Anda di halaman 1dari 12

Mafhum Mukhalafah

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Ushul Fiqh/ Qawaid Fiqyyah

Oleh:
Aki Edi Susanto
NIM F02418137

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. A. Faishal Haq, M. Ag
NIP 195005201982031001

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


PASCASARJANA UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2019
Mafhum Mukhalafah
Aki Edi Susanto NIM F02418137

A. PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dianugerahi akal, dimana dengan akal
inilah manusia mampu berpikir dan memilih. Sehingga setiap tindakan dan perbuatan manusia
didasarkan atas pertimbangan akalnya. Hanya saja manusia membutuhkan pedoman dan
petunjuk untuk menggunakan akalnya supaya manusia tidak secara liar berpikir dan memilih
yang pada akhirnya akan mengantarkan dan menjerumuskan manusia itu ke jalan yang
seharusnya tidak dia tempuh.
Al-Qur’an yang berdampingan dengan hadis merupakan petunjuk yang dipercaya
oleh umat Islam sebagai pedoman hidup. Sebagian petunjuk Al-Qur’an maupun hadist
tersebut adalah mengenai hukum. Ulama dengan berbagai mazhabnya yang berbeda-beda
sepakat bahwa manusia tidak terlepas dari hukum dalam kehidupannya sehari-hari, baik
hukum yang mangatur hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) ataupun yang mengatur
hubungan antar sesama manusia.
Redaksi Al-Qur’an dan hadist ada yang dapat dipahami dengan apa adanya, tidak lebih
dan tidak kurang. Namun ada kalanya harus masuk ke kedalaman kata atau kalimat yang
terkandung di dalamnya sehingga lahir makna-makna baru yang tidak berhubungan langsung
dengan apa yang tertulis. Dalam pandangan ulama Syafi’iyah ada dua macam untuk
memahami redaksi nash tersebut, yaitu mantuq dan mafhum yang telah dijelaskan
sebelumnya. Pada makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang salah satu bentuk
mafhum, yaitu Mafhum Mukhalafah dalam pemikiran ulama Syafi’iyah dan landasan hukum
ulama Hanafiyah menolak untuk berdalil dengan Mafhum Mukhalafah ini.

PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sumber Dalil
Mafhum berasal dari kata fahima yang berarti mengerti dan paham. Mafhum berarti
sesuatu yang dimengerti dan dipahami.
Mafhum mukhalafah adalah mafhum yang lafaz-nya menunjukkan bahwa hukum yang
tidak disebutkan bebeda dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan hukum
yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada
mantuq.1

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), 159.
1
Mafhum secara bahasa adalah “sesuatu yang dipahami dari suatu teks”, dan menurut
istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau pengertian
kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah)”.
Mafhum Mukhalafah, menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, seperti dinukil Mustafa
Sa’id al-Khin, adalah penunjukkan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat
ketika ternafinya suatu persyaratan. Mafhum Mukhalafah didapati pada objek hukum yang
dikaitkan dengan sifat, syarat, batas waktu, atau jumlah bilangan tertentu, sehingga hukum
sebaliknya menurut mayoritas ulama ushul fiqh secara sah dapat ditarik bilamana objek
hukum itu terlepas dari berbagai kaitan tersebut.

Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Mukhalafah


Berbeda dengan itu, kalangan hanafiyah menolak Mafhum Mukhalafah sebagai
landasan pembentukan hukum. Alasan mereka antara lain, bahwa dapat dibuktikan dalam Al-
Qur’an dimana apabila Mafhum Mukhalafah difungsikan, akan rusaklah pemahaman ayat
hukum. Misalnya, ayat 130 surat Ali Imran:

             

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda[ dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.(QS. Ali Imran/3:130)

Mafhum Mukhalafah dari ayat tersebut berarti halalnya riba yang tidak berlipat ganda,
namun pemahaman seperti itu adalah keliru, karena riba yang tidak berlipat ganda pun haram
hukumnya. Hal itu menunjukkan bahwa Mafhum Mukhalafah tidak dapat difungsikan dalam
Al-Qur’an. 2

B. Macam-macam Mafhum Mukhalafah


a. Mafhum sifat; adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu sifat terhadap
kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut.3
Sebagaimana firman Allah Swt :

              



2
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), 214-216.
3
Muchsin Nyak Umar, Ushul Fiqh, (Darussalam Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008), 5.
“Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanny
uantuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki. (QS. An-Nisa : 25).

