Anda di halaman 1dari 20

PUTUSAN GUGUR, VERSTEK, LITIGASI DAN

MEDIASI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata di
Indonesia
Dosen pembimbing: Mukhlis Pulungan, S.Ag., M.E.I

Oleh : Kelompok 3
1. Ilham Romadhona (2002050030)
2. Yulfiza Khomsi (2002050051)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR
AL ULUUM ASAHAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya, atas
anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “Putusan Gugur, Verstek,
Litigasi dan Mediasi
”.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Asahan, 26 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PEMBAHASAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Putusan Gugur..............................................................................................2

B. Putusan Verstek............................................................................................6

C. Litigasi dan Mediasi.....................................................................................9

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir,
meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan.

Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 HIR, “jika penggugat datang
tidak datang menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu,
meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain
menghadap mewakilinya maka surat gugatannya dianggap gugur dan penggugat
dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukan gugatannya
sekali lagi, sesudah membayar biaya perkara yang tersebut tadi”. Putusan verstek
atau in absentia adalah putusan tidak hadirnya tergugat dalam suatu perkara
setelah dipanggil oleh pengadilan dengan patut tidak pernah hadir dalam
persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau kuasa hukumnya untuk
menghadiri dalam persidangan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan putusan gugur, putusan verstek, mediasi
dan litigasi?
2. Apa dasar hukum putusan gugur, putusan verstek, mediasi dan litigasi?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Putusan gugur

Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa


gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir,
meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan.

Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 HIR, “jika penggugat datang
tidak datang menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu,
meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain
menghadap mewakilinya maka surat gugatannya dianggap gugur dan penggugat
dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukan gugatannya
sekali lagi, sesudah membayar biaya perkara yang tersebut tadi”.

Syarat pengguguran gugatan harus dipenuhi sebagai berikut:

1. Penggugat telah dipanggil secara patut. Dipanggil oleh jurusita secara resmi
untuk menghadap pada hari dan tanggal sidang yang telah ditentukan. Maksimal 3
(tiga) hari sebelum sidang. Penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah
(unreasonable default). Penggugat tidak hadir atau tidak menghadap persidangan
yang ditentukan tanpa alasan yang sah, dan juga tidak menyuruh kuasa atau orang
lain untuk mewakilinya.

2. Rasio pengguguran gugatan sebagai hukuman kepada penggugat Pengguguran


gugatan oleh hakim, merupakan hukuman kepada penggugat atas
kelalaian/keingkarannya menghadiri atau menghadap di persidangan.
Membebaskan tergugat dari kesewenangan. Apabila membolehkan penggugat
berlarut-larut secara berlanjut ingkar menghadiri sidang yang mengakibatkan
persidangan mengalami jalan buntu. Disisi lain tergugat dengan patuh terus-
menerus datang menghadirinya sedangkan persidangan gagal disebabkan
penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah.

2
Dalam HIR memang tidak diatur mengenai pencabutan gugatan. Salah
satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses berperkara di depan
pengadilan adalah pencabutan gugatan. Pihak penggugat mencabut gugatan
sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Alasan pencabutan
bervariasi, bisa disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dasar dalil
gugatan tidak kuat atau barangkali dalil gugatan bertentangan dengan hukum.1

Pencabutan merupakan hak penggugat, halnya dengan pengajuan gugatan,


pencabutan gugatan juga merupakan hak penggugat. Di satu sisi, hukum
memberikan hak kepadanya untuk mengajukan gugatan apabila hak dan
kepentingannya dirugikan. Di sisi lain, hukum juga memberikan hak kepadanya
untuk mencabut gugatan apabila dianggapnya hak dan kepentingannya tidak
dirugikan. Sistem pencabutan gugatan yang dianggap memberi keseimbangan
kepada penggugat dan tergugat, bahwa pencabutan mutlak hak penggugat selama
pemeriksaan belum berlangsung di dalam Pasal 127 Rv.

