Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH HUKUM ZAKAT dan WAKAF

TENTANG

HARTA WAKAF MENURUT FIQH


SYAFI’IYYAH DAN UU NO 41 TAHUN 2004
Diajukan untuk memenuhi tugas Semester Pendek Mata Kuliah Zakat dan Wakaf

Di Susun
Oleh:
MUHAMMAD FAISHAL HABIB
NIM: 21154125

Dosen Pamong: Maulidya Mora Matondang, M.Ag

FAKULTAS SYARI‟AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang diberi judul HARTA WAKAF MENURUT FIQH
SYAFI‟IYYAH DAN UU NO 41 TAHUN 2004.

Makalah ini telah di susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan


dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan hasil makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar saya dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Medan, 09 Februari 2021

Muhammad Faishal Habib

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................ i


Daftar Isi...................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan ................................................................................. 1


A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................... 2

BAB II Pembahasan .................................................................................. 3


A. Pengertian Wakaf ............................................................................ 2
B. Landasan Hukum Wakaf ................................................................. 14
C. Syarat dan Rukun Wakaf ................................................................ 10
D. Tujuan dan Macam-Macam Wakaf................................................. 19

BAB III Penutup ...................................................................................... 26


A. Kesimpulan ..................................................................................... 26
B. Saran................................................................................................ 27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Rachmadi Usman pengertian wakaf adalah “berhenti atau

menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk

penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridaan Allah

SWT.”1 Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian

wakaf adalah menahan sesuatu harta daripada pewakaf dan memberikan

manfaatnya untuk kebajikan dan kepentingan agama dan ummat Islam atau

kepada penerima wakaf yang telah ditentukan oleh pewakaf sebagaimana yang

dinyatakan didalam hukum wakaf dari pertama harta itu diwakafkan sampai pada

akhirnya semata-mata karena Allah SWT untuk selama-lamanya dan tidak boleh

diambil kembali atau dimiliki oleh pihak lain.

Oleh karena itu perlu kiranya kita untuk mengkaji, menganalisis dan

menerapkan strategi pengelolaan dalam rangka pengembangan wakaf secara

berkesinambungan agar harta wakaf berguna dalam pemberdayaan ekonomi

ummat. Namun untuk melakukan optimalisasi fungsi wakaf dan

pengembangannya disini perlu berpedoman pada aspek-aspek hukum mengenai

wakaf sebagaimana dipraktekkan dalam sejarah Islam. Berdasarkan hal tersebut

kita perlu lebih memikirkan dan mengoptimalkan cara mengelola wakaf yang ada

1. Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),


hal. 51.

1
2

supaya dapat mendatangkan kemanfaatan pada semua pihak, baik bagi wakif

maupun mauquf „alaih (masyarakat).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan harta wakaf menurut Mazhab Syafi‟i dan UU

NO 41 TAHUN 2004?

2. Bagaimana Penerapan wakaf di masyarakat?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui kedudukan harta wakaf menurut Mazhab Syafi‟i

dan UU NO 41 TAHUN 2004.

2. Untuk mengetahui Penerapan wakaf di masyarakat.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf

Kata wakaf berasal dari “bahasa Arab: ‫(َقف‬waqafa), jamaknya ‫أَقبف‬

(awqaf) yang berarti perbuatan yang dilakukan wakif untuk menyerahkan

sebagian atau keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah

dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya.”2

Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah:

“menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat (‘ain)

nya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara‟, serta

dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.”3

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa wakaf

dilakukan untuk suatu tujuan tertentu yang ditetapkan oleh wakif dalam ikrar

wakaf. Dalam menentukan tujuan wakaf berlaku asas kebebasan kehendak dalam

batas-batas tidak bertentangan dengan hukum syariah.

Pengertian wakaf menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2004 pasal 1

ayat (1) yaitu:

Wakaf adalah “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau

2. Rahmat Syafe‟i, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2005), hal. 124.

3.Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 240.

3
4

untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah

dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”4

Sedangkan pengertian wakaf menurut para ulama sebagai berikut:

1. Menurut Imam Abu Hanifah wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut
hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk
kebajikan.
2. Mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah: tidak melakukan suatu tindakan
atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan
datang, contohnya seperti wakaf buah kelapa.
3. Menurut imam Malik berpendapat bahwa sesuatu yang diwakafkan itu bisa untuk
selamanya atau boleh dalam waktu tertentu artinya boleh tidak melepaskan harta
yang diwakafkan dari kepemilikan wakif namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut
kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak
boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan menjadikan manfaat hartanya untuk
digunakan oleh mauquf bih (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu
berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti
mewakafkan uang.
4. Menurut imam Syafi'i dan Ahmad bin Hambal mendefinisikan wakaf adalah:
tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik
Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).
5. Menurut Mazhab Imamiyah mengatakan bahwa mazhab lain sama dengan
mazhab Syafi‟i dan Ahmad Ibn Hambal, namun berbeda dari segi kepemilikan
atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf alaih (yang diberi
wakaf), meskipun mauquf alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda
wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya. 5

Berdasarkan hal tersebut maka dapat di jelaskan bahwa adanya perbedaan

diantara pengertian dari wakaf. Suatu hal yang perlu diperhatikan di sini yaitu

perbedaan kecenderungan dalam hal penguasaan terhadap benda yang

diwakafkan. Dari definisi di atas, tampak jelas bahwa para ulama memandang

4. Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat


Pemberdayaan wakaf, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Wakaf, (Jakarta:
Kemenag, 2012), hal. 2.

5. Syaikh Al-„Allamah Muhammmad bin Abdurahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat


Mazhab, (Bandung: Masyim, 2012), hal. 289.
5

kepemilikan benda wakaf sama sekali terlepas dari tangan wakif. Artinya, antara

benda wakaf dan manfaatnya harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak

lagi menjadi hak milik wakif.

Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang

diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran

syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no.

41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan

manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk

memajukan kesejahteraan umum.

Sedangkan dalam ungkapan para ulama terlihat bahwa benda wakaf tetap

menjadi hak milik wakif dan hanya manfaatnya saja yang diambil untuk

kepentingan kemaslahatan umum. Oleh karena itu pemilikan harta wakaf tidak

lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh

menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan untuk ahli

warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah menyumbangkan manfaat.

Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu

sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda

itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya

untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedangkan

benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan diperbolehkan berlaku untuk

suatu masa tertentu atau untuk selamanya sesuai niat si wakif. Setelah sempurna

prosedur perwakafan wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang
6

diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya

kepada yang lain, baik dengan tukaran (tukar menukar) atau tidak.

Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh

ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada

mauquf `alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif

tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif

melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada

mauquf alaih.

1. Ijma’ Para Ulama Mazhab Tentang Wakaf Tanah

Para ulama mazhab juga sepakat tentang “kebolehan wakaf dengan

barang-barang yang tidak bergerak, misalnya tanah, rumah dan kebun. Mereka

juga sepakat, kecuali Hanafi tentang sah wakaf dengan barang-barang bergerak,

seperti binatang dan sumber pangan.”6 Manakala pemanfaatannya bisa di peroleh

tanpa menghabiskan barang itu sendiri. Selanjutnya para ulama mazhab sepakat

pula tentang keabsahan mewakafkan sesuatu dengan ukuran yang berlaku di

masyarakat. Misalnya sepertiga separuh dan seperempat, kecuali pada masjid dan

kuburan. Sebab kedua benda yang disebut belakangan ini tidak bisa dijadikan

kongsi. Adapun perkembangan wakaf dapat dilihat di bawah ini:

a. Perkembangan Wakaf pada Masa Generasi Sahabat

Adapun kapan awal diberlakukannya wakaf, generasi sahabat sendiri

berbeda pendapat. Kaum Muhajirin berpendapat, wakaf dimulai zaman Umar bin

6. Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hal. 71.
7

Khathab dan dimulai oleh beliau sendiri. Sementara Kaum Anshar menganggap

bahwa wakaf dimulai oleh Rasulullah SAW. Contoh yang berkenaan dengan hal

ini: “ketika Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “salurkan wakafmu itu

kepada keluargamu, yaitu Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka‟ab.” Maka Abu

Thalhah langsung melakukannya.” 7

Umar bin Khatab ketika berwakaf, mengatakan bahwa apa yang

diwakafkan untuk orang-orang fakir, para karib kerabat, para budak, untuk

kebaikan di jalan Allah, serta untuk para tamu dan orang-orang yang tengah

melakukan perjalanan. Tidak ada salahnya bagi yang mengelola/nazhir

mengambil sebagian dari keuntungan asal masih dalam batas kewajaran (ma‟ruf)

atau memberi makan kepada yang lain yang tidak mampu. Hal ini Ali r. a. juga

melakukan sebagaimana kebijakan Umar bin Khathab.

b. Perkembangan Wakaf pada Masa Generesi Sesudah Sahabat

Dalam buku Hukum Wakaf karya Dr. Muhammad Abid Abdullah Al-

Kabisi “tidak menjelaskan yang dimaksud generasi sesudahnya itu apakah tabi‟in,

tabi‟it tabi‟in atau sesudahnya lagi. Dalam kitab Al-Mudawwanah dikatakan

bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebelum meninggal dunia pernah

berkeinginan untuk mengembalikan wakaf orang-orang yang mengabaikan anak

perempuan mereka.”8

7. Ibid, hal. 89.

8. Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Terjemahan Ahrul Sani


Faturrahman (Depok: Iman Press, 2004), hal, 190-198.
8

c. Zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah

Wakaf pada zaman ini “mengalami masa perkembangan yang luar biasa,

Penyalurannya tidak hanya terbatas kepada kalangan fakir miskin, tetapi untuk

pendirian sarana ibadah, tempat-tempat pengungsian, perpustakaan dan sarana

pendidikan, pemberian beasiswa untuk para pelajar, tenaga pengajar.” 9

d. Zaman Dinasti Usmaniyah

Pada zaman ini yang menonjol adalah pengawas pengelolaan wakaf.

Beberapa yang dapat dicatat diantaranya:

1) Pengawasan wakaf dilaksanakan oleh qadhi (hakim)

2) Jika wakif telah menunjuk nazhir/pengelola, hakim cukup mengawasi pihak yang

ditunjuk

3) Pertama kali dilakukan pencatatan dan pembukuan wakaf.10

2. Wakaf Menurut KHI

Pengertian wakaf dirumuskan dalam ketentuan Pasal 215 ayat (1) KHI:

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan

hukum yang memisahkan sebagian dari

benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna

kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran

9. Mahmud Syaltout dan M. Ali As Sayis, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqh.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 97.

10. Ibid, hal. 109.


9

Islam.”11Benda milik yang diwakafkan tidak hanya benda tidak bergerak (benda

tetap), tetapi juga dapat benda bergerak asalkan benda yang bersangkutan memilik

daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai.

Ketentuan Pasal 215 ayat (4): “Benda wakaf adalah segala benda baik

benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya

sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.”12 Karna Fungsi wakaf disebutkan

dalam Pasal 216 KHI: “Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf

sesuai dengan tujuan wakaf.”13 Dengan demikian, fungsi wakaf di sini bukan

semata-mata mengekalkan objek wakaf, melainkan mengekalkan manfaat benda

wakaf.

