Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA


UPAYA HUKUM LUAR BIASA

KELOMPOK 10 :
1. FATIMAH PUSPA NINGRUM (2120101033)
2. RIA OKTARINA (2120101034)
3. M. NAUFAL FATILA (2120101035)

DOSEN PENGAMPU

Dr.,ARNE HUZAIMAH,S.Ag., M.Hum

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................... I


PENDAHULUAN ...................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................. 1
C. Tujuan Masalah ................................................... 1
PEMBAHASAN ........................................................ 2
A. Pengertian Upaya Hukum Luar Biasa .................................. 2
B. Macam-macam upaya hukum luar biasa ................................ 2
PENUTUP............................................................. 7
KESIMPULAN ...................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA .................................................... 8

I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam konteks hukum acara peradilan agama,upaya hukum luar biasa
merujuk pada tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan di luar prosedur
atau mekanisme yang biasanya digunakan dalam sistem hukum acara peradilan
agama. Upaya ini dilakukan ketika terdapat situasi atau keadaan yang
memerlukan penanganan yang cepat dan tidak terduga, serta mengancam
kepentingan agama atau keadilan dalam masyarakat.Dalam hukum acara
peradilan agama, terdapat beberapa kasus di mana penggunaan upaya hukum
luar biasa diperlukan. Salah satu contohnya adalah ketika terdapat ancaman
terhadap kebebasan beragama. Dalam situasi seperti ini, pengadilan agama
dapat mengambil tindakan diluar batas-batas hukum acara peradilan agama
yang biasa untuk melindungi hak-hak kebebasan beragama individu atas
kelompok tertentu.
Selain itu upaya hukum luar biasa juga dapat diterapkan dalam
perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam perkawinan agama. Jika
terdapat kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga atau pelanggaran hak-hak
perempuan dalam perkawinan agama, peradilan agama dapat melakukan
langkah-langkah di luar prosedur biasa untuk menjamin perlindungan dan
keadilan bagi pihak yang terdampak. Selanjutnya upaya hukum luar biasa
dalam hukum acara peradilan agama juga dapat dilakukan dalam situasi
darurat yang mengharuskan adanya penanganan segera oleh peradilan agama.
Namun pentingnya untuk dicatat vahwa penggunaan upaya hukum luar
biasa dalam hukum acara peradilan agama haruslah dilakukan dengan penuh
pertimbangan dan kebijaksanaan. Upaya ini harus menjadi langkah terakhir
setelah semua upaya konvesional didalam hukum acara peradilan agama telah
dilakukan. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan
agama, keadilan, dan kebebasan beragama dengan prinsip-prinsip hukum yang
telah ditetapkan.
Dalam konteks hukum acara peradilan agama, makalah ini akan
membahas lebih lanjut tentang konsep upaya huku luar biasa, penerapannya
dalam kasus-kasus tertentu, serta konsekuensi hukum dan aspek-etika yang
terkait dengan penggunaannya dalam sistem hukum acara peradilan agama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan upaya hukum luar biasa?
2. Apa saja upaya hukum luar biasa?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan upaya hukum luar biasa.
2. Mengatahui macam macam upaya hukum luar biasa

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Upaya Hukum Luar Biasa

1. Pengertian Upaya Hukum


Upaya hukum adalah hak bagi para pihak yang berperkara untuk
menggunakan atau tidak menggunakan haknya. Walaupun upaya hukum
dibenarkan oleh undang-undang namun dalam praktiknya para pihak banyak
yang melakukan upaya hukum dengan melenceng dari tujuan semula yaitu
untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan dengan tujuan
yang ingin lebih lama menguasai, menikmati barang-barang yang secara
hukum tidak berhak menguasai, menikmatinya.1
Dalam hukum acara, upaya hukum terdiri dari upaya hukum biasa dan
upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap
putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Wewenang untuk menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Dengan
memperoleh kekuatan hukum yang pasti suatu putusan tidak dapat diubah.
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti apabila tidak tersedia
lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang pasti ini tersedia upaya hukum luar biasa.2

2. Pengertian Upaya Hukum Luar Biasa


Upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum atas putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde). Upaya hukum luar
biasa tidak menunda atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).
Yang termasuk upaya hukum luar biasa adalah peninjauan kembali (request
civil) diatur dalam pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, Pasal 72 UU No.14 Tahum 1985
jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982), dan perlawanan pihak
ketiga (derden verzet)3 terhadap sita eksekutorial (vide yurispudensi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 306 K/ Sip/1962).4

