Anda di halaman 1dari 18

UNSUR-UNSUR WAKAF

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Zakat dan Wakaf di
Indonesia
Dosen pembimbing: Rahmat Alfi Syahri Marpaung, M.H

Oleh : Kelompok 8
1. Siti Nuraini (2002050037)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR
AL ULUUM ASAHAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya, atas
anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “Unsur-unsur Wakaf”.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Asahan, 1 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PEMBAHASAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Wakif............................................................................................................2

B. Mauquf.........................................................................................................4

C. Mauqul ‘Alaih..............................................................................................7

D. Nazhir...........................................................................................................9

E. Shigat..........................................................................................................11

F. Adanya Jangka Waktu Terbatas.................................................................12

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wakif, atau pihak yang mewakafkan hartanya, bisa perseorangan, badan
hukum, maupun organisasi. Jika perseorangan, ia boleh saja bukan muslim karena
tujuan disyariatkannya wakaf adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
orang non muslim tidak dilarang berbuat kebajikan. Menurut sebagian ulama,
seorang wakif harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Suatu perwakafan sah dan
dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan
tabarru’ yaitu melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan materiil.
Artinya mereka telah dewasa (baligh) dalam fikih islam dikenal dua pengertian
yaitu baligh dan rasyid, pada istilah baligh dititikberatkan pada umur sedangkan
rasyid pada kematangan jiwa atau kematangan akalnya. Walaupun sudah cukup
umur tetapi kalau belum mempunyai kecakapan bertindak atau mandiri masih
belum dianggap dewasa.

Dalam sistem wakaf ada wakafyang materinya pada barang-barang yang


tidak bergerak. Hal ini bisa untuk memberikan pelayanan dan fasilitas pada
kebutuhan masyarakat baik untuk peribadatan atau untuk lainnya, misalnya
perwakafan tanah, gedung, sekolah atau untuk masjid.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pembagian unsur-unsur wakaf?
2. Apa yang dimaksud dengan wakif, , nazir, harta wakaf, tujuan wakaf, akad
wakaf, dan jangka waktu wakaf?

1
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan


ada enam unsur wakaf, yaitu wakif, nazir, harta wakaf, tujuan wakaf, akad wakaf,
dan jangka waktu wakaf.

A. Wakif (Orang yang Berwakaf)


Wakif, atau pihak yang mewakafkan hartanya, bisa perseorangan, badan
hukum, maupun organisasi. Jika perseorangan, ia boleh saja bukan muslim karena
tujuan disyariatkannya wakaf adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
orang non muslim tidak dilarang berbuat kebajikan. Menurut sebagian ulama,
seorang wakif harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Suatu perwakafan sah dan
dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan
tabarru’ yaitu melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan materiil.
Artinya mereka telah dewasa (baligh) dalam fikih islam dikenal dua pengertian
yaitu baligh dan rasyid, pada istilah baligh dititikberatkan pada umur sedangkan
rasyid pada kematangan jiwa atau kematangan akalnya. Walaupun sudah cukup
umur tetapi kalau belum mempunyai kecakapan bertindak atau mandiri masih
belum dianggap dewasa.1 Oleh karena itu menurut jumhur ulama tidak sah
wakaf dilakukan oleh orang yang bodoh, pailit (bangkrut). Dalam Pasal 8
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dinyatakan bahwa wakif dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:2

1. Wakif perseorangan

a. Dewasa.
b. Berakal sehat.

1
Aden Rosadi, Zakat dan Wakaf: Konsepsi, Regulasi, dan Implementasi, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2019), hal. 122.
2
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hal. 7599-7502; Muhammad Abid Abdullah Al-
Kabisi (2004). Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman &
Rekan KMCP. (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika & IIMaN), hal. 153.

2
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
d. Pemilik sah harta benda wakaf.

2. Wakif badan hukum Memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan


harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan
hukum yang bersangkutan.

3. Wakif organisasi Memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta


benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang
bersangkutan.

