Anda di halaman 1dari 26

Pendekatan Tasawuf dalam Kajian Islam (Shalat)

Diajukan kepada dosen pengampu mata


kuliah pendekatan kajian islam:
Dr. Saifuddin Zuhri, M.Ag.

Disusun oleh Kelompok 3:


Muhammad Nur Muhsinin
(202520064)
Riska Marfita
(202520077)
M. WRTI Tabtila
(202520090)
Nursidik
(202520072)
Sugiharto
(202520033)

PROGRAM STUDY PASCASARJANA MAGISTER


MANAJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN
JAKARTA 1441 H / 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Bismillah, washolatu wassalamu ‘ala rasulillah, tiada kata yang
pantas kami ucapkan selain alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukur
kami kepada Allah SWT, Dzat yang Maha Esa dan Maha Kuasa, karena
hanya dengan hidayah dan limpahan rahmat-Nya kami dapat menyusun
makalah dengan judul “Pendekatan Tasawuf dalam Kajian Islam
(Shalat)”.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kami (penyusun)
khususnya dan bagi semua pihak agar lebih memahami Pendekatan
Tasawuf dalam Kajian Islam (Shalat).
Wassalamualaikum wr.wb
Penyusun

Jakarta 12 Maret 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................ 1

C. Tujuan Penulisan .............................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................... 2

A. Pengertian Tasawuf. ......................................................... 2

B. Madzhab Dalam Tasawuf. ................................................ 4

C. Ajaran Dan Metode Tasawuf. ........................................... 5

D. Teori Kasyaf Dalam Tasawuf ......................................... 11

E. Sholat Sebagai Komunikasi Ruhani ............................... 16

F. Relasi Sholat Dengan Kehidupan Sehari-hari ................ 19

G. Implikasi Sholat Terhadap Pembinaan Sosial ................ 21

BAB III PENUTUP ..................................................................... 22

A. Kesimpulan ..................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Shalat sebagai perjalanan spiritual, proses transendensi
(berpindahnya jiwa) menuju Allah. Naiknya jiwa meninggalkan ikatan
nafsu yang terdapat dalam diri manusia menuju kehadirat Allah. Menuju
Zat yang Maha Mutlak sebagai puncak tujuan ruhani, sandaran
istirahatnya jiwa, sumber hidup, sumber kekuatan, dan sumber mencari
inspirasi. Manusia harus bergerak di sebuah ruangan yang mana Allah
sebagai poros sumbunya. Orang yang telah mampu memahami bahwa
Allah sebagai sumbu segala gerak hidupnya, dialah sebetulnya yang
telah mengalami kebebasan. Sebab kebebasan secara spiritual
merupakan kemampuan manusia menaklukan ego duniawinya dan
desahan setan yang selalu tampak menggiurkan. Dengan mengarahkan
jiwa kepada Allah, ruhani akan mengalami pencerahan karena berada
pada ketinggian yang tak terbatas. Pikiran terlepas dari keadaan riil dan
panca indra melepaskan diri dari segala macam keruwetan. Sehingga
jiwa mengalami ketenangan dan ketentraman.1
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan definisi Ilmu Tasawuf dan salah satu teori di dalamnya
2. Menganalisa relasi teori tsb dengan shalat, dan relasi shalat dengan
kehidupan sehari-hari
C. Tujuan Penulisan
1. Mampu menjelaskan Teori-Teori Ilmu Tasawuf
2. Mampu menjelaskan Teori Kasyaf dalam Tasawuf
3. Mendeskrpisikan Shalat sebagai forum Komunikasi Ruhani

1
Istianah, Shalat Sebagai Perjalanan Ruhani Menuju Allah, ESOTERIK, Vol.
1, No. 1, Juni 2015, h. 48.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf.
Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan
Khulafaur Rasyidin. Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim alKufy
(w. 250 H) meletakkan kata al-Sufi dibelakang namannya pada abad ke
3 Hijriyah. Menurut Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Amin
Syukur, sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang
mendahuluinya dalam zuhud, tawakkal, dan dalam mahabbah, namun
mereka tidak menggunakan atau mencantumkan kata al-sufi. Jadi tetap
Abu Hasyim orang yang pertama memunculkan istilah itu2.
Secara etimologi, para ahli berbeda pendapat tentang akar kata
tasawuf. Setidaknya ada ada enam pendapat dalam hal itu, yakni:
1. kata suffah yang berarti emperan masjid Nabawi yang didiami
oleh sebagian sahabat Anshar. Hal ini karena amaliah ahli tasawuf
hampir sama dengan apa yang diamalkan oleh para sahabat
tersebut, yakni mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan hidup
dalam kesederhanaan.3
2. kata Shaf yang berarti barisan. Istilah ini dianggap oleh sebagian
ahli sebagai akar kata tasawuf karena ahli tasawuf ialah seorang
atau sekelompok orang yang membersihkan hati, sehingga
mereka diharapkan berada pada barisan (shaf) pertama di sisi
Allah Swt.
3. kata shafa yang berarti bersih, karena ahli tasawuf berusaha untuk
membersihkan jiwa mereka guna mendekatkan diri kepada Allah
Swt.
4. kata shufanah, nama sebuah kayu yang bertahan tumbuh di
padang pasir. Hal ini karena ajaran tasawuf mampu bertahan
dalam situasi yang penuh pergolakan ketika itu, ketika umat
muslim terbuai oleh materialisme dan kekuasaan, sebagaimana
kayu shufanah yang tahan hidup ditengah-tengah padang pasir
yang tandus.

2
HM. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 7-8.
3
Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, trej. Satrio
Wahono, (Jakarta: Serambi, 2002.) , h. 42.

2
3

5. Kata Teoshofi, bahasa Yunani yang berarti ilmu ketuhanan,


karena tasawuf banyak membahas tentang ketuhanan.
6. kata shuf yang berarti bulu domba, karena para ahli tasawuf pada
masa awal memakai pakaian sederhana yang terbuat dari kulit
atau bulu domba (wol).4
Perbedaan pendapat ini, jika diteliti muncul karena adanya
perbedaan sudut pandang yang dipakai. Bagi penulis, perbedaan
tersebut tidak menjadi problem, sebab ciri-ciri yang dijadikan landasan
pengkaitan akar kata tasawuf di atas semuanya terdapat pada tasawuf
itu sendiri. Meski demikian, penulis lebih setuju dengan pendapat yang
ke-enam, yakni tasawuf berakar dari kata shuf (wol). Hal ini karena kata
tersebut lebih tepat baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap
kesederhanaan, maupun aspek kesejarahan.
Dari segi kebahasaan, tasawuf adalah masdar bentuk ke-5 ( )
dari kata dasar s-w-f ( ) yang mengindikasikan tempat pertama
orang yang menggunakan wol (shuf). Lalu orang yang melakukannya
disebut shufi atau mutashawwifun (Isim Fa‟il bentuk ke-5).5
Dari semua definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa pengertian
tasawuf adalah bagian dari syari‟at islam yang memuat suatu metode
untuk mencapai kedekatan atau penyatuan antara hamba dan Tuhan dan
juga untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki (mak‟rifat)
dan atau inti rasa agama. Tasawuf dikategorikan syari‟at karena ia
merupakan salah satu dari tiga pilar Syari‟at Islam, yakni Islam (Fiqih),
Iman (Tauhid), dan Ihsan (Tasawuf).
Dikatakan sebagai metode, karena tasawuf merupakan suatu cara,
baik dengan cara memperbaiki akhlak (lahir dan batin), mujahadah,
kontemplasi, ishq dan mahabbah, mengikuti semua yang dianjurkan
oleh Nabi (sunnahsunnah), penyucian jiwa (riyadhoh, tirakat, jw),
maupun dengan cara lain sesuai dengan kemampuan dan kecondongan
masing-masing. Dan kemudian penyertaan „mencapai kebenaran dan
seterusnya‟ merupakan tujuan akhir tasawuf sesuai dengan madzhab-
madzhab yang ada di dalamnya.

