Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH IDDAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat

Dosen Pengampu : Yono, S.H.I., M.H.I.

OLEH:

Nisa Salsabila 181105020006

Rayyan Ulya Amani 181105020019

Wahyu Mahendra 181105020014

AHWAL AL – SYAKHSIYYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
Yang senantiasa mencurahkan rahmatNya kepada kita semua. Shalawat dan salam
juga senantiasa penulis limpahkan kepada nabi Muhammad SAW. Penulis mendapat
limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
pada mata kuliah Fiqh Munakahat yang berjudul “Iddah” dapat terselesaikan tepat
pada waktunya untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Fiqh Munakahat.
Makalah ini kami susun dengan optimal, namun tidak menutup kemungkinan
adanya kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada seluruh
pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kemajuan dalam
berfikir untuk penulis agar makalah ini dapat lebih sempurna lagi dan benar.
Akhirnya kepada Allah jugalah penulis minta ampun, semoga dengan adanya
makalah ini dapat memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat
menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Aamiin .

Bogor, 27 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Contents
DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 2
BAB I ............................................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 3
A. A. Latar Belakang .............................................................................................................................. 3
B. B. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 3
C. C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................................... 4
BAB II........................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 5
A. Pengertian ‘Iddah .............................................................................................................................. 5
B. Landasan Hukum............................................................................................................................... 6
C. Macam-macam ‘Iddah ...................................................................................................................... 6
D. Nafkah Wanita ‘Iddah (Mu’taddah) .................................................................................................. 8
E. Hak Tinggal Mu’taddah ..................................................................................................................... 8
F. Batasan Bagi Mu’taddah Karena Kematian ...................................................................................... 8
G. Tujuan dan Hikmah ‘iddah ................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 11
BAB I

PENDAHULUAN

A. A. Latar Belakang
Seperti kita ketahui selama ini, ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan dan tidak bagi laki-
laki, bahkan menjalankan ‘iddah bagi perempuan dianggap sebagai termasuk ibadah sehingga
terbatas bagi rasionalisasi dan penjelasan. Pemahaman bahwa ‘iddah hanya berlaku bagi
perempuan tersebut tampaknya juga didukung oleh bunyi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tentang
‘iddah.

Ketentuan ‘iddah yang hanya berlaku mengikat bagi kaum perempuan tersebut tentu
mengundang kritik sebagai ketentuan yang diskriminatif.1 Dalam ‘iddah karena perceraian,
misalnya, bagaimana perasaan seorang istri yang dicerai yang harus menjalankan ‘iddah,
sementara pada saat yang sama suaminya melangsungkan akad nikah dengan perempuan lain?
Begitu juga dalam ‘iddah karena kematian ketika seorang istri harus menjalankan ‘iddah untuk
menunjukkan sikap berkabung atas kematian suaminya, sementara tidak ada kewajiban yang sama
bagi suami ketika istrinya meninggal. Apakah dalam hal ini istri bukanlah manusia sehingga suami
tidak perlu berkabung ketika istrinya meninggal?

Maka dari contoh di atas penulis akan membahas tentang Iddah dalam Makalah Mata
Kuliah Fiqh Munakahat ini.

B. B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ‘iddah?
2. Apa dasar hukum ‘iddah?
3. Apa hikmah adanya ‘iddah?
4. Apa saja macam – macam ‘iddah?
5. Apa konsekuensi untuk kedua belah jika ‘iddah terjadi?

