Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

HUKUM ACARA PERDATA


UPAYA HUKUM

Dosen Pengampu : Dr. Devianty Fitri, SH., M.Hum

OLEH

Aisyah Putri Alfais (2210111097) No. Absen : 10

Muhammad Ihsan (2210111104) No. Absen :11

Fauzi Fatria (2210112001) No. Absen : 12

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang

berjudul “Upaya Hukum” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Hukum Acara Perdata Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk

menambah wawasan tentang Upaya Hukum dalam hukum acara perdata bagi para

pembaca dan juga bagi penulis

Kami menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi

kesempurnaan makalah ini.

Padang,28 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A. Upaya Hukum Biasa ................................................................................. 3
B. Upaya Hukum Luar Biasa ...................................................................... 15
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 22
A. Kesimpulan ............................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada

seseorang ataupun badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan

hakim. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam upaya hukum, upaya

hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah

perlawanan terhadap putusan verstek , banding, dan kasasi. Pada asasnya,

upaya hukum ini menangguhkan eksekusi. Pengecualiannya adalah putusan

tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu.

Meskipun diajukan upaya biasa, namun eksekusi berjalan terus.

Berbeda dengan upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa sesuai

dengan asasnya tidak menangguhkan eksekusi. Yang termasuk dalam upaya

hukum luar biasa adalah perlawanan pihak ketiga terhadap sita ekskutorial dan

peninjauan kembali. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial baru

akan menangguhkan eksekusi yang bersangkutan, apabila dengan mudah dan

segera terlihat bahwa perlawanan yang diajukan tersebut benar-benar

beralasan, misalnya BPKB mobil atau sertifikat tanah yang akan dilelang

adalah jelas tertulis atas nama pihak ketiga. Perlawanan pihak ketiga diajukan

oleh orang yang semula bukan merupakan pihak dalam perkara yang

bersangkutan akan tetapi oleh karena ia adalah pemilik barang yang akan

dilelanag atau akan diserahkan kepada penggugat, maka barang itu adalah

miliknya dan bukan milik tergugat, maka ia mengajukan upaya hukum

tersebut.

1
Pihak ketiga harus membuktikan bahwa barang tersebut merupakan barang

miliknya dan apabila pembuktian pihak ketiga dianggap berhasil maka sita

akan diperintahkan untuk diangkat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang

akan dibahas sebagai berikut:

1. Apa itu upaya hukum biasa ?

2. Apa itu upaya hukum luar biasa ?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuannya adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui upaya hukum biasa

2. Mengetahui upaya hukum luar biasa

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dipergunakan bagi

putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap. Upaya hukum biasa

terdiri dari :

1. Perlawanan (Verzet)

Diatur dalam Pasal 129 ayat (1), Pasal 196, Pasal 197 HIR

Verzet adalah suatu upaya hukum terhadap suatu putusan di luar

hadirnya pihak Tergugat (disebut putusan verstek). Pasal 129 ayat

(1) HIR atau Pasal 83 Rv menegaskan: Tergugat yang sedang

dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima

putusan itu, dapat mengajukan perlawanan atas putusan itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut, upaya hukum yang dapat diajukan

terhadap putusan verstek adalah perlawanan (verzet).

Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang

telah dijatuhkan pengadilan tingkat pertama yang diajukan oleh

tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang

diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu juga.Pada

asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada

umum- nya) dikalahkan. Bagi penggugat yang dikalahkan dengan

putusan verstek tersedia upaya hukum banding. Jadi apabila

terhadap tergugat dijatuhkan putusan verstek, dan dia keberatan

3
atasnya, tergugat dapat mengajukan perlawanan (verzet), bukan

upaya banding. Terhadap putusan verstek, tertutup upaya banding,

oleh karena itu permohonan banding terhadapnya cacat formil,

dengan demikian tidak dapat diterima. Dalam Putusan Mahkamah

Agung ditegaskan bahwa permohonan banding yang diajukan

terhadap putusan verstek tidak dapat di terima, karena upaya

hukum terhadap verstek adalah verzet.