Berkenaan dengan pelepasan benda wakaf oleh wakif muncul perbedaan


pendapat tentang status kepemilikan benda yang sudah diwakafkan. Kepemilikan,
hanya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa harta yang diwakafkan adalah tetap
milik si wakif. Pendapat ini berimplikasi pada kewenangan wakif untuk men-
tasharuf-kan harta wakaf sesuai dengan keinginannya, termasuk menghibahkan,
menjual dan mewariskan. Ia memandang bahwa wakaf itu seperti ariyah (pinjam
meminjam), di mana benda di tangan peminjam sebagai pihak yang
mengambilmanfaat benda tersebut. Menurutnya wakaf mempunyai kepastian
hukum hanya dalam tiga hal:

1. Wakaf masjid,
2. Wakaf bila diputuskan oleh hakim,
3. Bila benda wakaf dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf
wasiat.3

Selain Abu Hanifah, Imam Malik juga berpendapat sama bahwa harta
wakaf masih milik si wakif. Pendapat inilah yang mempengaruhinya hingga ada
pembedaan antara wakaf muabbad dan wakaf muaqqat. Bila muabbad
kepemilikan putus, maka muaqat kepemilikan masih pada wakif.4 Berdasarkan
hadis Umar, Imam Malik memandang bahwa tidak ada indikasi dari hadis tersebut
yang menyuruh wakaf untuk selamanya, sehingga Imam Malik memunculkan
pembagian tersebut. Selain dua pendapat tersebut hampir semua sepakat terhadap

3
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press,
1988), hal. 84
4
Muh. Sudirman Sesse, Wakaf Dalam Perspektif Fikhi dan Hukum Nasional, Jurnal
Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 2, Juli 2010, hal. 147

3
putusnya kepemilikan antara harta wakaf dengan wakif dan berpindahnya
kepemilikan menjadi milik Allah. Syafi’i menyamakan wakaf dengan al-‘itq
(pemerdekaan budak). Budak adalah milik tuannya, tetapi bila ia sudah merdeka,
ia menjadi milik Allah.5

B. Mauquf (Harta yang Diwakafkan)

Perbincangan fiqh mengenai benda wakaf, bertolak pada jenis harta,


apakah benda bergerak atau tidak bergerak, atau bisa keduanya. Madzhab
Syafi’iyah dan Hanbaliyah tergolong konservatif dengan hanya membolehkan
harta tak bergerak sebagai objek wakaf. Sementara Hanafiyah dan Malikiyah
cenderung membolehkan wakaf harta bergerak. Perbedaan ini muncul dari
perbedaan menafsirkan apakah yang diwakafkan adalah dzat benda atau manfaat
benda. Bila dzat benda maka cenderung benda tidak bergerak yang ternyata
jumlah jenisnya sedikit, sedangkan bila manfaat benda cenderung benda bergerak
yang jumlah jenisnya sangat banyak. Keterkaitan antara status kepemilikan wakif
terhadap benda wakaf setelah diwakafkan berimplikasi pada kewenangan atas
perlakuan wakif terhadap benda wakaf tersebut yang oleh hadits riwayat umar
memuat tiga tindakan yaitu dijual, dihibahkan dan diwariskan. Terhadap hal
tersebut Abu Hanifah menyatakan bahwa harta wakaf masih milik wakif, maka
wakif boleh memperlakukan apa saja terhadap harta wakaf seperti menjual,
menghibakan, dan mewariskan termasuk mengagunkan harta benda wakaf.6

BerbedadenganHanafi,Maliki sekalipun menyatakan bahwa harta wakaf


milik wakif, tetapi wakif tidak punya hak untuk mendayagunakan harta wakaf
secara pribadi dalam bentuk apapun. SedangkanSyafi’idanHanbali menyatakan
putusnya kepemilikan harta wakaf dengan wakif sehingga wakif terputus haknya
terhadap harta wakaf. Kedua, kelanggengan atau keabadian objek wakaf yang
terkait erat dengan objek wakaf yang bergerak. Oleh karena itu mewakafkan harta

5
Muh. Sudirman Sesse, loc.cit.
6
Tuti A. Najib & Ridwan al-Makassary (ed.) (2006). Wakaf, Tuhan dan Agenda
Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Sosial di Indonesia. (Jakarta: CRCS UIN
Syahid), hal. 39.