4
Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 8-10 dan Baldick, Islam Mistik, h. 44-46.
5
H.A.R. Gibb (Ed.), The Enciclopaedia of Islam Vol-X, (Leiden: E.J. BRILL,
1986), h. 313.
4

B. Madzhab Dalam Tasawuf.


Secara garis besar madzhab tasawuf, berdasarkan kecenderungan
dan karakteristiknya, dapat dibagi menjadi tiga madzhab, yakni tasawuf
falsafi, tasawuf salafi, dan tasawuf sunni (akhlaqi/ amali).
1. Tasawuf Falsafi.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bercampur dengan ajaran
filsafat, mengkompromikan atau memakai terma-terma filsafat
yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Madzhab ini juga
sering dikenal dengan madzhab „Mistikisme Islam‟ atau madzhab
yang sangat dekat dengan „Gnostisisme‟. Tokoh-tokoh yang
masuk dalam kategori ini antara lain Abu Yazid al-Bustomi, Abu
Mansur al-Hallaj, Ibn „Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Sab‟in, Ibnu al-
„Afif, Ibn al-Faridl, al-Najm al-Israili, dan yang senada dengan
mereka.6
Kemudian ajaran-ajaran atau istilah-istilah yang sering
dimunculkan ialah wahdat al wujud, wahdat al adyan, wahdat
asyuhud, hulul, fana‟, liqa‟, ittishal, ittihad, isyraqiyyah, Nur
Muhammad dan cinta. Lantas, metode yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut, madzhab ini menggunakan metode
maqamat, ahwal, riyadhah, mujahadah, dzikir, mematikan
syahwat, tazkiyatun nafs wa qalb dan lain-lainnya sebagaimana
madzhab tasawuf sunni.
2. Tasawuf Salafi.
Tasawuf salafi adalah tasawuf yang selalu melandaskan
ajaranajarannya dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah secara ketat. Apa
yang tidak diperintahkan atau diamalkan oleh Nabi bukan tasawuf
Islam. Tasawuf ini berusaha memurnikan tasawuf dari bid‟ah,
khurafat dan tahayul. Tokoh yang termasuk dalam madzhab ini
mayoritas mereka yang dalam fiqih mengikuti Madzhab
Hanbaliyah, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, Syeikh
Waliyullah al-Dihlawi dan Muahmmad Abduh.7
Inti ajaran tasawufnya ialah menghayati ajaran Islam dan
melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, seperti

6
Abu al-„Ala „Affifi, at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam, (Kairo: tp., 1962),
h. 34.
7
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf: Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang
Bangun Tasawuf, (Kudus: STAIN Kudus Press, 2007), h. 12-13.
5

shalat sunah, puasa sunah dan lain sebagainya, yang terpenting ada
sumber atau nash yang menerangkan hal itu.
3. Tasawuf Akhlaqi/Sunni
Tasawuf Akhlaqi adalah tasawuf yang mengikatkan diri dengan
alQur‟an dan al-Hadis, namun diwarnai pula dengan interpretasi-
interpretasi baru dan menggunakan metode-metode baru yang
belum dikenal pada masa generasi awal, salaf. Tujuan akhir dari
praktek tasawuf madzhab ini adalah terbentuknya moralitas yang
sempurna dan menuai Ma‟rifat Allah. Oleh sebab tujuan inilah
madzhab ini juga dikenal dengan tasawuf akhlaqi. Kemudian, jika
dilihat berdasarkan karakteristik bentuknya, madzhab ini bias pula
dikatakan sebagai madzhab moderat atau penengah antara
madzhab tasawuf falsafi yang cenderung bebas dan madzhab
tasawuf salafi yang cenderung kaku.8
Tokoh fenomenal madzhab ini ialah Imam al-Ghazali, dan
diikuti oleh mayoritas penganut teologi Asy‟ari dan Maturidi. Inti
ajarannya ialah keseimbangan antara syari‟ah dan hakikah,
ma‟rifat, akhlak, fana‟, maqamat, tauhid, dan taqarrub ila Allah.
Metode pencapaiaannya antara lain mujahadah, dzikir, tazkiyah an
nafs wa qalb, riyadhah, kontemplasi, tafakkur, dan lain-lain.
C. Ajaran Dan Metode Tasawuf.
Meskipun berbeda-beda pendapat dan perwujudan, secara garis
besar, para praktisi tasawuf bisa dikatakan sepakat bahwa ajaran tasawuf
ialah Tazkiyyah al-Nafs (penyucian diri, baik penyucian badan, ucapan,
pemikiran, hati, maupun jiwa; dan pengesaan Allah Swt.9 melalui
Takhalliyyah al-Nafs, Tahalliyyah al-Nafs, dan Tajalliyyah al-Nafs guna
mencapai kedekatan atau penyatuan dengan Allah Swt. Ajaran-ajaran ini
oleh para sufi disebut dengan maqamat dan ahwal.10

8
Abd al-Qadir Mahmud, al-Falsafah at-Tasawwuf fi al-Islam, (Beirut: Dar
alFikr, 1996), h. 78.
9
Hazrat Mohammad Khadim Hasan Shah, “Tasawuf”, trans. Syed Mumtaz Ali,
dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II,
Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Dr. Syaifan Nur, M.A., 5 Feb 2010.
10
Khairunnas Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal
Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. 1-28.
6

1. Maqamat
Para sufi mendefinisikan maqamat sebagai suatu tahap adab
kepada Allah dengan bermacam usaha yang diwujudkan untuk satu
tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada
dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah
laku riyadah menuju kepada-Nya.11
Lebih mudahnya, maqamat adalah tahap atau titik
pemberhentian untuk mencapai tujuan tasawuf yang harus dilalui
satu demi satu oleh salik.
Dalam jumlah dan urutan maqamat para sufi berbeda pendapat.
Namun yang popular adalah maqam Taubah, Zuhd, Sabr,
Tawakkal, dan Rida.12 Untuk penjelasannya sebagai berikut:
a. Taubah
Untuk maqam taubah, para sufi sepakat menempatkannya
pada tahap pertama. Hal ini karena, menurut kesepakatan para
sufi, bahwa untuk dapat mendekat kepada Allah Swt yang Maha
Suci, tidak akan mungkin jika sang salik masih berlumuran
dengan dosa. Ia harus bersih terlebih dahulu sebelum mendekat
kepadaNya. Pembersihan diri dari dosa inilah pengertian dari
maqam taubah.13
b. Zuhd
Secara definitif zuhd adalah mengabaikan kehidupan
duniawi. Hal ini karena, menurut kaum sufi, kehidupan duniawi
adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya kejahatan
dan dosa. Oleh karena itu, ia harus ditinggalkan. Maqam zuhd
ini sangat erat dengan maqam taubah, sebab taubat tidak akan
mungkin berhasil selama hati salik masih didominasi
kecenderungan dan kesenangan duniawi. Namun, dengan
pendapat ini, Ibn Taimiyyah tidak sependapat. Menurutnya,
zuhd tidak harus meninggalkan semua materi duniawi, tetapi
memilah dan memilih. Jika ia merugikan bagi kehidupan

