Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan landasan hukum yaitu


yang disepakati dan yang tidak disepakati. Adapun landasan hukum yang
disepakati oleh para ulama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Sedangkan landasan hukum Islam yang tidak disepakati salah satunya adalah
Istishab.

Istishab sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat digunakan


sebagai rujukan oleh mujtahid untuk mengetahui hukum dari permasalahan
yang dihadapinya apabila tidak terdapat penjelasan dalam al-Qur’an dan as-
sunnah.

Dalam peristilahan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum


menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya
menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu. Pada
makalah ini penulis akan membahas tentang Istishab dan juga penerapannya
dalam Ekonomi Keuangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian istishab?
2. Apa landasan istishab?
3. Bagaimana pandangan Ulama terhadap istishab?
4. Apa saja macam-macam istishab?
5. Bagaimana penerapan istishab dalam Ekonomi Keuangan?

1
1.3 Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan adalah
sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian istishab


2. Mengetahui landasan istishab
3. Mengetahui pandangan Ulama terhadap istishab
4. Mengetahui macam-macam istishab
5. Mengetahui penerapan istishab dalam Ekonomi Keuangan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Istishab

a. Secara Etimologi

Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba


(‫ ) استصحب‬dalam shigat is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫الصحبة استمرار‬. Kalau
kata ‫ الصحبة‬diartikan “sahabat” atau “teman”, dan ‫ استمرار‬diartikan “selalu”
atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu
menemani” atau “selalu menyertai”.1

b. Secara Terminologi

Istishab adalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan


hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan
perubahan hukumnya.

c. Menurut Para Ahli


 Imam Asy-Syaukani

" Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang


mengubahnya."

Maksud dari definisi Imam Asy-Syaukani adalah, pada prinsipnya


eksistensi hukum suatu masalah pada masa lalu tetaplah berlaku pada masa
kini maupun yang akan datang, dengan syarat tidak ada perubahan pada
masalah tersebut. Tetapi, jika terdapat perubahan pada objek hukum tersebut,
maka hukumnya juga akan berubah dengan sendirinya.2

1
Satri Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008)
2
Wikipedia “Istishhab” Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Istishhab pada 30 Oktober 2017
pukul 22.00

3
 Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah

"Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang sudah ada, atau


menegasikan suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil
lain yang mengubah keadaan tersebut."

Maksud dari definisi Imam Ibnu Qayyim adalah, suatu hukum baik
dalam bentuk positif maupun negatif, tetap berlaku selama belum ada yang
mengubahnya, dan status keberadaan hukum tersebut tidak memerlukan dalil
lain untuk dapat tetap terus berlaku.3

 Imam Ibnu Hazm

"Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nash, sampai ada


dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut."

Maksud dari definisi Imam Ibnu Hazm adalah, suatu hukum


dinyatakan terap berlaku, jika landasannya adalah nash. Dengan demikian,
bahwa penetapan hukum tidak cukup ahnya berdasarkan prinsip kebolehan
dasar, tetapi harus dikukuhkan oleh dalil yang bersumber dari nash.4

Dari pengertian istishab yang dikemukakan para ulama di atas, dapat


dipahami bahwa istishab adalah :

a. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tatap
berlaku pada masa sekarang, kecuali jika ada yang telah mengubahnya.
b. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada
masa lalu.5

3
Ibid
4
Ibid
5
Muhammad Muslih,M.Ag. Fiqih 3 untuk Madrasah Aliyah Kelas XII (Bogor: Yudhistira, 2011)
hal.30

4
2.2 Landasan Istishab

Adapun landasan dari istishab menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah


firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 29 yakni:

     


   
   
    
 

29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.

Dalam ayat yang lainnya Allah juga berfirman:

    


     
    
 

13. dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.

     


    
  
   
     
     
 

20. tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk


(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan

5
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah
tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab
yang memberi penerangan.

Dalam beberapa ayat tesebut diatas Allah menjelaskan bahwasanya apa


yang ada di langit dan bumi semuanya untuk manusia, dan tidaklah apa yang ada
di langit dan bumi itu dijadikan dan ditaklukkan untuk manusia, kecuali hal itu
diperbolehkan bagi manusia karena seandainya itu dilarang, niscaya bukan untuk
manusia semua itu diciptakan.