4
bergerak harus melekat dengan harta tak bergerak seperti wakaf alat pertanian
terkait dengan sawah, dan sebagainya.7

Hal yang menarik lagi adalah perubahan peruntukan. Jika suatu ketika
benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya atau sudah berkurang manfaatnya,
kecuali ada perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah
bentuk asal, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain,
bolehkan perubahan itu dilakukan terhadap benda wakaf tersebut? Ternyata dalam
hal tersebut para ulama fiqh berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat
bahwa kalau benda wakaf sudah tidak berfungsi (tidak dapat dipergunakan) atau
kurang berfungsi, maka benda tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diganti/
tukar, tidak boleh dipindahkan, tapi benda tersebut dibiarkan tetap dalam
keadaannya. Pendapat ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syafi’i dan
Malik. Alasannya adalah hadis riwayat Ibn Umar, yang tersurat bahwa benda
wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Perubahanstatus,
penggantian benda dan tujuan wakaf, sangat ketat pengaturannya dalam madzhab
Syafi’i. namun demikian, berdasarkan keadan darurat dan prinsip mashlahah,
dikalangan para ulama fiqh perubahan itu dalam dilakukan. Ini disandarkan pada
pandangan agar manfaat wakaf itu tetap terus berlangsung sebagai sadaqah
jariyah, tidak mubadzir karena rusak, tidak berfungsi lagi dan sebagainya.8

Imam Ahmad berpendapat bahwa boleh menjual benda wakaf atau


menukarnya,[ menggantinya, memindahkannya, dan menggunakan hasil
penjualan tersebut untuk kemudian digunakan lagibagi kepentingan wakaf. Abu
Yusuf, murid Hanafi, berpendapat bahwa benda wakaf tersebubt boleh dijual dan
menggunakan hasil penjualantersebut. Sedangkan Muhammad, murid Hanafi
juga, berpendapat bahwa kalau benda wakaf tersebut sudah tidak berfungsi lagi
atau rusak, maka benda tersebut kembali kepada pemilik pertama atau wakif.

Syarat-syarat yang berkaitan dengan harta yang diwakafkan ialah harta


yang bernilai, milik wakif, dan tahan lama untuk digunakan. Harta wakaf juga
bisa berupa uang yang dimodalkan, seperti saham, yang harus dikelola

7
Mohammad Daud Ali (1988). Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. (Jakarta: UI
Press), hal.. 93
8
Muh. Sudirman Sesse, op.cit, hal: 149.

5
semaksimal mungkin sehingga mendapatkan kemaslahatan atau keuntungan bagi
orang banyak.9

Harta yang diwakafkan (mauquf bih) merupakan hal yang sangat penting
dalam perwakafan. Namun demikian harta yang diwkafkan tersebut baru sah
sebagai harta wakaf, kalau benda tersebut memenuhi syarat. Adapun syarat-syarat
itu antara lain adalah sebagai berikut:10

1. Harta yang diwakafkan harus Mutaqowwim

Pengertian harta mutaqowwim (Al-mal al-mutaqowwam) menurut


madzhab Hanafi adalah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan
dalam keadaan normal.

2. Benda yang diwakafkan harus jelas wujudnya dan pasti batas-batasanya.

Harta yang diwakafkan diketahu dengan yakin (‘ainun ma’lumun)


sehingga tidak menimbulkan persengketaan.

3. Milik wakif Harta yang diwakafkan itu harus benar-benar kepunyaan wakif
secara sempurna, artinya bebas dari segala beban.

4. benda yang diwakafkan terpisah bukan milik bersama melihat syarat-syarat


harta wakaf sebagaimana disebut diatas, maka harta yang diwakafkan dapat juga
berupa benda-benda bergerak yang memenuhi syarat yang sudah dikemukakan
dan jenis-jenis benda yang sudah pernah diwakafkan oleh para sahabat. Bolehnya
mewakafkan benda-benda bergerak ini sangat penting untuk mengembangkan
benda-benda tidak bergerak.

Dalam pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, harta


benda yang bisa diwakafkan, antara lain:

1. Benda bergerak (harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi)

a. Uang.
b. Logam mulia.
c. Surat berharga.

