Anda di halaman 1dari 15

UNSUR DAN SYARAT WAKAF

TINJAUAN PARA ULAMA DAN UNDANG – UNDANG DI INDONESIA

Oleh:
Irham Syarhuddin
Dosen:

Prof. Dr. H. Suparman Usman


Dr. Itang, M.Ag

MATA KULIAH ZAKAT DAN WAKAF


PROGRAM MAGISTER EKONOMI SYARIAH
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
SERANG
2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap alhamdulillahirabbil ‘alamiin semoga senantiasa diberiakn kenikamatan
dalam beraktifitas shalawat dan salam tercurah kepada nabi Muhammad s.a.w yang telah
membimbing ummatnya melalui risalah yang ia bawa hingga akhir zaman.

Wakaf merupakan pranata hukum yang berasal dari hukum syariah, sehingga dalam
pelaksnaannya diberlakukan rukun dan syarat yang berlaku. Baik bagi yang memberi wakaf
maupun yang bertanggung jawab mengelola wakaf tersebut.

Makalah ini akan membahas mengenai hukum syarat dan unsur wakaf secara legitimasi
syariat, kemudian legitimasi secara undang-undang yang berlaku tentang wakaf.

Penulis menyadari bahwa di antara pembaca memiliki kapasitas yang lebih tinggi dan
mumpuni dibandingkan dengan penulis. Maka dari itu, penulis berharap masukan dan kritik
yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Penulis
Serang, November 2022

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 3
1.3 Tujuan Makalah ....................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4
2.1 Definisi ................................................................................................................... 4
2.2 Syarat dan rukun wakaf ...................................................................................... 5
2.3 Penerapan Wakaf di Indonesia ......................................................................... 11
BAB III KESIMPULAN..................................................................................................... 12
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 13

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai aset, tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan. Tak heran,
banyak sekali kasus-kasus sengketa yang pada umumnya terkait dengan status hak atas tanah.
Hal ini pada dasarnya sudah disadari betul oleh para Pendiri Bangsa sejak awal kemerdekaan
sehingga masalah pertanahan menjadi prime act pada waktu itu. Setelah dibahas dalam jangka
waktu yang cukup panjang kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria atau juga dikenal dengan UUPA sebagai dasar pengaturan pertanahan di
Indonesia.

Undang-undang Pokok Agraria, diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk


peraturan pemerintah yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik dan berbagai peraturan pelaksanaannya, maka secara yuridis,
telah terjadi suatu pembaharuan hukum pertanahan, dimana persoalan tentang perwakafan tanah
telah diatur, ditertibkan dan diarahkan sedemikian rupa, sehingga benar-benar telah memenuhi
hakekat dan tujuan perwakafan menurut Islam.

Wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk
di Indonesia. Selain di Indonesia perkembangan Wakaf di Negara-negara Timur Tengah
juga sangat baik, bahkan disana Wakaf di atur sedemikian rupa sehingga sanat dirasakan
manfaatnya bagi masyarakat di Negara-negara tersebut. Sebagai salah satu Lembaga
keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak
membantu pembangunan secara menyeluruh di Indonesia dan berbagai Negara lainnya,
baik dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber
daya sosial. Karena pada kenyataannya, sebagian besar rumah ibadah, tempat
pemakaman, peguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun
di atas tanah wakaf.

Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, “Wakaf adalah


perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan Ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut Syariah”.
Selain itu wakaf adalah menahan harta yang diberikan Allah yang dikelola oleh suatu
lembaga dan hal tersebut sangat dianjurkan oleh ajaran Islam karena sebagai sarana
2
3

mendekatkan diri kepada Allah yang ganjarannya terbawa sampai wakif meninggal
dunia. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita memahami dan mempelajari
semua hal yang berkitan dengan wakaf, agar tidak terjadi kesalahan pemahaman tentang
wakaf di Masyarakat luas karena, wakaf menyangkut hajat hidup orang banyak. Wakaf
memiliki banyak kelebihan baik bagi wakif yang berupa ganjaran yang tiada henti, bagi
penerima wakaf terebut karena dengan Mauquf beban dan kesusahan hidupnya sedikit
teratasi, dan juga bagi Nadzir.

