Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONSEP TASAWUF DALAM ISLAM


MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Dosen Pengampu : Rudi Iskandar, M.Pd.

Kelompok 8 :
Kinanti Kesuma Dewi Hidayat (202201501925)
Azfadina Nur Akmalia (202201501931)
Yulia Apriyanti (202201501981)
Diva Nindias Sahrudin (202201501982)

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta


karunia-Nya sehingga kami akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah kami dalam mata kuliah Pendidikan
Agama Islam BAB 8 yaitu tentang “Konsep Tasawuf Dalam Islam”.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan


pemakalahan ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan adanya kritik serta saran untuk kami kedepannya agar bisa
memberikan yang terbaik dalam penyusunan makalah.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan khususnya
bisa bermanfaat bagi penyusun dan dapat menambah wawasan kita dalam
mempelajari konsep tasawuf dalam islam.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

1.3 Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Tasawuf .................................................................................... 3

2.2 Sejarah Tasawuf ......................................................................................... 4

2.3 Jalan Menuju Tasawuf ............................................................................. 13

BAB III ................................................................................................................. 17

KESIMPULAN .................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pesatnya perkembangan waktu kita memiliki efek positif dan negatif
pada kehidupan. Kerusakan moral dan spiritual merupakan salah satu dampak
negatif yang terjadi ketika manusia hidup tanpa tujuan. Menghasilkan tingkat
kriminalitas tinggi, kecanduan narkoba, kenakalan remaja dan sebagainya.
Masalah-masalah ini membuat orang menjadi penyebab sekaligus orang yang
bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Sedangkan secara konseptual,
persoalan tersebut berkaitan erat dengan persoalan kepribadian atau dalam
Islam disebut dengan akhlak.
Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam. Di kalangan
orientalis barat dikenal dengan sebutan sufisme, yang merupakan istilah khusus
mistisime Islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme agama-
agama lain. Tasawuf atau mistisisme dalam Islam ber-esensi pada hidup dan
berkembang mulai dari bentuk hidup kezuhudan, dalam bentuk tasawuf amali,
kemudian tasawuf falsafi (Rif’an, 2011).
Secara umum istilah tasawuf mengacu pada aspek spiritual dan
tazkiyatun nafs (moral) ajaran Islam. Karena fokus pada spiritualitas, berbicara
tentang tasawuf seperti berbicara tentang lautan yang tak terbatas, dan mustahil
kita memberikan gambaran yang utuh tentang tasawuf dalam ribuan buku
sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek sejarah dan
perkembangannya dalam tradisi Islam, sebagaimana telah dicatat dalam
berbagai literatur yang penyusun temukan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tasawuf?
2. Bagaimana sejarah terbentuk dan perkembangan Tasawuf?
3. Bagaimana jalan menuju Tasawuf?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Tasawuf
2. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Tasawuf serta perkembangan
ilmu Tasawuf
3. Untuk mengetahui jalan menuju Tasawuf

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tasawuf
Tasawuf atau Sufisme berasal dari bahasa arab: ‫ و صتف‬yang berarti
ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq,
membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi
(Ulum, 2020).

Secara etimologi, menurut (Mashar, 2015) para ahli berbeda pendapat


tentang akar kata tasawuf. Setidaknya terdapat enam pendapat dalam hal itu,
yakni :