1
Wahyudi, Muhamad Isna. "KAJIAN KRITIS KETENTUAN WAKTU TUNGGU (IDDAH) DALAM RUU HMPA
BIDANG PERKAWINAN." Jurnal Hukum dan Peradilan 5.1 (2016): 19-34.
C. C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat.
2. Untuk mengetahui pengertan ‘iddah.
3. Untuk mengetahui dasar hukum ‘iddah.
4. Untuk mengetahui hikmah adanya ‘iddah.
5. Untuk mengetahui macam – macam ‘iddah.
6. Untuk mengetahui konsekuensi untuk kedua belah pihak apabila ‘iddah terjadi.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Iddah
Menurut bahasa ‘iddah berasal dari kata “adad (bilangan dan perhitungan), atau seorang wanita
yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haid atau masa suci, misalnya bilangan harta atau
hari jika dihitung satu persatu dan jumlah keseluruhan. Pendapat lain menyebutkan ‘iddah adalah
bahasa arab yang berasal dari akar kata addaya’uddu-‘iddatan dan jamaknya adalah „idad yang
secara arti kata (etimologi) berarti: “menghitung” dan ”hitungan”. Kata ini digunakan untuk
maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang beriddah menunggu berlalunya waktu.2

Iddah dalam istilah dimaknai sebagai suatu waktu tunggu bagi wanita. Guna untuk mengetahui
kandungan dalam rahimnya, juga untuk beribadah, atau bahkan sebagai waktu merenung bagi
suami hingga ia merurjuk . atau singkatnya ialah masa menunggu bagi mantan istri setelah ditalak
oleh mantan suaminya.3 Akhir masa iddah itu ada kalanya ditentukan dengan proses melahirkan,
masa haid atau masa suci atau dengan bilangan bulan.

Menurut Ulama Hanafiyah iddah adalah ketentuan masa penantian bagi seorang perempuan
untuk mengukuhkan status memorial pernikahan (atsar al-nikah) yang bersifat material, seperti
memastikan kehamilan. Atau untuk merealisasikan hal-hal yang bersifat etika–moral, seperti
menjaga kehormatan suami. Kalangan Malikiyah memberikan definisi lain. Menurutnya iddah
merupakan masa kosong yang harus dijalani seorang perempuan. Pada masa itu ia dilarang kawin
disebabkan sudah ditalak (cerai) atau ditinggal mati sang suami. 4

‘Iddah sudah dikenal pada masa Jahiliyah. Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap diakui sebagai
salah satu dari ajaran syariat karena banyak mengandung manfaat.. Ketentuan wajibnya ‘iddah
disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi: “Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.

Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda dalam sebuah hadithnya yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dalam sunannya yang berbunyi: “Dari Ali bin Muhammad, dari Waki’ dari Sufyan
dari Manshur dari Ibrahim dari Aswad dari Siti Aisyah r.a. berkata, “Barirah diperintahkan untuk
menghitung masa beriddah tiga kali haid.

Adapun tujuan diwajibkannya ‘iddah antara lain untuk mengetahui bersihnya rahim dari benih
yang ditinggalkan oleh suaminya sehingga tidak terjadi percampuran nasab. Selain itu, ‘iddah juga
bertujuan memberikan peringatan bagi para laki-laki lain yang ingin menikahi wanita yang baru
dicerai atau ditinggal mati suaminya, karena seorang laki-laki asing tidak diperbolehkan menikahi
wanita yang masih dalam masa ‘iddah. Hal ini sebagaimana ditentukan al-Qur’an surat al-Baqarah

2
Nurnazli, jurnal: Relevansi Penerapan ‘Iddah Di Era Teknologi Modern. Hal 3
3
Zukhaili Muhammad, Al Mu’tamad fil fiqh asy syafi’I, Damaskus: Dar alqalam, 2000. Hal 251
4
Ibid hal 4
ayat 235 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya.

Larangan ayat di atas ditujukan bagi laki-laki lain yang ingin menikahi wanita yang sedang
menjalani masa ‘iddah, bukan untuk mantan suami karena selama masa ‘iddah talak raj’i mantan
suami berhak kembali (ruju’) kepada isterinya. Adanya masa tunggu tersebut dapat memberikan
kesempatan bagi suami yang telah menceraikan istrinya untuk berpikir kembali dan menyadari,
bahwa talak tersebut tidak baik. Hal ini, dapat memungkinkan mantan suami untuk kembali hidup
bersama dengan istrinya tanpa harus mengadakan akad baru.5