Dengan adanya hukum positif yang telah diterbitkan oleh pemerintah, sehingga secara
legalitas bahwa wakaf menjadi bagian pranata hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai unsur dan syarat wakaf menurut para ulama dan legalitas peraturan
pemerintah di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi wakaf?
2. Bagaimana syarat dan rukun wakaf menurut ulama madzhab?
3. Bagaimana syarat dan rukun wakaf menurut Undang-undang

1.3 Tujuan Makalah

1. Menjelaskan tentang definisi wakaf.


2. Mendeskripsikan mengenai syarat dan rukun wakaf menurut ulama mazhab.
3. Menjelaskan syarat dan wakaf menurut undang- undang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi

Menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk
bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta
tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga
menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia
melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa
memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual,
dihibahkan, ataupun diwariskan.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas
kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan
manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi
dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf
(wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah
meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang
dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri.
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil
manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi
manfaat tersebut walaupun sesaat.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, “Wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan Ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut Syariah”.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah
satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan
bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah
harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah,

4
5

bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid,
mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.1

2.2 Syarat dan rukun wakaf

Wakaf dinyatakan syah apabila syarat dan rukunya telah terpenuhi. Rukun
wakaf ada empat (yaitu):
1. Wakif (orang yang mewakafkan harta).
2. Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan).
3. Mauquf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf).
4. Sighat (pernyataan atau ikhrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
sebagian harta bendanya).2
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan
tersebut merupakan implikasi dari perbedaan mereka memandang substansi wakaf.
Jika pengikut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah memandang bahwa
rukun wakaf terdiri dari waqif, mauquf alaih, mauquf bih dan sighat, maka hal ini
berbeda dengan pandangan pengikut Hanafi yang mengungkapkan bahwa rukun
wakaf hanyalah sebatas sighat (lafal) yang menunjukkan makna/ substansi wakaf.

Sedangkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu


Pasal 6 menyatakan bahwa :

Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Wakif;

b. Nadzir;

c. Harta benda wakaf;

d. Ikrar wakaf;

e. Peruntukan harta benda wakaf;

f. Jangka waktu wakaf.

1
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2009), hlm.65.
2
Farida Prihatin, Fiqh Wakaf,(Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen RI ,2007),
h. 21.
6

Sedangkan syarat-syarat wakaf di antaranya adalah:

1. Syarat Wakif
Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan
hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan
hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria yaitu:
a. Merdeka
Wakif yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak
sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara
memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba
sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki
adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian, Abu Zahrah
mengatakan bahwa para fuqaha sepakat, budak itu boleh
mewakafkan hartanya apabila ada izin dari tuannya.
b. Berakal sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya,
sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan
akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah
mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau
kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan
tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (baligh)
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh),
hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan
akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
Orang yang berad di bawah pengampuan dipandang tidak cakap
untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan
hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan ihtisan, wakaf orang yang
berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama
hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah
untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk
7

sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya supaya tidak
menjadi beban orang lain.

2. Syarat Mauquf Bih (harta yang diwakafkan)

Mauquf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan


lama dipergunakan, dan hak milik wakif murni. Benda yang diwakafkan
dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :3

a. Benda harus memiliki nilai guna


Tidak sah hukumnya sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak
yang bersangkut paut dengan benda, seperti hak irigasi, hak lewat,
hak pakai dan lain sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda
yang tidak berharga menurut syara’, yaitu benda yang tidak boleh
diambil manfaatnya, seperti benda memabukkan dan benda-benda
haram lainnya.
b. Benda tetap atau benda bergerak.

Secara umum yang dijadikan sandaran golongan syafi’iyah dalam


mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat
dari harta tersebut, baik berupa barang tak bergerak, benda
bergerak maupun barang kongsi (milik bersama).

c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika


terjadi akad wakaf.

Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlah seperti


seratus juta rupiah, atau juga bisa menyebutkan dengan nisab
terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki dan
lain sebagainnya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara jelas
terhadap harta yang akan diwakafkan tidak sah hukumnya seperti
mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, dan
sebagainya.