9
Aden Rosadi, op. cit, hal. 124
10
Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Papas Sinanti, 2005), hal.
112.

6
d. Kendaraan.
e. Hak atas kekayaan intelektual.
f. Hak sewa.
g. Benda bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariat dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Benda tidak bergerak

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah, sebagaimana
dimaksud pada huruf a.
c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariat dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Mauqul ’alaih (Tujuan Wakaf)


Yang dimaksud dengan mauqul ‘alaih adalah tujuan wakaf atau
peruntukan wakaf. Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan
diperbolehkan syari’at Islam. Syarat mauquf ‘alaih adalah qurbat atau pendekatan
diri kepada Allah. Menurut Sayyid Sabiq, wakaf itu ada dua macam, yakni wakaf
ahli atau zurri dan wakaf khairi (kebajikan). Yang dimaksud dengan wakaf ahli
adalah wakaf yang diperuntukkan bagi anak-cucu atau kaum kerabat dan untuk
orang fakir. Sedangkan wakaf khairi adalah wakaf yang ditujukan kepentingan
umum.11

Dalam Pasal 22 Undang-undang No. 41 tahun 2004 dinyatakan bahwa:


dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya
diperuntukan bagi:

11
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, alih bahasa Drs. Mudzakir AS, cet. Ke 1, Bandung: Al
Ma’arif, 1987, XIV, hal. 378.

7
a. Sarana dan kegiatan ibadah
b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim, beasiswa
d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.

Tujuan wakaf (mauqul’alaih) harus sejalan (tidak bertentangan) dengan


nilainilai ibadah sebab wakaf merupakan salah satu amalan sedekah. Tujuan
wakaf harus termasuk kategori ibadah atau sekurang-kurangnya merupakan
perkara-perkara mudah menurut ajaran Islam, misalnya menjadi sarana ibadah.
Harta wakaf yang diperuntukkan membangun tempat-tempat ibadah umum,
hendaklah ada badan yang menerimanya.12

Mauqul ‘alaih dalam literatur fiqh kadang diartikan orang yang diserahi
mengelola harta wakaf, yang sering disebut nadzir, kadang juga diartikan
peruntukan harta wakaf. Bila diartikan mauquf ‘alaih sebagai nadzir, dalam
literatur fiqh kurang mendapat porsi pembahasan yang detail oleh para ahli fiqh
yang terpenting adalah keberadaan mauquf ‘alaih mampu mewujudkan
peruntukan benda wakaf (makna lain dari mauqul ‘alaih). Hal ini terpengaruh
oleh unsur tabarru’ (kebaikan) yang meliputi peruntukan ibadah dan sosial
(umum) kecuali yang bertentangan dengan Islam (ideologi) dan maksiat.
Pengaruh lain adalah karena pemahaman bahwa wakaf termasuk akad sepihak
yang tidak membutuhkan adanya qabul dan salah satu pendapat boleh hukumnya
wakaf kepada diri sendiri.

Berkenaan dengan keyakinan nadzir, menurut Nawawi sah hukumnya


wakaf kepada kafir dzimmi dengan 2 syarat, yaitu:13

1. Peruntukan objek wakaf yang diamanatkan kepada nadzir tidak berupa ibadah
bagi muslim, seperti wakaf Qur’an kepada nadzir kafir dzimmi.

12
Aden Rosadi, op. cit, hal. 125.
13
Muh. Sudirman Sesse, op.cit, hal. 148.

8
2. Manfaat benda wakaf oleh nadzir tidak untuk kepentingan keyakinan si kafir
dzimmi seperti wakaf untuk pembangunan gereja yang difasilitasi oleh nadzir
kafir dzimmi.

D. Nazir (Pengelola Wakaf)

Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara – yandzuru – nadzran
yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun
nadzir adalah isim fa‟il dari kata nadzara yang kemudian dapat diartikan dalam
bahasa Indonesia dengan pengawas atau penjaga. Sedangkan nadzir wakaf atau
bisa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf.
Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang
atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus badan
wakaf.14

Nazir adalah orang yang memegang amanat untuk memelihara dan


menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan perwakafan. Mengurus atau
mengawasi harta wakaf pada dasarnya menjadi hak wakif, tetapi boleh juga wakif
menyerahkan hak pengawasan wakafnya kepada orang lain, baik perseorangan
maupun organisasi.

Dalam kitab fiqih masalah nadzir dibahas dengan judul al-Wilayat ‘ala al
waqf artinya penguasaan terhadap wakaf atau pengawasan terhadap wakaf. Orang
yang diserahi atau diberi kekuasaan atau diberi tugas untuk mengawasi harta
wakaf itulah yang disebut nadzir atau mutawalli. Dengan demikian nadzir berarti
orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya,
memeliharanya, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak
menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu
tumbuh dengan baik dan kekal.