Perlawanan (verzet) dihubungkan dengan putusan verstek

mengandung arti bahwa tergugat berupaya melawan putusan

verstek atau tergugat mengajukan perlawanan terhadap putusan

verstek dengan tujuan agar putusan itu dilakukan pemeriksaan

ulang secara menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan

kontradiktor dengan permintaan agar putusan verstek dibatalkan

serta sekaligus meminta agar gugatan penggugat ditolak. Dengan

demikian, tujuan verzet memberi kesempatan kepada tergugat

untuk membela kepentingannya atas kelalaian menghadiri

persidangan di waktu yang lalu.

a. Syarat Acara Verzet

Menurut Pasal 129 ayat (1) dan Pasal 83 Rv yang berhak

mengajukan perlawanan hanya terbatas pihak tergugat saja, sedang

kepada penggugat tidak diberi hak mengajukan perlawanan, dalam

hal ini pihak tergugat tidak oleh pihak ketiga. Perluasan atas hak

yang dimiliki tergugat untuk mengajukan perlawanan meliputi ahli

4
warisnya apabila pada tenggang waktu pengajuan perlawanan

tergugat meninggal dunia, dan dapat diajukan kuasa. Tergugat yang

tidak hadir disebut pelawan dan penggugat yang hadir disebut

terlawan. Dalam praktik peradilan maka apabila tergugat yang

diputus dengan verstek mengajukan verzet maka kedua perkara

tersebut dijadikan satu dan dalam register diberi satu nomor

perkara. Penggugat yang diputus verstek, bisa mengajukan

banding, bila ia tidak diterima oleh karena gugatannya dinyatakan

tidak dapat diterima atau ditolak.

Bila penggugat yang diputus verstek banding, maka

tergugat yang tidak hadir, tidak bisa verzet. Tenggang waktu

mengajukan perlawanan (verzet) adalah 14 hari setelah

diberitahukan dan diterimanya putusan verstek oleh tergugat. Jika

putusan itu tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri, maka

perlawanan masih diterima sampai pada hari ke-8 sesudah

peneguran atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan

patut sampai pada hari ke-14, ke-8 sesudah dijalankan surat

perintah. Kemudian ketika perkara verzet disidangkan dan tergugat

dikalahkan dengan verstek lagi maka tergugat tidak dapat

mengajukan banding. Dalam praktik verzet ini harus diberitahukan

atau dinyatakan dengan tegas dan bila tidak maka pernyataan

verzet bersangkutan dinyatakan tidak dapat diterima.

b. Proses Pemeriksaan Verzet

5
1) Perlawanan diajukan kepada pengadilan Negeri

yang menjatuhkan putusan verstek. Syarat formil

permintaan perlawanan adalah diajukan oleh

tergugat sendiri atas kuasanya, disampaikan kepada

pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan

verstek sesuai batas tenggang waktu yang

ditentukan, dan perlawanan ditujukan kepada

putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain dari

pada penggugat semula.

2) Perlawanan terhadap verstek, bukan perkara baru.

Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisah dengan gugatan semula maka perlawanan

bukan perkara baru, akan tetapi merupakan

bantahan yang ditujukan kepada ketidak- benaran

dalil-dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek

yang dijatuhkan, keliru atau tidak benar.

Sedemikian eratnya kaitan perlawanan dengan

gugatan semula, menyebabkan komposisi pelawan

sama persis dengan tergugat asal dan terlawan

adalah penggugat asal.

3) Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah

kembali. Apabila diajukan verzet terhadap putusan

verstek maka dengan sendirinya putusan verstek

menjadi mentah kembali yaitu ekstensi- nya

6
dianggap tidak pernah ada sehingga putusan verstek

tidak dapat dieksekusi. Ekstensi putusan verstek

bersifat relatif dan mentah selama tenggang waktu

verzet masih belum terlampaui. Secara formil

putusan verstek memang ada, tetapi secara materiil,

belum memiliki kekuatan eksekutorial.

4) Pemeriksaan perlawanan dilakukan ter- hadap

materi verzet. Materi verzet adalah tanggapan

terhadap putusan verstek/dalil-dalil penggugat

asal.Verzet hanya mempermasalahkan alasan

ketidakhadiran tergugat menghadiri pengadilan.