3
Farida Prihatin, ibid, hlm26.
8

d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap


(al-milkat-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika
terjadi akad wakaf.Dengan demikian jika seseorang
mewakafkan benda yang bukan atau belum miliknya,
walaupun nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya
tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih dalam
sengketa atau jaminan jual beli dan lain sebagainya. Ada
perbedaan pendapat menurut ulama mazhab dalam
menentukan syarat-syarat benda yang diwakafkan, yaitu:
1. Ulama Mazhab Hanafi mensyaratkan harta yang
diwakafkan itu :
Harus bernilai harta menurut syara’ dan merupakan benda
tidak bergerak. Oleh sebab itu, minuman keras tidak bisa
diwakafkan, karena minuman keras dan sejenisnya tidak
tergolong harta dalam pandangan syara’. Di samping itu
haqq al-irtifaq (hak memanfaatkan harta orang lain) tidak
boleh diwakafkan, karena hak seperti itu tidak termasuk
harta bagi mereka dan harta yang bergerak pun tidak bisa
menjadi objek wakaf, karena objek wakaf itu harus yang
bersifat tetap.
Tentu dan jelas.
Milik sah waqif, ketika berlangsung akad dan tidak terkait
hak orang lain pada harta itu.
2. Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan harta yang
diwakafkan itu :
a. Milik sendiri, tidak terkait dengan orang lain.
b. Harta tertentu dan jelas.
c. Dapat dimanfaatkan.
Oleh sebab itu, harta yang sedang menjadi jaminan utang,
dan harta yang sedang disewakan orang tidak boleh
diwakafkan. Akan tetapi Ulama Mazhab Maliki
membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk
dipergunakan dan mewakafkan makanan, uang, dan benda
tidak bergerak lainnya.
9

3. Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanabilah


mensyaratkan harta yang diwakafkan itu :
a. Sesuatu yang jelas dan tertentu.
b. Milik sempurna waqif dan tidak terkait dengan hak
orang lain.
c. Bisa dimanfaatkan sesuai dengan adat setempat.
d. Pemanfaatan harta itu bisa berlangsung terus-menerus
tanpa dibatasi waktu.
Apabila pemanfaatan harta itu tidak bersifat langgeng,
seperti makanan tidak sah wakafnya. Di samping itu,
menurut mereka, baik harta bergerak, seperti mobil dan
hewan ternak, maupun harta tidak bergerak, seperti
rumah dan tanaman, boleh diwakafkan.

3. Syarat Mauquf ‘alaih (penerimaan wakaf)


Yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf
(peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas yang sesuai
dan diperbolehkan syariat islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan
amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf
‘alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat
berpendapat bahwa infaq kepada kebajikan itulah yang membuat wakaf
ssebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.
Namun terdapat perbedaaan antara para faqiha mengenai jenis ibadat
disini, apakah ibadat menurut pandangan islam ataukah menurut
keyakinan wakif atau keduanya, yaitu menurut pandangan islam dan
keyakinan wakif.4

4. Shighat (pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu kehendak


untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)
Shighat adalah (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan
dengan tulisan, lisan atau suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya.

4
Farida Prihatin, ibid, hlm.37
10

Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat digunakan untuk menyatakan


wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang
tidak dapat menggunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu
pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti
pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di
kemudian hari.5
Adapun lafadz sighat wakaf ada dua macam, yaitu :
Lafadz yang jelas (sharih).
Lafal wakaf bisa dikatakan jelas apabila lafal itu populer sering
digunakan dalam transaksi wakaf. Ada tiga jenis lafal yang termasuk
dalam kelompok ini yaitu: al waqf (wakaf), al-habs (menahan) dan
altasbil (berderma). Bila lafal ini dipakai dalam ijab wakaf, maka sahlah
wakaf itu, sebab lafal tersebut tidak mengandung suatu pengertian lain
kecuali kepada wakaf. Selain ketiga bentuk ini, para fuqoha masih
berselisih pendapat. Ibnu Qudamah berkata : “Lafal-lafal wakaf yang
sharih (jelas) itu ada tiga macam yaitu: waqaftu (saya mewakafkan),
habistu (sayamenahan harta) dan sabbitu (saya mendermakan). Dalam
kitab Raudhah Al Thalibin Imam Nawawi berkata : “Perkataan waqaftu
(saya mewakafkan), habistu (saya menahan), atau didermakan, semua itu
merupakan lafal yang jelas, dan yang demikian ini adalah yang paling
benar sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas fuqaha”.
Imam Nawawi menyepakati kesahihan lafal sarih di atas. Karenanya,
jika seseorang menyatakan, “aku menyedekahkan tanahku ini secara
permanent” atau “aku menyedekahkan tanahku ini tidak untuk dijual
maupun untuk di hibahkan”, maka yang demikian itu, menurut pendapat
yang paling benar, dinilai sebagai lafadz yang jelas. Namun kejelasan
yang digambarkan oleh Nawawi pada contoh terakhir bukan merupakan
kejelasan secara langsung.
Lafal ini menjadi sarih (jelas) karena adanya indikasi yang mengarah
pada makna wakaf secara jelas. Jika tidak ada indikasi tersebut, maka
ungkapan itu dengan sendirinya menjadi samar tau tidak jelas.

