Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA

UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Hariatio Rama Amirulsani (2210113244)


Fajar Mutiara Okzila (2210113250)
Syifa Rizkiah Ernas (2210113249)

DOSEN PENGAMPU : Dr. Dahlil Marjon, S.,H.,M.H

UNIVERSITAS ANDALAS
FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT yag telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehigga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Upaya Hukum Luar Biasa” ini tepat
pada waktunya. Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
mata kuliah Hukum Acara Perdata Bapak Dr. Dahlil Marjon, S.,H.,M.H selaku Dosen pada
mata kuliah ini, Selain itu, makalah ini juga betujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak, selaku dosen pengampu mata kuliah ini
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni. Serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
Sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
mohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan tersebit. Kritik dan saran yang bersifat
membangun akan selalu penulis nantikan demi kesempurnaan Makalah ini. Harapan penulis
semoga ini dapat bermanfaat dan memenuhi harapan berbagai pihak.

Padang, 5 Desember 2023

Penulis
Daftar Isi

KATA PENGANTARI

DAFTAR ISIII

BAB I1

PENDAHULUAN1

1. Latar belakang1

2. Rumusan masalah1

BAB II2

PEMBAHASAN2

A. PENGERTIAN UPAYA HUKUM LUAR BIASA5

B. PENINJAUAN KEMBALI MENGENAI UPAYA HUKUM LUAR BIASA6


C. UNDANG-UNDANG NO.14 TAHUN 2985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG8

BAB III9

PENUTUP9

A. KESIMPULAN9
DAFTAR PUSTAKA9
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Upaya hukum menurut Sudikno Mertokusumo (2009:234) adalah upaya atau alat
untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Upaya hukum ialah suatu
upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi seseorang maupun badan hukum dalam hal
tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai suatu tempat bagi para pihak yang tidak puas
atas adanya putusan hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim itu
juga seorang manusia yang bisa secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang dapat
menimbulkan salah mengambil keputusan atau memihak kepada salah satu pihak.
Upaya hukum luar biasa, adalah suatu upaya hukum dilakukan atas putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde).dan upaya hukum ini dalam asasnya
tidaklah menangguh- kan pelaksanaan eksekusi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari: (a).
Perlawanan pihak ketiga (denden verzet) terhadap sita eksekutorial (vide Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/ Sip/ 1962 tanggal 21 Oktober 1962; (b).
Peninjauan kembali (request civil), diatur dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, Pasal 72 UU
No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Peraturan Mah- kamah Agung Nomor 1
tahun 1982.

2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud mengenai upaya hukum luar biasa ?


2. Bagaimana peninjauan kembali terhadap upaya hukum luar biasa ?
3. Bagaimana UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau
badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim dengan cara mengajukan
perlawanan terhadap putusan pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari yang
6
terhitung sejak dikeluarkannya putusan tersebut. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang
signifikan terkait upaya hukum dalam acara perdata maupun dalam acara pidana. Dalam
hukum acara perdata terbagi menjadi dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan
upaya hukum luar biasa.

Upaya hukum luar biasa merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan-putusan
yang sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat diubah lagi. Karena sifatnya yang
luar biasa menjadikan upaya hukum peninjauan kembali memiliki tata cara dan regulasi yang
sangat ketat dan

Pertama; Upaya Hukum Peninjauan Kembali (Request Civil). Upaya hukum Peninjauan
Kembali adalah suatu upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam suatu
8
perkara untuk membuka kembali putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
menyatakan bahwa upaya hukum peninjauan kembali merupakan wewenang penuh dari
Mahkamah Agung. Alasan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam
perkara perdata diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yang diantaranya adalah:
1. a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2. b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
3. c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut.
4. d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan
sebab-sebabnya.
5. e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan
yang bertentangan satu dengan yang lain.
6. f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata.
Pengajuan permohonan peninjauan kembali dengan alasan-alasan
tersebut, dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan atau ahli warisnya dan dapat
juga diajukan oleh kuasa hukum yang diberi surat kuasa khusus untuk mengajukan gugatan
atau permohonan secara tertulis dengan menyebutkan alasan-alasannya yang sah yang dapat
9
dijadikan sebagai dasar hukum permohonan peninjauan kembali. Proses pengajuan
peninjauan kembali selambat-lambatnya 180 (seratus delapan puluh) hari dan dapat juga
diajukan secara lisan di hadapan ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan.
Kedua; Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet). Berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata, pada
dasarnya Pada asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak
mengikat pihak ketiga, akan tetapi berdasarkan Pasal 378 Rv, apabila pihak ketiga merasa
hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap
putusan tersebut. Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang
dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Jika
perlawanan tersebut dikabulkan, maka putusan yang bertentangan itu diperbaiki jika putusan
tersebut benar-benar merugikan pihak ketiga tersebut.

B. Peninjauan Kembali sebagai Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum Peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum luar biasa yang dalam
proses pengajuannya sangat ketat diawasi dan dibatasi oleh undang-undang. Berdasarkan
Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
membatasi pengajuan peninjauan kembali hanya 1 (satu) kali merupakan bentuk sifat upaya
hukum peninjauan kembali sebagai upaya hukum yang luar biasa. Prinsip ini bertujuan untuk
menekankan dan menegakkan kepastian hukum (to enforce legal certainty).