1. Kata Suffah yang berarti emperan masjid Nabawi yang didiami oleh
sebagian sahabat Anshar. Hal ini karena amaliah ahli tasawuf hampir sama
dengan apa yang diamalkan oleh para sahabat tersebut, yakni mendekatkan
diri kepada Allah Swt., dan hidup dalam kesederhanaan.
2. Kata Shaf yang berarti barisan. Istilah ini dianggap oleh sebagian ahli
sebagai akar kata tasawuf karena ahli tasawuf ialah seorang atau
sekelompok orang yang membersihkan hati, sehingga mereka diharapkan
berada pada barisan (shaf) pertama di sisi Allah Swt.
3. Kata Shafa yang berarti bersih, karena ahli tasawuf berusaha untuk
membersihkan jiwa mereka guna mendekatkan diri kepada Allah Swt.
4. Kata Shufanah, nama sebuah kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.
Hal ini karena ajaran tasawuf mampu bertahan dalam situasi yang penuh
pergolakan ketika itu, ketika umat muslim terbuai oleh materialisme dan
kekuasaan, sebagaimana kayu shufanah yang tahan hidup ditengah-tengah
padang pasir yang tandus.
5. Kata Teoshofi, bahasa Yunani yang berarti ilmu ketuhanan, karena tasawuf
banyak membahas tentang ketuhanan.
6. Kata Shuf yang berarti bulu domba, karena para ahli tasawuf pada masa
awal memakai pakaian sederhana yang terbuat dari kulit atau bulu domba
(wol).

3
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah menurut (Ulum, 2020),
bergantung dari sudut pandang yang digunakan. Ada tiga sudut pandang yang
biasa digunakan para ahli, yaitu :

1) Dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, tasawuf


didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan
pengaruh kehidupan dunia.
2) Dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang berjuang, tasawuf
merupakan upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari
ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3) Dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawuf
merupakan kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa
agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan

2.2 Sejarah Tasawuf


a. Sejarah Terbentuknya Tasawuf

Timbulnya tasawuf dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan


kelahiran Islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul
untuk segenap umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah menunjukan
bahwa pribadi Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah
berulang kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’, disamping untuk
mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk
memperturutkan hawa nafsu keduniaan, Rasulullah mencari petunjuk Tuhan
dengan menenangkan diri di dalam gua. Di sisi lain Nabi Muhammad Saw juga
berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan noda- noda
yang menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan khalawat yang
dilakukan Nabi Muhammad Saw bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan
keberhasilan hati dalam menempuh lika-liku probelma kehidupan yang
beraneka ragam, berusaha untuk memperoleh petunjuk dan hidayah serta
mencari hakikat kebenaran. Dalam situasi yang demikian, Nabi Muhammad
Saw menerima Wahyu dari Allah Swt, yang berisi ajaran- ajaran dan peraturan-

4
peraturan sebagai pedoman dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat.

Dalam sejarah Islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih


dahulu muncul aliran zuhud pada akhir abad ke-I (permulaan abad ke II). Pada
abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur
dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan meninggal
di Basrah tahun 728 M. Ajaran Hasan Basri yang pertama adalah Khauf dan
Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru-
guru. Pengantar Ilmu Tasawuf, (1981/ 1982, h.35-36) yang lain, yang
dinamakan qari’, mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di
kalangan umat muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis-
garis mengenai tariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, dalam
ajaran- ajaran yang dikemukakan disana sini sudah mulai mengurangi makna
(ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia ( zuhud ).

Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang
mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi
seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu
menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi.
Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid
merupakan sufi. Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa
tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk
ibadah.

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr.


Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral
(akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya
kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju
tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini

5
menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap
hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-
Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan
menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan
memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa,
mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”.

Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf
sebagai seorang zahid yang menjauhkan diri dari kelezatan dunia serta
mengingkarinya serta lebih mengutamakan kehidupan yang kekal dengan
mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat perjumpaan
dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai makhluk dengan
Kholik sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu
sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap
dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih
keridlaan Allah swt., bukan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia
akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah
dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Kalau ditilik dari segi historis tasawuf, menurut kalangan peneliti yang
menjadi faktor penyebab munculnya antara lain:

1. Karena adanya “pious opposition” (oposisi yang bermuatan kesalehan)


dari sekelompok umat Islam terhadap praktek-praktek regementer
pemerintahan Bani Umayah di Damaskus
2. Karena ada sekelompok (dalam hal ini para sahabat) yang selalu ingin
meniru seperti pekerti Rasulullah Saw, khususnya Khulafa al-Rasyid.