11
Imam al-Qusyairy al-Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, terj. Lukman Hakim,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 23.
12
Terkait polemic ini lihat, Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam
Islam, (Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1993), h. 2.
13
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf , h. 230-231.
7

akhirat, maka ia harus ditinggalkan. Jika tidak, maka juga tidak


boleh ditinggalkan.14
c. Sabr
Sabr bukanlah sesuatu yang harus menerima seadanya,
namun malah sebaliknya, yaitu berusaha secara sungguh-
sungguh dalam menahan diri dalam memikul suatu penderitaan
baik dalam suatu perkara yang tidak diingini maupun dalam
kehilangan sesuatu yang disenangi. Sabr juga merupakan sikap
jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan sesuatu baik
berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk perintah
maupun larangan. Jadi, sabr adalah menahan diri dari
kecenderungan hawa nafsu terhadap perkaraperkara yang
diharamkan oleh Allah Swt.15
d. Tawakal
Secara definitif umum, Tawakkal adalah kepercayaan dan
penyerahan kepada takdir Allah Swt. sepenuh jiwa dan raga.
Kemudian, menurut para sufi, Tawakkal dimaknai sebagai suatu
keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan
dan ketentraman baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam
keadaan suka ia harus bersukur dan ketika dalam keadaan duka
ia harus bersabar. Dengan kata lain, dalam keadaan apapun,
sang salik tidak diperbolehkan resah dan gelisah, apalagi
mencela takdir Allah Swt.16
e. Rida
Rida adalah puncak kecintaan yang diperoleh sang salik
selepas menjalani proses ubudiyyahi kepada Allah Swt. yang
panjang. Menurut al-Ghazali, kelebihan rida Allah Swt
merupakan manifestasi dari keridaan hamba. Rida terikat
dengan nilai penyerahan diri kepada Allah yang bergantung
kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan-Nya agar
senantiasa dekat dengan-Nya.17

14
Ibid., h. 232.
15
Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf” , h. 1-28.
16
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian
dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Ruhama, 1994), h. 169.
17
Imam al-Ghazali, al-Mukasyafat al-Qulub, terj. Ahmad Sunarji, (Bandung:
Pustaka Husaini, 1996), h. 346.
8

2. Ahwal
Ahwal tidak lain adalah sesuatu anugerah spiritual pemberian
Allah Swt kepada sang salik karena ketaatan dan ibadahnya yang
secara terus-menerus. Jadi, ahwal adalah bersifat pemberian,
bukan diusahakan sebagaimana maqamat. Menurut Rajab, ahwal
dalam tasawuf yang populer antara lain.
a. Khauf
Dalam terma tasawuf, khauf adalah hadirnya perasaan takut
ke dalam diri sang salik karena dihantui oleh perasaan dosa dan
ancaman yang akan menimpanya. Saat rasa ini
menghampirinya, sang salik akan merasa tenteram dan tenang
karena kondisi hatinya yang semakin dekat dengan Allah Swt.
Perasaan ini juga akan menghalanginya untuk melarikan diri
dari Allah Swt, dan membuatnya selalu ingat serta ta‟dzim
kepada-Nya.
b. Tawadhu.
Secara definitif tawaddu‟ adalah kerendahan hati seorang
hamba kepda kebenaran dan kekuasaan Tuhannya. Dengan rasa
ini, kesombongan sang salik kepada Tuhannya dan juga
makhluk Tuhan lainnya akan hilang sirna, sebab ia merasa
rendah. Oleh karena itu, jika seseorang sudah sampai atau telah
mendapatkan ahwal ini, maka ia tidak akan bersikap pilih kasih
dengan siapapun. Sebab ia memandang semuanya adalah sama
dan setara.18
c. Ikhlash
Dalam ajaran tasawuf, ikhlash merupakan suatu hal yang
bersifat bathiniyyah dan teruji kemurniannya dengan amal
soleh. Ia adalah perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh
siapapun. Dengan ini, sang salik dalam melakukan apapun
hanya semata karena Allah Swt., bukan selain-Nya.19
d. Taqwa
Secara umum, taqwa berarti memelihara diri dari larangan
Allah Swt. dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-
Nya. Sedangkan menurut terma tasawuf, taqwa adalah usaha

18
Abdullah al-Anshari al-Harawi, Kitab Manazil al-Sairin, (Beirut: Dar alKutub
„Ilmiyyah, 1988), h. 60.
19
Ibid, h. 40-41.
9

penjagaan dari tergelincirnya diri dalam syirik, dosa, kejahatan,


dan hal-hal yang subhat, termasuk didalamnya ialah lupa
kepada Allah Swt.20
e. Shukr
Para sufi memaknai shukr dengan kesan kesadaran (rasa
terima kasih) manusia terhadap rahmat dan karunia yang
diterimanya dari Allah Swt. Hadirnya sifat ini, dalam diri
manusia, akan memperlihatkan nilai positif atas diri manusia itu
sendiri, yakni perwujudan integritasnya dengan Allah dan
lingkungannya.21
f. Mutma”innah
Mutma‟innah secara etimologi berarti ketenangan,
sementara secara istilah tidak lain ialah satu kesan batin di mana
ketentraman, karena dekat dengan Allah Swt, selalu
menyelubunginya. Dan juga ada yang mengartikan sebagai
kondisi psikologi yang tenteram dengan. selalu mengingat
Allah, mengerjakan amal soleh dan bertaqarrub kepada-Nya.
Menurut „Abdullah al-Anshari, mutma‟innah dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu: (1) mutma‟innah hati karena menyebut
asma Allah; (2) ketika mencapai tujuan pengungkapan hakikat;
dan (3) karena menyaksikan kasing sayang-Nya.22
3. Ajaran-Ajaran Yang Di Perdebatkan
Ajaran-Ajaran yang Diperdebatkan Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, bahwa terdapat beberapa ajaran yang masih dalam
polemik. Ajaran-ajaran ini pada umumnya merupakan ajaran-
ajaran yang masuk dalam kategori madzhab tasawuf falsafi dan
sedikit dalam madzhab tasawuf sunny. Ajaran-ajaran tersebut
antara lain
a. Al-Ma’rifah.
Secara harfiah, al-ma‟rifah berarti pengetahuan. Sedangkan
dalam terma tasawuf ia diartikan sebagai pengetahuan yang
sebenarnya tentang Tuhan melalui hati sanubari. Dan
pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga hati
merasa bersatu dengan yang diketahui. Jadi, perantara antar

20
al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah, h.97.
21
Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, h. 1-28.
22
al-Harawi, Kitab Manazil al-Sairin, h. 53-54.
10

keduanya, hamba dan Tuhan, dalam al-ma‟rifah ini adalah hati.