B. Landasan Hukum
Iddah wajib bagi seorang istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kematian maupun
cerai karena faktor lain. Dalil yang menjadi landasannya adalah firman Allah Swt dalam Surat al
-Baqarah 228:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isteri. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”6

Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda dalam sebuah hadithnya yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dalam sunannya yang berbunyi: “Dari Ali bin Muhammad, dari Waki’ dari Sufyan
dari Manshur dari Ibrahim dari Aswad dari Siti Aisyah r.a. berkata, “Barirah diperintahkan untuk
menghitung masa beriddah tiga kali haid.7

Ijma’ Sahabat dan para ulama setelahnya menyatakan pensyariatannya bagi wanita. Dan tidak
satupun ulama yang menyelesihinya.8

C. Macam-macam ‘Iddah
a. Dari segi subjek
 Wanita ditalak saat suci.maka masa iddahnya dimulai saat itu juga dan tinggal
menghitung jumlah sisa masa suci.
Apabila ditalak dalam masa suci kemudian tidak lama ia memasuki fase haid. Maka
pendapat Adzhar dalam madzhab syafi’i ialah mengulang kembali atau menghitung
kembali setelah haid saat itu selesai.
 Wanita yang ditalak saat haid. Maka masa ‘iddahnya berakhir pada haid yang ke
empat dikarenakan tidak mendapati talak saat suci

5
Muchidah Izzatul, Jurnal: Hukum Penggunaan Sosial Media Oleh Wanita Yang Dalam Masa ‘Iddah. Hal 3
6
Ibid. hal 6
7
Ibid. hal 3
8
Ibid hal 252
Wanita yang ditalak dalam keadaan istihadhah tapi bukan mutahayyirah (bingung).
Maka masa ‘iddahnya bisa dihitung dengan perkiraan masa haid seperti biasa
wanita tersebut alami.
 Wanita yang ditalak dalam keadaan istihadhah dan dalam keadaan bingung
terhadap masa istihadhan. Maka masa iddahnya digenapkan menjadi tiga bulan.
Dan dalam pendapat lain hingga ia putus asa.9
b. Dari segi penyebab
 Kematian
 Jika suami meninggal dan istri dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya
hingga ia melahirkan.
 Jika wanita tidak dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya hingga empat
bulan sepuluh hari
 Suaminya hilang.
Ialah ketika suami menghilang tanpa kabar apapun hingga muncul prasangka
bahwasanya suaminya telah meninggal. Maka suami tersebut tetap dihukumi hidup,
sesuai dengan kaidah istishab. Keadaan tersebut tetap bertahan hingga datang
keyakinan yang mengalahkan prasngkanya bahwasanya suaminya meninggal
dalam kurun waktu yang lama tanpa ada pemenuhan hak. Atau juga telah mencapai
perkiraan Sembilan tahun. Maka apabila telah mencapai keadaan tersebut harta
suami dibagikan dan wanita tersebuty amsuk dalam masa ‘iddah.
Dalam pendapat madzhab qodim wanita tersebut bertahan dalam tarabbus selama
4 tahun sejak menghilangnya sang suami. Kemudian hakim menghukuminya telah
meninggal. Setelah itu wanita tersebut memasuki masa ‘iddah.10
 Perceraian
 Ditalak sebelum dukhul baik dengan fasakh atau talaq maka tidak wajib
iddah bagi wanita tersebut. Berbeda dengan yang ditinggal mati walaupun
sebelum dukhul tetap wajib ‘iddah.
 Ditalak setelah dukhul maka diwajibkan ‘iddah bagaimanapun
gambarannya tetap wajib apabila talak settelah dukhul.11
c. Talak setelah dukhul
 ‘iddah bagi yang ditalak setelah dukhul dalam keadaan hamil ialah hingga ia
melahirkan anaknya. Dan apabila ia mengandung lenih dari satu maka masa
iddahnya hingga anak terakhir yang ada di kandungan dilahirkan
 ‘’’iddah bagi yang ditalak di luar kehamilan terdapat dua jenis:
 ‘iddah dengan hitungan quru’. Apabila wanita diketahui dan mengalami
masa hiad