Adapun syarat-syarat seorang nazir, antara lain:15

14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo persada, 1998), hal. 498
.
15
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar
Media, 2005, hlm. 90

9
1. WNI.
2. Islam.
3. Dewasa.
4. Sehat jasmani dan rohani.

Tidak berada di bawah pengampuan.

5. Tinggal di kecamatan tempat tanah yang diwakafkan.

Apabila nazir berbentuk badan hukum, syarat-syarat yang harus dipenuhi,


antara lain:

1. Berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.


2. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan. Selain itu, nazir juga harus didaftarkan dan mendapat
pengesahan di Kantor Urusan Agama kecamatan setempat.

Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, wakif bisa menunjuk orang lain
yang mempunyai hubungan kerabat dengannya agar terjalin keserasian dengan
prinsip hak pengawasan. Bila orang yang mempunyai hubungan dengan wakif
tidak ada, diperbolehkan menunjuk orang lain. Dalam pasal 11 Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, tugas seorang nazir meliputi:

1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.


2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, serta peruntukannya.
3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Nazir bisa diberhentikan dan diganti dengan nazir lain bila yang
bersangkutan:

1. Meninggal dunia bagi nazir perseorangan.


2. Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku untuk nazir organisasi badan hukum.
3. Atas permintaan sendiri.
4. Tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan/atau melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

10
5. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.

E. Shigat Waqf (Akad Wakaf)

Sighat atau ikrar wakaf yakni pernyataan wakif yang merupakan tanda
penyerahan barang atau benda yang diwakafkan. Sighat sebagai salah satu rukun
wakaf disepakati oleh Jumhur Ulama.16

Dalam hal ini perbedaan yang muncul adalah bentuk pernyataan apakah
lisan, kinayah atau tindakan. Sementara dalam hal akad wakaf, semua madzhab
menyatakan bahwa wakaf adalah akad tabarru’ yaitu transaksi sepihak yang sah
sebagai suatu akad yang tidak memerlukan kabul dari pihak penerima dan
dicukupkan dengan ijab si wakif. Akad tidaklah menjadi syarat dalam akad wakaf.
Definisi akad disini adalah suatu bentuk perbuatan hukum (tasharruf) yang
mengakibatkan adanya kemestian penataan kepada apa yang dinyatakan dari
kehendak perbuatan hukum itu oleh pihak yang berkepentingan, kendatipun
pernyataan itu dari sepihak saja. Akad dalam pengertian kesepakatan dari dua
belah pihak yang berkehendak melakukan suatu perikatan digambarkan dengan
ijab dan qabul seperti yang terjadi dalam jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya, sehingga tidaklah berlaku dalam pengertian akad wakaf.17

Wakaf di-shigat-kan, baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan isyarat.


Wakaf dinyatakan telah terjadi apabila ada pernyatan wakif (ijab), sedangkan
kabul dari mauquf’alaih tidak diperlukan. Isyarat hanya boleh dilakukan jika
wakif tidak mampu melakukan lisan dan tulisan. Akad wakaf harus dinyatakan
secara tegas, baik lisan ataupun tulisan, dengan redaksi “aku mewakafkan” atau
“aku menahan” atau kalimat yang semakna lainnya. Akad penting karena
membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif dan harta wakaf menjadi
milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang

16
Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinanti, 2005, hlm.
114.
17
Muh. Sudirman Sesse, op.cit, hal. 149.

11
menjadi tujuan wakaf. Karena itu, harta wakaf tidak bisa dihibahkan,
diperjualbelikan, atau diwariskan.

Secara teknis, akad wakaf diatur dalam Pasal 1 ayat 1 PP No. 28 Tahun
1977 jo. Pasal 218 KHI:

1. Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengakadkan kehendaknya secara


jelas dan tegas kepada nazir di hadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPIW),
sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat 2 yang kemudian menuangkannya dalam
bentuk akta ikrar wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua
orang saksi.

2. Dalam keadaan tertentu, penyimpangan daripada ketentuan dimaksud dalam


ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri
Agama.