Menurut Prof. Dr. H. Asmaran As, MA dalam buku beliau Pengantar


Studi Tasawuf, asal-usul dan motivasi lahirnya tasawuf adalah:

1. Beberapa asumsi orang yang melatarbelakangi lahirnya tasawuf dalam


Islam seperti adanya unsur kristen, teori filsafat, unsur India, unsur Persia.

6
2. Ayat-ayat Alquran yang dijadikan landasan maqamat dan ahwal dalam
tasawuf.
3. Kehidupan dan sabda Rasulullah Saw
4. Kehidupan dan ucapan sahabat dan Tabi’in, serta
5. Dari gerakan zuhud menjadi tasawuf.

b. Sejarah Perkembangan Tasawuf

Benih ilmu tasawuf bermula pada masa khalifah ketiga, yakni ketika
terjadi peristiwa tragis dalam pembunuhan Utsman bin Affan ra. Hal ini
berimplikasi terjadinya kekacauan dan kerusakan terhadap sebagian kaum
muslimin, sehingga para sahabat dan pemuka agama Islam berfikir untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam dengan berikhtiar kembali ke masjid
(I’tikaf) dan mendengarkan kisah mengenai targhib dan tarhib, mengenai
keindahan hidup zuhud.

Dalam sejarah perkembangannya, terdapat masa atau tahapan yang


terjadi terhadap ilmu Tasawuf. Beberapa masa tersebut adalah masa
pembentukan, pengembangan, konsolidasi, falsafi dan masa pemurnian.
Berikut adalah penjelasan tiap-tiap perkembangan ilmu Tasawuf, yaitu
sebagai berikut :

1. Masa Pembentukan

Masa ini terjadi dalam abad I dan II hijriah, Hasan Basri dan
Rabiah Adawiyah muncul dengan ajaran khauf dan cinta, yakni
mempertebal takut atau taqwa kepada Tuhan, penyucian hubungan
manusia dengan tuhan, selain itu muncul gerakan pembaharuan hidup
kerohanian dikalangan kaum muslimin.

Dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan, dianjurkan mengurangi


makan (Ju’), menjauh dari keramaian duniawi (Zuhud), mencela dunia
(Dzammu al dunya).

Selanjutnya pada abad II Hijriah, tasawuf tidak banyak berbeda


dengan sebelumnya, meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad
ini terjadi karena formalism dalam melakukan syariat agama (lebih

7
bercorak fiqh) yang menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan
kehidupannya. Sehingga sebagian orang ada yang lari kepada istilah-
istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa (thaharatun nafs), kemurnian
hati (naqyu al-qalb), hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja
mandiri dan berdiam diri.

Abu al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud Islam pada abad I dan


II hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:

a. Menjauhkan diri dari dunia menuju ke akhirat yang berakar pada nas
agama yang dilatarbelakangi oleh sosiopolitik yang bertujuan
meningkatkan moral.
b. Bersifat praktis, para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk
menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sedangkan
sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan
secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan
mengingat Allah SWT. dan berlebih-lebihan dalam merasa berdosa,
tunduk mutlak kepada kehendak-Nya, dan berserah diri kepada-Nya.
Tasawuf pada masa ini mengarah pada tujuan moral.
c. Motif zuhudnya ialah rasa takut, yaitu rasa yang muncul dari landasan
amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad
II Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyah muncul motif rasa cinta,
yang bebas dari rasa takut terhadap adhab-Nya maupun harapan
terhadap pahala-Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri, dan
abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
d. Menjelang akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnya di
Khurasan, dan Rabi’ah al-Adawiyah ditandai kedalaman membuat
analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf, atau
cikal bakal para pendiri tasawuf falsafi abad III dan IV Hijriyah.

2. Masa Pengembangan

Pada abad ke-III dan IV, tasawuf sudah bercorak kefana’an


(ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan Khalik. Orang

8
sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fana’fi al-
Mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-Mahbub), kekal dengan
Tuhan (baqa’ bi al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah),
bertemu dengan-Nya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya (‘ain al-jama’)
seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bushtham (261 H), seorang
sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’ (lebur
atau hancurnya perasaan) sehingga dia dianggap sebagai peletak batu
pertama dalam aliran ini.

Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan,


yakni al-Hallaj (w. 309 H) yang menampilkan teori al-Hulul (reinkarnasi
Tuhan). Al-Thusi dalam al-Luma’nya menyatakan bahwa hulul adalah :

“Allah memilih suatu jisim yang ditempati ma’na rububiyyah dan


leburlah daripadanya ma’na basyariyyah”.

Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat


kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut). Tuhan menciptakan
manusia dalam “copi”-Nya. Landasan pemikirannya didasarkan kepada
surat Shad ayat 72, yaitu :

Artinya : "Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku


tiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur
dengan bersujud kepada-Nya".

Unsur jasmani dari materi, sedang unsur ruhaninya berasal dari


roh Tuhan, percampuran antara roh manusia dengan Tuhan
diumpamakan oleh al-Hallaj bagaikan bercampurnya air dengan khamer,
jika ada sesuatu yang menyentuh-Nya, maka menyentuh aku. Namun
sejauh itu, dia tidak mengakui adanya peleburan dua hakikat, manusia
dan Tuhan, akan tetapi keduanya masih mempunyai jarak.

Pada akhir abad ke III orang berlomba-lomba menyatakan dan


mempertajam pemikirannya tentang kesatuan penyaksian (Wahdat al-

9
Syuhud), kesatuan kejadian (wahdat al-Wujud) kesatuan agama-agama
(Wahdat al-Adyan), berhubungan dengan Tuhan (ittishal), keindahan dan
kesempurnaan Tuhan (Jamal dan Kamal), manusia sempurna (insan
kamil), yang kesemuanya itu tak mungkin dicapai oleh para sufi kecuali
dengan latihan yang teratur (riyadhah).

Kemudian muncul Junaidi al-Baghdady meletakkan dasar-dasar


ajaran tasawuf dan thariqah, cara mengajar dan belajar ilmu tasawuf,
syekh, mursyid, murid dan murad, sehingga dia mendapat predikat Syekh
al-Thaifah (ketua rombongan suci).

Tasawuf pada masa ini, sudah berkembang menjadi madzhab,


bahkan seolah sebuah agama yang berdiri sendiri. Pada abad ke III dan
IV Hijriah ini terdapat dua aliran tasawuf, yakni tasawuf sunni yang
memagari diri dengan Al-Qur’an dan al-Hadits dengan mengaitkan
keadaan dan tingkatan rohani pada keduanya.

Serta tasawuf semi falsafi yang lebih cenderung pada ungkapan


ganjil serta bertolak dari keadaan fana’ terhadap pernyataan penyatuan
penyatuan (ittihad atau hulul).

3. Masa Konsolidasi

Pada abad ke-V Hijriah, diadakan konsolidasi antara kedua aliran


pada masa sebelumnya, hal ini ditandai dengan aanya kompetisi antar
keduanya, yang kemudian dimenangkan tasawuf sunni dan
menenggelamkan tasawuf falsafi.

Dengan adanya kompetisi tersebut, pada masa ini tasawuf dinilai


mengadakan pembaharuan, yakni periode yang ditandai dengan
pemantapan dan pengembalian tasawuf ke dalam landasan al-Qur’an dan
al-Hadits. Tokoh-tokoh pada masa ini adalah ialah al-Qusyairi (376-465
H), Al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450-505 H).

Al-Qusyairi (376-465 H) terkenal sebagai pembela teologi


Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau mampu mengompromikan antara
syariah dan hakikah berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Beliau

10
menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang teguh pada
keduanya lebih penting daripada pakaian lahiriah.

Al-Harawi (396 H), sikapnya tegas dan tandas terhadap tasawuf,


beliau menganggap orang yang suka mengeluarkan syathahat, hatinya
tidak bisa tenteram atau dengan kata lain, syathahat itu muncul dari
ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu
mereka, akan membuat seseorang terhindar dari keganjilan ucapan atau
pun segala penyebabnya.