9
Al Mahalli Jalaluddin, Kanzur Raghibiin Syarhu Minhaajuth Thullab lil Imam An Nawawi. Dar Al Kutub Al Ilmiyyah.
Hal 227.
10
Ibid, hal 257
11
Ibid hal 261
 ‘iddah dengan hitungan bulan. Apabila wanita tersebut belum mengalami
haid dikarenakan belum baligh atau karena suatu penyakit hingga ia tidak
memiliki fase menstruasi dalam hidupnya.12

D. Nafkah Wanita ‘Iddah (Mu’taddah)


Menurut syaikh Muhammad Zukhaili terdapat dua jenis

a. Nafkah mu’taddah karena kematian.


Maka tidak wajib nafkah untuk istri dan ia pun tidak berhak walupun ia dalam keadaan
hamil atau tidak. Karena kewajiban suami terhadap istrinya terputus dengan adanya
kematian suami.
b. Nafkah mu’taddah karena talaq
 Mu’taddah yang hamil
Maka haknya diberi nafkah hingga ia melahirkan anak yang dikandungnya
 Mu’taddah yang tidak hamil
Apabila mu’taddah karena talaq ba’in atau khulu’ atau fasakh karena
mahram, maka mu’taddah tidak ada hak menerima nafkah. Berbeda dengan
mu’taddah karena talaq raj.i yang mana mantan suami wajib memberi
nafkah selama masa ‘iddahnya.13

E. Hak Tinggal Mu’taddah


Menurut Imam Nawawi dalam kitab Minhaj at Thalibin bahwasanya mantan suami wajib
memberikan hak tinggal bagi mantan istrinya yang ditalak baik karena khulu’, fasakh, talak ba’in
maupun raj’i. tapi tidak dengan nusyuz. Adapun posisi mantan suami tidak berhak untuk
mengeluarkannya dari rumah. Begitu pula mu’taddah tidak boleh keluar dari rumah selama masa
‘iddah. Kecuali bagi mu’taddah karena wafat atau dalam keadaan darurat. Maka boleh keluar.

F. Batasan Bagi Mu’taddah Karena Kematian


Syari‟at Islam telah menentukan tiga larangan yang tidak boleh dilanggar oleh perempuan
saat menjalani masa iddah. Ketiga larangan tersebut sekaligus tidak berlaku lagi ketika masa
iddah telah selesai.

Ketiga larangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Haram menikah dengan laki-laki lain

Seorang perempuan yang sedang menjalani iddah baik karena dicerai, fasakh maupun
ditinggal mati oleh suami tidak boleh menikah

12
Ibid hal 264
13
Ibid. hal 264
dengan selain dengan laki-laki yang meninggalkan atau menceraikannya itu. Jika ia menikah maka
pernikahannya dianggap tidak sah, dan jika ia melakukan hubungan badan maka dia terkena
hukuman al-hadd.

2. Haram keluar rumah kecuali karena alasan darurat

Perempuan yang sedang menjalani masa ‟iddah tidak boleh keluar dari rumah yang
ditinggali bersama suaminya sebelum bercerai. Dia baru boleh keluar jika ada keperluan
mendesak, seperti membeli kebutuhan pokok atau obat-obatan. Selain itu, sang suami juga tidak
boleh memaksanya keluar rumah kecuali jika dia telah melakukan perbuatan terlarang seperti
perzinaan

3. Wajib melakukan ihdad

Perempuan yang ditinggal mati suaminya wajib melakukan ihdad (menahan diri) sampai habis
masa „iddahnya. Kata ihdad berarti tidak memakai perhiasan, wewangian, pakaian bermotif, pacar
dan celak mata.