Penggugat dapat mencabut perkaranya dengan syarat asalkan hal itu


dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawaban. Penyampaian jawaban
dalam proses pemeriksaan perdata berlangsung pada tahap sidang pertama atau
kedua atau berikutnya apabila pada sidang yang lalu diundur tanpa menyampaikan
jawaban dari pihak tergugat. Dalam hal yang seperti ini, meskipun para pihak
telah hadir di persidangan, dianggap pemeriksaan belum berlangsung selama
tergugat belum menyampaikan jawaban. Dalam keadaan yang demikian, hukum
memberi hak penuh kepada penggugat mencabut gugatan tanpa persetujuan pihak
tergugat. Dalam tahap proses yang seperti ini, pencabutan gugatan benar mutlak
menjadi hak penuh penggugat. Akan tetapi, perluasan hak itu dapat meningkat
sampai tahap selama tergugat belum mengajukan jawaban, penggugat mutlak
berhak mencabut gugatan. Pendirian ini selain berpedoman kepada Pasal 271 Rv,
juga didukung praktek peradilan antara lain dapat dikemukakan salah satu putusan
MA, yang menegaskan selama proses pemeriksaan perkara dipersidangan belum
berlangsung, penggugat berhak mencabut gugatan tanpa persetujuan tergugat.
1
R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Cet. 3, Binacipta, Bandung Djazuli Bachar,
S.H., Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, hal: 60.

3
Setelah proses pemeriksaan berlangsung, pencabutan masih boleh dilakukan,
dengan syarat harus ada persetujuan pihak tergugat.

Pencabutan menurut Pasal 272 Rv dilakukan oleh penggugat sendiri secara


pribadi. Hal ini karena penggugat sendiri yang paling berhak melakukan
pencabutan karena dia sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannya
dalam kasus perkara yang bersangkutan. Pencabutan dapat juga dilakukan oleh
kuasa yang ditunjuk oleh penggugat berdasarkan surat kuasa khusus yang
tetapkan dalam Pasal 123 HIR yang didalamnya dengan tegas diberi penugasan
untuk mencabut atau dapat juga dituangkan dalam surat kuasa tersendiri yang
secara khusus memberi penegasan untuk melakukan pencabutan gugatan.
Pencabutan gugatan yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang pencabutan
dilakukan pada sidang, apabila perkara telah diperiksa, minimal pihak tergugat
telah menyampaikan jawaban: pencabutan mutlak harus dilakukan dan
disampaikan penggugat pada sidang pengadilan. Penyampaian pencabutan
dilakukan pada sidang yang dihadiri tergugat. Kalau begitu pencabutan hanya
dapat dilakukan dan dibenarkan pada sidang pengadilan yang memenuhi syarat
contradictoir, yaitu harus dihadiri para pihak. Tidak dibenarkan pencabutan dalam
persidangan secara ex parte (tanpa dihadiri tergugat). Jika pemeriksaan perkara
sudah berlangsung, pencabutan harus mendapat persetujuan tergugat.2

Oleh karena itu, jika ada pengajuan pencabutan gugatan disidang


pengadilan, proses yang harus ditempuh majelis untuk menyelesaikannya adalah
sebagai berikut: Majelis menanyakan pendapat tergugat, tergugat menolak
pencabutan (maka majelis hakim harus tunduk atas penolakan tersebut, majelis
hakim harus menyampaikan pernyataan dalam sidang bahwa pemeriksaan harus
dilanjutkan, memerintahkan panitera untuk mencatat penolakan tersebut dalam
berita acara). Tergugat menyetujui pencabutan, majelis hakim menerbitkan
putusan/ penetapan pencabutan. Maka putusan tersebut bersifat final dalam arti
sengketa antara penggugat dan tergugat berakhir. Majelis memerintahkan
pencoretan perkara dari register atas alasan pencabutan. Akibat hukum

2
Yulis, Hukum Acara Perdata, (UnimalPress, 2018), hal: 30-35.

4
pencabutan Pasal 272 Rv, pencabutan gugatan bersifat final mengakhiri perkara.
Tidak menjadi soal apabila pencabutan tersebut dilakukan sebelum proses
pemeriksaan. Walaupun pencabutan tersebut bercorak ex parte karena dilakukan
tanpa persetujuan tergugat, pencabutan tersebut tetap bersifat final. Tertutup
segala upaya hukum bagi para pihak putusan pencabutan gugatan adalah bersifat
final dan analog dengan putusan perdamaian.