Maksud dari dibatasinya peninjauan kembali 1 (satu) kali ialah, apabila berdasarkan
permohonan peninjauan kembali oleh salah satu pihak yang berperkara telah di dijatuhkan
putusan oleh Mahkamah Agung, maka terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan
peninjauan kembali sekali lagi oleh para pihak. Misalnya A berperkara dengan B dan putusan
sudah berkekuatan hukum tetap inkrah, terhadap putusan inkrah tersebut A mengajukan
upaya hukum peninjauan kembali dan permohonan dibenarkan dan memenangkan A, maka
terhadap selanjutnya tertutuplah hak B untuk mengajukan peninjauan kembali yang kedua.
Atau sekiranya permohonan A ditolak maka tertutuplah hak A untuk mengajukan peninjauan
11
kembali sekali lagi.

Prinsip ini sama dengan prinsip yang diterapkan dalam upaya hukum kasasi. Sekiranya
undang-undang memperbolehkan pengajuan kasasi dan peninjauan kembali lebih dari sekali
maka akan terjadi kekacauan yang berlanjut, dan akan tidak mungkin kepastian hukum
ditegakkan, hal ini sesuai dengan asas litis finiri oportet, yaitu setiap perkara harus ada
akhirnya. Menurut Yahya Harahap jika putusan peninjauan kembali telah dijatuhkan,
kemudian diajukan peninjauan kembali lagi terhadap perkara tersebut, maka yang terjadi
adalah peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali. Tindakan tersebut
melanggar Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Tindakan tersebut dapat merusak dan menghancurkan tatanan penegakkan
kepastian hukum dan ketertiban umum dalam penegakkan hukum di Indonesia.

Perbedaan pendapat terkait masalah pembatasan peninjauan kembali juga marak terjadi di
kalangan praktisi hukum. Menurut Swantoro jika peninjauan kembali dibatasi maka akan
berimplikasi terhadap prinsip keadilan, karna sesungguhnya tujuan utama hukum adalah
keadilan.
Prinsip ini sama dengan prinsip yang diterapkan dalam upaya hukum kasasi. Sekiranya
undang-undang memperbolehkan pengajuan kasasi dan peninjauan kembali lebih dari sekali
maka akan terjadi kekacauan yang berlanjut, dan akan tidak mungkin kepastian hukum
ditegakkan, hal ini sesuai dengan asas litis finiri oportet, yaitu setiap perkara harus ada
akhirnya. Menurut Yahya Harahap jika putusan peninjauan kembali telah dijatuhkan,
kemudian diajukan peninjauan kembali lagi terhadap perkara tersebut, maka yang terjadi
adalah peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali. Tindakan tersebut
melanggar Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Tindakan tersebut dapat merusak.

Untuk melakukan Peninjauan Kembali harus didasarkan pada alasan-alasan, yaitu sbb :
1. Apabila Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat, pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu.
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara di periksa tidak dapat di temukan.
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada dituntut.
4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebab nya.
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang
sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu dengan yang lain.
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.

Permohonan Peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara atau
ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

Tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh)
hari untuk :
a. yang disebut pada angka 1 sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat, atau sejak
putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan telah diberitahukan
kepada para pihak yang berperkara.

b. Yang disebut pada angka 2 sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal
ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

c. Yang disebut pada angka 3, 4 dan 5 sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan
telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.
d. Yang tersebut pada angka 6 sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

C. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Undang-undang ini menegaskan tentang peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa
yang dalam prosesnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Undang-undang ini juga
membahas terkait pembatasan upaya hukum peninjauan kembali yang terdapat dalam bagian
keempat tentang pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Upaya hukum peninjauan kembali dalam undang- undang ini hanya tercantum
dalam Pasal 66, yang isinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali saja, permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan, Permohonan peninjauan kembali dapat
dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali
itu tidak dapat diajukan lagi.

Undang-undang Mahkamah Agung ini masih digunakan hingga saat ini terkait pengaturan
mengenai upaya hukum peninjauan kembali. Undang- undang ini sering sekali dijadikan
sumber terkait peninjauan kembali, walaupun terkait pasal yang mengatur pembatasan
peninjauan kembali sering kali menjadi pro kontra di kalangan para praktisi hukum dan para
pencari keadilan (justice seekers). Kejanggalan menjadi masalah dari pembatasan peninjauan
kembali yang menimbulkan kebingungan di kalangan praktisi hukum maupun di kalangan
masyarakat umum dan kerap beberapa kali diajukan untuk uji materil di Mahkamah
Konstitusi. Bukan hanya Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang diajukan uji materiil, tetapi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman juga turut di uji.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan dari rangkuman di atas adalah bahwa upaya hukum luar biasa, seperti peninjauan
kembali, diberikan oleh undang-undang untuk melawan putusan hakim yang sudah berkekuatan
hukum tetap. Peninjauan kembali memiliki tata cara dan regulasi yang ketat, dengan pembatasan
pengajuan hanya satu kali menekankan pada prinsip kepastian hukum. Meskipun terdapat perbedaan
pandangan di kalangan praktisi hukum mengenai pembatasan ini, undang-undang, seperti
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mengatur prosedur peninjauan
kembali dan mempertahankan pembatasan tersebut. Kontroversi dan uji materiil sering terjadi terkait
kebijakan pembatasan ini, yang menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat dan memicu
perdebatan tentang prinsip keadilan dan kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, A.M.; Yunus, N.R. Basic Theory of Law and Justice, Jakarta: Jurisprudence Institute, 2018.

Gultom, Elfrida. Hukum Acara Perdata Edisi ke 2, (Jakarta: Literata, 2010), h. 55

Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 47

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2010), h. 3

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VII/2010, h. 64

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor


14 Tahun 1985 Pasal 66 Ayat (1), h. 68

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-undang Pasal 268
Ayat (3) KUHAP, h. 35

Anda mungkin juga menyukai