Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH AKHLAK TASAWUF

TENTANG

TASAWUF SEBAGAI AKHLAK DAN IBADAH


Diajukan untuk memenuhi tugas berstruktur Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Di Susun

Oleh:

NIM:

FAKULTAS SYARI‟AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,

Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan

rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah yang diberi judul TASAWUF SEBAGAI AKHLAK DAN IBADAH.

Makalah ini telah di susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

pembuatan hasil makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu

dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami

dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat

maupun inpirasi terhadap pembaca.

Medan, 29 Oktober 2020

Penulis

I
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................I

Daftar Isi..............................................................................................................II

Peta Konsep .........................................................................................................III

BAB I Pendahuluan .........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1

B. Rumusan Masalah ..............................................................................1

C. Tujuan Masalah ..................................................................................2

BAB II Pembahasan ..........................................................................................3

A. Pengertian Tasawuf ............................................................................3

B. Tasawuf Sebagai Akhlak dan Ibadah .................................................7

BAB III Penutup ..............................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................23

II
TASAWUF

AKHLAK IBADAH

1. Hubungan dengan Allah terjaga

2. Hubungan sesama manusia terpelihara

3. Terpelihara dari kemungkinan berbuat dosa

4. menumbuhkan muhasabah diri lebih baik

HIDUP SEJAHTERA DAN


BAHAGIA

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam salah satu Hadis yang

menerangkan tentang Islam, Iman, dan Ihsan, Tasawuf merupakan perwujudan

dari salah satu ketiga pilar syari‟at tersebut, yakni Ihsan.

Jadi, tasawuf adalah bagian dari syari‟at Islam, atau dengan kata lain

bahwa Syari‟at Islam juga memuat ajaran tentang tasawuf. Dengan dasar

pemikiran ini, maka menganaktirikan tasawuf atau kajian atasnya merupakan hal

yang kurang benar, sebab mereka dalam syari‟at Islam menduduki porsi dan

posisi yang sama dengan kedua pilar Islam lainnya.

Namun yang ironis, dalam realitanya penganaktirian tersebut terjadi, baik

dengan memberikan stereotip negative terhadapnya maupun meninggalkan kajian

mendalam atasnya. Mereka lebih suka dan nyaman mengkaji fiqih (Islam) dan

kalam atau tauhid (Iman).

Tasawuf bukan hanya sebagai media pembentuk akhlak, melainkan juga

sebagai media untuk merasakan manisnya ibadah dengan rasa kecintaan.

Memahami dunia tidak hanya sebatas isi dan memandang siklus kehidupan

sebagai takdir yang harus di syukuri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tasawuf sebagai media pembentuk akhlak?

1
2

2. Bagaimana tasawuf sebagai arah terbaik dalam ibadah?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk Mengetahui tasawuf sebagai media pembentuk akhlak.

2. Untuk mengetahui tasawuf sebagai arah terbaik dalam ibadah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf

Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan Khulafaur

Rasyidin. Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim alKufy (w. 250 H)

meletakkan kata al-Sufi dibelakang namannya pada abad ke 3 Hijriyah. Menurut

Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur, sebelum Abu Hasyim

al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, tawakkal, dan dalam

mahabbah, namun mereka tidak menggunakan atau mencantumkan kata al-sufi.

Jadi tetap Abu Hasyim orang yang pertama memunculkan istilah itu.1

Secara etimologi, para ahli berbeda pendapat tentang akar kata tasawuf.

Setidaknya ada ada enam pendapat dalam hal itu, yakni:

(1) kata suffah yang berarti emperan masjid Nabawi yang didiami oleh

sebagian sahabat Anshar. Hal ini karena amaliah ahli tasawuf hampir sama

dengan apa yang diamalkan oleh para sahabat tersebut, yakni mendekatkan diri

kepada Allah Swt., dan hidup dalam kesederhanaan.2

(2) kata Shaf yang berarti barisan. Istilah ini dianggap oleh sebagian ahli

sebagai akar kata tasawuf karena ahli tasawuf ialah seorang atau sekelompok

1
HM. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 7-8.
2
Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, trej. Satrio Wahono,
(Jakarta: Serambi, 2002.) , hlm. 42.

3
4

orang yang membersihkan hati, sehingga mereka diharapkan berada pada barisan

(shaf) pertama di sisi Allah Swt.

(3) kata shafa yang berarti bersih, karena ahli tasawuf berusaha untuk

membersihkan jiwa mereka guna mendekatkan diri kepada Allah Swt.

(4) kata shufanah, nama sebuah kayu yang bertahan tumbuh di padang

pasir. Hal ini karena ajaran tasawuf mampu bertahan dalam situasi yang penuh

pergolakan ketika itu, ketika umat muslim terbuai oleh materialisme dan

kekuasaan, sebagaimana kayu shufanah yang tahan hidup ditengah-tengah padang

pasir yang tandus.

