Anda di halaman 1dari 20

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Upaya Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali

Dosen Pengampu :

Dr. H. Sutisna, M.A.

Disusun oleh :
Abdul Qodir Hambali 181105020007
Julias Muda Prasetya 181105020013

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBNU KHALDUN
2021
Daftar Isi

BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN................................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. Pengertian Upaya Hukum Dan Macam-Macam Upaya Hukum.........................................5
B. Upaya Hukum Biasa...............................................................................................................7
C. Upaya Hukum Luar Biasa...................................................................................................14
BAB III...............................................................................................................................................17
PENUTUP..........................................................................................................................................17
A. Kesimpulan............................................................................................................................17
B. Saran.......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak dulu di Indonesia sudah terjadi kasus-kasus hukum, seperti halnya kasus
korupsi, kasus perceraian, dan kasus-kasus yang lainnya. Seiring dengan perkembangan
zaman, penyelesai hukum yang sekarang agak berbeda dengan penyelesaian hukum pada
zaman sebelumnya. Sekarang ini, dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum itu, sebagian
besar para pelaku menggunakan berbagai upaya hukum, agar dapat meringankan putusan
hukum yang seringan-ringannya. Ada dari mereka yang mengajukan upaya banding, ada juga
dari mereka yang menggunakan upaya kasasi ataupun upaya peninjauan kembali (PK).

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada


seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat
bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan
apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang
dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu
pihak.

Oleh karena itu perlu adanya pemaparan tentang apa yang dimaksud dengan upaya
hukum beserta pembahasannya yakni mengenai upaya hukum yang akan di tempuh apabila
pelaku masih tidak puas karena putusan hakim yang mungkin dinilai tidak adil dalam
kasusnya. Upaya hukum tersebut meliputi banding, kasasi dan upaya hukum luar biasa seperti
peninjauan kembali.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas pemakalah akan menguraikan mengenai “Upaya


Hukum-Hukum Di Pengadilan” Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah,
sebagai berikut:

a. Apakah yang dimaksud dengan upaya Hukum Banding ?


b. Apakah yang dimaksud dengan upaya Hukum Kasasi ?
c. Apakah yang dimaksud dengan upaya Hukum peninjauan kembali ?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui maksud dari upaya Hukum Banding.
b. Untuk mengetahui maksud dari upaya Hukum Kasasi.
c. Untuk mengetahui maksud dari upaya Hukum peninjauan kembali.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Upaya Hukum Dan Macam-Macam Upaya Hukum

Upaya hukum yaitu suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa
dirugikan haknya atas kepentingannnya untuk memperolehg keadilan dan
perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

3
Macam-macam upaya hukum terdiri dari1:

a. Upaya hukum melawan gugatan


1. Eksepsi,
2. Rekonvensi (gugat balik);
3. Minta vrijwaring

b. Upaya hukum melawan putusan


1. Upaya hukum biasa
a) Verzet
b) Banding
c) Kasasi
2. Upaya hukum luar biasa
a) Rekes sipil (peninjauan kembali)
b) Derden verzet

c. Upaya hukum melawan sita


1. Verzet yang bersangkutan;
2. Verzet pihak ketiga;
d. Upaya hukum melawan eksekusi
1. Verzet yang bersangkutan;
2. Verzet pihak ketiga
e. Upaya hukum untuk mencampuri proses;
1. Intervensi (tussenkomst = mencampuri)
2. Voeging (turut serta pada salah satu pihak)
3. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin)

1
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Online) cet.VI,( 2005), https:/ /hamas faiumi. blogspot.com/ 2015/ 04/
makalah- peradilan- agama- di- indonesia. html, diakses pada 17 Maret 2021.

4
f. Upaya hukum pembuktian:
1. Saksi
2. Tulisan
3. Dugaan/persangkaan;
4. Pengakuan
5. Sumpah dan lain-lain.

Semua ini merupakan suatu upaya hukum terhadap suatu sengketa yang telah diproses
di pengadilan. Sedang upaya hukum bagi pihak yang dirugikan oleh orang lain atau untuk
sesuatu kepentingan hukum baginya yang belum diproses di pengadilan ialah mengajukan
perkara ke pengadilan.2

Dari semua macam-macam upaya hukum di atas, pada makalah ini yang kita
bicarakan adalah tentang upaya hukum melawan putusan, yaitu upaya hukum biasa (Verzet,
Banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali dan derden verzet)

2
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Online) cet.VI,( 2005), https:/ /hamas faiumi. blogspot.com/
2015/ 04/ makalah- peradilan- agama- di- indonesia. html, diakses pada 17 Maret 2021.