Kalau Gugatan di cabut sebelum tergugat memberikan jawabannya maka


penggugat boleh mengajukan lagi gugatannya yang telah di cabut. Akan tetapi
jikalau pencabutan Gugatan dilakukan sesudah tergugat memberikan jawabannya
maka dianggap bahwa Penggugat telah melepaskan haknya sehingga tidak boleh
mengajukannya lagi gugatan tersebut dalam perkara yang sama.3

Berdasarkan Pasal 150 RBg/Pasal 126 HIR, maka masih memberi


kelonggaran kepada Majelis Hakim untuk tidak menjatuhkan putusan pada
persidangan pertama, dan untuk memerintahkan juru sita untuk memanggil
penggugat sekali lagi untuk hadir dan juga memanggil pihak yang sebelumnya
telah hadir (tergugat) untuk menghadap lagi pada hari persidangan berikutnya
yang telah ditetapkan untuk itu. Setelah penggugat dipanggil kedua kalinya, dan
ternyata penggugat tidak hadir pula pada persidangan yang telah ditetapkan
tersebut, hakim akan menjatuhkan putusan menggugurkan gugatan penggugat dan
menghukum tergugat membayar biaya perkara. Dalam putusan yang
menggugurkan gugatan penggugat, pokok perkaranya tidak dipertimbangkan oleh
majelis hakim, karena memang pemeriksaan perkara sesungguhnya belum
dilakukan. Sebagai catatan perlu diperhatikan, bahwa apabila penggugat hadir
dalam persidangan pertama namun tidak hadir dalam persidangan-persidangan
berikutnya, maka perkaranya akan diperiksa dan diputus secara contradictoir.4

Konsekuensi hukum yang harus ditegakkan adalah: Putusan pencabutan


gugatan mengikat (binding) sebagaimana putusan yang telah berkekuatan hukum

3
Laila dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata, (UnimalPress, 2015),
hal: 38-39.
4
Endang Hadrian dan Lukaman Hakim, Hukum Acara Perdata Di Indonesia:
Permasalahan Eksekusi dan Mediasi, (Yogyakarta: Depublish, 2020), hal: 27.

5
tetap. Tertutup bagi para pihak untuk mengajukan segala bentuk upaya hukum.
Pengajuan kembali gugatan yang telah dicabut di dalam Pasal 124 HIR masih
tetap memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan kembali gugatan yang
digugurkan sebagai perkara baru, dengan syarat dibebani membayar biaya
perkara. Gugatan yang dicabut tanpa persetujuan tergugat dapat diajukan kembali.
Gugatan yang dicabut atas persetujuan tergugat tidak dapat diajukan kembali.5

B. Putusan Verstek

Putusan verstek atau in absentia adalah putusan tidak hadirnya tergugat


dalam suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan patut tidak pernah
hadir dalam persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau kuasa hukumnya
untuk menghadiri dalam persidangan. Istilah verstek dikenal juga dengan hukum
acara tanpa hadir/ acara luar hadir/ verstek procedure. Verstekvonnis sebagai
putusannya yaitu putusan tanpa hadirnya tergugat.

Sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 149 RBg/Ps. 125 HIR
ditentukan: “Bila pada hari yang telah ditentukan tergugat tidak datang meskipun
sudah dipanggil dengan sepatutnya, dan juga tidak mengirimkan wakilnya, maka
gugatan dikabulkan tanpa kehadirannya (verstek) kecuali bila ternyata menurut
pengadilan negeri itu, gugatannya tidak mempunyai dasar hukum atau tidak
beralasan”.6

Syarat acara verstek dalam Pasal 125 ayat (1) HIR bahwa tergugat telah
dipanggil dengan sah dan patut. Dilakukan oleh juru sita dalam bentuk surat
tertulis, dan disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau disampaikan
pada kepala desa bila yang bersangkutan tidak diketemukan di tempat kediaman.
Surat panggilan harus sudah diterima maksimal 3 (tiga) hari sebelum hari sidang
yang telah ditentukan. Tidak hadir tanpa alasan yang sah tergugat tidak hadir pada
hari perkara itu diperiksa, tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa yang
bertindak mewakilinya padahal tergugat telah dipanggil secara patut tetapi tidak
5
Yulis, op.cit, Hal: 36.
6
Ibid, hal: 28.