B. Landasan Hukum Wakaf

1. Al-Qur’an

Setiap perbuatan manusia yang menyangkut dengan khitab Allah SWT

tidak terlepas dari hukum yang telah ditentukan oleh syara‟, seperti wajib, haram,

sunnah, makruh dan mubah. Wakaf merupakan khitab Allah SWT yang khairu

jazim (boleh mengerjakan boleh meninggalkan) artinya sunnah Rasulullah SAW.

Allah telah mensyariatkan wakaf sebagai salah satu cara mendekatkan diri

kepada Allah, mereka yang jahiliyah tidak mengenal arti wakaf, tetapi wakaf itu

diciptakan dan diserukan oleh Rasulullah SAW karena kecintaan beliau kepada

11. Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan…, hal. 65.

12. Ibid, hal. 66.

13. Ibid, hal. 66.


10

orang-orang fakir dan kepada tempat yang membutuhkannya. Adapun landasan

hukum wakaf menurut para ulama adalah:

Firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 92, yang berbunyi:

               



Arinya: kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),

sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja

yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya .14

Seorang manusia tidak mungkin memberikan sesuatu yang sangat dicintai,

kecuali tersambung dengan sebab memberikan yang sangat dicintai kepada yang

memperoleh yang lebih baik daripada sesuatu yang telah diberikan. Berdasarkan

tabiat manusia demikian, jelaslah wakaf yang terbaik diantara bermacam-macam

infak karena wakaf mayoritas ulama berpendapat adalah sadaqah yang tidak

berakhir pahalanya dibandingkan dengan sadaqah-sadaqah yang lain. Dalam surat

Al-Hajj ayat 77, Allah SWT berfirman:

         

  

14. Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Al-Ma‟arif), hal.113.


11

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat

kemenangan.15

2. Hadits

Hadits merupakan dalil kedua setelah Al-Qur‟an yang mana hadits dapat

mengkhususkan isi kandungan Al-Qur‟an yang dalalahnya secara umum. Diantara

Hadits-hadits yang berhubungan dengan wakaf yaitu:

‫ ارا مبد االوسبن اوقطغ ػمهً اال مه ثالثخ‬: ‫ػه اثي ٌشيشح ان سسُل هللا ملسو هيلع هللا ىلص قبل‬
)‫ صذقخ جبسيخ اَ ػهم يىزفغ ثً اَ َنذ صبنح يذع نً (سَاي مسهم‬: ‫اشيبء‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “bila manusia mati

terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu sedekah jariyah, ilmu yang

bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan kepadanya (Diriwayatkan

oleh Muslim).”16

Berdasarkan hadits di atas maka dapat di jelaskan bahwa amal orang yang

telah meninggal terputus pembaharuan pahalanya, kecuali semasa dalam

kehidupannya pernah melakukan amalan yang tak akan putus fahalanya,

walaupun amalan tersebut sekarang orang lain yang melakukannya, namun

fahalanya tetap sampai kepada orang yang telah meninggal disebabkan amalannya

sewaktu masih hidup. Para ulama berpendapat bahwa sedekah jariyah yang

terdapat dalam hadits dipertanggungkan kepada wakaf dan anak yang shaleh

dipertanggungkan kepada orang Islam.

15. Ibid, hal. 662.

16. Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad, (Jakarta:
Gema Insani, 2002), hal. 117.
12

ّ‫ اصبة ػمش اسضب ثخيجش فبرّ انىجي صه‬: ‫ػه اثه ػمش سضّ هللا ػىٍمب قبل‬
‫ٳوي ٲصجذ اسضب ثخيجش نم اصت‬٬‫ يبسسُل هللا‬:‫ فقبل‬٬‫هللا ػهيً َسهم يسزٲمشي فيٍب‬
‫فمب رٲمشوّ ثً؟ فقبل سسُل هللا ملسو هيلع هللا ىلص ان شئذ حجسذ‬٬ً‫مبال قط ٌُ اوفس ػىذِ مى‬
‫ اوٍب الرجغ َال رٍت َال رُسس ؟ َرصذق‬:‫ فزصذق ثٍب ػمش‬٠‫اصهٍب َرصذقذ ثٍب‬
‫ثٍب فّ انفقشاء َفّ انقشثّ َفّ انشقبة َفّ سجيم هللا َاثه انسجيم َانضيف‬
‫الجىبح ػهّ مه َنيٍب ان يأكم مىٍب ثبنمؼشَف َيطؼم غيش مزمُل (سَي‬
)‫انشيخبن‬
Artinya: Dari Ibnu „Umar r. a. dia berkata: „Umar telah mendapatkan sebidang tanah
dikhaibar, lalu dia datang kepada Nabi SAW untuk minta pertimbangan tentang
tanah itu, maka katanya: “wahai Rasulullah, sesunggunya aku mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar, dimana aku tidak mendapatkan harta yang lebih
berharga bagiku selain daripadanya, maka apakah yang hendak engkau
perintahkan kepadaku sehubungan dengannya?” Maka kata Rasulullah SAW
kepadanya: “jika engkau suka, tahanlah tanah ini dan engkau sedekahkan
manfaatnya. Maka „Umar pun menyedekahkan manfaatnya, dengan syarat tanah
itu tidak akan dijual, tidak diberikan dan tidak diwariskan. Tanah itu dia wakafkan
kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, sabilillah, ibnus-sabil dan tamu. Dan
tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian
darinya dengan cara yang makruf dan memakannya tanpa menganggap tanah itu
miliknya sendiri. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).17
Hadits ini jelas sekali menggambarkan tentang hukum wakaf berdasarkan

perbuatan seorang sahabat Rasulullah SAW melalui anjuran-Nya, dan juga dapat

kita pahami dalam hadits ini kemana tempat yang mesti diwakafkan, bagaimana

benda tersebut setelah menjadi harta wakaf dan tidak berdosa orang yang

mengurusinya mengambil sedikit dari kehasilan harta wakaf tersebut.