5
Farida Prihatin, Ibid,hlm. 55.
11

Lafaz kiasan (kinayah)


Kalau lafal ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf.Sebab
lafadz “tashaddaqtu” bisa berarti shadaqah wajib seperti zakat dan
shadaqah sunnah. Lafadz “harramtu” bisa berarti dzihar, tapi bisa
juga berarti wakaf. Kemudian lafadz “abbadtu” juga bisa berarti
semua pengeluaran harta benda untuk selamanya. Sehingga semua
lafadz kiasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu harus disertai
dengan niat wakaf secara tegas.

2.3 Penerapan Wakaf di Indonesia


Di Indonesia wakaf diatur sacara formal oleh Negara dalam sebuah lembaga yaitu
Badan Wakaf Indonesia (BWI), dimana Ikrar atau Ijab wakaf dilakukan oleh wakif di
depan pejabat yang berwenang, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai
Pejabat Pembuat Akta Tanah Wakaf, kemudian dikeluarkan akta wakaf, jika wakaf itu
dalam bentuk tanah maka oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional atau biasa disebut
Agraria dikeluarkan sertifikat wakaf berdasarkan akta wakaf yang dibuat KUA. Dengan
dibuatnya akta dan sertifikat wakaf tersebut, maka harta wakaf itu terlindungi dari
penyalahgunaan atau gugatan pihak lain6

Tata Cara Perwakafan Tanah di Indonesia

Tata cara Perwakafan Tanah dan Pendaftarannya : (1) calon wakif harus
melengkapi surat-surat yang diperlukan bagi perwakafan tanah yaitu sertifikat
tanah, surat keteranagan dari Kepala desa dan Camat bahwa tanah tersebut benar-
benar milik wakif dan bebas dari sengketa. (2) wakif mengucapkan ijab kepada
nadzir didepan kepala KUA dan dihadiri minimal dua orang saksi. (3) wakif yang
tidak dapat hadir karena sakit parah dapat menuliskan ijabnya lalu di bacakan
didepan nadzir dan kepala KUA. (4) Pejabat membuat Akta Ikrar wakaf. (5) kapala
KUA atas mana nadzir mengajukan permohonan pendaftaran tanah wakaf kepada
Bupati atau Kepala Daerah. (6) dengan telah didaftarkan dan dicatatnya tanah
wakaf tersebut dalam sertifikat tanah milik yang diwakafkan, maka tanah wakaf itu
telah mempunyai pembuktian yang kuat.

6
Tika Mardiana. Rukun dan Syarat Wakaf. 2014. UNY. Yogyakarta: hal:10
BAB III
KESIMPULAN
1. Wakaf adalah menahan harta yang diberikan Allah yang dikelola oleh suatu lembaga dan
hal tersebut sangat dianjurkan oleh ajaran Islam karena sebagai saran mendekatkan diri
kepada Allah yang ganjarannya terbawa sampai si pewakaf meninggal dunia.
2. Rukun wakaf adalah : Pewakaf (wakif) adalah Orang yang mewakafkan hartanya, Harta
yang Diwakafkan (Mauquf), Tujuan Wakaf (Mauquf ‘alaih) dan yang terakhir adalah Lafal
atau pernyataan (sighat) wakif contoh sighat : “saya wakafkan tanah milik saya seluas 200
meter persegi ini, agar dibangun Masjid di atasnya”.
3. Syarat-syarat sahnya perwakafan sesorang adalah sebagai berikut : (a) Perwakafan benda itu
tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan selamanya. (b) Tujuannya harus jelas dan
disebutkan ketika mengucapkan ijab. (c) Wakaf harus segera dilaksanakan segera setelah
ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif. (d) Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar
wakaf oleh wakif berlaku seketika dan selama-lamanya. (e) Perlu dikemukakan syarat yang
dikeluarkan oleh wakif atas harta yang diwakafkannya.

12
Daftar Pustaka
Al Quran. 2017. Alquran Al Karim. Jakarta. Kementerian Agama
Departemen RI.
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press.
Amin, M., Sam, M. I., AF., H., Hasanuddin, & Sholeh, A. N. (2011). Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga.
Mahfud, R. (2010). Al-Islam. Jakarta: Erlangga.
Prihatin, Farida. 2007. Fiqh Wakaf. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Suryana, A. T., Alba, C., Syamsudin, E., & Asiyah, U. (1996). Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara.
Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

13

Anda mungkin juga menyukai