Proses pemeriksaannya dengan acara biasa.

c. Putusan Verzet

Apabila dalam putusan penyelesaiansatu perkara

diterapkan acara verstek yang dibarengi dengan acara verzet

terhadap putusan verstek tersebut, Pengadilan Negeri akan

menerbitkan dua bentuk putusan: (a). Produk pertama,

putusan verstek sesuai dengan acara verstek, yang

digariskan pasal 125 ayat (1) HIR dan (b). Produk kedua,

putusan verzet berdasarkan acara verzet yang diatur Pasal

129 ayat (1) HIR. Kedua putusan itu, saling berkaitan

karena sama-sama bertitik tolak dari kasus yang sama.

Akan tetapi, keberadaannya masing-masing terpisah dan

berdiri sendiri. Secara teoritis, putusan verzet bersifat asesor

7
terhadap putusan verstek. Artinya putusan verzet

merupakan ikutan dari putusan verstek. Oleh karena itu,

putusan verzet tidak mungkin lahir, kalau putusan verstek

tidak ada. Bertitik tolak dari pendekatan asesor tersebut,

substansi pokok putusan verzet, tidak boleh menyimpang

dari permasalahan dalil pokok gugatan yang tertuang dalam

putusan verstek.

Pada sisi lain, ditinjau dari segi upaya hukum,

verzet menurut pasal 129 ayat (1) HIR merupakan upaya

perlawanan terhadap putusan verstek. Berarti putusan

verstek yang dijatuhkan pengadilan, merupakan koreksi

terhadap putusan verstek. Dengan begitu, jika tergugat

mengajukan verzet terhadap putusan verstek, Pengadilan

Negeri harus memeriksa dan menilai apakah putusan

verstek yang dijatuhkan sudah tepat atau tidak. Tepat atau

tidaknya putusan verstek tersebut, dinilai dan

dipertimbangkan Pengadilan Negeri dalam putusan verzet.

d. Bentuk Putusan Verzet

1) Perlawanan (Verzet) tidak dapat diterima.

Pertimbangan hakim untuk menjatuhkan

bentuk putusan demikian apabila tenggang waktu

mengajukan verzet yang ditentukan Pasal 129 ayat

(1) HIR telah dilampaui. Dalam kasus yang seperti

itu, gugur hak mengajukan verzet dengan akibat

8
hukum tergugat dianggap menerima putusan verstek

sekaligus tertutup hak tergugat mengajukan banding

dan kasasi, dengan demikian putusan verstek

memperoleh kekuatan hukum tetap. Bentuk putusan

yang menyatakan verzet tidak dapat diterima, harus

dicantumkan amar berisi penegasan menguatkan

putusan verstek, sehingga amarnya selengkapnya

berbunyi :

a) Menyatakan pelawan sebagai pelawan yang

tidak benar atau pelawan yang salah;

b) Menyatakan perlawanan (Verzet) dari

pelawan tidak dapat diterima;

c) Menguatkan putusan verstek.

2) Menolak perlawanan (verzet). Amar putusanya

selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

a) Menyatakan pelawan sebagai pelawan yang

tidak benar;

b) Menolak perlawanan pelawan;

c) Menguatkan putusan verstek.

3) Mengabulkan Perlawanan (Verzet).

Alasan hakim untuk mengabulkan

perlawanan tersebut karena Terlawan sebagai

penggugat asal, tidak mampu membuktikan dalil

9
gugatan. Sehingga amar putusan yang dijatuhkan

selengkap- nya berbunyi sebagai berikut:

a) Menyatakan sebagai pelawan yang benar;

b) Mengabulkan perlawanan pelawan;

c) Membatalkan putusan verstek;

d) Menolak gugatan terlawan;

2. Banding

Banding ialah upaya hukum yang dilakukan bilamana ada

salah satu pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan Pengadilan

tingkat pertama. Menurut Pasal 21 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman: “Terhadap putusan pengadilan

tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan

tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang

menentukan lain. Yang dimaksud dengan pengecualian itu

ditujukan pada perkara perdata yang tidak perlu dimintakan

banding, tetapi langsung kasasi ke MA, misalnya putusan

Pengadilan Niaga dalam Perkara Hak Kekayaan Intelektual

(HaKI), Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan

Perkara Kepailitan. Hakim tingkat pertama dan banding adalah

hakim fakta (judex facti) sehingga Hakim banding memeriksa

seluruh berkas perkara dimaksud.

a. Tenggang Waktu Mengajukan Banding

Tenggang waktu pernyataan meng- ajukan

banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila

10
para pihak hadir atau 14 hari setelah pemberitahuan

putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Dalam

praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah

Pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.

b. Prosedur Mengajukan Permohonan Banding

1) Diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di

mana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih

dahulu membayar lunas biaya permohonan banding.

2) Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau

lisan (Pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang

bersangkutan atau kuasanya.

3) Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte

banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya

permohonan banding dan ditandatangani oleh

Panitera dan Pembanding. Permohonan banding

tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara

Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.

4) Permohonan banding tersebut oleh Panitera

diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14

hari setelah permohonan banding diterima.

5) Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat

serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam

waktu 14 hari.

11
6) Walau tidak diharuskan Pembanding berhak

mengajukan Memori Banding sedangkan

Terbanding berhak mengaju- kan Kontra Memori

Banding, dan tidak ada jangka waktu pengajuannya

sepanjang perkara belum diputus oleh Pengadilan

Tinggi masih diperkenankan. (Putusan MA-RI No.

39 K/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).

7) Pencabutan permohonan banding tidak diatur

dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan

oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan

banding masih diperbolehkan.

3. Kasasi

Perkataan kasasi berasal dari perkataan perancis casser

yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga apabila

suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan bawahan itu

diterima oleh Mahkamah Agung, maka hal itu berarti, bahwa

putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena

dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.1

Kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk

menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh

putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi.2 Menurut Dr.

Wirjono Prodjodikoro SH., kasasi adalah satu tindakan mahkamah

agung sebagai pengawas tertinggi putusan-putusan pengadilan lain.

1
R. Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Alumni, Bandung, 1980. Hlm 1-2
2
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Fasco, Jakarta, 1958, Hlm 168-169

12
Pemeriksaan dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung

bukanlah pemeriksaan tingkat ketiga. Dalam tingkat kasasi, perkara

tidak menjadi mentah lagi, sehingga faktanya sudah dapat ditinjau

lagi. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi hanya meneliti soal

penerapan hukumnya saja, apakah putusan atau penetapan

pengadilan yang dimohonkan kasasi itu “melanggar hukum” atau

“tidak”

Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan

terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding,

kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan kasasi

hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Permohonan kasasi demi

kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena

jabatannya dalam perkara perdata. Permohonan kasasi ini hanya

dapat diajukan satu kali saja. Putusan kasasi demi kepentingan

hukum tidak boleh merugikan pihak yang berperkara.

Permohonan kasasi dapat diajukan secara tertulis atau lisan

melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus

perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah

putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan

kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari

tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan

oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah

menerima putusan. Setelah pemohon membayar biaya perkara,

Panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dan pada

13
hari yang sama juga membuat akta permohonan kasasi yang

dilampirkan pada berkas perkara. Selambat-lambatnya dalam

waktu tujuh hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera

memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu kepada

pihak lawan.

Setelah pemohon kasasi mengajukan permohonannya,

selanjutnya menjadi wajib baginya menyampaikan memori kasasi

yang memuat alasan-alasannya dalam kurun waktu empat belas

hari setelah permohonan yang dimaksus dicatat dalam buku daftar.

Apabila tenggang waktu untuk menyampaikan memori kasasi

tersebut lewat dan pemohon kasasi mengajukan memori kasasinya,

akibatnya permohonan kasasi tidak dapat diterima.

Apabila permohonan kasasi telah dicabut oleh pemohon,

maka pemohon tidak dapat dapat mengajukan permohonan kasasi

sekali lagi dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi

masih belum lampau.

14
B. Upaya Hukum Luar Biasa

1. Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)

Peraturan perundang-undangan tidak secara eksplisit

memberikan definisi mengenai perlawanan pihak ketiga atau

derden verzet. Namun, ketentuan yang mengatur tentang derden

verzet terdapat pada pasal-pasal berikut:

a. Pasal 195 ayat (6) H.I.R

Perlawanan terhadap keputusan, juga dari

orang lain yang menyatakan bahwa barang yang

disita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti

segala perselisihan tentang upaya paksa yang

diperintahkan oleh pengadilan negeri, yang dalam

daerah hukumnya terjadi penjalanan keputusan itu.

