, terlalu kecil dibanding kenikmatan
akhirat, terlalu rendah nilainya dibanding kekayaan akhirat. Menurut Al-Ghazali
Zuhud memunyai 3 tingkatan, pertama zuhud terhadap dunia (barang-barang
duniawi),dia merasakan hal yang berat, karena sesungguhnya dia masih
menginginkan namun berusaha untuk melawan. Orang ini disebut “AlMutazahid”
(belajar zuhud), yang kedua orang yang siap meninggalkan barang duniawi
dengan sukarela, orang ini disebut dengan “Az Zahid”. Dan yang ketiga
adalahorang yang tidak merasakan adanya keberatan apapun meninggalkan
masalah dunia, karena memang dia sudah tidak lagi tertarik dengan hal dunia.
Orang ini disebut “Az-Zahid Al-Kamil” (orang yang sempurna kezuhudannya)
c.) Al-Wara ‟ Kata ini asalnya mempunyai arti “menahan diri” atan “pengendalian
diri. Wara‟ ada tiga tingkatan, pertama wara’nya orang awam (wara’al awam),
yang menahan diri dari melakukan segala hal yang tidak layak dilakukun meskipun
itu bukan barang maksiat, termasuk menjauhkan diri dari semua barang syubhat (Yang
tidak jelas hukumnya). Kedua, wara’nya orang khas (wara’al khusus),yakni menjauhkan
diri dari segala apa saja yang dapat mengganggu hati-hatinya, atau mengganggu hak
orang lain. Ketiga, wara’nya orang yang sangat khusus (wara’ khushusi al-khusus)yang
menjauhi segala hal selain Allah dengan menjelaskan bahwa Al-Wara‟ itu menjauhkan
diri dari segala hal berbau syubhat dan Az-Zuhd adalah meninggalkan hal-hal yang
melebihi kebutuhan pokok.

d.) At-Tawadlu At-Tawadlu makksudnya dalah berlaku sopan terhadap semua


manusia apalagi terhadap Allah, sebab tawadlu merupakan penjaban dari akhlaq
luhur (khusnu al-khuluq/makarimal akhlaq) yag menjadi indikasi kualitas agama
seseorang maka sifat dan sikap serta perilaku yang dinilai menjadi sumber segala
dosa yakni: Al-Kibr, Al-Hisr, Al-Hasad, Ro‟su kulli khati‟ah, Al-Kidzb, Al-
Hibah, Fitnah, An- Namimah
e.) Al-Muroqobah Adalah kesadaran yang intens bahwa Allah selalu memantau dan
mengawasi segala niat, sikap dan perilaku manusia dalam segala situasi di semua
tempat dan waktu.
f.) Adz-Dzikr Adalah mengingat Allah baik dengan lisan maupun dengan hati.
g.) Al-Istiqomah Prinsip istiqomah menuntut perpaduan ketat antara menjalankan
ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan yang hakikatnya hanya dapan dilakukan
secara sempurna oleh para nabi dan auliya. Syech Abu Ali Ad-Daqaq
mengatakan bahwa istiqamah itu dimulai dari At-Taqwim (mendisiplinkan diri),
kemudian Al-Iqomah (meluruskan hati), dan setelah itu baru Al-Istiqomah
(mendekatkan hati nurani terus menerus kepada Allah.Dan itulah yang sering
disebut dengan maqamat-maqamat yang harus ditempuh para sufi menurut Al-
Ghazali.
5

SYEKH ABDUL QADIR AL-JILANI


A. Biografi
Nama lengkap beliau adalah as-Syaikh al-iman az-Zahid al-Arif al-Qudwah, Syekh al
Islam, Sultan al-Auliya, Imam al-Asfiya , Muhyid-din wa as-Sunah wa Mumit al Bid’ah ,
Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Salih Abdullah bin Janki Ddus in Yahya bin
Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, al-Jaili,
Asy-Syafi‟i , al-Hanbali, Syekh Baghdad. Ibunya adalah Um al-Khair (induk kebaikian)
amat al-Jabbar (khadam Tuhan yang Maha Perkasa), Fatimah binti Abdul Abdillah as-
Suma‟i, seorang ibu yang banyak memiliki karamat dan ahwal.
Sultan al-Auliya dilahirkan pada pertengahan bulan ramadhan pada tahun 471 H di
kampung Jilan. Di Jilan beliau hidup hingga berusia delapan belas tahun. Pada tahun 488
H ia pindah ke Bagdad dan menetap disana hingga akhir hayatnya. Pada masa studi
Sultan al-Auliya tahu bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib kepada setiap muslim dan
muslimat. Oleh karena itu, dalam usia yang masih muda ia belajar berbagai disiplin ilmu
daripada ulama yang mumpuni dizamannya. Ia mulai belajar al-Qur’an dibawah
bimbingan Abu al Wafa ,Ali bin Uqail al Hanbani dan ulama yang lainnya. Ia belajar
hadist melalui banyak tangan para ahli hadist yang masyhur di zamannya, seperti Abu
Ghalib Muhammad bin Hasan al-Balaqalani dan yang lainnya. Ia mempelajari fiqih
melalui tangan ulama-ulama fiqih yang masyhur dizamannya seperti Abu Zaid al-
Muhrimi yang darinya ia mengambil hirqah yang mulia. Bahasa dan sastra dipelajari juga
dari Abu Zakaria Yahya bin Ali at-Tabrizi, Shahib Hammad Ad-Dabbas dan dari yang
tersebut terakhir ia juga mengambil tarekat. Latar belakang studinya yang amat sistematis
mengantarkan ia keposisi yang amat tinggi, ia mumpuni dalam ilmu aqidah syariah,
tariqah, lugah dan sastra. Ia menjadi tokoh utama dalam mazhab Hanbali dan tempat
orang bertanya dalam mazhab ini. Allah memasukkan kedalam hatinya hikmah yang
nampak dalam lisannya setiap kali ia memberi tausiyah majelis-majelis pengajian. Pada
bulan syawal tahun 521 H, Sultan al-Auliya memberikan ceramah di madrasah Abu Said
Al- Mukhrimi bab al-Ujaj Bagdad, dan setiap kali pengajian banyak ulama yang hadir
sekitar tujuh puluh ribu orang.baik ahli kalam, fikih, hadist, para sufi dan para cerdik
cendikiawan lainnya