Maka dari itu, menurut penganut ajaran ini hati dan
pembersihan atasnya adalah sangat fital dan penting. Dalam
prosesnya, ruh berfungsi untuk mencintai atau rindu kepada
Allah Swt. dan sirr, yang dikandung ruh, berfungsi untuk
kontemplasi dan berfikir tentang Allah sehingga sang salik
dapat berkomunikasi dengan-Nya. Selain al-ma‟rifah, ajaran
ini juga dikenal dengan al-kasyf, mukasyafah, musyahadah.23
Tokoh-tokoh sufi yang sangat getol memperjuangkan ajaran ini
antara lain Imam al-Ghazali, Ma‟ruf al-Karkhi, Abu Sulaiman
alDarani, dan Dzun Nun al-Misri.24
b. Al-mahabbah
Al-mahabbah dicetuskan oleh Rabi‟ah al-Adawiyah, dan
menurutnyaa ia dalah inti dari tasawuf. Menurutnya, al-hubb
akan membawa seseorang pada keridaan atau memberikan
ketaatan tanpa disertai dengan penyangkalan, shawq (kerinduan
yang mendalam untuk bertemu Tuhannya), dan Uns
(mempunyai hubungan spiritual yang intim yang terjalin antara
sang pecinta dengan dengan yang dicinta,Tuhan.
c. Al-Fana
Menurut al-Ghazali, al-fana‟ adalah maqamat terakhir
sebelum menuju atau memperoleh al-ma‟rifah. Jadi, poin
sangat penting dilalui oleh sang-salik, jika ia ingin mendapatkan
pengetahuan sejati dari Tuhannya. Poin ini, masih menurut
alGhazali, merupakan proses beralihnya kesadaran diri dari
alam inderawi ke alam kejiwaan dan alam ketuhanan. Dalam
perkembangannya, al-Fana‟ terbagi menjadi dua, yakni al-
Fana‟ fi atTauhid, hilangnya kesadaran tentang segala sesuatu
selain Allah ketika seseorang larut dalam pengalaman
ketuhanan; dan al-Fana‟fi al-Ittihad, yaitu sirnanya segala
sesuatu selain Allah sehingga sang salik tidak mampu lagi
menyaksikan dirinya sendiri karena telah lebur dengan yang
disaksikan, Allah.25

23
Al-Qusayiri, Risalah Qusyairiyah, h. 98.
24
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, h. 152-153
25
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, h. 146-147.
11

d. Al-Ittihad
Al-ittihad merupakan proses kelanjutan dari al-fana‟ dan
alma‟rifah. Sebab, ia adalah kondisi puncak penghayatan salik
atas alfana‟ dan al-ma‟rifah, sehingga dirasakan telah bersatu
dengan Tuhan. Pandangan ini adalah sebagai konsekwensi logis
dari dasar filosofi jiwa manusia yang merupakan aspek
immateri manusia yang mempunyai relasi ontologis dengan
Tuhan. Barangsiapa yang mampu melepaskan dirinya dari
ikatan materi, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada
Tuhan yang tidak lain adalah sumbernya.
e. Al-Hulul dan Wahdah al-Wujud
Kedua ajaran ini adalah kelanjutan dari ajaran al-ittihad.
Alhulul, yang diperkenalkan oleh Abu Mansur al-Hallaj,
merupakan kelanjutan langsung dari al-ittihad sementara
wahdah al-wujud, yang dimandegani oleh Ibnu „Arabi,
kelanjutan atau perluasan dari al-hulul.
D. Teori Kasyaf Dalam Tasawuf
Kasyaf secara bahasa adalah hilangnya hijab (penghalang).
Sedangkan secara istilah adalah tampaknya makna-makna gaib dan hal-
hal yang bersifat hakekat yang berada di balik tirai26. Kasyaf merupakan
uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, kemudian tersingkap
bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang meskipun
pada hakikatnya adalah mata bathin. Kasyaf merupakan keterbukaan
rahasia-rahasia pengetahuan hakiki. Adapun mukasyafah sebagai bentuk
derivasinya bermakna terbukanya tirai, atau peristiwa ketersingkapan
dan keterbukaan tabir penghalang, maksudnya adalah terbuka segala
rahasia alam yang tersembunyi, pengertian atau hal yang ghaib.27
Pembahasan tentang kasyaf sebenarnya telah disinggung oleh
tokoh-tokoh sufi terkemuka, seperti al-Junayd al-Baghdadi (221-297 H.)
dan al-Qushayri (346-465 H.). Dalam al-Risalah al-Qushayriyyah, al
Qushayri menuliskan sebuah bab yang berjudul, al-Muhadarah wa al-
Mukasyafah wa al-Musyahadah. Menurutnya tingkatan yang bertahap,
dimulai dari al-Muhadarah, lalu al-Mukasyafah, kemudian al-
Musyahadah. Al-Qushayri mendefinisikan al-Muhadarah sebagai
26
Ali bin Muhammad al -urjani, al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1405
H.), h. 237.
27
Muchtar Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, (Bandung: Rosda
karya, 2002), h. 146.
12

hadirnya hati. Sedangkan al-Mukasyafah adalah hadirnya hati dengan


sifat penjelasan yang tidak memerlukan perenungan terhadap dalil.
Adapun Musyahadah menurutnya adalah hadirnya Allah yang Maha
Haq tanpa adanya keraguan sedikit pun.28
Al-Ghazali (450-505H.) dalam kitabnya Ihya’ mendefinisikan
ilmu mukasyafah sebagai ilmu batin, dimana ia merupakan puncak dari
berbagai macam ilmu. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa ilmu
mukasyafah merupakan ilmu yang dimiliki oleh para siddiqin dan
muqarrabin. Ia merupakan pengejawantahan dari nur (cahaya) yang
nampak di dalam hati tatkala hati tersebut telah bersih dan suci dari
sifatsifat tercela, hingga dari nur tersebut dapat tersingkap perkara-
perkara banyak yang sebelumnya belum jelas, sehingga dapat mencapai
makrifat yang hakiki dengan Dzat Allah Swt., sifat-sifat-Nya yang
sempurna, perbuatan-Nya serta hikmah-hikmah-Nya dalam menciptakan
dunia dan akhirat.29 Lebih lanjut al Ghazali mengatakan bahwa
mukashafah adalah makrifat kepada Allah Swt. Mukasyafah ini menurut
al Ghazali merupakan nur yang diletakkan oleh Allah Swt. pada hati
yang bersih dengan ibadah dan mujahadah.30
Shohibul Mukasyafah (yang dianugrahi kasyaf) yang memperoleh
keistimewaan yang dianugrahkan Allah adalah Para sahabat
rhadiallaahu anhum, terutama khulafaurrasyidin, para sahabat
Muhajirin dan Anshor, kemudian para sahabat yang lainnya. Hal ini
seperti disebutkan oleh Al-Hajuwayri dalam kitabnya Kasfyful
Mahjub.31 Yang mashur diantara khulafaurrasyidin dalam
mukasyafahnya yaitu sayyidina Umar bin Khatab.
Imam As-Suyuthi dalam kitab Tarikh al-Khulafa menyebutkan
beberapa karamah sayyidina Umar bin Khatab beserta riwayatnya. Suatu
hari, Umar bin Khatab memimpin khutbah jumat sebelum pelaksanaan
shalat jumat lalu meneriakkan kata “Ya sariyyatal jabal” sebanyak tiga
kali. Kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf menenangkan Umar