(5) Kata Teoshofi, bahasa Yunani yang berarti ilmu ketuhanan, karena

tasawuf banyak membahas tentang ketuhanan.

(6) kata shuf yang berarti bulu domba, karena para ahli tasawuf pada masa

awal memakai pakaian sederhana yang terbuat dari kulit atau bulu domba (wol).3

Perbedaan pendapat ini, jika diteliti muncul karena adanya perbedaan

sudut pandang yang dipakai. Bagi penulis, perbedaan tersebut tidak menjadi

problem, sebab ciri-ciri yang dijadikan landasan pengkaitan akar kata tasawuf di

atas semuanya terdapat pada tasawuf itu sendiri. Meski demikian, penulis lebih

setuju dengan pendapat yang ke-enam, yakni tasawuf berakar dari kata shuf (wol).

Hal ini karena kata tersebut lebih tepat baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap

kesederhanaan, maupun aspek kesejarahan.

Selanjutnya, definisi tasawuf secara terminology juga tidak kalah banyak

dengan definisi secara etimologi. Setidaknya terdapat 11 definisi tasawuf yang

3
Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 8-10 dan Baldick, Islam Mistik, h. 44-46
5

dimunculkan oleh para praktisi tasawuf. Ke sebelas definisi ini termuat dalam

sebuah puisi Persia sebagai berikut:

What is Tasawwuf? Good character and awareness of God. That‟s all

Tasawwuf is. And nothing more. What is Tasawwuf? Love and affection. It is the

cure for hatred and vengeance. And nothing more. What is Tasawwuf? The heart

attaining tranquality which is the root of religion. And nothing more. What is

Tasawwuf? Concentrating your mind, which is the religion of Ahmad (peace be

upon him). And nothing more. What is Tasawwuf? Contemplation that travels to

the Divine throne. It is a far-seeing gaze. And nothing more. Tasawwuf ia keeping

one‟s distance from imagination and supposition. Tasawuf is found in certainly.

And nothing more. Surrendering one‟s soul to the care of the inviplability of

religion; this is tasawwuf. And nothing more. Tasawwuf is the path of faith and

affirmation of unity; this is the incorruptible religion. And nothing more.

Tasawwuf is the smooth and illuminated path. It is the way to the most exalted

paradise. And nothing more. I have heard that the ecstasy of the wearers of wool

comes from finding the taste of religion. And nothing more Tasawwuf is nothing

but Shari‟at. It is just this clear road. And nothing more.4

Definisi tasawuf dalam puisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa

tasawuf adalah:

(1) akhlak mulia dan muraqabah kepada Tuhan (Ihsan);

(2) cinta dan kasih sayang (Mahabbah) kepada Tuhan;

(3) inti atau akar agama guna mencapai kedamaian hati;

4
---------, “What is Tasawwuf?”, An Anonymous Persian Poem, trans. A.A. Godlas,
6

(4) mengkonsentrasikan pikiran [sesuai ajaran Muhammad] kepada Allah

[penyatuan];

(5) kontemplasi yang bertualang menuju tahta ketuhanan;

(6) penjagaan seseorang terhadap imajinasi dan perkiraan guna mendapatkan

keyakinan atau kepastian;

(7) penyerahan jiwa kepada Tuhan;

(8) jalan iman dan penegasan persatuan kepada Tuhan;

(9) jalan yang halus dan diterangi untuk menuju surga yang paling mulia;

(10) jalan untuk menemukan rasa agama [penghayatan mendalam, pen]; dan

(11) syari‟at. Dari semua definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa pengertian

tasawuf adalah bagian dari syari‟at islam yang memuat suatu metode untuk

mencapai kedekatan atau penyatuan antara hamba dan Tuhan dan juga untuk

mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki (mak‟rifat) dan atau inti rasa agama.

Tasawuf dikategorikan syari‟at karena ia merupakan salah satu dari tiga

pilar Syari‟at Islam, yakni Islam (Fiqih), Iman (Tauhid), dan Ihsan (Tasawuf).