Praktek perwakafan telah dikenal sejak masa Rasulullah SAW. karena

wakaf disyariatkan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, pada tahun kedua

Hijriyah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama

kali melaksanakan wakaf. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang pertama

kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW. yaitu wakaf tanah Rasulullah

SAW untuk dibangun masjid. Hal ini karena ada hadits Nabi SAW yang

17. Ibid, hal. 160.


13

diriwayatkan oleh Umar bin syabah dari „Amr bin Sa‟ad bin Mu‟ad, ia berkata:

“kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin

mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan

adalah wakaf Rasulullah SAW.” 18

3. Ijma’

Selain dasar dari Al-Qur‟an dan hadits di atas, para ulama sepakat (ijma‟)

menerima wakaf sebagai suatu amal jariyah yang disyari‟atkan dalam Islam.

Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam

karena telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para

sahabat Nabi dan kaum muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.

4. Ijtihad

Ketentuan-ketentuan detail mengenai perwakafan didasarkan kepada ijtihad

para ahli hukum Islam.

5. Hukum Negara

Segala sesuatu yang menyangkut tentang perwakafan sekarang ini

berpedoman pada undang-undang terbaru yakni UU No. 41 Tahun 2004 dan

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya dan masalah

yang mengacu pada perwakafan tanah milik apabila tidak ditemukan dalam UU

No. 41 Tahun 2004, maka kembali berpedoman pada peraturan pemerintah No. 28

Tahun 1977. Selanjutnya hasil ijtihad para ulama di Indonesia yang tertuang

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan teori hukum perwakafan dalam

18. Ibid, hal. 189.


14

Islam yang sudah dituang ke dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.

Adapun landasan hukum wakaf yang ada di Indonesia yaitu:

a. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik


b. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran
Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.
c. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelasanaan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
d. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/P/75/1978
tentang Formulir dan Pedoman Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah
Milik.
e. Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
f. Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang
nomor 41 tahun 2004.19

C. Syarat dan Rukun Wakaf

Syarat adalah “sesuatu yang dinisbahkan (dikaitkan) hukum kepadanya,

untuk terwujudnya hukum itu terlebih dahulu harus memenuhi suatu syarat

tersebut dan tidak pasti dengan terwujudnya syarat bisa menyebabkan

terwujudnya suatu hukum.”20Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat di

jelaskan bahwa syarat menyangkut sesuatu dengan hal yang lain artinya bila

wujud yang pertama ada maka baru diperdapatkan wujud yang kedua.

Syarat-syarat wakaf mencakup tiga macam, yaitu:

1. Takbit (selama-lamanya) makna takbit wakaf yaitu mewakaf tanah atau benda
kepada sesuatu yang tidak mungkin berlalu menurut adat seperti fakif miskin,
mesjid dan sebagainya. Ataupun di atas orang yang berlalu kemudian di atas
orang yang tidak mungkin berlalu seperti anaknya kemudian segala fakir miskin.
Maka tdak sah hukumnya mewakafkan tanah kepada suatu tempat selama setahun
kemudian ditarik kembali.

19. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam


Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: 2006), hal 2-3.

20. Muhammad Jarjani, Ta’rifat, (Jakarta: Darul Hikmah, t. t), hal. 123.
15

2. Tanjiz (kelestarian) maka tidak sah menggantungkan pada terjadinya sesuatu,


misalnya “saya wakafkan tanah ini kepada zaid bila telah tiba awal bulan”
memang, adalah sah menta‟liqkan wakaf dengan masa kematian misalnya “saya
wakafkan rumahku kepada orang-orang fakir setelah saya meninggal dunia”
perwakafan disini seolah-olah merupakan wasiat, menurut pendapat Al-Qaffal:
Seandainya rumah itu ditawarkan untuk dijual, berarti penawaran disini
merupakan pencabutan kembali wakaf tersebut.
3. Imkan tamlik (bisa memiliki benda wakaf) bila diwakafkan kepada seseorang
tertentu atau segolongan tertentu, yaitu barang yang diwakafkan nyata ada dan
mungkin dimiliki. Oleh karena demikian maka tidak sah mewakafkan kepada
sesuatu yang belum ada, misalnya kepada mesjid yang selagi akan dibangun,
kepada anaknya padahal ia tidak punya anak, kepada anakku yang akan lahir
kemudian kepada orang-orang fakir, karena terputus pada jenjang pertama.21

Menurut Zakaria Anshari, syarat dari wakaf tersebut ada enam macam

yaitu:

1. Lafad/ucapan wakaf
2. Pewakaf merupakan orang yang cakap hukum
3. Orang yang menerima wakaf harus ada saat berlangsungnya wakaf
4. Barang yang diwakaf harus mampu diserah terimakan ketika diwakaf
5. Barang yang diwakafkan harus tetap manfaatnya
6. Tempat diwakaf tidak boleh kepada maksiat.22

Bila diperhatikan dari syarat-syarat yang dikemukakan oleh Zakaria

Anshari, maka penulis berkesimpulan bahwa syarat-syarat yang disebutkan sudah

tercakupi oleh rukun-rukun wakaf. Adapun rukun wakaf menurut Jalaluddin

Mahalli adalah:

1. Waqif (orang yang mewakafkan) yaitu pihak yang mewakafkan yang mempunyai
kecakapan hukum atau ahli dalam membelanjakan hartanya, kecakapan itu ada
empat criteria yaitu:
a. Merdeka
b. Berakal sehat
c. Dewasa
d. Tidak di bawah pengampunan (mahjur ‘alaih)

