Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Zakat dan Wakaf di
Indonesia
Dosen pembimbing: Rahmat Alfi Syahri Marpaung, M.H
Oleh : Kelompok 8
1. Siti Nuraini (2002050037)
Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya, atas
anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “Unsur-unsur Wakaf”.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PEMBAHASAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Wakif............................................................................................................2
B. Mauquf.........................................................................................................4
C. Mauqul ‘Alaih..............................................................................................7
D. Nazhir...........................................................................................................9
E. Shigat..........................................................................................................11
1. Kesimpulan................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakif, atau pihak yang mewakafkan hartanya, bisa perseorangan, badan
hukum, maupun organisasi. Jika perseorangan, ia boleh saja bukan muslim karena
tujuan disyariatkannya wakaf adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
orang non muslim tidak dilarang berbuat kebajikan. Menurut sebagian ulama,
seorang wakif harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Suatu perwakafan sah dan
dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan
tabarru’ yaitu melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan materiil.
Artinya mereka telah dewasa (baligh) dalam fikih islam dikenal dua pengertian
yaitu baligh dan rasyid, pada istilah baligh dititikberatkan pada umur sedangkan
rasyid pada kematangan jiwa atau kematangan akalnya. Walaupun sudah cukup
umur tetapi kalau belum mempunyai kecakapan bertindak atau mandiri masih
belum dianggap dewasa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pembagian unsur-unsur wakaf?
2. Apa yang dimaksud dengan wakif, , nazir, harta wakaf, tujuan wakaf, akad
wakaf, dan jangka waktu wakaf?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Wakif perseorangan
a. Dewasa.
b. Berakal sehat.
1
Aden Rosadi, Zakat dan Wakaf: Konsepsi, Regulasi, dan Implementasi, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2019), hal. 122.
2
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hal. 7599-7502; Muhammad Abid Abdullah Al-
Kabisi (2004). Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman &
Rekan KMCP. (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika & IIMaN), hal. 153.
2
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
d. Pemilik sah harta benda wakaf.
1. Wakaf masjid,
2. Wakaf bila diputuskan oleh hakim,
3. Bila benda wakaf dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf
wasiat.3
Selain Abu Hanifah, Imam Malik juga berpendapat sama bahwa harta
wakaf masih milik si wakif. Pendapat inilah yang mempengaruhinya hingga ada
pembedaan antara wakaf muabbad dan wakaf muaqqat. Bila muabbad
kepemilikan putus, maka muaqat kepemilikan masih pada wakif.4 Berdasarkan
hadis Umar, Imam Malik memandang bahwa tidak ada indikasi dari hadis tersebut
yang menyuruh wakaf untuk selamanya, sehingga Imam Malik memunculkan
pembagian tersebut. Selain dua pendapat tersebut hampir semua sepakat terhadap
3
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press,
1988), hal. 84
4
Muh. Sudirman Sesse, Wakaf Dalam Perspektif Fikhi dan Hukum Nasional, Jurnal
Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 2, Juli 2010, hal. 147
3
putusnya kepemilikan antara harta wakaf dengan wakif dan berpindahnya
kepemilikan menjadi milik Allah. Syafi’i menyamakan wakaf dengan al-‘itq
(pemerdekaan budak). Budak adalah milik tuannya, tetapi bila ia sudah merdeka,
ia menjadi milik Allah.5
5
Muh. Sudirman Sesse, loc.cit.
6
Tuti A. Najib & Ridwan al-Makassary (ed.) (2006). Wakaf, Tuhan dan Agenda
Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Sosial di Indonesia. (Jakarta: CRCS UIN
Syahid), hal. 39.