28
Abd al-Akrim al-Qushayri, al-Risalah al-Qushayriyyah, Vol. 1, (t.t.: t.p., t.th.),
h. 39.
29
Muhammad bin Muhamamd al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Vol. 1, (Beirut:
Dar al-Ma’rifat, t.th.), h. 19-20.
30
Muhammad bin Muhamamd al-Ghazali, Mukhtasar Ihya’ ‘Ulum al-Din,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2004), h. 15-16.
31
Abul Hasan Ali bin Utsman Al-Hajuawyri. Kasyful Mahjub. (Kairo: Majlis
A’la li at-tsaqofah, 2007), h, 267-274.
13

dan beberapa jamaah shalat jumat yang hadir. Abdurrahman bin Auf
mencoba mengklarifikasi ucapan Umar tentang sariyyatul jabal yang
mengakibatkan beberapa orang mencela umar. Umar pun dengan santai
menjawab: “Saya mendapati pasukan muslim berperang. Sedangkan
musuh mengepung mereka dari berbagai tempat. Ketika saya
mengucapkan ya sariyyatal jabal, saya berharap para pasukan untuk
menuju ke arah gunung.” Ternyata ucapan Umar kepada Abdurrahman
bin Auf ini benar adanya. Hal ini dibuktikan dengan datangnya utusan
dari pasukan yang berperang kepada Umar satu bulan kemudian dengan
keberhasilannya mengalahkan musuh dan memenangkan peperangan.32
Anugrah penyingkapan tabir antara hamba dengan sang khaliq
(kasyaf) merupakan bagian terpenting dalam tasawuf sehingga menjadi
puncak bahagia tak terkira bagi seorang sufi. Namun setiap penempuh
jalan tasawuf (salik) memaknai dan menyelami kasyaf tersebut sesuai
pengalaman ruhaninya masing-masing. Maka tak heran tokoh-tokoh
tasawuf silam berbeda dalam memahami dan menyelaminya. Maka bisa
dilihat misalnya Al-Hallaj (858-922 M) mengalami kasyafnya itu dengan
istilah Hulul yaitu marasuknya ketuhanan dalam dirinya. Pengalaman
kasyaf Abu Yazid Al-Busthami dengan istilah ittihad yaitu penyatuan
diri dengan tuhan. Ibnu Araby dengan istilah wihdatul wujud. Adapun
Dzu nun Al-Mishry (772 -860 M), Al-Ghozaly, Al-Qusairy
menyebutnya dengan Ma’rifatullaah.33 Kesemuanya itu merupakan
manifestasi kasyaf sesuai dengan pengalaman ruhaninya.
Maka dari itu, kasyaf atau kata lain mukasyafah memiliki
hubungan erat dengan ma’rifatullah. mukasyafah merupakan salahsatu
cara dari proses menuju ma’rifatullah. Dimana merupakan ajaran atau
jalan menuju kesucian jiwa untuk memasuki hadharat al-qudsiyah
(hadirat kesucian, atau hadharat rububiyat (hadirat ketuhahan).34

32
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr Asy-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa.
(Daulah Qatar: Wizarah awqaf wa su’un al-Islamiyah, 2013), h. 229-230.
33
Suteja Ibnu Pakar, Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya, (Yogyakarta:
Deepublish, 2013), h. 48-95.
34
Cucu Setiawan, Mukasyafah Persefektif Sufistik. Jurnal Syifa al-qulub, vol. 1,
no. 1, juli 2016.
14

Selain itu, dinilai bahwa kasyaf merupakan capaian tauhid yang paling
tinggi. Sebagaimana Imam Al-Ghozali mengkatagorikan tauhid dalam 4
tingkatan yaitu35;
1. Tingkatan pertama dari tauhid itu adalah, seseorang mengakui
dengan ucapan lidahnya bahwa “tiada Tuhan selain Allah”, namun
hatinya lalai dari pandangan atau mengingkarinya. Tauhid seperti
ini adalah tauhid golongan orang-orang munafik.
2. hatinya membenarkan terhadap makna ucapan tiada Tuhan selain
Allah sebagaimana pada kebanyakan kaum muslimin. Tauhid ini
adalah kepercayaan (i’tiqad) orang awam
3. Tingkatan yang ketiga adalah seseorang yang menyaksikan
terhadap keesaan Allah itu dengan jalan kasyaf melalui perantaraan
Nur al-haqq. Tingkat ini adalah orang-orang yang dekat dengan
Allah (muqarrabin).
4. Tingkatan yang keempat ialah bahwa seseorang tidak melihat
segala wujud ini melainkan satu, inilah musyahadah golongan
orang-orang yang benar siddiqin yang oleh kaum sufi disebut
dengan lebur dalam (fana fi at-tauhid). Dalam Tauhid martabat
keempat ini seseorang yang mentauhidkan Allah (muwahhid) tidak
ada lagi yang hadir dalam pandangan hatinya, melainkan hanya
satu, inilah menurut al-Ghazali tujuan tertinggi (al-Ghayat al
Quswa) di dalam Tauhid.
Seorang hamba (salik) yang ingin memperoleh kasyaf sebagai
puncak menuju ma’rifatullah itu tidak bisa didapatkan jika terdapat
dinding pembatas yang menghalangi antara khaliq dan makhluk-Nya,
antara Allah dengan hamba-Nya. Aboebakar Atjeh menyebutkan bahwa
ada 4 dinding yang membatasi seorang hambah dengan Tuhan-Nya,
namun 4 jalan pula untuk membukanya, yaitu;36
1. Manusia dalam kondisi hadast besar dan hadast kecil, maka alat
untuk membukanya adalah bersuci dari hadast tersebut.
2. Manusia menjalanankan amalan haram dan makruh, maka alat
pembukanya adalah dengan menghentikan perbuatan haram dan
makruh itu.