21. Zainuddin Malibari, Fathul Mu’in, Jilid III, (Semarang: Hikmah Keluarga, t. t), hal.
161-163.

22. Zakaria Anshari, Tuhfatul Labib, (Beirut-Libanon: Darul Kutub Amaliah, t. t), hal.
173-174.
16

2. Mauquf ‘alaih (pihak yang menerima wakaf) yaitu orang yang berwewenang
mengelola harta wakaf yang sering disebut nazir, kadangkala juga diartikan
peruntukkan harta wakaf.
3. Mauquf (harta yang diwakafkan) yaitu setiap benda yang diwakafkan harus
ditentukan dengan jelas mana benda yang akan diwakafkan, milik sendiri yang
bisa menghasilkan faedah seperti buah-buahan atau bisa menghasilkan manfaat
yang bisa disewakan dari benda tersebut, benda yang diwakafkan harus utuh
bentuknya dan tahan lama supaya menjadi sadaqah jariyah.
4. Sighat atau iqrar (pernyataan atau ikrar wakif sebagai kehendak untuk
mewakafkan hartanya) yaitu suatu pernyataan penyerahan harta benda wakaf.
Dalam hal ini perbedaan yang nampak adalah bentuk pernyataan apakah lisan baik
shareh, kinayah ataupun tindakan. Pernyataan yang berbentuk shareh seperti
wakaftu, sabbaltu, habbastu kaza ‘ala kaza, ataupun berkata “tanahku diwakafkan
atau aku ridha menjadi wakaf di atasnya.” Dan jika berkata “aku bersadaqah
dengan demikian di atas demikian sebagai sadaqah yang diharamkan atau sadaqah
selamanya atau sadaqah yang tidak boleh dijual, tidak boleh dihibbah, tidak boleh
diwariskan.” Semua ucapan demikian merupakan pernyataan yang jelas tertuju
kepada wakaf. Sighat dinyatakan sah apabila melengkapi hal-hal sebagai berikut:
a. Nama dan identitas pewakif
b. Nama dan identitas nazir
c. Data dan keterangan harta benda wakaf
d. Peruntukan harta benda wakaf
e. Jangka waktu wakaf.23

Berdasarkan kutipan di atas maka dapat dijelaskan bahwa ikrar

(pernyataan) wakaf adalah pernyataan kehendak untuk melakukan wakaf dan

harus dilakukan secara lisan atau tulisan oleh wakif secara jelas dan tegas kepada

nazir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan 2

orang saksi. PPAIW kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf,

selanjutnya adalah nazir, hal ini dapat terdiri dari perorangan, organisasi atau

badan hukum. Apabila perorangan, nazir harus memenuhi syarat-syarat, berupa

dewasa, sehat akal dan cakap bertindak hukum.

Sementara dalam hal akad wakaf semua mazhab menyatakan bahwa

“wakaf adalah akad tabarru’ yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad

23. Jalaluddin Mahalli, Minhajjut Thalibin, Juz. III, (Indonesia: Darul Ihya, t. t), hal. 98.
17

yang tidak diperlukan kabul dari pihak penerima wakaf, sebagai suatu bentuk

perbuatan hukum yang mengakibatkan adanya kemestian penataan kepada apa

yang dinyatakan dari kehendak perbuatan hukum itu oleh pihak yang

berkepentingan.”24

Menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2004 pasal 15 ayat (1), (2) dan (3)

tentang harta benda wakaf yaitu:

(1) Harta benda wakaf terdiri dari:


a. Benda tidak bergerak, dan
b. Benda bergerak
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda
yang tidak biasa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. Uang
b. Logam mulia
c. Surat berharga
d. Kendaraan
e. Hak atas kekayaan intelektual
f. Hak sewa, dan
g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.25

Berdasarkan kutipan di atas maka dapat dijelaskan bahwa setiap harta

benda yang hendak diwakafkan memiliki ketentuan-ketentuan tertentu

24. Zainuddin Malibari, Fathul Mu’in, Jilid III, (Semarang: Hikmah Keluarga, t. t), hal.
156.

25 Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat


Pemberdayaan wakaf, Himpunan Peraturan…, hal. 8-9.
18

berdasarkan yang telah ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Oleh karena itu

maka tidak boleh mewakafkan barang-barang apa saja atau barang yang habis

dipakai dan tidak tahan lama.

Jika merujuk kepada Undang-undang No. 41 tahun 2004 pasal 22,

disebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda

wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:

1. Sarana dan kegiatan ibadah


2. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
3. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa
4. Kemajuan dan peningkatan ekonomi ummat
5. Kemajuan kesejahteraan lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan
peraturan perundang-undangan.26

Suatu benda yang diwakafkan baru dianggap sah apabila melengkapi:

1. Benda tetap atau bergerak, secara menyeluruh yang dijadikan sandaran dalam
perwakafan tanah atau benda lain dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari
harta tersebut, baik berupa barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak.
2. Benda yang diwakafkan benar-benar menjadi milik tetap si pewakif ketika
berlangsung akad wakaf, oleh karena demikian jika seseorang mewakafkan benda
yang bukan atau belum menjadi miliknya, maka hukumnya tidak sah menurut
Syara‟ walaupun barangnya nanti menjadi miliknya.
3. Benda yang diwakafkan harus ditentukan, yaitu diketahui ketika akad wakaf.
Wakaf yang tidak disebutkan secara jelas terhadap harta yang diwakafkan tidak
diakui dan tidak sah hukumnya, seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki,
sejumlah budak, kitab-kitab atau buku-buku dan lain-lain.
4. Benda yang diwakafkan mungkin dimiliki dan diambil manfaat oleh maukuf
‘alaih (orang atau lembaga penerima wakaf) kapanpun diperlukan.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dijelaskan bahwa benda wakaf

adalah segala sesuatu benda, baik yang bergerak ataupun tidak bergerak. Benda

ini disyaratkan memiliki daya tahan dan tidak habis hanya sekali pakai dan

bernilai menurut ajaran Islam. Selain itu benda yang diwakafkan adalah milik

26. Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat
Pemberdayaan wakaf, Himpunan Peraturan…, hal. 11.
19

pelaku wakaf, bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa. Dalam

madzhab Hanafi benda wakaf juga dapat berupa uang, yaitu dinar dan dirham.