4
bergerak harus melekat dengan harta tak bergerak seperti wakaf alat pertanian
terkait dengan sawah, dan sebagainya.7
Hal yang menarik lagi adalah perubahan peruntukan. Jika suatu ketika
benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya atau sudah berkurang manfaatnya,
kecuali ada perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah
bentuk asal, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain,
bolehkan perubahan itu dilakukan terhadap benda wakaf tersebut? Ternyata dalam
hal tersebut para ulama fiqh berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat
bahwa kalau benda wakaf sudah tidak berfungsi (tidak dapat dipergunakan) atau
kurang berfungsi, maka benda tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diganti/
tukar, tidak boleh dipindahkan, tapi benda tersebut dibiarkan tetap dalam
keadaannya. Pendapat ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syafi’i dan
Malik. Alasannya adalah hadis riwayat Ibn Umar, yang tersurat bahwa benda
wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Perubahanstatus,
penggantian benda dan tujuan wakaf, sangat ketat pengaturannya dalam madzhab
Syafi’i. namun demikian, berdasarkan keadan darurat dan prinsip mashlahah,
dikalangan para ulama fiqh perubahan itu dalam dilakukan. Ini disandarkan pada
pandangan agar manfaat wakaf itu tetap terus berlangsung sebagai sadaqah
jariyah, tidak mubadzir karena rusak, tidak berfungsi lagi dan sebagainya.8
7
Mohammad Daud Ali (1988). Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. (Jakarta: UI
Press), hal.. 93
8
Muh. Sudirman Sesse, op.cit, hal: 149.
5
semaksimal mungkin sehingga mendapatkan kemaslahatan atau keuntungan bagi
orang banyak.9
Harta yang diwakafkan (mauquf bih) merupakan hal yang sangat penting
dalam perwakafan. Namun demikian harta yang diwkafkan tersebut baru sah
sebagai harta wakaf, kalau benda tersebut memenuhi syarat. Adapun syarat-syarat
itu antara lain adalah sebagai berikut:10
3. Milik wakif Harta yang diwakafkan itu harus benar-benar kepunyaan wakif
secara sempurna, artinya bebas dari segala beban.
a. Uang.
b. Logam mulia.
c. Surat berharga.
9
Aden Rosadi, op. cit, hal. 124
10
Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Papas Sinanti, 2005), hal.
112.
6
d. Kendaraan.
e. Hak atas kekayaan intelektual.
f. Hak sewa.
g. Benda bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariat dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
11
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, alih bahasa Drs. Mudzakir AS, cet. Ke 1, Bandung: Al
Ma’arif, 1987, XIV, hal. 378.
7
a. Sarana dan kegiatan ibadah
b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim, beasiswa
d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.
Mauqul ‘alaih dalam literatur fiqh kadang diartikan orang yang diserahi
mengelola harta wakaf, yang sering disebut nadzir, kadang juga diartikan
peruntukan harta wakaf. Bila diartikan mauquf ‘alaih sebagai nadzir, dalam
literatur fiqh kurang mendapat porsi pembahasan yang detail oleh para ahli fiqh
yang terpenting adalah keberadaan mauquf ‘alaih mampu mewujudkan
peruntukan benda wakaf (makna lain dari mauqul ‘alaih). Hal ini terpengaruh
oleh unsur tabarru’ (kebaikan) yang meliputi peruntukan ibadah dan sosial
(umum) kecuali yang bertentangan dengan Islam (ideologi) dan maksiat.
Pengaruh lain adalah karena pemahaman bahwa wakaf termasuk akad sepihak
yang tidak membutuhkan adanya qabul dan salah satu pendapat boleh hukumnya
wakaf kepada diri sendiri.
1. Peruntukan objek wakaf yang diamanatkan kepada nadzir tidak berupa ibadah
bagi muslim, seperti wakaf Qur’an kepada nadzir kafir dzimmi.
12
Aden Rosadi, op. cit, hal. 125.
13
Muh. Sudirman Sesse, op.cit, hal. 148.
8
2. Manfaat benda wakaf oleh nadzir tidak untuk kepentingan keyakinan si kafir
dzimmi seperti wakaf untuk pembangunan gereja yang difasilitasi oleh nadzir
kafir dzimmi.
Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara – yandzuru – nadzran
yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun
nadzir adalah isim fa‟il dari kata nadzara yang kemudian dapat diartikan dalam
bahasa Indonesia dengan pengawas atau penjaga. Sedangkan nadzir wakaf atau
bisa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf.
Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang
atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus badan
wakaf.14
Dalam kitab fiqih masalah nadzir dibahas dengan judul al-Wilayat ‘ala al
waqf artinya penguasaan terhadap wakaf atau pengawasan terhadap wakaf. Orang
yang diserahi atau diberi kekuasaan atau diberi tugas untuk mengawasi harta
wakaf itulah yang disebut nadzir atau mutawalli. Dengan demikian nadzir berarti
orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya,
memeliharanya, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak
menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu
tumbuh dengan baik dan kekal.
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo persada, 1998), hal. 498
.