Dikatakan sebagai metode, karena tasawuf merupakan suatu cara, baik dengan

cara memperbaiki akhlak (lahir dan batin), mujahadah, kontemplasi, ishq dan

mahabbah, mengikuti semua yang dianjurkan oleh Nabi (sunnahsunnah),

penyucian jiwa (riyadhoh, tirakat, jw), maupun dengan cara lain sesuai dengan

kemampuan dan kecondongan masing-masing. Dan kemudian penyertaan

„mencapai kebenaran dan seterusnya‟ merupakan tujuan akhir tasawuf sesuai

dengan madzhab-madzhab yang ada di dalamnya. Terkait madzhab-madzhab yang

terdapat dalam tasawuf akan penulis jelaskan pada sub bab tersendiri nanti.
7

B. Tasawuf Sebagai Akhlak dan Ibadah

Esensi agama Islam adalah akhlak, yaitu akhlak antara seorang hamba

dengan Tuhannya, antara seorang dengan dirinya sendiri, antara dia dengan orang

lain, termasuk anggota masyarakat dengan lingkungannya. Akhlak yang terjalin

dalam hubungan antar hamba dengan Tuhan menegasikan berbagai akhlak yang

buruk, seperti tamak, rakus, gila harta, menindas, mengabdikan diri kepada selain

khaliq, membiarkan orang yang lemah dan berkianat. Namun sebaliknya,

mengedepankan akhlak kebajikan (terpuji) bisa menambah kesempurnaan iman

seseorang, karena seorang mukmin yang sempurna adalah mereka yang paling

sempurna akhlaknya. Dalam agama Islam hal tersebut bisa dicapai, setelah

seseorang beriman-percaya pada rukun Iman dan juga menjalankan syariat Islam

sebagaimana dalam rukun Islam. Jadi tiga komponen utama dari ajaran Islam,

yakni Iman, Islam dan Ihsan harus seiring dan sejalan dalam kehidupan seorang

muslim.

Akhlak seseorang dengan sendirinya melahirkan tindakan positif bagi

dirinya, seperti menjaga kesehatan jiwa dan raga, menjaga fitrah dan memenuhi

kebutuhankebutuhan ruh dan jasmani. Dengan demikian, krisis spiritual tidak

akan terjadi padanya. Selanjutnya akhlak yang terjalin pada hubungan antara

seorang dengan orang lain, menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan

keselarasan dalam hidup yang dapat mencegah, mengobati berbagai krisis

(spiritual, akhlak dan budaya).

Tercerabutnya akar spiritualitas dari panggung kehidupan, salah satunya

disebabkan oleh pola hidup global yang serba dilayani perangkat teknologi yang
8

serba otomat. Kondisi seperti ini kemudian menimbulkan berbagai kritik dan

usaha pencarian paradigma baru yang diharapkan membawa kesadaran untuk

hidup bermakna. “Organized Religion”–yang dilihat sebelah mata hanya pada

aspek formalnya–tidak selamanya dianggap dapat berikan terapi kehampaan dan

kegersangan hidup. Dari kondisi ini, kemudian timbul gejala pencarian makna

hidup dan pemenuhan diri yang sarat dengan spiritualitas. Upaya ini diharapkan

dapat mengatasi derita alienasi manusia modern.

Umat manusia telah terbentuk, sebagaimana produk industri itu sendiri.

Tak ada lagi keunikan; yang ada hanyalah kekakuan yang seragam sehingga

secara sadar atau tidak sadar, manusia berangsur-angsur kehilangan asas

kemerdekaannya. Padahal itulah yang dijadikan tumpuan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Itikad dikembangkannya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai

pembebasan keterbatasan manusia, justru menghadirkan kerumitan hidup dan

kegelapan ruang spiritual. Waktu yang berjalan telah dianggap terlampau cepat

berlalu tanpa makna, tanpa membawa penyelesaian masalah hidup yang

direncanakan.

Manusia terpacu oleh situasi mekanistis yang telah diciptakannya sendiri

sehingga kehilangan waktu untuk merenungkan ayat-ayat Allah dan makna

hidupnya. Manusia telah kehilangan kontak secara manusiawi dalam tata

hubungan antar manusia karena manusia telah menjadi egoistis. Manusia

kehilangan kontak dengan alam, sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan

menjadi masalah utama dama hidup modern. Manusia telah kehilangan orientasi,
9

tidak tahu ke mana arah hidup tertuju. Di sinilah manusia telah kehilangan segala-

galanya.5

Perjalanan umat manusia menuju masyarakat industrial seperti yang

diuraikan terdahulu, proses yang menyertainya akan menimbulkan pergeseran

nilai dan benturan budaya yang tidak dapat dielakkan karena memang budaya

santai dari masyarakat agraris yang bertenaga hewani berlainan dengan budaya

tepat waktu pada masyarakat industrial yang tenaganya serba mesin, dan nilai-

nilai bergeser pada saat wanita, yang semula sangat terikat dengan rumah dan

keluarga, merasa bebas menggunakan kendaraan bermesin sebagai sarana

transportasi dan pesawat telpon sebagai alat komunikasi. Dengan keimanan dan

ketakwaan dapatlah dipilih nilai-nilai baru dan budaya baru yang sesuai dengan

ajaran agama.6

Tasawuf berarti semangat Islam, sebab semua hukum Islam berdasarkan

landasan akhlak. Dalam hal ini Hamka menyebutnya sebagai “tasawuf modern”,

yaitu “keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang

terpuji”. Maksudnya adalah membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi

derajat budi, menekankan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat

yang berlebihan dari keperluan untuk kesentosaan diri. Kemudian tasawuf

“akhlak” ini dari awalnya, dalam beberapa aspek utama, bahkan mengatur untuk

mengikat doktrin al-Qur‟an. Kenyataannya, untuk menyebutnya “akhlak”

merupakan penyalahgunaan istilah. Akhlak menguasai hubungan intra-manusia

5
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 198
6
Achmad Baiquni, Al-Qur’an; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1995), h. 154
10

dan akhlakitas al-Qur‟an melakukan ini dengan sense of presence of God (rasa

kehadiran Tuhan) yang kuat.7

Doktrin sufi terhadap perasaan berdosa dan pengangkatan diri yang

bersifat asketis membalikkan akhlakitas positif al-Qur‟an ini ke dalam perjuangan

melawan diri. Manusia dituntut bergulat dengan dirinya. Dimensi hubungan intra-

manusia, yang merupakan inti dari akhlak al-Qur‟an, secara praktis dihapus. Jika

ini tidak terjadi, tasawuf akan menjadi aset spiritual Islam yang sangat positif.8

Sebenarnya dalam wacana intelektual pun ada satu konsep paham tasawuf yang

tetap mempertahankan esensi awal dari tasawuf, yaitu akhlak. Itu sebabnya dapat

disebut „ tasawuf akhlaki‟. Perlu ditegaskan di sini, mengapa “akhlak” disebut

esensi awal dari tasawuf, karena arahnya adalah melaksanakan hidup “sederhana”

dan sikap hidup ini pada akhirnya membuahkan tindakan akhlak.

Tasawuf sebagai akhlah juga mendidik manusia sebagai berikut:

1. Pendidikan Akhlak–Spiritual

Kebangkitan spiritualitas terjadi di mana-mana, baik di Barat maupun

dunia Islam. Di dunia Barat, kecenderungan untuk kembali pada spiritualitas

ditandai dengan semakin merebaknya gerakan fundamentalisme agama dan

kerohanian, terlepas dari gerakan ini menimbulkan persoalan psikologis maupun

sosiologis. Sementara di kalangan umat Islam ditandai dengan berbagai artikulasi

keagamaan seperti fundamentalisme Islam, yang ekstrem dan menakutkan

7
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hlm. 7.
8
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, terj.
Aan Fahmia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 154
11

sampaipada bentuk artikulasi esoterik seperti akhir-akhir ini menggejala, yaitu

gerakan sufisme (tasawuf).9

Masyarakat Barat kini bisa dijadikan contoh, mereka kini sedang

meringkuk dalam penyakit jiwa. Penyakit akhlak yang penuh dengan dosa dan

kerusuhan masyarakatnya yang materialistis di permukaan bumi penuh oleh

kemarahan yang merupakan masyarakat celaka dan sengsara.10 Akan tetapi, pada

kenyataannya, rasionalisme, materialisme, sekularisme, tidak menambah

kebahagiaan hidup, justru menimbulkan dehumanisasi yang berakibat pada

kegelisahan hidup. Lebih jauh, para ilmuwan menyebut era tercerabutnya nilai-

nilai humanis sebagai the age anxiety (abad kecemasan). Gejalanya antara lain,

munculnya krisis dalam setiap aspek kehidupan manusia. Mulai dari lingkungan

akibat pencemaran industri, perubahan tata nilai, peperangan, lunturnya nilai-nilai

tradisi dan penghayatan agama sebagai efek sampaing teknologi dan industri-

modernisasi, serta munculnya berbagai penyakit yang mengerikan dan sulit

disembuhkan. Semua gejala tersebut menjadi momok bagi masyarakat modern.

Masyarakat modern dihantui akan kecemasan, kegelisahan, frustasi,

depresi, kehilangan semangat hidup dan penyakit psikosomatis lainnya,

khususnya di kota-kota besar. Di mana beban psikologis ini sudah begitu

mewabah. Sehingga banyak orang modern menderita existensial vacuun

(kehampaan hidup) yang diakibatkan oleh rasa hidup tak bermakna. Untuk

menanggulangi penyakit tersebut banyak upaya yang mereka lakukan, antara lain,

konsultasi dengan berbagai ahli; dokter, psikolog, psikiater dan sebagainya. Ada

9
Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam : Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 258.
10
Kahar Masyhur, Membina Akhlak dan Akhlak (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 136.
12

juga yang lari dari kenyataan dengan minum-minuman keras, mengkonsumsi

obat-obat terlarang dan perilaku yang menyimpang dari norma-norma agama.

Tetapi tak jarang pula, mereka kembali ke pangkuan agama, yang mereka

wujudkan dengan mengikuti pengajian-pengajian dan menjalankan ajaran

tasawuf.