35
Damanhuri Basyir, Keesaan Allah Dalam Pemahaman Ilmu Tasawuf. Jurnal
Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012, h. 40-51.
36
Aboebakar Atjeh, Tarekat dalam Tasawuf, (Bandung: Hega Arsy, 2017) h. 31-
33.
15

3. Manusia dimana hatinya melakukan perbuatan yang di cela syara’,


maka pembukanya adalah meniggalkan perbuatan itu dan
mengisinya dengan yang disenangi syara;.
4. Manusia yang hatinya lalai terhadap Allah, maka pembukanya
adalah mengisinya dengan mengingat Allah.
Setelah diding pembatas itu mampu dibuka, maka masuklah para
hamba (salik) itu dalam tahapan syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat.
Buya Hamka menjelaskan bahwa syari’at artinya undang-undang atau
garis-garis yang telah ditentukan. Termasuk kedalamnya hukum halal
haram, perintah dan larangan, sunnah dan makruh, termasuk juga
didalamnya segala amalan yang lainnya seperti sholat, puasa, haji, dll.
Amalan syari’at dibagi kedalam dua bagian yaitu ta’abbudy yang
bersifat ibadah semata dan ta’aqquly yang bersifat dapat ditimbang
dengan akal. Selanjutnya, thariqat merupakan perjalan yang perlu
ditempuh untuk menuju keridhoan Allah sehingga syari’at itu mesti ada
pada jalan tertentu. Beberapa hal yang termasuk kedalam thariqat adalah
ikhlash (murni), muraqabah (mendekat), muhasabah (intropeksi),
tajarrud (melepaskan ikatan dunia), Isyq (rindu), Hubb (cinta).37
Berikutnya, Buya Hamka menjelaskan bahwa hakikat yaitu
kebenaran sejati dan mutlak. Permulaannya tercapailah kasyaf, yaitu
terbuka rahasia yang senantiasa menyelubungi di antara kita dengan Dia
(Allah). Terhindarlah hijab, yaitu dinding nafsu dan kebendaan. Apabila
rohani telah mencapai kesempurnaannya, takluklah jasmani kepada
kehendak rohani. Pada waktu itu tidak ada sakit lagi, tidak ada miskin
lagi. Bahkan mautpun sangkar kecil kepada kebebasan luas memcari
kekasih. Dan merek mengatakan “mati adalah alamat cinta yang sejati”.
Jika ketiga hal tersebut dapat dicapai maka ma’rifat mampu untuk
ditempuh dimana ia merupakan ujung perjalan dari ilmu pengetahuan.
Kumpulan pengetahuannya tentang syari’at, dengan kesediannya
menempuh jalan thariqat dan mencapaikan akan hakikat, maka
semuanya itulah ma’rifat.38
Selain tahapan tersebut yang tidak kalah penting adalah maqomaat
ydan ahwal. Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan
oleh para Sufi untuk memperolehnya. Diantara tingkatan maqamat

37
Hamka. Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf. (Jakarta: Republika, 2016)
hlm. 134-136
38
Ibid, hlm. 137-139
16

adalah: taubat, zuhud, wara’, faqir, sabar, tawakkal, dan ridho. Adapun
ahwal adalah Yang dinamakan Ahwal adalah apa yang didapatkan orang
tanpa dicari (hibah dari Allah SWT) merupakan anugrah Allah setelah
seorang berjuang dan berusaha melewati maqamaat. Diantara yang
termasuk ahwal antara lain: perasaan dekat, cinta, takut, harap, rindu,
yakin, dan puas terhadap Tuhan, serta tentram dan musyahadah
(perasaan menyaksikan kehadiran Tuhan).39
Dalam Menyelami samudra ma’rifah Dzun Nun al-Mishri
berpandangan bahwa ma’rifah kepada Allah yang hakiki bukanlah
pengetahuan tentang keesaan Allah yang diyakini oleh setiap mukmin.
Ia juga bukan pengetahuan yang lahir dari dalil-dalil atau analisa yang
merupakan pengetahuan para ahli hikmah dan mutakallimin tetapi ia
adalah pengetahuan tentang sifat-sifat kekesaan Allah yang hanya
dimiliki oleh awliyaullah karena mereka menyaksikan Allah langsung
dengan hati-hati mereka. Dengan itu, mereka dapat mengungkap segala
sesuatu yang tidak dapat diungkap oleh hamba-hamba Allah lainnnya.40
Jika diperhatikan ternyata Dzun Nun al-Mishri membagi ma’rifat
menjadi tiga bagian. Pertama, ma’rifah tauhid yang dimiliki oleh setiap
orang mukmin (awam). Kedua, ma’rifah dengan hujjah dan bayan yang
khusus dimiliki oleh ulama, filosof dan sasterawan. Ketiga, ma’rifat
tentang sifat-sifat keesaan Tuhan yang khusus dimiliki oleh para wali
(Sufi) yang melihat tuhan dengan hati-hati mereka.41
E. Sholat Sebagai Komunikasi Ruhani
Shalat secara bahasa berarti do’a memohon kebaikan dan pujian.
Sedangkan shalat dalam perspektif Fiqih adalah beberapa ucapan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, dan
menurut syarat-syarat yang telah ditentukan42. Kata As-shalah dalam
bahasa Arab itu mempunyai dua makna (dua akar kata) yaitu shalla dan
washala.Shalla artinya berdo’a, jadi kita memohon atau menyeru kepada
Allah. Washalaartinya sama dengan shilah, yaitu menyambungkan. Jadi

39
Badruddin. Akhlak Tasawuf. (Serang: IAIB Press, 2015) hlm. 107-111
40
Abdul Qadir Mahmud. Al-Falsafah al-Sufiyyah fi al-Islam. Cet. I. (Kairo: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1967). hlm. 306
41
Muhammad Irfan Helmy. Teori Ma’rifah Dalam Tasawuf Dzun Nun Al-
Mishri. Journal of Islamic Law and Studies Vol. 4 No. 1 Juni 2020 hlm. 67-69
42
Hasbi As-Shiddiqy, Pedoman Shalat, (Jakarta Bulan Bintang), 1951, hlm.62
17

shalat itu mempunyai makna adanya ketersambungan kita sebagai


hamba dengan Allah43.
Pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya
merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai
dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’. Shalat dalam
pandangan Islam adalah merupakan bentuk komunikasi manusia dengan
Tuhannya dan sekaligus sebagai cermin keimanan bagi seorang mukmin.
Dalam kajian tasawuf, secara umum ada dua makna sufistik shalat.
Pertama, shalat itu adalah mi’raj artinya mendaki, taraqqi menuju Allah.
Dan setiap kali hamba Tuhan akan mendaki (mi’raj) pada saat itu Tuhan
akan turun. Misalnya bagi orang yang shalat, tetapi shalat itu tidak
pernah mengangkatnya maka shalatnya itu diragukan. Karena merasa
tidak dekat dengan Allah. Artinya orang itu baru shalat secara lahiriyah
dan secara sufistik belum menimbulkan perubahan yang ada dalam
dirinya. Karena tujuan dari pada shalat bukan sekedar gerakan-gerakan
badan, tetapi adanya keterkaitan hati dengan Allah.
Di dalam sejarah, shalatnya Nabi saw. dan para sufi, badannya
gemetar, mukanya pucat, bibirnya kadang bergetar saat membaca ayat-
ayat Allah. Kalau ingin memperoleh shalat yang seperti itu, maka
shalatlah seperti orang yang akan meninggal besok. Shalli shalatan
shalatamuwatti’, shalatlah seperti orang yang akan melepaskan atau
meninggalkan dunia. Kalau kita mengetahui besok akan mati, pasti akan
menyiapkan segala sesuatunya, salah satunya dengan melakukan shalat
dengan sebaik-baiknya. Seperti kata Rasul, kalau ingin memperoleh
shalat yang bisa menjadi mi’raj atau shalat yang bisa menjadi kendaraan,
maka syarat utamanya adalah berupaya menjadikan shalatnya sebagai
yang terakhir. Sehingga orang yang shalatnya demikian, tidak akan
pernah merasakan capek44. Justru dengan shalat, akan memperoleh
kenikmatan dan ketenganan di dalam batinnya.
Kedua, shalat yang bisa menjadi kekuatan spiritual. Dalam konteks
inilah bisa dimengerti bahwa fungsi shalat dalam persepsi al-Qur’an
diklaim mampu mencegah kemungkaran (QS. Al-Ankabut ayat 45).
43
Umar Shahab, Memperoleh Hikmah dari Samudera Irfani, (Jakarta:
Pengembangan Tasawuf Positif dan Klinik Spiritualitas), 1999, hlm. 7
44
Hussien Shahab, Masalah Khusyu’dalam Shalat, (Jakarta: Pusat
Pengembangan Tasawuf Positif dan Klinik Spiritualitas Islam), 1999, hlm.2
18

Shalat juga sebagai sumber segala kekuatan dan penolong (QS. Al-
Baqarah ayat 45).