2.3 Pandangan Ulama terhadap Istishab

Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode


ijtihad ketika tidak ada keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah. Ada yang
menerima dan ada pula yang menolaknya. Ulama yang menerima istishab sebagai
metode penetapan hukum memberikan argumen sebagai berikut:6

1. Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat


seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai
wudhu atau belum. Lalu apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai
wudhu atau tidak, maka ia ditetapkan masih mempunyai wudhu dan boleh
shalat. Dengan demikian, keadaan awal harus dijadikan patokan, apabila
mempunyai wudhu keadaan ini yang berlaku dan apabila tidak mempunyai
wudhu keadaan ini pula yang berlaku. Sekiranya tidak demikian cara
menetapkannya, tentu akan bertentangan dengan ijma’. Cara menetapkan
hukum yang demikian itu merupakan wujud dari istishab.
2. Para ahli pikir dan ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak eksisnya
sesuatu dengan kondisi tertentu, membolehkan penetapan putusan pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka
mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang
semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan

6
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)

6
diakui pula efektifnya wadiah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini
jelas menunjukkan prinsip istishab.
3. Aturan –aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga
berlaku bagi kita yang hidup setelah masa tersebut. Jadi kita juga terkena
taklif aturan aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip
istishab, yakni yang sudah ada tetap diakui ada sebagaimana adanya.
4. Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan
haramnya si laki-laki berhubungan terhdap si perempuan, si laki-laki itu
ragu apakah telah berakad atas si perempuan itu atau tidak. Keadaan ragu
yang timbul terhadap talak tidak menyebabkan haranya si suami
menggauli si istri, si suami ragu apakah telah mentalak istrinya atau tidak.
Dalam dua kasusus sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus
pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada yakni ketiadaan akad
sebelum timbul keraguan. Sedangkan pada kasus kedua terjadi istishab
pada kondisi yang ada yakni adanya akad. Sekiranya istishab tidak
menunjukkan adanya dugaan yang kuat atas keterus berlakuan tentu
hukum dari kedua itu sama.

Adapun ulama yang menolak istishab sebagai metode ijtihad memberikan


argumen sebagai berikut:7

1. Telah ada ijma’ bahwa keterangan yang bersifat menetapkan harus di


prioritaskan daripada keterangan yang bersifat mengingkari. Maksudnya
adalah sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya
sesuatu maka keterangan yang bersifat mengingkari itu, karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut maka lebih layak untuk diprioritaskan.
2. Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu
dalil, dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali kesiasian, oleh
karenanya istishab bukan hujjah yang syar’iyyah.
3. Dalam fiqh mazhab syafi’i, tindakan membayar kafarah dengan cara
memerdekakan budak yang hilang, tidaklah sah secara syar’iy dan

7
Ibid

7
sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,
tentu tindakan membayar kafarah dengan cara demikian itu sah hukumnya.

2.4 Macam – Macam Istishab

Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam,
Yaitu:8

1. Istishab hukum al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum


sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada
dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan
yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing
berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai
pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan
berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i.
Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya
peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang
menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi
kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah
(kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada
segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila
datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang
dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang
membatalkannya.
3. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum
datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama
tidak ada dalil yang nash (yang membatal-kannya). Suatu nash yang
umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang
suatu nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan
jalan takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan

8
http://seaskystone.blogspot.co.id/2014/12/makalah-fiqih-ilmu-ushul-fiqih-istihsan.html,
diakses pada 21 Oktober 2017 pukul 00.30

8
sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang khusus.
Contohnya: kewajiban puasa yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap
wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash
lain yang membatalkannya.
4. Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada
kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau,
sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan
sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama
lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu
dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu
nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan
pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini? padahal
kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar
ia berada disini kemarin.
5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau
tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga
diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali
yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang.
Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus
yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat.
Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat
air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu
ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada
keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang
menunjukkan batalnya penetapan tersebut.

2.5 Penerapan Istishab dalam Ekonomi Keuangan

Istishab adalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan


hukum yang terdahulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan
perubahan hukumnya. Salah satu contohnya dalam perekonomiaan ialah MLM
(Multi Marketing Level). MLM adalah sistem penjualan yang memanfaatkan

9
konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung. Sistem penjualan ini
menggunakan beberapa level (tingkatan) di dalam pemasaran barang
dagangannya.9

Promotor (upline) adalah anggota yang sudah mendapatkan hak


keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline) adalah anggota
baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. Akan tetapi, pada beberapa
sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa berubah-ubah sesuai dengan
syarat pembayaran atau pembelian tertentu.