Manthuq ayat tersebut membatasi kebolehan mengawini budak perempuan yang


beriman saja, jika seseorang tidak sanggup mengawini wanita merdeka, Kemudian dari
nash tersebut diambil mafhum mukhalafahnya: tidak boleh mengawini budak perempuan
yang tidak mukmin, karena iman merupakan suatu sifat yang membatasi kebolehan
menikahinya.
Mafhum sifat dijadikan oleh jumhur, sementara Abu Hanifah dan Malik menafikan dan
menolak kehujjahannya.
b. Mafhum syarat, yaitu: dalalah lafal terhadap hukum yang tergantung pada suatu syarat,
maka ketika syarat tersebut tidak ada, maka hukum tersebut juga tidak ada, atau kebalikan
hukum tersebut berlaku padanya. Misalnya firman Allah swt :

         

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berihanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. (QS Ath-Thalaq : 6).

Manthuq ayat ini menunjukkan kewajiban menafkahi istri yang beriddah dengan syarat ia
hamil. Berdasarkan itu, diambil mafhum mukhalafahnya, yakni: apabila ia tidak hamil,
maka tidak berhak nafkah selama iddah. Oleh karena itulah, mantan suami tidak wajib
menafkahi istri yang diceraikannya dan masih dalam iddah, kecuali apabila talaknya raj’i
(dapat dirujuk) atau sedang hamil, pendapat ini berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi
yang menolak mafhum mukhalafah. Dalam pandangan mereka, nafkah mantan istri yang
ditalak dan masih dalam iddah wajib atas mantan suaminya, baik istri itu hamil maupun
tidak hamil, kecuali si mantan istri menggugurkan tuntutan hak nafkahnya. Ini didasarkan
pada firman Allah swt :

              

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang
yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya”. (QS. Ath- Thalaq [65]: 7).4

4
Ahmad Atabik, Peranan Manthuq Dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Alqur’an Dan
Sunnah, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Yudisia, Vol. 6, No. 1, (Juni 2015), 112.
3
Contoh lainnya, firman Allah Swt :

              

 

“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”. (QS. An-Nisa [4]: 25).

Manthuq ayat tersebut menunjukkan kebolehan mengawini budak perempuan mukmin


dengan syarat si laki-laki tidak mampu secara ekonomi mengawini perempuan mukmin
yang merdeka. Mafhum mukhalafahnya, jika ia masih berkemampuan secara finansial
untuk membiayai kawin dengan perempuan mukmin yang merdeka, maka mengawini
budak perempuan itu haram baginya.
c. Mafhum Ghayah, yaitu: penunjukkan suatu lafal yang terkait padanya hukum yang
dibatasi dengan limit waktu atas tidak berlakunya hukum itu setelah limit waktunya
berlaku.5
Misalnya, firman Allah swt:

                    

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. Al-Baqarah:
187).

Manthuq ayat tersebut memperbolehkan makan minum sampai datang fajar. Mafhum
mukhalafahnya menunjukkan bahwa sesudah datang fajar seseorang yang berpuasa
dilarang makan dan minum.
Misal lainnya, firman Allah Swt:

     

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci”. (QS. Al-Baqarah :
222) .

5
Tumin, Pendapat Ulama Tentang Hukum Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah, Jurnal Syarah,
Vol. 7, No. 1. (Januari – Juni 2018), 7.
Manthuq ayat tersebut mengharamkan mencampuri istri sebelum suci. Mafhum
mukhalafahnya, sesudah suci, istri boleh dicampuri.
Misalnya lagi, firman Allah Swt:

           

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan
itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”. (QS Al-
Baqarah : 230).