Tasawuf menjadi tempat berteduh bagi orang-orang modern. Tasawuf

menawarkan kekayaan spiritual yang bernilai tinggi. Lantas tasawuf banyak

diburu orang. Orangorang baru sadar akan urgensi pemenuhan spiritualitas.

Penjelasan tersebut, jelaslah bahwa tasawuf mempunyai arti penting bagi manusia

modern, di mana tasawuf mengingatkan manusia bahwa dirinya bukanlah sebuah

robot, melainkan makhluk jasmaniah dan ruhaniah. Keduanya tidak bisa

dipisahkan, sebagai makhluk dualitas ini, manusia mempunyai potensi untuk

berhubungan dengan dunia materi dan dunia spiritual. Meminjam istilah

Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip Sulaiman al-Kumayi, manusia adalah

“radio dua band” yang mampu menangkap gelombang panjang dan gelombang

pendek. Ia mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejala-gejala fisik

yang diamatinya, tetapi ia juga mampu menyadap isyarat-isyarat gaib dari

alamyang lebih luas.

Tasawuf bukanlah spiritualitas yang sekedar menjadi tempat pengasingan

diri. Ia berusaha menampilkan visi religius otentik yang mengarahkan diri untuk

melampaui diri. Sebuah visi yang tepat dalam menafsirkan dunia yang melingkupi

seluruh realitas di dalamnya. Sebuah komitmen yang lebih besar dari sekedar

tujuan perkembangan pribadi dan spiritualitas–an sich. Sebuah obsesi yang lebih

tinggi dari sekedar pemahaman hidup di dunia dan materi. Tasawuf merupakan
13

bentuk ajaran Islam, banyak menjanjikan hasrat hidup manusia seutuhnya

daripada janji-janji spiritualisme. Ia bukan hanya untuk memahami realitas alam,

tetapi ia juga untuk memahami eksistensi dari tingkat yang paling rendah hingga

yang paling tinggi, yaitu kehadiran Ilahiah.

Fungsi tasawuf sebagai terapi krisis spiritual sebagai berikut:

1) Tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman

spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai

realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama.

Pengalaman keagamaan ini memberikan sugesti dan pemuasan

(pemenuhan kebutuhan) yang luar biasa bagi pemeluk agama.

2) Kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan

keyakinan yang sangat kuat. Perasaan mistik mampu menjadi akhlak force

bagi amal-amal shalih. Dan selanjutnya, amal shalih akan membuahkan

pengalaman-penglaman mistis yang lain dengan lebih tinggi kualitasnya.

3) Dalam tasawuf, hubungan seorang dengan Allah dijalin atas rasa

kecintaan. Allah bagi Sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia

adalah Dzat yang Sempurna, Indah, Penyayang dan Pengasih, Kekal, al-

Haq, serta selalu hadir kapan pun dan dimana pun. Oleh karena itu, Dia

adalah Dzat yang paling patut dicintai dan diabdi. Hubungan yang mesra

ini akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih

baik bahkan yang terbaik.11

11
Abdul Muhayya, “Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual”, dalam M.
Amin Syukur dan Abdul Muhayya‟, (eds.), Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 26
14

Hubungan tersebut dapat menjadi alat kontrol atas penyimpangan dari

berbagai perbuatan yang tercela. Melakukan akhlak yang tidak terpuji berarti

menodai dan mengkhianati makna mahabbah yang telah terjalin. Akhlak yang

menjadi inti dari ajaran tasawuf yang dapat mendorong manusia untuk

memelihara dirinya dari meninggalkan kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya.

Tasawuf mempunyai potensi besar yang mampu menawarkan pembebasan

spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya. Tasawuf

menjadi penuntun hidup berakhlak, sehingga dapat menunjukkan eksistensi

manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi ini (ahsani taqwiim).

2. Pendidikan Akhlak– Kepribadian

Tujuan tasawuf adalah untuk akhlak elaboration perfection, kesempurnaan

etika. Tanpa kesempurnaan etika manusia tidak bisa maju lebih jauh lagi. Salah

satu landasan tasawuf adalah kesempurnaan etika, dalam sejarah tasawuf bahwa

tujuan tasawuf ini pada dasarnya merupakan etika Islam. Akhlak yang luhur

merupakan dasar tasawuf dan akhlak dalam bentuknya yang paling tinggi adalah

buah tasawuf. Akhlak yang utama merupakan semboyan sufi, di antara dasar dan

buahnya.