Transaksi jual beli dengan menggunakan sistem MLM hukumnya


haram. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut :

1. Alasan Pertama: Di dalam transaksi dengan metode MLM, seorang


anggota mempunyai dua kedudukan:
a. Kedudukan pertama, sebagai pembeli produk, karena dia
membeli produk secara langsung dari perusahaan atau
distributor. Pada setiap pembelian, biasanya dia akan
mendapatkan bonus berupa potongan harga.
b. Kedudukan kedua, sebagai makelar, karena selain membeli
produk tersebut, dia harus berusaha merekrut anggota baru.
Setiap perekrutan dia mendapatkan bonus juga.

Pertanyaannya adalah bagaimana hukum melakukan satu akad dengan


menghasilkan dua akad sekaligus, yaitu sebagai pembeli dan makelar?

Dalam Islam hal itu dilarang, ini berdasarkan hadist-hadist di bawah


ini:

a. Hadits abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

‫سو ُل نَ َهى‬ ّ ‫صلّى‬


ُ ‫َللاه َر‬ ّ ‫سلّ َم َعلَ ْي هه‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫َب ْي َعة فهي َب ْي َعتَي هْن َع ْن َو‬

9
Farasyi, “MLM dalam perspektif hukum Islam”, Diakses dari
http://farasyi.blogspot.co.id/2014/07/multi-level-marketing-mlm-dalam-islam_6.html pada 31
Oktober 2017 pukul 03.00

10
“Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah melarang dua pembelian
dalam satu pembelian.”( HR Tirmidzi, Nasai dan Ahmad. Berkata Imam
Tirmidzi : Hadist Abu Hurairah adalah hadist Hasan Shahih dan bisa menjadi
pedoman amal menurut para ulama)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang hadist ini, sebagaimana


dinukil Imam Tirmidzi, “Yaitu jika seseorang mengatakan, ’Aku menjual
rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual
budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi
milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu’.” (Sunan Tirmidzi, Beirut,
Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 3, hlm. 533)

Kesimpulannya bahwa melakukan dua macam akad dalam satu


transaksi yang mengikat satu dengan yang lainnya adalah haram berdasarkan
hadist di atas.

b. Hadist Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasulullah shallallaahu


'alaihi wasallam bersabda :

‫سلَف يَ هحل َل‬


َ ‫ان َو َل َوبَيْع‬
‫ط ه‬َ ‫ض َم ْن لَ ْم َما هر ْب ُح َو َل بَيْع فهي ش َْر‬ َ ‫هع ْندَكَ لَي‬
ْ َ ‫ْس َما َب ْي ُع َو َل ت‬

"Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua


syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau
jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu." (HR. Abu Daud)

Hadits di atas juga menerangkan tentang keharaman melakukan dua


transaksi dalam satu akad, seperti melakukan akad utang piutang dan jual beli,
satu dengan yang lainnya saling mengikat. Contohnya: Seseorang berkata
kepada temannya, “Saya akan jual rumah ini kepadamu dengan syarat kamu
meminjamkan mobilmu kepada saya selama satu bulan.” Alasan diharamkan
transaksi seperti ini adalah tidak jelasnya harga barang dan menggantungkan
suatu transaksi kepada syarat yang belum tentu terjadi. (Al Mubarkufuri,
Tuhfadh al Ahwadzi, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 4, hlm. 358, asy
Syaukani, Nailul Author, Riyadh, Dar an Nafais, juz : 5, hlm: 173)

11
2. Alasan Kedua: Di dalam MLM terdapat makelar berantai. Sebenarnya
makelar (samsarah) dibolehkan di dalam Islam, yaitu transaksi di mana
pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya memasarkan
produk dan pertemukannya dengan pembelinya.

Adapun makelar di dalam MLM bukanlah memasarkan produk, tetapi


memasarkan komisi. Maka, kita dapatkan setiap anggota MLM memasarkan
produk kepada orang yang akan memasarkan dan seterusnya, sehingga
terjadilah pemasaran berantai. Dan ini tidak dibolehkan karena akadnya
mengandung gharar dan spekulatif.