G. Tujuan dan Hikmah ‘iddah


Pemberlakuan ‘iddah terhadap seorang perempuan merupakan ketentuan hukum baku yang
ditetapkan oleh alQur‟an. Hanya saja hikmah yang terkandung dalam penerapannya tidak
dijelaskan. Oleh sebab itu para pemikir/fuqaha seperti Imam-Imam Mazhab banyak melakukan
kajian-kajian terhadap pemberlakuan ‘iddah tersebut. Ini merupakan upaya untuk merasionalkan
hukum baku yang telah ditetapkan oleh musyarri’. Para ulama melakukan berbagai menafsiran
tentang tujuan dan hikmah ‘iddah tersebut dengan berbagai argumentasi. Penafsiran para ulama
tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada pada masanya. Juga tidak terlepas dari
sistem kekerabatan patrilineal yang cenderung dianut pada masyarakat waktu itu.

Tujuan ‘iddah adalah untuk mengetahui kebersihan rahim seorang perempuan, untuk
melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan rasa duka bagi seorang perempuan yang kematian
suaminya.

Setelah dilakukan penelusuran pada literatur-literatur seperti Fiqh al-Sunnah, I’anatu al-
Thalibin dan Kitab al-Fiqh ala al Mazhahibu al-Alrba’ah, para ulama merumuskan
sekurangkurangnya terdapat lima hikmah yang terkandung di dalam ketentuan ‘iddah bagi
perempuan, baik karena cerai hidup maupun karena cerai mati, hikmah tersebut meliputi :

a. Untuk mengetahui kebersihan rahim seorang perempuan/isteri;

b. Untuk memberikan kesempatan kepada keduabelah pihak suami dan isteri yang bercerai
hidup guna merajut kembali ikatan perkawinan yang kandas dan putus karena perceraian, sehingga
diberikan peluang untuk mengoreksi kelemahan dan kekurangan masing-masing.
c. Untuk menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah perkawinan, yaitu
dengan menghimpun orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan member tempo berfikir pada
kedua belah pihak. Jika tidak demikian, maka tidak ubahnya seperti anak-anak.

d. Keagungan perkawinan tidak terwujud sebelum suami isteri hidup lama dalam bingkai
rumah tangga. Jika terjadi sesuatu yang mengharusan putusnya perkawinan, maka untuk
mewujudkan tetap terjaganya kelanggengah harus diberi tempa memikirkan dan memperhatikan
kerugiannya.

e. Semata-mata ibadah kepada Allah dan mematuhi perintahnya yang terkandung di dalam
al-Qur‟an, dimana perintah itu diperuntukkanbagi perempuanperempuan muslimah.

Hikmah diberlakukannya ‘iddah pada prinsipnya tidak hanya ditujukan untuk kaum perempuan
saja, tetapi juga adanya ‘iddah membawa kemaslahatan bagi laki-laki (suami), karena Islam
menurunkan aturan ‘iddah adalah untuk kemaslahatan bagi semua pihak, baik suami, isteri maupun
keluarga keduabelah pihak.Pada perkembangan sekarang, secara filopsofis, ‘iddah juga ada yang
diberlakukan terhadap laki-laki (suami) dalam kasus-kasus tertentu14

14
Ibid. hal 10
DAFTAR PUSTAKA
Al Mahalli Jalaluddin, Kanzur Raghibiin Syarhu Minhaajuth Thullab lil Imam An Nawawi. Dar
Al Kutub Al Ilmiyyah. 2013

Muchidah Izzatul, Jurnal: Hukum Penggunaan Sosial Media Oleh Wanita Yang Dalam Masa
‘Iddah

Nurnazli, jurnal: Relevansi Penerapan ‘Iddah Di Era Teknologi Modern

Zukhaili Muhammad, Al Mu’tamad fil fiqh asy syafi’I, Damaskus: Dar alqalam, 2000.

Wahyudi, Muhamad Isna. "KAJIAN KRITIS KETENTUAN WAKTU TUNGGU (IDDAH)


DALAM RUU HMPA BIDANG PERKAWINAN." Jurnal Hukum dan Peradilan 5.1 (2016):
19-34.

Anda mungkin juga menyukai