B. Macam-macam upaya hukum luar biasa


1. Peninjauan kembali (PK)
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) adalah suatu upaya agar
putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Pertama, banding, dan kasasi
yang telah berkekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde). Permohonan
peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan (eksekusi). Permohonan peninjauan kembali ini berhak diajukan oleh
pihak yang berperkara, pihak yang berperkara misalnya pihak yang kalah

1
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat dalam
Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung: Mandarmaju, 2018, hlm. 194.
2
setiawan. Aneka masalah hukum dan hukum acara perdata. Bandung: Alumni. 1992. Hlm. 198
3
upaya hukum luar biasa Mahasiswa Kelas Hes and others, ‘Mahasiswa Kelas HES 5E Jurusan
Hukum Ekonomi Syariah IAIN Surakarta, NIM: 162111182’, p. 7 yang termasuk upaya hukum
luar biasa.
4
Syahrul Sitorus, “Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata (Verzet , Banding, Kasasi,
Peninjauan Kembali Danu Derden Verzet),” Jurnal Hikmah 15, no. 64 (2018): 63–71.

2
perkaranya atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang dikuasakan secara
khusus (pasal 3 peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980 yang
disempurnakan.
Adapun alasan-alasan untuk pengajuan Peninjauan Kembali menurut
Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985, Jo Perma No. 1 Tahun 1982, yaitu sebagai
berikut :
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus atau di dasarkan paa bukti-bukti yang ditemukan oleh
hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak ditemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih daripada yang dituntut.
d. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal
yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama
atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang
bertentangan satu dengan yang lain.
e. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu putusan terdapat
suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu bagi permohonan peninjauan kembali bagi pemohon PK
disampaikan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 180 hari ( Pasal 69 UU
No 14 Tahun 1985), dan memori peninjauan kembali disampaikan bersamaan pada
waktu menandatangani Akta Permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri, dan selanjutnya dalam tenggang waktu Termohon Peninjaun
Kembali untuk mengajukan kontra memori prninjauan kembali adalah 30 hari
setelah adanya pemberitahuan atau penyampaian memori peninjauan kembali
kepada termohon peninjauan kembali ( Pasal 72 UU No 14 Tahun 1985).
Berikut adalah tata cara pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali :
a. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pihak yang berhak
kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama.
b. Membayar biaya perkara.
c. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan secara lisan
maupun tertulis. Apabila permohonan diajukan secara tertulis maka
harus disebutkan dengan jelas hal-hal yang menjadi alasan dasar
permohonannya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang mengutus perkara dalam tingkat pertama ( Pasal 71 ayat
(1) UU No 14 Tahun 1985).
d. Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan
permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri
yang bersangkutan atau di hadapan hakim yang ditunjuk Ketua

3
Pengadilan Negeri tersebut yang akan membuat catatan mengenai
permohonan tersebut ( Pasal 71 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985).
e. Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara
lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan
sekali.
f. Setelah ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan
kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan
pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui
dan dijawab oleh pihak lawan ( Pasal 72 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1985).
g. Pihak lawan ( termohon peninjauan kembali) hanya memiliki waktu
30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan (memori
peninjauan kembali) untuk membuat kontra memori peninjauan
kembali, apabila tenggang waktu terlewatkan maka jawaban tidak
akan dipertimbangkan ( Pasal 72 Ayat (2) UU No 14 Tahun 1985).
h. Kontra memori peninjauan kembali diserahkan kepada Pengadilan
Negeri dan oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal
diterimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan paada
pemohon peninjauan kembali untuk diketahui ( pasal 72 Ayat (4) UU
Noo 14 Tahun 1985).
i. Permohonan PK lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya
dikirimkan kepadaa Mahkamah Agung paling lambat 30 hari ( Pasal
72 ayat (4) UU No. 14 Tahun 1985).
j. Pencabutan permohonan Pk dapat dilakukan sebelum putusan
diberikan, tetapi permohonan PK hanya dapat diajukan satu kali (
Pasal 66 UU No 14 tahun 1985).5