Disini jelas bahwa uang dapat ditahan pokoknya dan diambil hasilnya, seperti

uang yang ditempatkan dalam deposito mudharabah, misalnya: menghasilkan

keuntungan yang dapat di manfaatkan tanpa menghabiskan pokoknya, sesuai

dengan konsep wakaf berupa menahan pokok dan mengambil manfaat.

D. Tujuan dan Macam-macam Wakaf

Dalam implementasi di lapangan merupakan amal kebaikan, yang

mengantarkan seorang muslim kepada inti tujuan dan pilihannya, baik tujuan

umum maupun khusus.

1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum wakaf bahwa Allah telah mewajibkan hamba-Nya

untuk saling bekerja sama, bahu membahu, saling kasih sayang. Rasulullah SAW

“menggambarkan keadaan sesama muslim dalam kecintaan dan kesayangan

diantara mereka dengan gambaran satu tubuh, jika salah satu organ tubuh sakit

maka seluruh anggota tubuh lainnya akan kesakitan pula.”27

Tidak diragukan lagi bahwasanya diantara kebaikan dalam wakaf ini adalah

insaf dalam fisabilillah, untuk membantu persatuan ummat Islam, membantu

meningkatkan rasa persatuan dan tanggung jawab menjaga dan menolong agama

dan ummat Islam. Maka jenis-jenis infak begitu teramat banyak macam dan

jenisnya dan tidak diragukan lagi bahwa diantara infak yang terpenting saat ini

27. Zainuddin Malibari, Fathul…, hal. 160.


20

adalah menahan harta benda namun bisa mengalirkan manfaatnya. Wakaf

memiliki keistimewaan lain dari pada sedekah lainnya, ia bisa memelihara segala

kepentingan publik, kehidupan masyarakat, mendukung sarana dan prasarana

kemasyarakatan.

Keistimewaan wakaf yaitu di dalam wakaf ada sejumlah manfaat dan

maslahat yang tidak kita peroleh dalam shadaqah-shadaqah lainnya, karena

manusia terkadang menginfaqkan banyak hartanya fii sabilillah kemudian habis,

pada saat yang sama di sana ada fakir-miskin yang membutuhkan bantuan,

sebagian fakir-miskin lagi terbengkelai urusannya, maka tidak ada yang lebih baik

dan lebih manfaat untuk seluruh masyarakat selain menahan sesuatu harta dan

mengalirkan manfaat untuk fakir-miskin dan ibnu sabil.

Wakaf juga dimana dengannya menjadi lestari harta-benda berdasarkan

hukum Allah dan tersalurkan manfaatnya untuk kemaslahatan umum adalah satu

jenis dari shadaqah jariyah setelah orang yang bershadaqah itu wafat, kebaikannya

terasakan oleh semua orang dan berlipat-gandalah pahalanya, serta terselesaikan

berbagai kebutuhan fakir-miskin. Pengembangan berbagai sarana sosial, misalnya

rumah sakit, sarana layanan kesehatan, menyantuni ibnu sabil, penanganan

pengungsi, anak yatim, menanggulangi bencana kelaparan, gizi buruk. Maka

jadilah wakaf sebagai sebab bangkitnya masyarakat dan bukan kehancuran.

2. Tujuan Khusus

Sebenarnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting yaitu

pengkaderan, generasi dan sumber daya manusia dan lain-lain. Karena, manusia
21

menunaikan wakaf untuk tujuan yang sangat baik, semuanya tidak keluar dari

koridor syariat Islam diantaranya:

a. Membela agama, yaitu beramal untuk keselamatan hamba pada akhir kelak nanti.
Maka wakafnya tersebut menjadi sebab keselamatan, penambahan fahala dan
mungkin juga untuk pengampunan dosa.
b. Memelihara hasil capaian manusia, manusia menggerakkan hasratnya untuk
selalu terkait dengan apa yang ia miliki, memelihara peninggalan orang tuanya
dan keluarganya. Maka ia mengkhawatirkan atas kelestarian dan kelanggengan
harta benda peninggalan tersebut, ia khawatir anak-anaknya akan melakukan
pemborosan, hura-hura. Maka, ia pun menahan harta benda tersebut dan
mendayagunakannya, hasinya bisa dinikmati oleh anak keturunannya ataupun
publik, adapun pokok harta tetap lestari.
c. Menyelamatkan keadaan sang wakif, misalnya ada seseorang yang merasa asing,
tidak nyaman dengan harta benda yang ia miliki, atau merasa asing dengan
masyarakat yang ada di sekelilingnya, atau khawatir tidak ada yang mengurus
harta bendanya nanti setelah ia meninggal karena tidak ada keturunan dan sanak
saudara, maka dalam keadaan seperti ini yang terbaik baginya adalah menjadikan
harta bendanya tersebut dijalan Allah sehingga bisa menyalurkan manfaatnya dari
hasil harta tersebut ke berbagai sarana publik.
d. Memelihara keluarga, yaitu untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan orang-
orang yang ada dalam nasabnya, dalam keadaan seperti seseorang mewakafkan
hartanya untuk menjamin kelangsungan hidup anak keturunannya.
e. Memelihara masyarakat, bagi orang-orang yang mempunyai pengaruh besar
terhadap kelangsungan hidup masyarakat, maka ia mewakafkan harta bendanya
untuk tujuan itu, dengan harapan bisa menopang berbagai tanggung jawab urusan
sosial kemasyarakatan.28

Mengenai hal wakaf dalam Islam dikenal ada dua macam pelaksanaan

wakaf, kedua macam pelaksanaan tersebut sering dilakukan dalam praktek

kegiatan perwakafan di kalangan masyarakat Islam, baik pada masa Rasulullah

maupun pada masa sesudahnya hingga saat ini.