6
menghiraukan dan menaati penggilan tanpa alasan yang sah, dalam kasus seperti
ini hakim dapat dan berwenang menjatuhkan putusan verstek yaitu putusan diluar
hadirnya tergugat.

Berdasarkan Pasal 125 ayat (1) jo Pasal 121 HIR hukum acara memberi
hak kepada tergugat mengajukan eksepsi kompetensi (exceptie van onbevoegheid)
baik kompetensi absolut (Pasal 134 HIR) atau kompetensi relatif (Pasal 133 HIR).
Jika tergugat tidak mengajukan eksepsi seperti itu dan tergugat juga tidak
memenuhi panggilan sidang berdasarkan alasan yang sah maka hakim dapat
langsung menyelesaikan perkara berdasarkan acara verstek. Sebaliknya, meskipun
tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah tetapi dia menyampaikan jawaban
tertulis yang berisi eksepsi kompetensi yang menyatakan pengadilan negeri tidak
berwenang menghadiri perkara secara absolut dan relative, maka, hakim tidak
boleh langsung menerapkan acara verstek meskipun tergugat tidak hadir
memenuhi panggilan. Dengan adanya eksepsi tersebut, tidak perlu dipersoalkan
alasan ketidakhadiran, karena eksepsi menjadi dasar alasan ketidakhadiran. Jika
tergugat mengajukan eksepsi kompetensi, proses pemeriksaan yang harus
dilakukan hakim menurut Pasal 125 ayat (2) HIR, yaitu wajib lebih dahulu
memutus eksepsi, yaitu bila eksepsi dikabulkan maka pemeriksaan berhenti. Bila
eksepsi ditolak maka dilanjutkan dengan acara verstek.

Penerapan acara verstek tidak imperatif, ketidakhadiran tergugat pada


sidang pertama langsung memberi wewenang kepada hakim untuk menjatuhkan
putusan verstek. Jika tergugat telah dipanggil secara patut namun tidak datang
menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah, hakim langsung dapat
menerapkan acara verstek, dengan jalan menjatuhkan putusan verstek.
Mengundurkan sidang dan memanggil tergugat sekali lagi jika hakim tidak
langsung menjatuhkan putusan verstek pada sidang pertama, maka hakim
memerintahkan pengunduran sidang. Bersamaan dengan itu, memerintahkan juru
sita memanggil tergugat untuk kedua kalinya supaya datang pada tanggal yang
ditentukan. Batas waktu toleransi pengunduran hanya sampai 3 (tiga) kali saja,
apabila pengunduran dan pemanggilan sudah sampai 3 (tiga) kali tetapi tergugat

7
tidak datang menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, maka hakim wajib
menjatuhkan putusan verstek. Penerapan verstek apabila tergugat lebih dari satu.
Di dalam Pasal 127 HIR, jika pada sidang pertama semua tergugat tidak hadir,
langsung dapat diterapkan acara verstek.

Jika seluruh tergugat tidak hadir menghadap dipersidangan tanpa alasan


yang sah meskipun mereka telah dipanggil dengan patut, pengadilan negeri atau
hakim dapat melakukan tindakan alternatif, yaitu: dapat langsung menerapkan
acara verstek dengan jalan menjatuhkan putusan verstek. Tidak menjatuhkan
putusan verstek tetapi memerintahkan pengunduran sidang dan memanggil para
tergugat sekali lagi. Pada sidang berikutnya semua tergugat tetap tidak hadir,
dapat diterapkan acara verstek. Pasal 125 ayat (1) jo. Pasal 126 dan Pasal 127 HIR
memberikan pilihan bagi hakim melakukan tindakan menerapkan acara verstek
dengan jalan menjatuhkan putusan verstek. Mengundurkan persidangan sekali lagi
dan memerintahkan juru sita memanggil para tergugat untuk yang ke tiga kalinya
(terakhir). Jika pengunduran dan pemanggilan sudah berlanjut untuk yang ke tiga
kalinya, tetapi para tergugat tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka Hakim
wajib menerapkan acara verstek dengan jalan menjatuhkan putusan verstek.
Dalam kasus seperti itu, tidak layak dan tidak beralasan lagi mengundurkan
persidangan untuk yang ke empat kalinya. Salah seorang tergugat tidak hadir,
sidang wajib diundurkan.