Manthuq ayat di atas mengharamkan seseorang menikahi mantan istri yang


ditalak tiga kali hingga ia kawin dengan laki-laki lain dan bercerai darinya. si
perempuan halal bagi dinikahi mantan suaminya yang pertama.
Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali mempergunakan mafhum ini sedangka
Mazhab Hanafi tidak berpegang padanya. Dalam pandangan mereka hukum yang
dibatasi dengan batas akhir itu tidak menunjuk kebalikannya. Penunjukan hukumnya
bukan didasarkan mafhum mukhalafah. Dalam contoh beberapa kasus tersebut,
Mazhab Hanafi mempunyai pandangan yang sama dengan jumhur, akan tetapi cara
istinbath hukumnya yang berbeda. Dalam kasus pertama, pada dasarnya dalam puasa
seseorang tidak boleh makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga datang malam.
Dalam kasus kedua, menurut asalnya, istri yang suci atau tidak haid boleh dicampuri
suaminya. Dalam kasus terakhir, menurut asalnya, perempuan lain halal untuk
dinikahi. Dengan demikian, landasannya adalah hukum asalnya, bukan mafhum
mukhalafah.
d. Mafhum bilangan, yaitu: dalalah lafal terhadap hukum yang dibatasi oleh jumlah bilangan
tertentu, yang selanjutnya menafikan hukum tersebut pada jumlah bilangan selain yang
disebutkan itu. Misalnya, firman Allah Swt:

        

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera”. (QS. An-Nur : 2).6

Manthuq ayat ini membatasi hukum dera zina dengan jumlah seratus kali dera, Mafhum
mukhalafahnya jumlah hukuman zina tidak boleh melebihinya atau kurang darinya.
Misalnya lagi, sabda Nabi Saw:
6
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), 194.
5
َ ‫اِذَا َبلَ َغ ْال َما ُء قُلًّتَي ِْن لَ ْم َي ْح ِم ِل ْالخ‬
‫َبث‬
"Apabila air telah mencapai dua qullah (kurang lebih 60 senti meter kubik). Maka tidak
menanggung najis”. (HR Daruquthni).

Mafhum mukhalafahnya, air yang kurang dari dua qullah akan menjadi najis jika bertemu
dengan najis. Baik air itu berubah atau tidak.
Contoh lainnya, firman Allah Swt:

            

       

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 4).

Mafhum mukhalafah ayat tersebut, hukuman penuh zina tanpa bukti tidak boleh kurang
dari delapan puluh kali dera dan tak boleh melebihinya.
e. Mafhum al-hashr (pembatasan), yaitu: penaflan hukum dari sesuatu yang tidak termasuk
dalam sesuatu yang dibatasi hukumnya, dan memberlakukan hukum yang sebaliknya.
Misalnya, sabda Nabi Saw:

ِ ‫ِإنَّ َمااأل َ ْع َما ُل ِبالنَّيَا‬


‫ت‬
“Segala amal hanyalah (sah) dengan niat”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin
Khattab).

Manthuqnya membatasi keabsahan segala amal dengan niat. Mafhum mukhalafahnya,


amal yang tidak diniati tidak sah.
f. Mafhum al-laqab adalah menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim
'alam atauisim nau'. Contohnya yaitu seperti sabda Nabi SAW. Seperti lafadz "fi al-
Ghanami zakâtun". Artinya : pada gandum dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab maka
ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.7
g. Mafhum illat, yaitu: menggantungkan hukum kepada suatu illat (alasan hukum) tertentu,
maka ketika illat itu tidak ada, hukum itu pun hilang dan berlaku kebalikannya. Misalnya:
minuman keras diharamkan karena memabukkan. Mafhum mukhalafahnya, minuman