2. Perlawanan pihak ketiga (Derden verzet)

Di dalam hukum acara perdata Indonesia dimungkinkan bagi pihak


ketiga yang kepentingannya dilanggar untuk melakukan perlawanan atau
bantahan atas penetapan sita eksekutorial. Adapun perlawanan atau bantahan
dari pihak ketiga dalam hukum acara perdata disebut dengan istilah derden
verzet. Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan, istilah verzet
dalam Hukum Acara Perdata merupakan suatu upaya hukum terhadap suatu
putusan verstek (putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat).
Sebelum dilakukannya derden verzet ada upaya mediasi yang telah
dijalani oleh orang yang berperkara, namun apabila penerapan eksekusi
terhadap putusan mediasi tidak ditaati dalam lingkup Peradilan Agama,
misalnya dalam perkara perceraian, apabila berhasil dicapai suatu kesepakatan
damai maka gugatan perceraian yang diajukan ke pengadilan oleh para pihak
dengan sendirinya harus dicabut. Selanjutnya satu-satunya upaya hukum yang
dapat dilakukan atau digunakan oleh para pihak yang merasa dirugikan dengan
putusan perdamaian dalam lingkup Pengadilan Agama, adalah dengan

5
Sitorus.

4
mengajukan perlawanan ke pengadilan dalam bentuk derden verzet. di dalam
derden verzet yang menjadi objek putusan perdamain tersebut, bukan milik
para pihak yang membuat persetujuan perdamaian itu, tetapi milik orang lain
atau barang itu telah diletakkan pada sita eksekusi kepentingan perlawanan.6
Perlawanan pihak ketiga adalah perlawanan yang diajukan oleh pihak
lain yang bukan menjadi pihak dalam perkara untuk mempertahankan haknya.7
Kebolehan mengajukan gugatan derden verzet terhadap sita eksekusi/putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap, terbuka selama eksekusi belum selesai
dilaksanakan. Apabila eksekusi telah selesai dilaksanakan upaya yang
ditempuh pihak ketiga bukanlah untuk perlawanan lagi, namun harus bentuk
upaya gugatan.8
Derden verzet merupakan upaya hukum atas penyitaan milik pihak
ketiga. Dalam praktiknya, penggugat selalu mengajukan keberatan atas
penyitaan yang diletakkan kepada harta kekayaannya dnegan dalih barang
yang disita adalah milik pihak ketiga. Dalil keberatan itu kebnayakan tidak
dihiraukan pengadilan atas alasan sekiranta barang itu benar milik pihak
ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui upaya derden verzet.
Tata cara mengajukan perlawanan adalah sebagai berikut.

 Perlawanan diajukan kepada pengadilan yang memutus perkara pada


tingkat pertama
 Perlawanan diajukan dengan gugatan kepada pihak dalam putusan
yang dilawan sebagaimana mengajukan gugatan biasa
 Para pihak dalam perlawanan pihak ketiga adalah pihak yang
mengajukan permohonan perlawanan disebutkan pelawan dan pihak
lawan disebut terlawan.
Pemeriksaan perkara perlawanan pihak ketiga adalah sebagaimana
pemeriksaan dalam perkara gugatan biasa. Apabila perlawanan pihak ketiga
dikabulkan maka sita diletakkan terhadap barang-barang pihak ketiga akan
diperintahkan untuk diangkat. Dan apabila perlawanan ditolak maka hakim
menyatakan perlawanan adalah pelawan yang tidak benar dan mempertahakan
sita yang telah dilakukan.9 Contoh dari upaya hukum derden verzet ini dalam
perkawinan adalah mengenai harta bersama ketika perceraian, perbuatan
hukum mengenai harta bersama harus mendapat persetujuan dari kedua belah
pihak, suami dan istri termasuk menjadikan harta bersama sebagai objek yang
dijadikan jaminan, salah satunya dibebani hak tanggungan. Tanpa persetujuan
kedua belah pihak maka perbuatan hukum yang dilakukan akan menyebabkan
adanya cacat hukum, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasangan
yang terlanggar haknya atas perbuatan hukum yang objeknta harta bersama
dapat mengajukan upaya hukum perlawanan pihak ketiga, dengan

6
Liliek Kamilah, ‘Mediasi Sebagai Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan
Agama’, Perspektif, 15.1 (2010), 50 <https://doi.org/10.30742/perspektif.v15i1.39>.
7
Retnowulan Soetiantio& Iskandar Oeripkartawinata. Hukum acara perdata dalam teori dan
praktek. Bandung. Mandar Maju. 1997. Hlm. 142
8
P Pradnyawati and I Nengah Laba, ‘Tinjauan Yuridis Mengenai Perlawanan Pihak Ketiga
(Derden Verzet) Terhadap Putusan Verstek’, WICAKSANA: Jurnal Lingkungan Dan
Pembangunan, 2.1 (2018), 25–33.
9
Abdullah Tri Wahyudi. Hlm 205