b. Pasal 206 ayat (6) RBG

Perlawanan, juga yang datang dari pihak

ketiga, berdasarkan hak milik yang diakui olehnya

yang disita untuk pelaksanaan putusan, juga semua

sengketa mengenai upaya-upaya paksa yang

diperintahkan, diadili oleh pengadilan negeri yang

mempunyai wilayah hukum di mana dilakukan

perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan keputusan

hakim.

c. Pasal 378 R.V

15
Pihak-pihak ketiga berhak melakukan

perlawanan terhadap suatu putusan yang merugikan

hak hak mereka, jika mereka secara pribadi atau

wakil mereka yang sah menurut hukum, atau pun

pihak yang mereka wakili tidak dipanggil di sidang

pengadilan, atau karena penggabungan perkara atau

campur tangan dalam perkara pernah menjadi pihak.

(KUHPerd. 383, 452, 833, 955, 1917; F. lo, 24; Rv.

279, 349, 382, 384.)

d. Pasal 380 R.V

Jika putusan yang demikian dijatuhkan

terhadap pihak ketiga dalam suatu persidangan dan

perlawanan terhadapnya dilakukan sesuai pasal yang

lain, maka hakim yang memeriksa perkara

berwenang jika untuk itu ada alasan-alasan

mengizinkan penundaan perkara itu sampai perkara

perlawanan diputus. (Rv. 248 dst., 384, 393)

Berdasarkan bunyi pasal-pasal tersebut, pada intinya derden verzet

merupakan perlawanan pihak ketiga terhadap putusan pengadilan

yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan merugikan

pihak ketiga.Terhadap hal tersebut, untuk bisa mendapatkan

keabsahan dalam upaya perlawanannya, terdapat beberapa syarat

yang perlu untuk digarisbawahi sebagaimana tercantum dalam

Pasal 1917 KUHPerdata, yaitu Perihal yang dituntut harus sama,

16
tuntutan didasarkan pada alasan yang sama dan harus diajukan oleh

pihak yang sama terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan

yang sama.

Derden Verzet juga diatur dalam pasal 379 R.V yang

berbunyi Perlawanan ini diperiksa hakim yang menjatuhkan

putusan itu. Perlawanan diajukan dengan suatu pemanggilan untuk

menghadap sidang terhadap semua pihak yang telah mendapat

keputusan dan peraturan umum mengenai cara berperkara berlaku

dalam perlawanan ini. (KUHPerd. 1967; Rv. 1, 99 dst., 384.).

Pasal tersebut kami interpretasikan bahwa hakim dalam

upaya hukum derden verzet adalah hakim yang menjatuhkan

putusan dalam perkara yang diajukan perlawanan tersebut.

Selanjutnya para pihak yang berperkara juga akan akan dipanggil

(termasuk pihak ketiga) untuk memberitahukan mengenai adanya

upaya hukum derden verzet. Hakim yang berwenang kemudian

akan melakukan pemeriksaan kembali terhadap alasan-alasan yang

dibenarkan dalam derden verzet.

Menurut Pasal 381 R.V, hakim yang memeriksa juga

memiliki hak untuk menunda pelaksanaan putusan (untuk perkara

yang diajukan perlawanan sampai perlawanan diputus), kecuali jika

ditentukan bahwa putusan tersebut sebelumnya telah diputus dalam

keadaan serta merta, atau putusan yang dapat dilaksanakan terlebih

dahulu meskipun terdapat upaya hukum selanjutnya. Hal ini

17
terdapat dalam Pasal 54 R.V dan SEMA 3/2000 yang secara khusus

mengatur syarat syarat putusan serta merta, yaitu :

a. Putusan didasarkan atas suatu dasar hak otentik;

b. Putusan didasarkan atas surat bawah tangan yang

diakui oleh para pihak;

c. Dalam hal telah ada penghukuman dengan

keputusan hakim yang mendahuluinya yang

terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan atau

tidak dapat dimintakan banding.

Apabila pengajuan derden verzet tersebut dikabulkan, maka sesuai

dengan Pasal 382 R.V putusan yang dilawan harus segera

diperbaiki terbatas pada hal-hal yang merugikan pihak ketiga,

kecuali terhadap putusan yang tidak dapat dipecah dan

menghendaki pembatalan putusan secara keseluruhan.