Menurut Pasal 127 HIR, harus ditegakkan tata cara: secara imperatif,
pemeriksaan diundurkan persidangan ke hari lain; Memerintahkan untuk
memanggil tergugat yang tidak hadir, agar hadir pada sidang berikutnya.
Sedangkan kepada tergugat yang hadir, pengunduran cukup diberitahukan pada
persidangan itu. Tidak boleh memeriksa tergugat yang hadir dan tidak boleh
menjatuhkan verstek kepada yang tidak hadir. Hakim dilarang/tidak
diperbolehkan untuk memeriksa para tergugat yang hadir, yang harus dilakukan
hakim adalah mengudurkan sidang, memanggil sekali lagi tergugat yang tidak
hadir. Hakim juga tidak boleh menerapkan acara verstek kepada tergugat yang
tidak hadir; tetap tidak hadir pada sidang berikutnya, proses pemeriksaan

8
dilangsungkan secara contradictoir; melangsungkan proses pemeriksaan terhadap
para tergugat yang hadir dengan penggugat secara kontradiktor atau exceptie van
onbevoegheid. Sedangkan terhadap tergugat yang tidak hadir pemeriksaan berlaku
baginya tanpa bantahan terhadap dalil penggugat, yang berakibat tergugat tersebut
dianggap mengakui dalil penggugat. Akan tetapi, meskipun proses pemeriksaan
dianggap berlaku kepada tergugat yang tidak hadir. Hakim wajib memerintahkan
untuk memanggilnya pada sidang berikutnya. Pada sidang berikutnya, kepadanya
terbuka kesempatan mengajukan bantahan apabila dia menghadiri persidangan.
Salah seorang atau semua tergugat yang hadir pada sidang pertama, tidak hadir
pada sidang berikutnya, tetapi tergugat yang dahulu tidak hadir, sekarang hadir.

C.Litigasi dan Mediasi

Litigasi

Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada yang memberikan definisi


mengenai litigasi, namun dapat dilihat di dalam Pasal 6 ayat 1 UU 30/1999
tentang Arbitrase yang pada intinya mengatakan bahwa sengketa dalam bidang
perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa
yang dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di Pengadilan Negeri.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa litigasi merupakan proses


menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan yang mana setiap pihak
bersengketa memiliki hak dan kewajiban yang sama baik untuk mengajukan
gugatan maupun membantah gugatan melalui jawaban. Penyelesaian sengketa
secara litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui Lembaga
pengadilan. Menurut Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya yang
berjudul Hukum Penyelesaian Sengketa mengatakan bahwa litigasi merupakan
penyelesaian sengketa secara konvensional dalam dunia bisnis seperti dalam
bidang perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi,

9
infrastruktur, dan sebagainya.7 Litigasi merupakan suatu istilah dalam hukum
mengenai penyelesaian suatu sengketa yang dihadapi melalui jalur pengadilan.
Proses tersebut melibatkan pembeberan informasi dan bukti terkait atas sengketa
yang dipersidangkan. Gunanya untuk menghindari permasalahan yang tak terduga
di kemudian hari. Masalah sengketa tersebut diselesaikan di bawah naungan
kehakiman. Dalam UUD 1945 pasal 22 disebutkan bahwa sistem kehakiman di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya

Proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain.
Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum
remidium) setelah upaya-upaya alternatif penyelesaian sengketa tidak
membuahkan hasil.

Penyelesaian sengketa melalui litigasi memiliki kelebihan dan kekurangan.


Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu keputusan
yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama
karena menghasilkan suatu putusan win-lose solution. Sehingga pasti akan ada
pihak yang menang pihak satunya akan kalah, akibatnya ada yang merasa puas
dan ada yang tidak sehingga dapat menimbulkan suatu persoalan baru di antara
para pihak yang bersengketa. Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang
lambat, waktu yang lama dan biaya yang tidak tentu sehingga dapat relative lebih
mahal. Proses yang lama tersebut selain karena banyaknya perkara yang harus
diselesaikan tidak sebanding dengan jumlah pegawai dalam pengadilan, juga
karena terdapat tingkatan upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak
sebagaimana dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia
yaitu mulai tingkat pertama di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi,
Kasasi di Mahkamah Agung dan yang terakhir Peninjauan Kembali sebagai upaya
hukum terakhir. Sehingga tidak tercapai asas pengadilan cepat, sederhana dan
biaya ringan.8
7
Yessi Nadia, Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi (Tinjauan Terhadap
Mediasi dalam Pengadilan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
academia, diakses tanggal 26 Februari 2019.
8
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Jakart: Sinar Grafika, 2012), hal: 1 dan 2.

10
.

Badan-badan peradilan tersebut antara lain peradilan umum, peradilan


agama, peradilan tata usaha negara, peradilan militer dan mahkamah konstitusi.

Penyelesaian sengketa melalui litigasi ada bermacam-macam jenisnya.


Jenis kasus litigasi seperti:

1. Mengenai pembebasan lahan


2. Perbankan
3. Sengketa keperdataan
4. Kejahatan perusahaan (fraud)
5. Penyelesaian atas tuduhan palsu atau perebutan hak asuh anak (difasilitasi
oleh pengadilan agama).

Mediasi

Mediasi atau perdamaian adalah suatu persetujuan di mana kedua belah


pihak dengan menyerahkan, manjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara,
dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis.
Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara
hadir dalam persidangan, maka ketua majelis hakim berusaha mendamaikan
pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai perdamaian, maka pada
hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah
pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan
perdamaian yang dibuat di muka persidangan itu mempunyai kekuatan hukum
tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap putusan perdamaian ini tidak
dapat diajukan banding ke pengadilan tingkat banding.

Ketentuan dalam Pasal 154 RBg/Pasal 130 HIR antara lain menentukan:9

9
Endang Hadrian dan Lukaman Hakim, op.cit, hal: 30.

11
1. Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka
pengadilan negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya.

2. Bila dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga dibuatkan suatu
akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat, dan akta
itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.

3. Terhadap suatu keputusan tetap semacam itu tidak dapat diajukan banding.
Ketentuan ini mewajibkan majelis hakim sebelum memeriksa perkara perdata
harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang sedang bersengketa
tersebut. Peranan hakim dalam usaha menyelesaikan perkara tersebut secara
damai sangat penting. Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi
masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan
(justitiabelen).10 Apabila perdamaian tidak dapat dicapai, maka proses
pemeriksaan akan dilanjutkan dengan tahap jawab menjawab, pembuktian,
kesimpulan dan putusan pengadilan.

Persyaratan sahnya suatu perdamaian secara limitatif seperti yang termuat


dalam Pasal 1320, 1321, 1851-1864 KUH Perdata, yaitu:11

1. Perdamaian harus atas persetujuan kedua belah pihak. Unsur-unsur persetujuan


yakni adanya kata sepakat secara sukarela (toesteming), kedua belah pihak cakap
dalam membuat persetujuan (bekwamnied), objek persetujuan mengenai pokok
yang tertentu (bepaalde onderwerp), berdasarkan alasan yang diperbolehkan
(seorrlosofde oorzaak). Dengan demikian bahwa persetujuan-persetujuan tidak
boleh terdapat cacat pada setiap unsur esensialnya suatu persetujuan.

2. Perdamaian harus mengakhiri sengketa. Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg
mengatakan bahwa apabila perdamaian telah dapat dilaksanakan, maka dibuat
putusan perdamaian yang disebut dengan akta perdamaian. Akta yang dibuat ini
harus betul-betul dapat mengakhiri sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak
berperkara apabila tidak maka dianggap tidak memenuhi syarat formal, dianggap

10
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, (Bandung: Alumni, 1983), hlm: 31.
11
Yulis, op.cit, hal: 39-40.

12
tidak syah dan tidak mengikat para pihak-pihak yang berperkara. Putusan
perdamaian harus dibuat dalam persidangan majelis hakim, disinilah peran hakim
sangat dibutuhkan dalam akte perdamaian ini dapat diwujudkan.