5
B. Upaya Hukum Biasa

a. Verzet

1. Pengertian Verzet
Verzet adalah perlawanan dari tergugat terhadap putusan verstek atau putusan
al-qadla ala al-gha’ib, yaitu putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat.3

2. Dasar Hukum Verzet

Dasar hukum verzet adalah pasal 129 HIR/153 Rbg, yang memberi
kemungkinan bagi tergugat/para tergugat yang dihukum verstek untuk mengajukan
verzet atau perlawanan. Dengan ketentuan, kedua perkara tersebut (verstek dan
verzet)tersebut dijadikan satu dan diberi nomor, sedapat mungkin perkara tersebut
dipegang oleh Majelis Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas
putusan verstek harus memeriksa harus memeriksa gugata yang telah diputus verstek
tersebut secara keseluruhan. Pembuktiannya agar mengacu pada SEMA NO.9 tahun
1964.

Apabila tela dijatuhkan putsan verstek dan ternyata penggugat mengajukan


bandimng, maka tergugat tidak dapat mengajukan verzet, melainkan ia boleh
mengajukan banding. Tetapi, jika penggugat tidak mengajukan banding, maka
tergugat tidak boleh mengajukan banding, melainkanboleh mengajukan verzet.

3. Syarat-Syarat Verzet
Syarat-syarat banding adalah:
a) Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara
b) Diajukan masih dalam masih masa tenggang waktu verzet
c) Putusan tersebut, menurut hukum, boleh dimintakan verzet, Dan lain-lain.

3
Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Online) cet. II, (2006),
https:/,/hamasfaiumi.blogspot.com/ 2015/04/makalah- peradilan-agama- di- indonesia. html, diakses pada 17 Maret 2021.

6
4. Tata cara verzet
Tata cara pengajuan verzet sama dengan tata cara pengajuan surat gugatan,
yaitu boleh dilakukan dengan secara lisan dan boleh dengan secara tertulis (120
HIR/142 R.Bg dan 118 HIR/144 R.Bg).4

5. Tenggang Waktu Verzet


Tenggang waktu verzet diatur dalam pasal 129 HIR sebagai berikut:
a) Apabila pemberitahuan isi putusan verstek itu dapat disampaiakna langsung kepada
tergugat, maka tenggang waktu verzet ialah 14 hari sejak setelah hari pemberitahuan.
b) Apabila pemberitahuan is putusan itu ternyata tidak dapat disampaikan langsung
kepada tergugat (tidak bertenmu langsung) tetapi disampaikna lewat Kepala Desa,
dan tergugat ternyata tidak melaksanakan putuan dengan sukarela kemudian ketua PA
akan memanggil tergugat supaa dating di kantor PA untuk mendapat teguran,
kemudian apabila tergugat dating dan telah menerimaa teguran tersebut, maka
tenggang waktu verzet adalah 8 hari setelah tergugat mendapat teguran.
c) Apabila terjadi seperti tersebut di atas, dan ternyata pada waktu dipanggil untuk
teguran tergugat tidak datnag menghadap, kemudian ketua PA mengeluarkan perintah
eksekusi. Dalam hal ini maka batas waktu verzet ialah 8 hari setelah tanggal eksekusi
(197 HIR).5

b. Banding

1. Pengertian Banding

Banding adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat
dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan agama
4
Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Online) cet. II, (2006), https:/,/hamasfaiumi.blogspot.com/
2015/04/makalah- peradilan-agama- di- indonesia. html, diakses pada 17 Maret 2021.

5
Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Online) cet. II, (2006),
https:/,/hamasfaiumi.blogspot.com/ 2015/04/makalah- peradilan-agama- di- indonesia. html, diakses pada 17 Maret 2021.

7
diperiksa ulang dalam tingkat banding oleh Pengadilan Agama Tinggi, karena merasa
belum puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama.