Akhlak selalu menyertai seorang sufi. Bukan berarti bahwa akhlak tadi

adalah tasawuf.12 Tasawuf bukanlah satu-satunya sumber akhlak dalam kehidupan

manusia, melainkan hanya salah satu sumber akhlak yang berasal dari ajaran

Islam, khususnya bagi ahli tasawuf (sufi). Akhlak dalam aktivitas yang diajarkan

12
Abdul Halim Mahmud, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa tentang Al-Munqidz Minadh
Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) oleh Imam al-Ghzali, terj. Abu Bakar Basymeleh, (Jakarta:
Daarul Ihya‟, 1986), hlm. 210.
15

oleh tasawuf untuk mengangkat manusia ke tingkatan shafa al-tauhid. Pada tahap

inilah manusia akan memiliki akhlak kepada Allah. Dan manakala seseorang

dapat berperilaku dengan perilaku Allah, akan terjadi keselarasan dan

keharmonisan antara kehendak manusia dengan Iradah-Nya. Sebagai

konsekuensinya, seorang tidak akan mengadakan aktivitas kecuali aktivitas yang

positif dan membawa manfaat, serta selaras dengan tuntutan Allah. Menurut al-

Ghazali, sebagaiman dikutip M. Amin Syukur, manusia dengan akalnya ibarat

pengendara kuda, pergi berburu. Syahwat ibarat kuda, sedang marahnya seperti

anjing. Jika pengendali cerdik, kudanya terlatih dan anjingnya terdidik, pasti akan

memperoleh kemenangan. Dan sebaliknya apabila ia tidak pandai, kudanya tidak

patuh, pasti akan mendapatkan kebinasaan, tidak mungkin memperoleh sesuatu

yang dicarinya. Demikian juga, apabila jiwa seseorang bodoh, syahwatnya keras,

tidak bisa diarahkan dan nafsu amarahnya tak dapat dikuasai, niscaya akan

mendapatkan kesengsaraan dalam hidup ini.13

Akibat modernisasi dan industrialisasi, manusia mengalami degradasi

akhlak yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern

seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang tidak terpuji, terutama

dalam menghadapi materi yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut

adalah hirsh, yaitu keinginan yang berlebih-lebihan terhadapa materi. Dari sifat ini

tumbuh perilaku menyimpang seperti korupsi dan manipulasi. Sifat kedua ialah

al-hasud, yaitu menginginkan agar nikmat orang lain sirna danberalih kepada

13
M. Amin Syukur, Metodologi Studi Islam (Semarang: Bima Sakti, 2000), hlm. 122.
16

dirinya. Sifat riya‟, yaitu sifat suka memamerkan harta atau kebaikan diri dan

sebagainya dari berbagai sifat hati.14

Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan mengadakan

penghayatan atas keimanan dan ibadahnya, mengadakan latihan secara

bersungguh-sungguh, berusaha merubah sifat-sifatnya itu dengan mencari waktu

yang tepat. Karena kadangkadang sifat tercela itu muncul dalam keadaan yang

tidak tersadari, maka seyogyanya setiap muslim selalu mengadakan introspeksi

(muhasabah) terhadap dirinya. Memang diakui bahwa manusia dalam

kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin

menguasainya. Agar posisi seseorang berbalik, yakni hawa nafsunya dikuasai oleh

akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, dalam dunia tasawuf diajarkan

berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguhsungguh)

dalam melawan hawa nafsu tadi. Dengan jalan ini diharapkan seseorang

mendapatkan jalan yang diridlai Allah swt.

Dalam struktur maqamat, mengandung beberapa karakteristik dasar yang

seharusnya dimiliki oleh seorang sufi. Seorang yang ada pada maqam taubat

memiliki kemampuan untuk mengontrol stabilitas nafsunya, menjauhkan nafsu

dari kecenderungan jahat dan hanya melakukan yang baik dan bernilai. Seorang

yang ada pada maqam wara‟, secara tegas berupaya meninggalkan hal-hal yang

belum jelas guna dan manfaatnya dan hanya memilih sesuatu yang jelas

kemanfaatannya. Seorang sufi yang zuhud hanya akan memilih sesuatu

berdasarkan pada nilai kemanfaatannya, baik bagi dirinya maupun orang lain. Ia

tidak akan terpengaruh pada keindahan kulit luarnya atau kenikmatan yang

14
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf……, h. 114 –115.
17

bersifat sementara, karena seorang zuhud lebih melihat sesuatu dari substansinya.

Kebahagiaan dan kepentingan material hanyalah bersifat sementara, karena

kebahagiaan yang abadi baginya adalah kebahagiaan yang bersifat spiritual.15

Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri

dari dalam sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan

zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti sifat qana‟ah (menerima apa yang

telah ada/dimiliki), tawakkal (pasrah diri kepada Allah swt.) dan syukur, yakni

menerima nikmat dengan lapang dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan

proporsinya.