3. Macam-macam Wakaf

Para Ulama mutaqaddimin tidak pernah membagi wakaf, baik wakaf untuk

keturunan sendiri maupun wakaf untuk publik, semua bentuk wakaf menurut

28. Nasaruddin Umar, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2007), hal. 21.
22

mereka hanya disebut wakaf semata atau shadaqah. Namun, Ulama mutaakhirin

mulai membagi antara wakaf yang diniatkan untuk keturunan dan wakaf untuk

publik, seperti fakir miskin, penuntut ilmu agama, atau untuk lembaga pendidikan.

Maka, Ulama mutaakhirin menyebut wakaf secara umum. Wakaf dapat dibagi dua

kategori yaitu wakaf keluarga (wakaf ahli) yang disebut juga wakaf khusus dan

wakaf khairi atau wakaf umum. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh para ahli

fiqih. Mengenai macam-macam wakaf, Al-Sayyid sabiq menyatakan dalam

kitabnya:

‫َانُقف احيبوب يكُن انُقف ػهّ االحفبد اَاالقبسة َمه ثؼذٌم انّ انفقشاء‬
‫َيسمّ ٌزا ثُقف االٌهّ اَانظٍشِ َاحيبوب يكُن انُقف ػهّ اثُاة انخيش‬
‫اثزذاء َيسمّ ثُقف انخيش‬
Artinya: “Wakaf itu kadangkala untuk anak cucu kaum kerabat, kemudian untuk orang-

orang sesudah mereka hingga fuqahak dan ini dinamakan wakaf ahli atau wakaf

zuhri. Dan kadangkala wakaf yang diperuntukan bagi kebaikan semata-semata

dan ini dinamakan dengan wakaf khairi.”29

a. Wakaf Ahli

Wakaf ahli yaitu “wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,

seorang ataupun lebih, baik keluarga siwakif ataupun bukan.”30 Wakaf ahli juga

sering disebut dengan wakaf dzuhri atau wakaf ‘alal aulad yakni wakaf yang

diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan atau kerabat

sendiri. Wakaf ahli dalam kebanyakan kitab fiqh Syafi‟iyah disebutkan dengan

29. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Taba‟at Wa Al-Nasyar, 1999),
hal. 378.

30. Mustafa Raibil Baqa, Tazhib Fi Adillati Matan Ghayah Wa Taqrib, (Beirut: Darul
Fikri, 1996), hal. 145.
23

wakaf yang dikhususkan untuk keluarganya, misalnya “aku wakafkan harta ini

untuk anak-anakku.”31 Dalam satu sisi, wakaf ahli ini mempunyai dua aspek

kebaikan, yaitu: kebaikan sebagai amal ibadah wakaf dan kebaikan silaturrahmi

terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf.

Namun, pada sisi lain wakaf ahli sering menimbulkan masalah, seperti

bagaimana keturunan yang diwakafkan tidak ada lagi, siapa yang berhak

mengambil manfaat pada harta wakaf tersebut, bagaimana jika keturunan siwakif

berkembang sangat banyak sehingga menyulitkan pemerataan dalam pembagian

hasil harta wakaf, bagaimana bila keturunan wakif tidak bersedia lagi mengurus

harta wakaf, siapa yang berwenang mengemban amanat untuk mengelola harta

wakaf dan seterusnya.

Oleh karena itu dalam wakaf keluarga keluarga juga terdapat pokok benda,

hak atau manfaat yang sengaja ditahan untuk tidak langsung dikonsumsi atau

diperlakukan sesuai dengan kehendak perorangan dan manfaatnya disalurkan

sesuai dengan tujuan wakaf yaitu umumnya adalah anggota keluarga dan

keturunan wakif. Jadi dalam wakaf keluarga juga terkandung makna

pengembangan aset wakaf yang pada suatu saat nanti manfaatnya bisa dirasakan

oleh generasi yang akan dating, terutama kalangan tertentu yang berhak atas

wakaf tersebut.

Dengan pengertian seperti ini wakaf keluarga juga menjadi bagian dari aset

investasi yang dapat membantu tujuan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan

generasi yang akan dating. Maka dari sudut pandang ini, wakaf keluarga

31. Ibid, hal. 146.


24

merupakan bagian dari bentuk kedermawanan dalam bidang ekonomi, sekalipun

hanya dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu seperti keluarga dan

keturunan wakif.

b. Wakaf Khairi

Wakaf khairi merupakan wakaf yang secara tegas untuk kepentingan

keagamaan atau kemaslahatan masyarakat (kepentingan umum). Wakaf ini

ditujukan untuk kepentingan umum dengan tidak terbatas aspek penggunaannya

yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat

pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk keagamaan, jaminan

sosial, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain yang dapat terwujud seperti

pembangunan mesjid, lembaga pendidikan, rumah sakit dan sarana sosial lainnya.