5
hasan, muhammad tholhah, ahlussunnah wal jamaah, hal.182
B. Bentuk Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jilani
Seperti halnya sufi yang lain Syekh Abdul Qadir al-Jilani melihat ajaran islam dari dua
aspek. Yaitu lahir dan batin, demikian juga setiap ayat dalam al- Qur’an bagi nya ada
yang mengandung makna lahir dan batin. Sebagai contoh, taharah yang berarti bersuci
terbagi pada dua bagian, Pertama penyucian diri secara lahiriah. Hal ini diperintahkan
oleh agama dan caranya dengan mencuci anggota badab atau tubuh dengan air suci,
dalam bentuk wudhu maupun mandi. Nabi SAW bersabda“ Barang siapa yang
memperbaharui wudhu maka Allah memperbaharui imannya” Kedua,
penyucian diri secara batiniah diawali dengan adanya kesadaran akan adanya
kotorandalam wujud diri seseorang sehingga menjadi sadar terhadap dosa-dosanya dan
secara sungguh-sungguh menyesalidosa-dosa tersebut. Cara penyucian batiniah ini harus
mengambil jalan spiritual dan diajarkan serta dibimbing oleh guru spiritual, yaitu dengan
taubat, talqin az-Dzikir, tasfiah, dan suluk. Dalam aspek ibadah Syek bukan hanya
memetingkan ibadah fardhu, yang nawafil pun menjadi perhatian utama dalam kehidupan
kesehariannya. Amal-amal sunnah yang menjadi amalan TQN sebagaimana diamalkan di
PP suryalana, itulah ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-Jilani Sedangkan riyadoh yang tidak
pernah ditinggalkannya adalah dzikrullah. Pedoman aurad yang dipandang representasi
ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-Jilani telah ditulis oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas
dalam bukunya Fathul Arifin, yang kemudian dibukukan secara komprehensif olh Abah
Anon dalam kitab Uquq al-Juman.
PENGARUH MUNCULNYA TASAWUF SUNNI

Adanya tasawuf sunni membuat manusia sadar akan pentingnya mendekatkan diri pada
Allah. Dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah, akan meminimalisir bahkan
menjauhkan dari adanya penyelewengan dalam bertasawwuf. Tasawwuf sunni juga
mengajakan akan kesederhanaan, bukan berarti seorang sufi harus berpakaian compang-
camping karena tasawwuf bukan hanya mengemukakan dalam hal berpakaian tetapi juga
dalam kesehatan batin. Dari sisi kehidupan pun manusia bisa belajar menjauhkan diri dari
hal-hal yang bersifat duniawi, atau dikenal dengan nama istilah zuhud. Atau dapat
mengikuti proses pendekatan diri pada Allah sesuai maqamat-maqamat yang dituliskan
oleh Al-Ghazali. Dengan hal ini akan berpengaruh besar terhadap manusia yang akan
membawanya menuju ketentraman hati, pikiran, dan kebahagiaan dunia maupun akhirat.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Tasawwuf Sunni adalah salah satu tasawwuf yang dapat digunakan
untuk mendekatkan diri kepada Allah, hingga konsep ma‟rifat, yang
meniadakan hijab antara Allah dengan seorang sufi. Dengan berbagai tokoh dan
ajarannya yang berbeda, namun tasawwuf sunni berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah
yang menjadikan ajaran itu menjadi satu kesatuan. Tergantung seorang penempuh jalan
tasawwuf akan menggunakan ajaran dari siapa. Pengambilan jalan tasawwuf, akan
membuat manusia semakin tinggi tingkat spiritualitasnya, dan tidak tertarik dengan dunia
yang fana.
B.Saran
Dalam bertasawwuf sebaiknya melihat dulu ajaran yang ada dalam tasawwuf tersebut,
guna mencocokkan akan kemampuan diri kita dan kenyamanan dalam menjalaninya.
Karena banyak tasawwuf, yang menggunakan ungkapan-ungkapan ganjil, seperti halnya
tasawwuf falsafi.

Anda mungkin juga menyukai