5
membuktikan ia dapat menjadi pelawan yang baik, memiliki wewenang atas
objek harta bersama yang ia peroleh selama perkawinan.10

Tatacara Upaya Hukum Derden Verzet


Upaya Hukum Luar Biasa: Derden verzet Terjadi apabila dalam suatu putusan
pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat
mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384
Rv dan pasal 195 (6) HIR. Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada
dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat
dan tergugat) dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan
mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh ebab itu dikatakan luar biasa). Denderverzet
diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama.
Syarat untuk mengajukan perlawanan adalah putusan hakim yang secara nyata
telah merugikan pihak ketiga. Ada sejumlah unsur penting yang harus diperhatikan
dalam mengajukan Derden Verzet, yaitu :
a) Adanya kepentingan dari pihak ketiga itu.
b) Secara nyata hak pihak ketigadirugikan.
Apabila perlawanan tersebut dikabulkan, maka putusan pengadilan yangterbukti
telah merugikan pihak ketigatersebut harus diperbaiki. Pihak ketiga yangmengajukan
perlawanan disebut “Pelawan”,sedangkanpenggugat semula yangmemohonkan agar
sita tersebut, disebutsebagai “Terlawan Penyita”, dan pihakterguggat yang disita
disebut “terlawantersita”, perkara yang diajukan disebutbantahan atauperlawanan
pihak ketigaderden verzet atau verzet door derden).11

10
Dih Jurnal and others, ‘DERDEN VERZET TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
OLEH ISTRI SAH 1 Adeliana Kartika Putri Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum, Universitas Airlangga’, 14 (2018), 17–27
<https://doi.org/10.5281/zenodo.1188348.Sayuti>.
11
Tim Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi,Manado, Praktek Peradilan Perdata,
2011

6
PENUTUP
KESIMPULAN
Upaya hukum luar biasa merupakan tindakan atau langkah-langkah yang
dilakukan di luar prosedur atau mekanisme yang biasanya digunakan dalam sistem hukum
acara peradilan agama. Upaya ini dilakukan ketika terdapat situasi atau keadaan yang
memerlukan penanganan yang cepat dan tidak terduga, serta mengancam kepentingan
agama atau keadilan dalam masyarakat. Yang termasuk upaya hukum luar biasa adalah
peninjauan kembali (request civil) diatur dalam pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, Pasal 72 UU
No.14 Tahum 1985 jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982), dan perlawanan
pihak ketiga (derden verzet) terhadap sita eksekutorial (vide yurispudensi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 306 K/ Sip/1962).

Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) adalah suatu upaya agar putusan
pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Pertama, banding, dan kasasi yang telah
berkekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde). Permohonan peninjauan kembali tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi). Derden
verzet bukan merupakan upaya hukum oleh pihak ketiga terhadap putusan verstek, dan
apabila hal tersebut dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak menyangkut dalam putusan
verstek, maka perlawanan ini seharusnya ditolak oleh hakim.

7
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-
surat dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung:
Mandarmaju, 2018, hlm. 194.
Setiawan. Aneka masalah hukum dan hukum acara perdata. Bandung: Alumni.
1992. Hlm. 198
Hes, Mahasiswa Kelas, Jurusan Hukum, Ekonomi Syariah, and Iain Surakarta,
‘Mahasiswa Kelas HES 5E Jurusan Hukum Ekonomi Syariah IAIN
Surakarta, NIM: 162111182’
Jurnal, Dih, Ilmu Hukum, Adeliana Kartika Putri, Sayuti Thalib, and Hukum
Kekeluargaan Indonesia, ‘DERDEN VERZET TERHADAP EKSEKUSI
HAK TANGGUNGAN OLEH ISTRI SAH 1 Adeliana Kartika Putri
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas
Airlangga’, 14 (2018), 17–27
<https://doi.org/10.5281/zenodo.1188348.Sayuti>
Kamilah, Liliek, ‘Mediasi Sebagai Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Di
Pengadilan Agama’, Perspektif, 15.1 (2010), 50
<https://doi.org/10.30742/perspektif.v15i1.39>
Pradnyawati, P, and I Nengah Laba, ‘Tinjauan Yuridis Mengenai Perlawanan
Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Putusan Verstek’, WICAKSANA:
Jurnal Lingkungan Dan Pembangunan, 2.1 (2018), 25–33
Sitorus, Syahrul, ‘Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata (Verzet , Banding,
Kasasi, Peninjauan Kembali Dan Derden Verzet)’, Jurnal Hikmah, 15.64
(2018), 63–71

Anda mungkin juga menyukai