َ ۡ َ َ َّ ٌ َ َ َ َ َّ ٰ َ َّ َ ۡ َّ ْ ُ َ ۡ َ
َ ‫خٰشِ ِع‬
٤٥ ‫ني‬ ‫ۡب وٱلصلوة ِِۚ ِإَونها لكبِرية إَِّل لَع ٱل‬
ِ ‫وٱست ِعينوا بِٱلص‬
Artinya :
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu'.
Kesabaran merupakan bekal yang harus dimiliki di dalam
menghadapi setiap kesulitan dan penderitaan. Kesabaran dalam arti yang
positif. Sabar dalam ketahanan diri, berarti tidak boleh panik. Ketika kita
mengalami problematika dalam kehidupan, maka kerjakanlah shalat
sebagai alat komunikasi dengan Sang Khaliq. Di mana kita bisa
mengadu, bersimpuh dan berdialog kepada –Nya tentang persoalan yang
kita hadapi. Dengan demikian akan terjalin hubungan yang sangat kuat
di dalam batinnya. Hati akan mengalami ketenangan, ketentraman dan
kedamaian. Sesuai dengan Firman Allah dalam Surat At-Taubah Ayat

َّ ۡ ۡ َ َ ُ َ ۡ ُ ُ َ ُ ٗ َ َ َ ۡ َٰ ۡ َ ۡ ۡ ُ
103.
َ َ َ َ
‫خذ مِن أمول ِ ِهم صدقة تط ِهرهم وتزك ِي ِهم بِها وص ِل علي ِهمۖۡ إِن‬
ٌ َ ٌ َ ُ َّ َ ۡ ُ َّ ٞ َ َ َ َ ٰ َ َ
١٠٣ ‫صلوتك سكن لهمۗۡ وٱَّلل س ِميع عل ِيم‬
Artinya :
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Shalat merupakan aktifitas jiwa, sebuah proses perjalanan spiritual
yang penuh makna yang dilakukan oleh seorang hamba untuk bertemu
dengan Sang Khaliq. Shalat diibaratkan sebagai suatu perjalanan ruhani,
karena semua gerak-gerik di dalamnya diiringi dengan niat. Dengan
mendirikan shalat, manusia telah menempuh setengah perjalanan
menuju Allah, ditambah dengan puasa, maka telah sampai ke pintu-Nya
dan dilengkapi dengan sedekah, maka telah memasuki rumah-Nya.
Kita tidak menyadari untuk memanfaatkan shalat sebagai alat
penolong, sumber hidup, penerang jiwa dan tempat di mana manusia
harus bertanya dan berdialog tentang persoalan yang dihadapi atau
19

bahkan persoalan yang sulit dipecahkan sekalipun. Oleh karena itu,


shalat harus dipahami tidak hanya sebagai rutinitas kewajiban, tetapi
sudah menjadi taraf kebutuhan. Shalat bukan sekedar membungkuk,
bersujud dan komat-kamit bahkan tidak sadar dengan apa yang
dilakukan. Kalau shalatnya benar-benar mengingat Allah, maka akan
merasakan kadamaian dan ketenangan.
F. Relasi Sholat Dengan Kehidupan Sehari-hari
Nilai-nilai akhlak dan Pembinaan Perilaku yang terkandung dalam
proses menjalankan ibadah shalat :
1. Arena Berdzikir Kepada Allah
dzikir adalah menghadirkan hati untuk ingat dan taat kepada
Allah dalam berbagai situasi dankondisi yang diwujudkan dengan
ucapan dan perbuatan dalam berbagai keadaan. Di samping
sebagai ibadah dzikir juga mempunyai hikmah dan fungsi
psikologis yang penting bagi kehidupan seorang mukmin. Selalu
ingat kepada Allah akan menumbuhkan sikap optimis (kepastian)
di diri manusia dan menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian
ketika menghadapi berbagai persoalan dalam hidupnya. Ia
meyakini bahwa Allah senantiasa dekat dengan-Nya. Kesadaran
akan kehadiran Allah merupakan sumber semangat, harapan,
motivasi, dan ketentraman batin.
2. Latihan Kedisiplinan,
Waktu pelaksanaan shalat sudah ditentukan sehingga kita tidak
boleh seenaknya mengganti, memajukan ataupun mengundurkan
waktu pelaksanaannya, yang akan mengakibatkan batalnya shalat
kita. Hal ini melatih kita untuk berdisiplin dan sekaligus
menghargai waktu
3. Latihan Kebersihan
sebelum shalat, seseorang disyaratkan untuk mensycikan
dirinya terlebih dahulu, yaitu dengan berwudlu atau
bertayammum. Hal ini mengandung pengertian bahwa shalat
hanya boleh dikerjakan oleh orang yang suci dari segala bentuk
najis dan kotoran sehingga kita diharapkan selalu berlaku bersih
dan suci. Di sini, kebersihan yang dituntut bukanlah secara fisik
semata, akan tetapi meliputi aspek non-fisik sehingga diharapkan
orang yang terbiasa melakukan shalat akan bersih secara lahir
maupun batin
20

4. Latihan Konsentrasi
Shalat melibatkan aktivitas lisan, badan, dan pikiran secara
bersamaan dalam rangka menghadap ilahi. Ketika lisan
mengucapkan Allahu Akbar, secara serentak tangan diangkat ke
atas sebagai lambang memuliakan dan membesarkan, dan
bersamaan dengan itu pula di dalam pikiran diniatkan akan shalat.
Pada saat itu, semua hubungan diputuskan dengan dunia luar
sendiri. Semua hal dipandang tidak ada kecuali hanya dirinya dan
Allah, yang sedang disembah. Pemusatan seperti ini, yang
dikerjakan secara rutin sehari lima sekali, melatih kemampuan
konsentrasi pada manusia. Konsentrasi, dalam bahasa Arab disebut
dengan khusyu’, dituntut untuk dapat dilakukan oleh pelaku shalat.
Kekhusyukan ini sering disamakan dengan proses meditasi.
Meditasi yang sering dilakukan oleh manusia dipercaya dapat
meningkatkan kemampuan konsentrasi dan mengurangi
kecemasan.
5. Latihan Sugesti Kebaikan
Bacaan-bacaan di dalam shalat adalah kata-kata baik yang
banyak mengandung pujian sekaligus doa kepada Allah. Memuji
Allah artinya mengakui kelemahan kita sebagai manusia, sehingga
melatih kita untuk senantiasa menjadi orang yang rendah hati, dan
tidak sombong. Berdoa, selain bermakna nilai kerendahan hati,
sekaligus juga dapat menumbuhkan sikap optimis dalam
kehidupan. Ditinjau dari teori hypnosis yang menjadi landasan dari
salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata (bacaan
shalat) merupakan suatu proses auto sugesti, yang membuat si
pelaku selalu berusaha mewujudkan apa yang telah diucapkannya
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
6. Latihan Kebersamaan
Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk
melakukannya secara berjamaah (bersama orang lain). Dari sisi
pahala, berdasarkan hadits nabi SAW jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan shalat sendiri-sendiri. Dari sisi psikologis,
shalat berjamaah bisa memberikan aspek terapi yang sangat hebat
manfaatnya, baik bersifat preventif maupun kuratif. Dengan shalat
berjamaah, seseorang dapat menghindarkan diri dari gangguan
kejiwaan seperti gejala keterasingan diri. Dengan shalat
berjamaah, seseorang merasa adanya kebersamaan dalam hal
21