F. Adanya Jangka Waktu yang Terbatas

Dalam pasal 215 Komplikasi Hukum Islam, wakaf adalah perbuatan


hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran Islam.
Berdasarkan pasal tersebut, wakaf sementara adalah tidak sah. Sementara itu,
dalam pasal 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dinyatakan
bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya, guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat. Berdasarkan pasal tersebut,
wakaf sementara diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingan.18

18
Aden Rosadi, op. cit, hal. 126.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Wakif, atau pihak yang mewakafkan hartanya, bisa perseorangan, badan
hukum, maupun organisasi. Jika perseorangan, ia boleh saja bukan muslim karena
tujuan disyariatkannya wakaf adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
orang non muslim tidak dilarang berbuat kebajikan. Menurut sebagian ulama,
seorang wakif harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Suatu perwakafan sah dan
dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan
tabarru’ yaitu melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan materiil.
Artinya mereka telah dewasa (baligh) dalam fikih islam dikenal dua pengertian
yaitu baligh dan rasyid, pada istilah baligh dititikberatkan pada umur sedangkan
rasyid pada kematangan jiwa atau kematangan akalnya. Walaupun sudah cukup
umur tetapi kalau belum mempunyai kecakapan bertindak atau mandiri masih
belum dianggap dewasa.

Syarat-syarat yang berkaitan dengan harta yang diwakafkan ialah harta


yang bernilai, milik wakif, dan tahan lama untuk digunakan. Harta wakaf juga
bisa berupa uang yang dimodalkan, seperti saham, yang harus dikelola
semaksimal mungkin sehingga mendapatkan kemaslahatan atau keuntungan bagi
orang banyak. Harta yang diwakafkan (mauquf bih) merupakan hal yang sangat
penting dalam perwakafan. Namun demikian harta yang diwkafkan tersebut baru
sah sebagai harta wakaf, kalau benda tersebut memenuhi syarat.

Yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf atau


peruntukan wakaf. Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan
diperbolehkan syari’at Islam. Syarat mauquf ‘alaih adalah qurbat atau pendekatan
diri kepada Allah. Menurut Sayyid Sabiq, wakaf itu ada dua macam, yakni wakaf
ahli atau zurri dan wakaf khairi (kebajikan). Yang dimaksud dengan wakaf ahli
adalah wakaf yang diperuntukkan bagi anak-cucu atau kaum kerabat dan untuk
orang fakir. Sedangkan wakaf khairi adalah wakaf yang ditujukan kepentingan
umum.

13
Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara – yandzuru – nadzran
yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun
nadzir adalah isim fa‟il dari kata nadzara yang kemudian dapat diartikan dalam
bahasa Indonesia dengan pengawas atau penjaga. Sedangkan nadzir wakaf atau
bisa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf.
Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang
atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus badan
wakaf.

Sighat atau ikrar wakaf yakni pernyataan wakif yang merupakan tanda
penyerahan barang atau benda yang diwakafkan. Sighat sebagai salah satu rukun
wakaf disepakati oleh Jumhur Ulama.

Dalam pasal 215 Komplikasi Hukum Islam, wakaf adalah perbuatan


hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran Islam.
Berdasarkan pasal tersebut, wakaf sementara adalah tidak sah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aden Rosadi, Zakat dan Wakaf: Konsepsi, Regulasi, dan Implementasi,


(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2019).

Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hal. 7599-7502; Muhammad Abid Abdullah


Al-Kabisi (2004). Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap
tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf,
Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan KMCP. (Jakarta: Dompet Dhuafa
Republika & IIMaN), .

Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI
Press, 1988).

Muh. Sudirman Sesse, Wakaf Dalam Perspektif Fikhi dan Hukum Nasional,
Jurnal Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 2, Juli 2010.

Tuti A. Najib & Ridwan al-Makassary (ed.) (2006). Wakaf, Tuhan dan Agenda
Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Sosial di Indonesia. (Jakarta:
CRCS UIN Syahid).

Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Papas Sinanti,
2005).

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, alih bahasa Drs. Mudzakir AS, cet. Ke 1, Bandung: Al
Ma’arif, 1987, XIV.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo persada, 1998),
hal.

Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia,


Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinanti,
2005, hlm. 114.

15

Anda mungkin juga menyukai