3. Alasan Ketiga: Di dalam MLM terdapat unsur perjudian, karena


seseorang ketika membeli salah satu produk yang ditawarkan,
sebenarnya niatnya bukan karena ingin memanfaatkan atau memakai
produk tersebut, tetapi dia membelinya sekedar sebagai sarana untuk
mendapatkan point yang nilainya jauh lebih besar dari harga barang
tersebut. Sedangkan nilai yang diharapkan tersebut belum tentu ia
dapatkan.

Perjudian juga seperti itu, yaitu seseorang menaruh sejumlah uang di


meja perjudian, dengan harapan untuk meraup keuntungan yang lebih banyak,
padahal keuntungan tersebut belum tentu bisa ia dapatkan.

4. Alasan Keempat: Di dalam MLM banyak terdapat unsur gharar


(spekulatif) atau sesuatu yang tidak ada kejelasan yang diharamkan
Syariat, karena anggota yang sudah membeli produk tadi, mengharap
keuntungan yang lebih banyak. Tetapi dia sendiri tidak mengetahui
apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah merugi.

Dan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam sendiri melarang


setiap transaksi yang mengandung gharar, sebagaimana diriwayatkan oleh
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :

‫سو ُل نَ َهى‬ ّ ‫صلّى‬


ُ ‫َللاه َر‬ ّ ‫سلّ َم َعلَ ْي هه‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫ع ْن ْال َح‬
َ ‫صا هة َبيْعه َع ْن َو‬ َ ‫ْالغ ََر هر َبيْعه َو‬

12
“Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan
cara al-hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang
mengandung unsur gharar (spekulatif).“ (HR. Muslim, no: 2783)

5. Alasan Kelima: Di dalam MLM terdapat hal-hal yang bertentangan


dengan kaidah umum jual beli, seperti kaidah : Al Ghunmu bi al
Ghurmi, yang artinya bahwa keuntungan itu sesuai dengan tenaga yang
dikeluarkan atau resiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada pihak-
pihak yang paling dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level
paling bawah, karena merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk
merekrut anggota baru, tetapi keuntungannya yang menikmati adalah
orang-orang yang berada pada level atas.

Merekalah yang terus menerus mendapatkan keuntungan-keuntungan


tanpa bekerja, dan mereka bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Apalagi jika mereka kesulitan untuk melakukan perekrutan, dikarenakan
jumlah anggota sudah sangat banyak.

6. Alasan Keenam: Sebagian ulama mengatakan bahwa transaksi dengan


sistem MLM mengandung riba riba fadhl, karena anggotanya
membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah
yang lebih besar darinya, seakan-akan ia menukar uang dengan uang
dengan jumlah yang berbeda. Inilah yang disebut dengan riba fadhl
(ada selisih nilai). Begitu juga termasuk dalam kategori riba nasi’ah,
karena anggotanya mendapatkan uang penggantinya tidak secara cash.

Sementara produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada


lain hanya sebagai sarana untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan
anggota, sehingga keberadaannya tidak berpengaruh dalam hukum transaksi
ini.

Sebelum adanya keputusan para ulama tentang haramnya MLM,


kegiatan MLM dihalalkan. Tapi setelah keluar hukum baru yang menyatakan
MLM itu haram maka MLM itu Istishabkan dan hukumnya menjadi Haram.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Istishab adalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan


hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan
hukumnya.

Istishab sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat digunakan sebagai
rujukan oleh mujtahid untuk mengetahui hukum dari permasalahn yang
dihadapinya apabila tidah terdapat penjelasan dalam al-Qur’an dan as-sunnah.

Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode


ijtihad, ketika tidak ada keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah.

Salah satu contoh istishab dalam ekonomi ialah MLM (Multi Marketing
Level). Sebelum adanya keputusan para ulama tentang haramnya MLM, kegiatan
MLM dihalalkan. Tapi setelah keluar hukum baru yang menyatakan MLM itu
haram maka MLM itu Istishabkan dan hukumnya menjadi Haram.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Istishhab

Efendi, Satri. Ushul Fiqh. Cet. 1 ; Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008

Muslih, Muhammad. Fiqih 3 untuk Madrasah Aliyah Kelas XII. Bogor :


Yudhistira, 2011

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011

http://seaskystone.blogspot.co.id/2014/12/makalah-fiqih-ilmu-ushul-fiqih-
istihsan.html

http://www.voa-islam.com/

http://farasyi.blogspot.co.id/2014/07/multi-level-marketing-mlm-dalam-
islam_6.html

15

Anda mungkin juga menyukai