2. Dasar Hukum Pengajuan banding

Dalam pasal 21 ayat (1) Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang


kekuasaan kehakiman dinyatakan bahawa “terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.6

Sebagai aturan organic dari pasal 21 ayat (1) di ats, khusus untuk peradilan
Agama, ketentuan mengenai putusan Pengadilan Agama yang dapat diajukan banding
kepada pengadilan Agama Tinggi Agama disebutkan dalam pasal 61 undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agma sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradialn Agama, yaitu atas penetapan
dan putusan pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh yang berperkara,
kecuali apabila undang-undang menentukan lain”.7 Pengecualian yang disebutkan di
atas dapat dilihat dari dua kategori. Kategori pertama perkara yang bersifat financial
sebagaimana diatur dalam pasal 49 huruf I Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama mengenai Ekonomi Syariah, maka perkara yang diajukan banding mengacu
kepada nilai standar obyek terperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulang di jawa dan Madura, yaitu
tidak boleh kurang dari seratus rupiah.8

Kategori kedua adalah bahwa perkara yang dapat diajukan banding adalah
perkara Contensiosa, buka voluntair. Jadi, keputusan Pengadilan Agama atas perkara
voluntair yang diformulasikan dalam bentuk penetapan tidak dapat diajukan banding.

3. Syarat-syarat banding

6
Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 21 Ayat (1)

7
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradialn Agama
8
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Pasal 6, tentang Peradilan Ulang di jawa dan Madura

8
Syarat-syarat banding adalah:9
1) Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara
2) Diajukan masih dalam masih masa tenggang waktu banding
3) Putusan tersebut, menurut hukum, boleh dimintakan banding
4) Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo
5) Menghadapi di kepaniteraan Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan
banding.

4. Tata cara pengajuan banding


Mengenai tata cara banding, melihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 199
sampai dengan 205 R.Bg dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947.

5. Mencabut Permohonan Banding;10


a) Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama,maka
permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon.
b) Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka:
Pencabutan disampaiakan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, Kemudian
oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding, Putusan baru
memperoleh kekuatan tetap setelah waktu banding berakhir, Berkas perkara banding
tidak perlu diteruskan kepada Pengadilan Tinggi Agama
c) Apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada pengadilan Tinggi Agama,
maka: Bagi pencabutan banding disampaikan melalui Pengadilan Agama yang
bersangkutan atau langsung ke Pengadilan Tinggi Agama, Apabila pencabutan itu
disampaikan melalui pengadilan Agama, maka pencabutan itu segera dikirim ke
Pengadilan Tingi Agama, Apabila permohonan banding belum diputus maka
Pengadilan Tinggi Agama akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa
mengabulkan pencabutan kembali permohonan banding dan memerintahkan untuk

9
Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama, Cet.I (Yogyakarta:
UII Press, 2009) h.173.

10
Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama, Cet.I (Yogyakarta:
UII Press, 2009) h.175.

9
mencoret dari daftar perkara banding,
Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan dan
Apabila permohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan” tersebut.
d) Pencabutan banding tidak diperlukan persetujuan pihak lawan.

6. Waktu Pengajuan Banding;11


a) Bagi pihak yang bertempat kediaman di daerah hukum Pengadilan Agama yang
putusannya dimohonkan banding tersebut maka bandingnya ialah 14 hari terhitung
mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.
b) Bagi pihak yang bertempat kediaman dilauar daerah hukum Pengadilan Agama yang
putusannya dimohonkan banding tersebut, maka masa bandingnya ialah 30 Hari
terhitung mulai hari kerja berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang
bersangkutan.12
c) Dalam hal permohonan banding dengan prodeo, maka masa banding dhitung m,ulai
hari berikutnya dari hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Agama tenatang
ijin berperkara secara prodeo tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh
Pengadilan Agama (Pasal 7 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No.20 Tahun 1947)13

c. Kasasi

1. Pengertian Upaya hukum Kasasi


Kasasi artinya mohon pembatalan terhadap putusan/penetapan Pengadilan
tingkat pertama (Pengadilan Agama) atau terhadap putusan Pengadilan tingkat
banding (Pengadilan Tinggi Agama ke Mahkamah Agung di jakarta, mlalui
11
Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama, Cet.I (Yogyakarta:
UII Press, 2009) h.175.
12
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 Pasal 7
13
Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama, Cet.I (Yogyakarta:
UII Press, 2009) h.176.

10
pengadilan tingkat pertama yang memutus karena adanya alasan tertentu, dalam
waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.14

2. Dasar Hukum Kasasi


Dasar hukum kasasi adalah pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa terhadap putusan Pengadilan dalam
tingkat banding dapat dimntkan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-udang menentukan lain. Dalam pasal 43 Undamg-
Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang mahkamah Agung dinyatakan, bahwa
permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah
upya hukum banding, Karena lain oleh undang-undang.