3. Pendidikan Akhlak–Sosial

Tasawuf yang dipraktekkan masa kini harus memperhatikan masalah

kemanusiaan dalam kehidupan sosial yang merupakan bagian dari keberagamaan

para sufi. Tujuan yang dapat dicapai tetap sama yaitu ketenangan, kedamaian dan

kebahagiaan intuitif tetapi kemudian dikembangkan bukan hanya untuk individu

melainkan juga dalam bentuk kesalehan sosial.

Profil pengamal tasawuf sosial ini tidak semata-mata berakhir pada

kesalehan individual melainkan berupaya untuk membangun kesalehan sosial bagi

masyarakat di sekitarnya. Mereka tidak hanya memburu surga bagi dirinya sendiri

dalam keterasingan, melainkan justru membangun surga untuk orang banyak

dalam kehidupan sosial. M. Amin Syukur berpendapat bahwa dalam pengamalan

tasawuf terdapat dua model, yaitu: Pertama, tasawuf yang berorientasi pada
15
Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Dialog antara Tasawuf
dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 120
18

perubahan individu atau perubahan internal (internal shift). Di sini individu

berusaha untuk membenahi jiwa dan batin. Tasawuf merupakan gerakan dan

proses merubah dan menata hati, sehingga dalam diri dan perilaku individu

berubah dari berakhlak buruk (akhlak sayyiah) menjadi berakhlak baik (akhlak

karimah). Kedua, pada tahap berikutnya perubahan individu ditransformasikan

pada aspek sosial. Mulai dari lingkungan terdekat, keluarga dan masyarakat

sekitarnya.

Gerakan tasawuf tidak hanya berkutat pada ritual yang bersifat vertikal,

namun maju pada garda depan sebagai ritual sosial. Tasawuf membawa visi dan

misi transformasi sosial, di mana tasawuf harus mampu menjadi solusi alternatif

pemecahan problem-problem sosial untuk menuju era sosial baru. Krisis yang

menerpa negeri ini, bukan saja sebatas pada krisis moneter, ekonomi, politik,

hukum, sosial dan seterusnya, tetapi berpangkal dan berujung pada krisis akhlak

dan spiritual. Jika dirunut krisis tersebut adalah buah dari krisis spiritual

keagamaan. Pentingnya esoterisme dalam Islam yakni tasawuf tak bisa dipungkiri.

Konsepsi al-Qur‟an bahwa dunia ini riil, bukan maya. Beberapa ayat menegaskan

agar manusia beriman kepada Allah, hari akhir dan amal shaleh. Ketiga term itu

merupakan isyarat sekaligus formulasi yang menyatukan dimensi spiritual yang

mengarah pada realitas transedental dan aktifitas kongrit dalam sejarah.

Dengan demikian manusia tidak hanya telah kehilangan wawasan

spiritualnya dalam memahami kekuatan-kekuatan alam, melainkan juga tidak

mengembangkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan

mengindahkan nilai-nilai akhlak dan spiritual yang bersumber kepada keutuhan

dan keseimbangan yang mencerminkan keagungan, keindahan dan kesempurnaan


19

Tuhan yang tidak menghendaki apapun kecuali kebaikan dan kebajikan bagi

makhluknya. Jika manusia dalam hatinya selalu dipenuhi dengan nafsu duniawi,

selalu menjadikan teknologi modern sebagai sesuatu yang paling berharga. Agar

dapat menerima cahaya Tuhan, manusia harus menghilangkan akhlak yang negatif

terhadap penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan mengarahkan

yang dikuasainya kepada hal-hal yang konstruktif terhadap kehidupan manusia.

Yang diperlukan adalah sikap istiqamah pada setiap masa dan mungkin lebih-

lebih lagi diperlukan di zaman modern ini, karena kemodernan bercirikan

perubahan. Istiqamah di sini bukan berarti statis, melainkan lebih dekat kepada

arti stabilitas yang dinamis.

Dapat dikiaskan dengan kendaraan bermotor; semakin tinggi teknologi

suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. Maka

disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah. Mobil disebut stabil bukanlah

pada waktu dia berhenti, tapi justru ketika dia melaju dengan cepat.16

Dengan demikian tasawuf akan menghantarkan manusia pada tercapainya

“supreme akhlakity” (keunggulan akhlak). Sehingga bisa mencapai insan kamil,

mencontoh tokoh sufi ideal dan terbesar dalam sejarah Islam, yakni Nabi

Muhammad Saw, karena beliaulah suri-tauladan terbaik bagi seluruh umat

manusia, sebagaimana ditegaskan Allah swt. dalam firman-Nya dalam (Q.S. al-

Ahzab: 21)

16
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 175
20

             

   

Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik

bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari

kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Akhlak dalam aktivitas yang diajarkan oleh tasawuf untuk mengangkat

manusia ke tingkatan shafa al-tauhid. Pada tahap inilah manusia akan memiliki

akhlak kepada Allah. Dan manakala seseorang dapat berperilaku dengan perilaku

Allah, akan terjadi keselarasan dan keharmonisan antara kehendak manusia

dengan Iradah-Nya. Sebagai konsekuensinya, seorang tidak akan mengadakan

aktivitas kecuali aktivitas yang positif dan membawa manfaat, serta selaras

dengan tuntutan Allah. Menurut al-Ghazali, sebagaiman dikutip M. Amin Syukur,

manusia dengan akalnya ibarat pengendara kuda, pergi berburu. Syahwat ibarat

kuda, sedang marahnya seperti anjing. Jika pengendali cerdik, kudanya terlatih

dan anjingnya terdidik, pasti akan memperoleh kemenangan. Dan sebaliknya

apabila ia tidak pandai, kudanya tidak patuh, pasti akan mendapatkan kebinasaan,

tidak mungkin memperoleh sesuatu yang dicarinya. Demikian juga, apabila jiwa

seseorang bodoh, syahwatnya keras, tidak bisa diarahkan dan nafsu amarahnya tak

dapat dikuasai, niscaya akan mendapatkan kesengsaraan dalam hidup ini.17

17
M. Amin Syukur, Metodologi Studi Islam (Semarang: Bima Sakti, 2000), hlm. 122
21

Semakin dalam tasawuf seseorang, maka semakin tertata pula akhlaknya.

Tasawuf akan berhasil mengubah jalan hidup manusia jika akhlaknya mengalami

progres perubahan lebih baik.

Begitu juga dengan ibadah. Nilai ibadah yang paling utama adalah ketika

kita bisa merasakan Khuns ( intim) berdua dengan Tuhan. Setiap ibadah yang

dilakukan bernilai mutan yang berarti. Artinya setiap ibadah yang di lakukan

bukan lagi karena sebuah kewajiban melainkan menjadi sebuah rutinitas kebiasan

yang menjadikan ibadah tersebut sebagai tabiat.

Tasawuf membuat manusia menjadi insan yang terbaik. Bukan hanya soal

akhlak, ibadah yang dibarengi dengan tasawuf merupakan ibadang yang baik

sehingga melahirkan penghambaan yang total pada Allah. Ibadah yang berkualitas

disebut dengan istilah ihsan, yang berarti beribadah kepada Allah tidak

sekedarnya, tetapi terpadu dengan perasaan bahwa dirinya sedang berhadap-

hadapan langsung dengan Allah, sesuai sabda Rasulullah Saw.“Engkau beribadah

kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, meskipun engkau tidak sanggup

melihat-Nya, karena Dia senantiasa melihat kamu”. Ihsan menurut bahasa berarti

kebaikan yang memiliki dua sasaran. Pertama, memberikan pelbagai kenikmatan

atau manfaat kepada orang lain. Kedua, memperbaiki tingkah laku berdasarkan

apa yang diketahuinya yang manfaatnya kembali kepada diri sendiri.18

18
Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfazh Al-Qur`an, h. 118
BAB III

PENUTUP

Sekian makalah yang dapat kami presentasekan. Semoga dapat bermanfaat

bagi para pendengar dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan. Kami sangat

memerlukan kritik dan saran guna membangun makalah ini lebih baik. Akhir kata,

kami ucapkan kepada seluruh pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini.

Syukur kepada Allah, shalawat kepada rasulullah Muhammad Saw. Semoga apa

yang kami persentasekan dapat menjadi amal jariyyah bagi kami. Kami

menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih memiliki

banyak kesalahan, maka dari itu kami meminta maaf atas kesalahan kami.

Kebenaran hanya datang dari Allah, kesalahan hanya milik manusia.

22
DAFTAR PUSTAKA

Baiquni, Achmad, Al-Qur’an; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Yogyakarta:

Dana Bhakti Prima Yasa, 1995)

Baldick, Julian, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, trej. Satrio

Wahono, (Jakarta: Serambi, 2002.)

Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)

Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996)

Hasyim, Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Dialog antara

Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995)

Mahmud, Abdul Halim, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa tentang Al-Munqidz Minadh

Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) oleh Imam al-Ghzali, terj. Abu Bakar

Basymeleh, (Jakarta: Daarul Ihya‟, 1986)

Masyhur, Kahar, Membina Akhlak dan Akhlak (Jakarta: Rineka Cipta, 1994)

Muhayya, Abdul, “Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual”,

dalam M. Amin Syukur dan Abdul Muhayya‟, (eds.), Tasawuf dan Krisis,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Mughni, Syafiq A., Nilai-nilai Islam : Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis

Islam, terj. Aan Fahmia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)

Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad

21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Syukur, M. Amin, Metodologi Studi Islam (Semarang: Bima Sakti, 2000)

23

Anda mungkin juga menyukai