Dari tinjauan penggunaannya, wakaf ini lebih banyak manfaatnya

ketimbang wakaf ahli karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang mengambil

manfaatnya. Sesungguhnya jenis wakaf ini yang sesuai dengan hakikat wakaf dan

secara subtansial, wakaf ini juga merupakan salah satu cara untuk menbelanjakan

harta dijalan Allah. Menurut mundhir Qahaf wakaf terbagi beberapa macam

berdasarkan tujuan, batasan waktunya, dan penggunaan barangnya. Beliau

membagikan wakaf berdasarkan tujuannya kepada tiga macam, yaitu:

a. Wakaf sosial untuk kebaikan masyarakat, yaitu apabila tujuan wakafnya untuk
kepentingan umum
b. Wakaf keluarga, yaitu apabila tujuan wakaf untuk memberi manfaat kepada si
wakif, keluarganya, keturunannya, dan orang-orang tertentu tanpa memandang
kaya atau miskin
c. Wakaf campuran, yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum dan keluarga secara
bersamaan.32

32. Mundhir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Khalifa, 2005), hal. 161.
25

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat di jelaskan bahwa para ulama

membagikan macam-macam wakaf secara lebih meluas dalam permasalahan

wakaf yang merujuk kepada kitab-kitab dan bahasan lebih luas, tidak berpegang

kepada mazhab Syafi‟i saja. Wakaf umum merupakan wakaf yang tujuannya

mencakup semua orang yang berada dalam tujuan wakaf, baik cakupan ini untuk

seluruh manusia atau kaum muslimin dan orang-orang yang berada di daerah

mereka. Oleh karena itu wakaf ini tujuannya umum untuk fakir miskin.

Dalam pengelolaan dan pengembagan benda wakaf secara produktif,

seorang Nazhir memiliki peran dan fungsi yang sangat fundamental. Oleh karena

itu, seorang Nazhir harus memiliki integritas dan profesional dalam mengelola

dan mengembangkan benda wakaf. Dengan demikian, seorang Nazhir dituntut

untuk memiliki keahlian dalam berbagai bidang keilmuan, diantanya seorang

Nazhir memiliki ahli dalam bidang hukum positif dan hukum Islam tentang

perwakafan, ahli dalam bidang bisnis dan ekonomi syariah, serta memiliki

kemampuan manajemen yang baik selain harus memenuhi beberapa syarat yang

telah ditetapkan dalam Undang-Undang.

Kalau penulis perhatikan para Nazhir yang ada di daerah atau pedalaman

masih banyak yang belum memiliki kemampuan seperti di atas, oleh karena itu

para Nazhir yang ada di daerah atau pedalaman masih memerlukan bimbingan dan

pelatihan secara berkelanjutan mengenai bidang-bidang yang terkait dengan

pengelolaan dan pengembangan wakaf benda secara produktif.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terlepas dari beberapa penjelasan di atas, disini dapat diambil sebuah

kesimpulan, yaitu bahwa yang menjadi faktor penghambat dari pemberdayaan

wakaf produktif adalah minimnya pemahaman masyarakat khususnya masyarakat

pedalaman tentang hukum wakaf dan wakaf produktif, pengelolaan dan

manajemen wakaf yang kurang efektif dan profesional, serta minimnya benda

yang diwakafkan oleh masyarakat selain tanah dan nazhir (pengelola wakaf)

sendiri kurang mengerti tentang hukum yang terkait dengan perwakafan sehingga

terjadi penyimpangan dan kurang amanah. Dengan demikian, dalam rangka

optimalisasi pemberdayaan benda wakaf secara produktif masih perlu banyak

evaluasi dan memaksimalkan sosialisasi kepada masyarakat oleh pihak yang

berwenang terkait dengan pengelolaan dan pengembangan benda wakaf secara

produktif.

Selain itu, melihat tujuan dari pemberdayaan benda wakaf secara

produktif. Maka disini juga memerlukan keterlibatan dari semua pihak dalam

mensosialisasikan dan mengembangkan wakaf secara produktif, karena persoalan

kesejahteraan dan kemiskinan adalah tanggung jawab kita bersama. Sedangkan

untuk mengembangkan benda wakaf secara produktif pihak pengelola bisa bekerja

sama dengan institusi atau lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip syariah.

26
27

B. Saran

Berdasarkan uraian itu, berarti pada prinsipnya harta wakaf tidak bisa

dilakukan transaksi hukum lain, seperti dihibahkan, dijual atau diwariskan, namun

apabila tidak bermanfaat lagi sesuai dengan ikrar wakaf semula, atau adanya

kepentingan umum yang lebih besar, maka pengalihfungsian benda wakaf

merupakan bentuk solusi dengan pertimbangan mashlahah.


DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Syaikh Al-„Allamah Muhammmad bin Abdurahman, Fiqih Empat


Mazhab, (Bandung: Masyim, 2012)

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, Terjemahan Ahrul Sani


Faturrahman (Depok: Iman Press, 2004),

Almath, Muhammad Faiz, 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad,


(Jakarta: Gema Insani, 2002)

Anshari, Zakaria, Tuhfatul Labib, (Beirut-Libanon: Darul Kutub Amaliah, t. t)

Baqa, Mustafa Raibil, Tazhib Fi Adillati Matan Ghayah Wa Taqrib, (Beirut:


Darul Fikri, 1996)

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat


Islam Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: 2006)

Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005)

Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Al-Ma‟arif)

Jarjani,Muhammad, Ta’rifat, (Jakarta: Darul Hikmah, t. t)

Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,


Direktorat Pemberdayaan wakaf, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Wakaf, (Jakarta: Kemenag, 2012)

Malibari,Zainuddin, Fathul Mu’in, Jilid III, (Semarang: Hikmah Keluarga, t. t)

Mahalli, Jalaluddin, Minhajjut Thalibin, Juz. III, (Indonesia: Darul Ihya, t. t)

Sabiq, Al-Sayyid, Fiqh Al-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Taba‟at Wa Al-Nasyar,


1999)

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)

Syafe‟i, Rahmat, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2005)

28
29

Syaltout, Mahmud dan M. Ali As Sayis, Perbandingan Madzhab dalam Masalah


Fiqh. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)

Umar, Nasaruddin, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf

Usman, Rachmadi, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,


2009)

Qahaf, Mundhir, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Khalifa, 2005)

Anda mungkin juga menyukai