3. Syarat-syarat Kasasi
Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi ialah:15
a) Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi
b) Diajukan masih dalah tenggang waktu kasasi
c) Putusan atau penetapan judex factie, menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
d) Membuat memori kasasi
e) Membayar uang panjar biaya kasasi
f) Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkuta

4. Tata cara kasasi16


a) Permohonan dajukan pada Pengadilan Agama, dengan melenngkapi semua
kelengkapan administrasinya.
b) Setelah Proses administrasi di Pengadilan Agama selesai, maka akan dilanjutkan pada
tingkat mahkamah Agung dengan melalui tahapan-tahapan tertentu seperti pencatatan
permohonan kasasi oleh panitera mahkamah Agung dan tahapan lainnya.

14
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Online), (2008), https:/ /shofie-artikel.
blogspot.com/ 2016/01/ makalah- peradilan- agama- upaya-hukum. html, diakses pada 17 Maret 2021..

15
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Online), (2008), https:/ /shofie-artikel.
blogspot.com/ 2016/01/ makalah- peradilan- agama- upaya-hukum. html, diakses pada 17 Maret 2021..
16
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Online), (2008), https:/ /shofie-artikel.
blogspot.com/ 2016/01/ makalah- peradilan- agama- upaya-hukum. html, diakses pada 17 Maret 2021..

11
c) Setelah Mahkamah Agung memberi putusan maka, putusan mahkamah Agung
dikirim pada Pengadilan Agama pada meja III, selanjutnya memberitahukan kepada
kedua belah pihak melaui jurusita pengganti.

5. Tenggang waktu untuk kasasi


Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi
yaitu 14 hari setelah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang
bersangkutan (pasal 46 ayat (1)). UU NO.14 Tahun 1985

6. Pencabutan Permohonan kasasi (pasal 49 UU No.14 Tahun 1985)


a) Sebelum permohonan kasasi di putus oleh mahkamah Agung maka permohonan
tersebut dapat dicabut kembali oleh permohonan, tanpa persetujuan pihak lawan.
b) Apabila berkas perkara belum dikirimkann ke mahkamah Agung, maka: Pencabutan
disampaikan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, baik secara tertulis
maupun lisan. Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan kemudian
permohonan kasasi. Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam
perkara itu meski pun tenggang waktu kasasi belum lampau dan berkas itu tidak perlu
diteruskan ke Mahkamah Agung.17
c) Apabila berkas perkara telah dikirimkan kepqada Mahkamah Agung, maka:
Pencabutan disampiakan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau
langsung ke Mahkamah Agung, Apabila permohonan kasasi belum diputus, maka
mahkamah Agung akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan
permohonan pencabutan kembali perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret
perkara kasasi dan Apabila permohonan kasasi telah diputus, maka pencabutan tidak
mungkin dikabulkan.18
d) Apabila permohonan kasasi permohonan kasasi dicabut maka tidak bolehdiajukan lagi
permohonan kasasi baru.19
e) Apabila permohonan kasasi telah dicabut maka putusan yang dimintkan kasasi yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap terghitung sejak tanggal dibuatkan akta
pencabutan kasasi atau dikeluarkanya “penetapan” pencabutan kasasi.

17
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 49
18
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 49
19
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 49

12
C. Upaya Hukum Luar Biasa
a. Peninjauan Kembali

1. Pengertian Peninjauan kembali


Peninjauan kembali atau request civiel yaitu memeriksa dan mengadili atau
memutus kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap karena
diketahui terdapat hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui, yang apabila
terungkap maka keputusan hakim akan menjadi lain.20
2. Dasar Hukum peninjauan kembali
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah agung. Peninjauan
kembali diatur dalam Undang-undang No14 Tahun 1985 tentahg mahkamah Agung.
Apablia terdapat hal-hal atau keadaaan-keadaan yang ditentukan undang-undang,
terhadap putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap dapat
dimintakan peninjauan kembali kepada mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan
pidana, oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 21 UU No.14/11970).21

3. Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali


Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali ialah;22
a) Diajukan oleh pihak yang berperkara, ahli warisnya, ataui wakilnya yang secara
khusus diberi kuasa untuk itu,
b) Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
c) Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuatalasan-alasannya.
d) Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan Agama
yang memutus perkara dalam tenggang waktu 180 hari (atau sesuai alasan yang
disebutkan),
e) Membayar uang panjar (uang muka) biaya peninjauan kembali

4. Tata cara permohonan peninjauan kembali


Tata cara permohonan peninjauan kembali adalah sebagai berikut:

20
Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/ 07/25 /upaya-
hukum- di-pengadilan/, html, diakses pada 17 Maret 2021

21
Undang-Undang No.14/11970, Pasal 21
22
Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/
07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/, html, diakses pada 17 Maret 2021

13
a) Permohonan diajukan oleh pemohon (ahli warisnya atau wakilnya) kepada
Mahkamah Agung yang memutus perkara dalam tingkat pertama (pasal 70 ayat (1)
UU No.14 Tahun 1985 ).23
b) Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan dengan
menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan.
c) Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara
lisan dihadapan Ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat
pertama atau hakin yang ditunjuk oleh ketua pangadilan yang akan membuat catatan
tentang permohonan tersebut (pasal 71 UU No.14 Tahun 1985).
d) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-sekurangnya dengan
tiga orang hakim (pasal 40 ayat (1) UU No.14 tahun 1985).
e) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali (pasal 66 ayat (1) UU
No.14 Tahun 1985).
f) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksaan
putusan (pasal 66 ayat (2) UU No.14 Tahun 1985).
g) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang memeriksa
perkara dalam tingkat pertama atau tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat
banding) mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala hal keterangan
serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud (pasal 73 ayat (1) UU No.14
Tahun 1985).
h) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.

5. Tenggang waktu pengajuan Peninjauan kembali24

b. Derden Verzet

1. Pengertian derden Verzet


Derden Verzet adalah perlawanan pihak ketiga terhadap subjek pihak-pihak
yang terdapat dalam suatu perkara yang yang telah diputus, yang merugikan

23
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 70 ayat (1)

24
Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/
07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/, html, diakses pada 17 Maret 2021

14
kepentingannya, sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sebelum
penetapan eksekusi dilaksanakan.25

2. Alasan-alasan pengajuan derden verzet


Derden verzet dapat diajukan dengan alasan atau alasan-alasan sebagai
berikut:
a) Atas Alasan milik murninya pelawan, yaitu bahwa apa yang diperkarakan oleh para
terlawan adalah milik pelawan.
b) Adanya conservatoir beslaag (sita jaminan) atas barang yang diambil oleh pelawan,
c) Adanya eksekusi atas barang miliknya pelawan atau atas barang yang dibelinya dari
salah seorang pihak terlawan,
d) Adanya eksekusi yang melebihi dari putusan,
e) Adanya derden verzet atas harta pusaka dan sebagainya.

25
Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/
07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/, html, diakses pada 17 Maret 2021

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak
mustahil bersifat memihak. Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan
hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang
terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia
upaya hukum. Ada beberapa Upaya hukum yaitu:

a. Banding artinya ialah mohon supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan
tingkat pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding),
karena merasa belum puas dengan keputusan Pengadilan tingkat pertama.
b. Kasasi adalah suatu permohonan pemeriksaan tentang sudah tepat atau tidaknya
penerapan hukum yang dilakukan pengadilan bawahan dalam menjatuhkan putusan.
c. Peninjauan kembali adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh
kekuatan hukumtetap, karena diketahuinya hal-hal yang baru yang dulu tidak dapat
diketahui oleh Hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan Hakim
akan menjadi lain.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, baik
dalam isi, penyusunan bahasa atau pun penulisannya. Maka dari itu kami mohon kepada
semua pihak untuk memberi saran.

16
DAFTAR PUSTAKA

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Online) cet.VI,
( 2005), https:/ /hamas faiumi. blogspot.com/ 2015/ 04/ makalah- peradilan- agama- di-
indonesia. html, diakses pada 17 Maret 2021.

Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Online) cet.
II, (2006), https:/,/hamasfaiumi.blogspot.com/ 2015/04/makalah- peradilan-agama- di-
indonesia. html, diakses pada 17 Maret 2021.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,


(Online), (2008), https:/ /shofie-artikel. blogspot.com/ 2016/01/ makalah- peradilan- agama-
upaya-hukum. html, diakses pada 17 Maret 2021.

Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada
Peradilan Agama, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2009) .

Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/
/ikhwanmf. wordpress. com/2014/ 07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/, diakses pada 17
Maret 2021.

Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 21


Ayat (1)

17
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradialn Agama

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Pasal 6, tentang Peradilan Ulang di Jawa


dan Madura

Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 Pasal 7

Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 49

Undang-Undang No.14/11970, Pasal 21

Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 70 ayat (1)

18

Anda mungkin juga menyukai