nasib, kedudukan, rasa derita dan senang. Tidak ada lagi perbedaan
antar individu berdasarkan pangkat, kedudukan, jabatan, dan lain-
lain di dalam pelaksanaan shalat berjamaah.
7. Latihan Ketahanan Mental
Mental seseorang dapat diuji dengan perintah yang menjadi
kewajiban dan larangan untuk meninggalkannya, maka manakala
seorang muslim diuji coba dengan berbagai cobaan dan masih
tetap bisa menjalankan perintah-Nya, dan tidak mudah putus asa
dan berkeluh kesah. Maka ia memiliki ketahanan mental seorang
yang beriman.
8. Latihan Bersyukur
imam Ar-Raghib Al-Isfahani dalam kitabnya Al-Mufradat fi
Ghara’ib Al-Qur’anmengatakan bahwa kata “syukur”
mengandung pengertian adanya pengakuan diri yang tulus akan
suatu nikmat atau anugerah, dan upaya untuk menampakannya.
G. Implikasi Sholat Terhadap Pembinaan Sosial
1. Shalat Mendidik Persatuan Umat.
Gerakan dan ucapan terakhir dalam sholat adalah salam. Salam
bermakna terciptanya persatuan umat. Persatuan umat lahir dari
adanya penghargaan sesama umat yang dilandasi persamaan iman.
Alquran menjelaskan bahwa orang-orang beriman yang berjalan di
muka bumi dengan rendah hati dan apabila ada saudara kita yang
tidak baik menyapa mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata
yang mengandung kebaikan/keselamatan.
2. Sholat Sebagai Kesamaan Martabat Manusia.
Sholat (terutama sholat berjamaah) salah satu maknanya adalah
adanya pengakuan terhadap persamaan martabat manusia. Tidak
ada perbedaan satu sama lain kecuali ibadah kepada Allah Swt.
3. Shalat Melahirkan Masyarakat Terhormat.
Masyarakat yang menegakan shalat melahirkan tata sosial yang
baik, sehingga melahirkan masyarakat bermoral dan luhur.
4. Shalat Melahirkan Masyarakat Yang Bertanggungjawab.
Masyarakat yang menegakkan shalat memiliki wujud bathin
yang selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. Sehingga masyarakat
tersebut memiliki semangat tanggungjawab terhadap amanah yang
diembannya
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Shalat sebagai kebutuhan ruhani secara mutlak, sebagai sebuah
pendakian atau perjalanan spiritual (berdialog dengan Allah), yaitu
proses transendensi (berpindahnya jiwa) menuju Allah. Di mana
manusia bisa berdialog dan berkomunikasi dengan Allah. Shalat
dikatakan sebagai mi’rajnya orang yang beriman yaitu naiknya jiwa
(mi’raj) meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia
menuju ke hadirat Allah Yang Maha Tinggi. Manusia setelah mengalami
proses transendensi berkomunikasi dengan Allah (lewat shalat), dituntut
untuk aktif di dunia, memelihara kedamaian bagi umat manusia, menjaga
kahermonisan alam, menyebarkan berkah dan selalu berpihak pada
kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, gerak kesadaran
kehambaannya akan seirama dengan gerak kesadaran kekhalifahannya
Kesadaaran penghambaan ini meniscayakan seluruh manusia untuk
selalu tunduk, patuh dan mengorientasikan segala laku dan aktivitasnya
hanya kepada Allah. Manusia bila sudah mampu mengorientasikan
segala apa yang ada pada dirinya hanya kepada Allah, sebagai
konsekuensi dari kehambaannya, maka dirinya akan menjadi manusia
yang merdeka. Mampu keluar dari hegemoni kepentingan hawa nafsu
yang cenderung menjauhkan diri dari Allah.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abd, al-Qadir, Mahmud. 1996. al-Falsafah at-Tasawwuf fi al-Islam.


Beirut: Dar alFikr.
Abdullah, al-Anshari, al-Harawi. 1988. Kitab Manazil al-Sairin. Beirut:
Dar al Kutub Ilmiyyah.
Abu, al-Ala, Affifi. 1962. at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam. Kairo.
H.A.R. Gibb (Ed.), 1986, The Enciclopaedia of Islam Vol-X, (Leiden:
E.J. BRILL.
HM,. Amin Syukur. 2002. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung
Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Imam, al-Ghazali. 1996, al-Mukasyafat al-Qulub, terj. Ahmad Sunarji,
Bandung: Pustaka Husaini.
Imam, al-Qusyairy, al-Naisaburi. 1999. Risalah Qusyairiyyah. Surabaya:
Risalah Gusti.
Julian Baldick, Islam Mistik: 2002, Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf,
trej. Satrio Wahono, Jakarta: Serambi.
Khairunnas Rajab, 2007 “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”,
dalam Jurnal Usuluddin, Bil.
Masyharuddin, 2007, Pemberontakan Tasawuf: Kritik Ibn Taimiyah atas
Rancang Bangun Tasawuf, Kudus: STAIN Kudus Press.
Harun Nasution, 1993, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta:
Pustaka Bulan Bintang.
Yahya Jaya, 1994, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan
Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka Ruhama,
Muchtar, Solihin,. dan Rosihon, Anwar. 2002. Kamus Tasawuf.
Bandung: Rosda karya.
Abul, Hasan, Ali, bin Utsman, Al-Hajuawyri. 2007. Kasyful Mahjub.
Kairo: Majlis A’la li at-tsaqofah.
Jalaluddin, Abdurrahman, bin Abi Bakr Asy-Suyuthi. 2013. Tarikh al-
Khulafa. Daulah Qatar: Wizarah awqaf wa su’un al-Islamiyah.
Suteja, Ibnu, Pakar. 2013. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya.
Yogyakarta: Deepublish.
Cucu, Setiawan. 2016. Mukasyafah Persefektif Sufistik. Jurnal Syifa al-
qulub, vol. 1. no. 1,.
Damanhuri, Basyir. 2012. Keesaan Allah Dalam Pemahaman Ilmu
Tasawuf. Jurnal Substantia. Vol. 14. No. 1,.
Aboebakar, Atjeh. 2017. Tarekat dalam Tasawuf. Bandung: Hega Arsy.

Anda mungkin juga menyukai