2. Peninjaun Kembali

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang

ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan

kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan

pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan. (Pasal 66-77 UU

No. 14/1985 jo. UU no 5/2004). Alasan-alasan peninjauaan

kembali menurut pasal 67 UU no. 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau

tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranta

18
diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian

oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat

bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara

diperiksa tidak dapat diketemukan;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau

lebih daripada yang dituntut;

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum

diputus tanpa dipertimabngkan sebab-sebabnya;

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu sial

yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang

sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang

bertentangan dengan yang lain;

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan

hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Dalam Pasal 69 diatur tenggang waktu untuk permohonan

peninjaaun kembali yang harus diajukan dalam tenggang waktu

180 (Seratus delapan puluh) hari. Dalam pasal 70 dan 71

mengatakan bahwa permohonan peninjauan kembali harus diajukan

dengan surat yang disertai alasan yang sejelas-jelasnya dan

sebelum dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang

memutus perkara dalam tingkat pertama, pemohon harus lebih

dahulu membayar biaya perkara.

19
Pasal 72 (1) mewajibkan Panitera Pengadilan Negeri yang

memutus perkara dalam tingkat pertama, untuk selambat-

lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya

permohonan peninjaaun kembali memberikan atau mengirimkan

salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan agar

pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan

jawabannya. Pasal 72 (2) mengatur tenggang waktu bagi pihak

lawan untuk mengajukan jawabannya dalam kurun waktu 30 hari

setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan

kembali. Apabila diajukan terlambat maka jawaban pihak lawan

tidak akan dipertimbangkan atau dikesampingkan.

Dalam memeriksa dan mengadili permohonan peninjaaun

kembali dalam perkara perdata, maka :

a. Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan

negeri yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau

pengadilan tingkat banding untuk melakukan pemeriksaan

tambahan, atau minta tambahan keterangan dan

pertimbangan dari Pengadilan yang bersangkutan.

b. Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dari Jaksa

Agung atau dari pejabat lain yang diserahi tugas

penyidikan, apabila diperlukan.

c. Pengadilan yang dimaksud adalah setelah melaksanakan

perintah Mahkamah Agung tersebut, segera mengirimkan

20
berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan

kepada Mahkamah Agung.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Upaya hukum biasa terbagi atas tiga yaitu :

a. Perlawanan (Verzet)

Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang

telah dijatuhkan pengadilan tingkat pertama yang diajukan

oleh tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu

tertentu, yang diajukan ke Pengadilan Negeri yang

memutus perkara itu juga.Pada asasnya perlawanan ini

disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umum- nya)

dikalahkan. Bagi penggugat yang dikalahkan dengan

putusan verstek tersedia upaya hukum banding. Jadi apabila

terhadap tergugat dijatuhkan putusan verstek, dan dia

keberatan atasnya, tergugat dapat mengajukan perlawanan

(verzet), bukan upaya banding

b. Banding

Banding ialah upaya hukum yang dilakukan bilamana ada

salah satu pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan

Pengadilan tingkat pertama.

c. Kasasi

Kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk

menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum

22
ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan

tertinggi.

2. Upaya Hukum Luar Biasa terbagi atas dua yaitu :

a. Perlawan Pihak Ketiga (Derden Verzet)

Pada intinya derden verzet merupakan perlawanan pihak

ketiga terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki

kekuatan hukum yang tetap dan merugikan pihak ketiga.

b. Peninjaaun Kembali

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang

ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat

dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung

dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang

berkepentingan (Sutantio & Oeripkartawinata, 2019)

23
DAFTAR PUSTAKA

Anshorudin. (2004). Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan


Positif. Jakarta: Pustaka belajar.

Asikin, Z. (2015). Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia.

Harahap, M. Y. (2017). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Mappong, H. Z. (2010). Eksekusi Putusan Serta Merta Proses Gugatan dan Cara
Membuat Putusan Serta Pelaksanaan Eksekusi dalam Perkara Perdata.
Malang: Tunggal Mandiri Publishing.

Mertokusumo, S. (1998). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Prodjohamidjojo, M. (1983). Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Butki. Jakarta:


Ghalia Indonesia.

Rasyid, L. M., & Herinawati. (2015). Pengantar Hukum Acara Perdata.


Sulawesi: Unimal Pres.

Subekti. (1987). Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradya Paramita.

Sutantio, N. R., & Oeripkartawinata, I. (2019). Hukum Acara Perdata dalam


Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju.

iii

Anda mungkin juga menyukai