Al-Ghazali (450-505 H), memilih Tasawuf Sunni berdasarkan


doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, corak tasawufnya bersifat psiko-
moral yang mengutamakan pendidikan moral. Beliau menilai negative
terhadap syathahat, karena dua kelemahan yang dimilikinya, yaitu
kurang memperhatikan kepada amal lahiriah serta keganjilan makna
yang tidak dipahami maknanya.

4. Masa Falsafi

Pada abad ke-IV Hijriah, muncullah tasawuf falsafi atau tasawuf


yang bercampur dengan ajaran filsafat, yang dikompromikan dengan
pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan
tasawuf.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan, bahwa


tasawuf falsafi mempunyai empat obyek utama, dan menurut Abu al-
Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi, yaitu :

a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang


timbul darinya,
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib,
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluar biasaan,
d. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas
samar-samar (syathahiyat).

11
Selanjutnya, pada abad VI dan VII hijriah, muncul cikal bakal
orde (tarekat) sufi kenamaan, seperti tarekat Qadariyah, Suhrawardiyah,
Rifa’iyah, Syadziliyah, Badawiyah dan tarekat Naqsyabandiyah.

5. Masa Pemurnian

Pada masa ini, pengaruh dan praktek-praktek Tasawuf kian


tersebar luas melalui thariqah-thariqah, dan para sulthan serta pangeran
tak segan-segan pula mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi
mereka.

Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas,


penyelewengan dan sekandal melanda dan mengancam kehancuran
reputasi baiknya dengan ditandainya munculnya bid’ah, khurafat,
mengabaikan syari’at dan hukum-hukum moral dan penghinaan terhadap
ilmu pengetahuan, berbentangkan diri dari dukungan awam untuk
menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan menampilkan amalan yang
irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan.

Sehingga muncul Ibn Taimiyah untuk menyerang semua itu,


dengan mengembalikan ajaran tasawuf berlandaskan al-Qur’an dan Al-
Hadits. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, seperti kepercayaan
kepada wali, khurafat dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya.
Menurut Ibn Taimiyah yang disebut wali (kekasih Allah) ialah orang
yang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syari’ah Islamiyah.
Sebutan yang tepat untuk diberikan kepada orang tersebut ialah
Muttaqin, allah berfirman dalam Qr. surat Yunus : 62-63 :

12
Artinya : “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”

Ibn Taimiyah mengkritik terhadap ajaran Ittihad, Hulul, dan Wahdat


al-Wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran (atheisme), meskipun
keluar dari orang-orang yang terkenal ‘arif (orang yang telah mencapai
tingkatan ma’rifat), ahli tahqiq (ahli hakikat) dan ahli tauhid (yang
mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut layak keluar dari mulut orang
Yahudi dan Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya sama
dengan yang menyatakan, yakni kufur. Yang mengikutinya karena
kebodohan, masih dianggap beriman.

2.3 Jalan Menuju Tasawuf


Untuk dapat menuju kehidupan tasawuf, sehingga merasakan
kedekatan dengan Allah, maka ada langkah-langkah atau upaya yang
harus dilakukan oleh seseorang. Langkah-langkah tersebut, yaitu :

1. Tazkiyah al-Nafs

“Tazkiyah al-nafs itu adalah merupakan suatu upaya untuk


menjadikan hati menjadi bersih dan suci, baik dzatnya, maupun
keyakinannya” (Taimiyah, 2010: 117).