15
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar
Media, 2005, hlm. 90
9
1. WNI.
2. Islam.
3. Dewasa.
4. Sehat jasmani dan rohani.
Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, wakif bisa menunjuk orang lain
yang mempunyai hubungan kerabat dengannya agar terjalin keserasian dengan
prinsip hak pengawasan. Bila orang yang mempunyai hubungan dengan wakif
tidak ada, diperbolehkan menunjuk orang lain. Dalam pasal 11 Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, tugas seorang nazir meliputi:
Nazir bisa diberhentikan dan diganti dengan nazir lain bila yang
bersangkutan:
10
5. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Sighat atau ikrar wakaf yakni pernyataan wakif yang merupakan tanda
penyerahan barang atau benda yang diwakafkan. Sighat sebagai salah satu rukun
wakaf disepakati oleh Jumhur Ulama.16
Dalam hal ini perbedaan yang muncul adalah bentuk pernyataan apakah
lisan, kinayah atau tindakan. Sementara dalam hal akad wakaf, semua madzhab
menyatakan bahwa wakaf adalah akad tabarru’ yaitu transaksi sepihak yang sah
sebagai suatu akad yang tidak memerlukan kabul dari pihak penerima dan
dicukupkan dengan ijab si wakif. Akad tidaklah menjadi syarat dalam akad wakaf.
Definisi akad disini adalah suatu bentuk perbuatan hukum (tasharruf) yang
mengakibatkan adanya kemestian penataan kepada apa yang dinyatakan dari
kehendak perbuatan hukum itu oleh pihak yang berkepentingan, kendatipun
pernyataan itu dari sepihak saja. Akad dalam pengertian kesepakatan dari dua
belah pihak yang berkehendak melakukan suatu perikatan digambarkan dengan
ijab dan qabul seperti yang terjadi dalam jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya, sehingga tidaklah berlaku dalam pengertian akad wakaf.17
16
Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinanti, 2005, hlm.
114.
17
Muh. Sudirman Sesse, op.cit, hal. 149.
11
menjadi tujuan wakaf. Karena itu, harta wakaf tidak bisa dihibahkan,
diperjualbelikan, atau diwariskan.
Secara teknis, akad wakaf diatur dalam Pasal 1 ayat 1 PP No. 28 Tahun
1977 jo. Pasal 218 KHI:
18
Aden Rosadi, op. cit, hal. 126.
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wakif, atau pihak yang mewakafkan hartanya, bisa perseorangan, badan
hukum, maupun organisasi. Jika perseorangan, ia boleh saja bukan muslim karena
tujuan disyariatkannya wakaf adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
orang non muslim tidak dilarang berbuat kebajikan. Menurut sebagian ulama,
seorang wakif harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Suatu perwakafan sah dan
dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan
tabarru’ yaitu melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan materiil.
Artinya mereka telah dewasa (baligh) dalam fikih islam dikenal dua pengertian
yaitu baligh dan rasyid, pada istilah baligh dititikberatkan pada umur sedangkan
rasyid pada kematangan jiwa atau kematangan akalnya. Walaupun sudah cukup
umur tetapi kalau belum mempunyai kecakapan bertindak atau mandiri masih
belum dianggap dewasa.
13
Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara – yandzuru – nadzran
yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun
nadzir adalah isim fa‟il dari kata nadzara yang kemudian dapat diartikan dalam
bahasa Indonesia dengan pengawas atau penjaga. Sedangkan nadzir wakaf atau
bisa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf.
Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang
atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus badan
wakaf.
Sighat atau ikrar wakaf yakni pernyataan wakif yang merupakan tanda
penyerahan barang atau benda yang diwakafkan. Sighat sebagai salah satu rukun
wakaf disepakati oleh Jumhur Ulama.
14
DAFTAR PUSTAKA
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI
Press, 1988).
Muh. Sudirman Sesse, Wakaf Dalam Perspektif Fikhi dan Hukum Nasional,
Jurnal Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 2, Juli 2010.
Tuti A. Najib & Ridwan al-Makassary (ed.) (2006). Wakaf, Tuhan dan Agenda
Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Sosial di Indonesia. (Jakarta:
CRCS UIN Syahid).
Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Papas Sinanti,
2005).
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, alih bahasa Drs. Mudzakir AS, cet. Ke 1, Bandung: Al
Ma’arif, 1987, XIV.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo persada, 1998),
hal.
Farida Prihatini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinanti,
2005, hlm. 114.
15