3. Perdamaian harus atas dasar keadaan sengketa yang telah ada. Syarat untuk
dapat dasar suatu putusan perdamaian itu hendaklah atas dasar persengketaan para
pihak yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata
terwujud tapi baru akan diajukan ke pengadilan. Sehingga perdamaian itu dapat
mencegah gugatan atas perkara di pengadilan. Hal ini berarti bahwa perdamaian
itu dapat lahir dari suatu perdata yang belum diajukan ke pengadilan. Bentuk
perdamaian harus secara tertulis (akta perdamaian).

Dalam Pasal 1851 KUH Perdata disebutkan bahwa persetujuan


perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis dengan format yang telah
ditetapkan oleh ketentuan peraturan yang berlaku. Syarat ini sifatnya memaksa
(inferatif), dengan demikian tidak ada persetujuan perdamaian apabila
dilaksanakan secara lisan, meskipun dihadapan pejabat yang berwenang. Bentuk
perjanjian damai yang dapat diajukan ke depan sidang pengadilan dapat saja
dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta dibawah tangan. Adapun sifat akta
perdamaian dalam perkara perdata adalah:

1. Disamakan kekuatannya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap.


Menurut Pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan terhadapnya tidak dapat diajukan
banding maupun kasasi.

2. Keputusan perdamaian langsung mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht


van gewijsde). Dalam Pasal 1851 KUHPerdata menentukan bahwa semua putusan
perdamaian yang dibuat dalam sidang majelis hakim akan mempunyai kekuatan
hukum tetap seperti putusan pengadilan lainnya dalam tingkat penghabisan.
Putusan perdamaian itu tidak bisa dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai
hukum atau alasan salah satu pihak telah dirugikan oleh putusan perdamaian itu.
Dalam Pasal 130 ayat (2) HIR ditentukan pula bahwa jika perdamaian dapat
dicapai, maka pada waktu itupula dalam persidangan dibuat putusan perdamaian

13
dengan menghukum para pihak untuk mematuhi persetujuan damai yang telah
mereka buat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

14
Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir,
meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan. Putusan
gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat:

1. Penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang
hari itu.

2. Penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula
mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu
halangan yang sah.

3. Tergugat/termohon hadir dalam sidang.

4. Tergugat/termohon mohon keputusan. Dalam hal penggugat/pemohon lebih


dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur.

Dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya


perkara. Tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara
baru lagi.

Putusan verstek atau in absentia adalah putusan tidak hadirnya tergugat


dalam suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan patut tidak pernah
hadir dalam persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau kuasa hukumnya
untuk menghadiri dalam persidangan. Istilah verstek dikenal juga dengan hukum
acara tanpa hadir/ acara luar hadir/ verstek procedure. Verstekvonnis sebagai
putusannya yaitu putusan tanpa hadirnya tergugat.

Litigasi merupakan suatu istilah dalam hukum mengenai penyelesaian


suatu sengketa yang dihadapi melalui jalur pengadilan. Proses tersebut melibatkan
pembeberan informasi dan bukti terkait atas sengketa yang dipersidangkan.
Gunanya untuk menghindari permasalahan yang tak terduga di kemudian
hari. Masalah sengketa tersebut diselesaikan di bawah naungan kehakiman. Dalam
UUD 1945 pasal 22 disebutkan bahwa sistem kehakiman di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.

15
Mediasi atau perdamaian adalah suatu persetujuan di mana kedua belah
pihak dengan menyerahkan, manjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara,
dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis.
Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara
hadir dalam persidangan, maka ketua majelis hakim berusaha mendamaikan
pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai perdamaian, maka pada
hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah
pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu.

DAFTAR PUSTAKA

16
R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Cet. 3, Binacipta, Bandung Djazuli
Bachar, S.H., Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan
Hukum.

Yulis, Hukum Acara Perdata, (UnimalPress, 2018).

Laila dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata, (UnimalPress,


2015).

Endang Hadrian dan Lukaman Hakim, Hukum Acara Perdata Di Indonesia:


Permasalahan Eksekusi dan Mediasi, (Yogyakarta: Depublish, 2020).

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata


Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Alumni, 1983).

Yessi Nadia, Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi (Tinjauan Terhadap


Mediasi dalam Pengadilan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, academia, diakses tanggal 26 Februari 2019.

17

Anda mungkin juga menyukai