Berkaitan dengan tazkiyah al-nafs, menurut Azra dalam (Isma’il,


2008:9) menjelaskan bahwa kegiatan pokok mengamalkan tasawuf itu
terfokus pada tiga kegiatan sebagai berikut :

a. Tazkiyat an-nafs, yakni membersihkan diri dari dosa besar dan dosa
kecil, serta membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat
tercela;
b. Taqarrub ila Allah, yakni memberikan perhatian serius kepada usaha-
usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah, dalam Qs. Qaf ayat 16 :

13
“Memang Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, bahkan lebih
dekat daripada urat nadi yang ada di leher”. Tapi persoalannya,
kedekatan Allah dengan manusia tidak selalu dapat dirasakan oleh
manusia itu sendiri.
c. Hudlur al-qalb ma'a Allah, yakni menfokuskan diri kepada usaha untuk
merasakan kehadiran Allah dan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan
merasakan persatuan dengan Allah.

Tazkiyah al-nafs sangat erat kaitannya dengan akhlak, kejiwaan,


dan dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah. Karena Allah itu Maha
Suci, maka harus didekati oleh orang yang berjiwa suci pula. Karenanya,
tingkat kedekatan (qurb), pengenalan (ma'rifah), dan kecintaan
(mahabbah) manusia terhadap-Nya tergantung pada kesucian jiwanya.

2. Mujahadah dan Riyadhah

Salah satu hal yang harus ditempuh oleh seorang Sufi sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah yaitu mujahadah dan riyadhah.
Mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu) adalah menyapihnya,
membawanya keluar dari keinginan-keinginan yang tercela dan
mengharuskannya untuk melaksanakan syari’at Allah, baik perintah
maupun larangan. (Isa, 2010: 72). Menurut Al-Shadiqi, bahwa mujahadah
itu ialah kemampuan diri untuk menekan dorongan hawa nafsu yang
selalu ingin berbuat hal-hal yang tidak benar, lalu mampu memaksanya
untuk berbuat hal-hal yang baik (Majhudin, 2010, J. 2: 200).

Rosyidi dalam (Isma’il, 2008: 871), menjelaskan pengertian


mujahadah dengan mengutip beberapa pendapat para sufi, yaitu bahwa
kata mujahadah berasal dari kata jihad, yang artinya "berusaha dengan
sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kekuatan pada jalan yang
diyakini baik dan benar". Dalam pengertian kaum sufi, mujahadah yaitu

14
"upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai kecenderungan jiwa
rendah". Mujahadah adalah perang terus menerus melawan hawa nafsu,
dan perang ini dianggap sebagai perang besar (al-jihad al-akbar), dan
perang ini menggunakan senjata samawi berupa dzikir kepada Allah.

Selain harus melakukan mujahadah, untuk dapat mendekatkan diri


kepada Allah yaitu harus melakukan riyadhah. Yang dimaksud riyadhah
menurut AshShidiqi ialah latihan kerohanian dalam melaksanakan hal-hal
yang terpuji, baik dengan cara perkataan, perbuatan maupun dengan cara
penyikapan terhadap hal-hal yang benar, yang dilakukan dengan tiga
macam cara menurut tingkatan kedekatan hamba dengan Tuhannya
(Majhudin, 2010, J.2: 201). Tiga macam cara tersebut, yaitu :

Pertama, riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya untuk


berbuat baik dengan cara berusaha memahami perbuatan yang
dilakukannya, berbuat dengan sikap yang ikhlash, tidak tercampur dengan
sikap riya, dan memperbanyak melakukan kebenaran dalam pergaulan,
baik terhadap Allah, terhadap sesama manusia maupun terhadap
lingkungan hidupnya. Riyadhah tersebut ditentukan oleh tuntunan teks
agama mengenai sesuatu yang akan dilakukan, baik dilakukan dengan
perbuatan nyata maupun dengan perbuatan yang tidak nyata.

Kedua, riyadhah orang khowas (sufi, wali), yaitu upaya agar


selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah ketika melaksanakan suatu
perbuatan baik, sehingga tidak terpengaruh lagi oleh lingkungan
sekelilingnya, penglihatan dan pendengarannya tidak terpengaruh lagi
oleh sesuatu yang ada di sekelilingnya, kecuali hanya menuruti tuntunan
kata hatinya.

Ketiga, riyadhah orang khowasul khowas (nabi, rasul), yaitu


berbuat baik untuk mendapatkan kesaksian Allah dan ma’rifat atau
kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan dengan Allah berbeda dengan
istilah penyatuan menurut paham wujudiah. Kebersatuan berarti bersatu
dengan Allah dalam keadaan wujud masih berbeda, yaitu Allah tetap Al-
Khalik dan manusia yang bersatu dengan Allah tetap makhluk. Termasuk

15
juga proses riyadhah yang dilakukan oleh peserta tasawuf (almutasawwif)
ketika melakukan suluk (kegiatan dzikir dan tafakur) untuk memperoleh
kedudukan spiritual (al-maqamat) dan kondisi spiritual (al-ahwal) hingga
mencapai ma’rifah sebagai tujuan tasawuf.

Dari uraian tentang mujahadah dan riyadhah di atas, dapat


dikatakan bahwa mujahadah dan riyadhah dalam tasawuf itu merupakan
suatu hal yang mutlak harus dilakukan. Mujahadah yaitu memerangi hawa
nafsu dari hal-hal atau sifat-sifat yang tidak baik, karena sifat dari nafsu
itu selalu mengajak manusia kepada hal-hal yang buruk (yajri ilassu).
Selain mujahadah juga harus melakukan riyadhah, yaitu melatih diri untuk
menjalankan syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan
berusaha untuk menanamkan sifat-sifat baik dalam hatinya yang disertai
juga dengan memperbaiki akhlaknya dalam kehidupan seharihari.

16
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Tasawuf merupakan ilmu dalam ajaran islam yang membahas cara-
cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf pada awalnya
merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam islam dan seiring
berkembangnya zaman melahirkan tradisi mistisme dalam islam.

Menurut sejarah terbentuknya tasawuf itu ada pertama kali dalam


Islam dan tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran Islam itu sendiri, yaitu
semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia
dan alam semesta. Dan dalam sejarah perkembangannya, terdapat masa atau
tahapan yang terjadi dalam ilmu Tasawuf. Beberapa masa tersebut adalah
masa pembentukan, pengembangan, konsolidasi, falsafi dan masa
pemurnian.

Jalan menuju tasawuf juga terbagi menjadi dua yaitu tazkiyah An-
Nafs dan Mujahadah Riyadhah. Dimana dalam tazkiyah an-nafs terbagi
menjadi tiga yaitu Tazkiyat an-nafs yakni membersihkan diri dari dosa besar
dan dosa kecil, Taqarrub ila Allah yakni memberikan perhatian serius
kepada usaha-usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya, dan Hudlur al-qalb ma'a Allah yakni menfokuskan diri kepada
usaha untuk merasakan kehadiran Allah.

Dalam mujahadah dan riyadhah juga terbagi menjadi tiga, yaitu


riyadhah orang awam : upaya melatih dirinya untuk berbuat baik dengan
cara berusaha memahami perbuatan yang dilakukannya, riyadhah orang
khowas (sufi, wali), yaitu upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap
Allah ketika melaksanakan suatu perbuatan baik, riyadhah orang khowasul
khowas (nabi, rasul), yaitu berbuat baik untuk mendapatkan kesaksian Allah
dan ma’rifat atau kebersatuan dengan Allah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Mashar, A. (2015). Sejarah Tasawuf, Madzhab, dan Inti Ajarannya. Al-A’raf, Vol.
XII,(1), 98–117.

Rif’an, A. (2011). Sejarah Perkembangan Tasawuf. Substantia, 13(2), 249–256.

Ulum, M. (2020). Pendekatan Studi Islam: Sejarah Awal Perkenalan Islam dengan
Tasawuf. Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya, 3(2), 203–217.
https://doi.org/10.31538/almada.v3i2.632

Fahrudin. (2016). Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta'lim. Vol, 14 (1), 65-83.

M. Dr. H. Safria Andy. (2019). Diktat Ilmu Tasawuf. 1-72.

18

Anda mungkin juga menyukai