7
Irsyad al-Fuhul. Imam as-Syaukani, juz 2, 530.
yang tidak mengandung unsur yang memabukkan tidak haram, karena illat keharamannya
hilang.
h. Mafhum al-hal (keadaan), mafhum zaman, dan mafhum tempat, ketiga mafhum ini dinilai
masuk dan mengacu kepada mafhum sifat. Keadaan termasuk sifat, sedangkan keterangan
masa dan tempat menempel kepada makna suatu sifat yang tidak disebutkan secara
eksplisit.8

Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam kehujjahan mafhum mukhalafah dapat
dijadikan dalil atau tidak. Ada dua pendapat sebagai berikut:
1. Madzhab Syafi'iyyah, Malikiyyah, Hanabilah berpendapat bahwa semua macam mafhum
mukhalafah kecuali mafhum al-laqab dapat dijadikan dalil dalam meng-istinbath-kan
sebuah hukum.
2. Madzhab Hanafiyyah berpendapat mafhûm mukhalafah tidak dapat dijadikan dalil dalam
meng-istinbath-kan sebuah hukum. Tetapi menurut sebagian ulama Hanafiyyah
menyatakan bahwa mafhum mukhalafah itu bisa dijadikan sebagai hujjah selama tidak
me-mafhum mukhalafah-kan nash Al-Qur'an dan Al-Sunnah.9

Menurut pendapat ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai


salah satu metode penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum
mukhalafah bukan suatu metode untuk penetapan hukum. Alasan mereka sebagai berikut:
1. Sesungguhnya banyak nash yang akan rusak apabila diambil mafhum mukhalafahnya dan
akan rusak pengertiannya, antara lain sebagai berikut:

                  

               

     

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan
yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun

8
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 210-214.
9
Fabruddin Ali Sabri, “Mafhum Mukhalafah Dalam Surat Al-Nisa”, Nuansa, Vol. 11 No. 2. (Juli –
Desember 2014), 301.
7
memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa”. (QS. At-Taubah: 36).

Apabila ayat tersebut diambil mafhum mukhalaf-nya akan mempunyai arti bahwa
berbuat zalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan diluar itu
tidak haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada setiap saat.10

2. Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan
hukum, melainkan untuk targib dan tarhib, seperti ayat:

                  

          

           

               

                

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmuyang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-
isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Annisa’: 22-23).

Sifat anak tiri pada ayat tersebut, adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan.
Apabila diambil mafhum mukhalaf-nya, hal itu berarti mengawini anak tiri yang diluar
pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’ tetap mengharamkan.

3. Seandainya mafhum mukhalafah-nya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash
yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum

10
Juhaya, Ilmu Ushul Fiqh I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 218.
kemalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak
ditemukan. Menurut jumhur ulama; ushuliyyin, mafhum mukhalafah dapat dijadikan
sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain:
a. Berdasarkan logika, setiap syara’ atau sifat tidak mungkin dicantumkan tampa tujuan
dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama
tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu tidak targib,
tarhib, dan tanfir. Sikap Rasullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khattab dalam
memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ perjalanan dibolehkan
sekalipun dalam keadaan aman.11

                  

     

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-
qashar sembah yang (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (QS. An-
nisa’: 101).

Sebenarnya prinsip dalam hukum Islam tidak lain ialah untuk pembinaan dan
membangun prinsip-prinsip hukum Islam yang mana prinsip Tauhidullah mengatakan
segala hukum dan tindakan seorang Muslim mesti menuju kepada satu tujuan yaitu
kesatuan dalam rangka menyatu dengan kehendak Tuhan, dan tidak bisa meraih
apapun kecuali dengan kehendandak- Nya.12
Dari berbagai penjelasan ayat di atas dapat dipahami secara teks dan kontek
bahwa ayat Al-qur’an terkadang memilki arti yang lebih dari apa yang di ketahui. Dan
disini tugas mantuq dan mafhum ialah memilah atau menjadikan ayat sebagai makna
yang dikehendaki.

11
Ibid, 219.
12
Juhaya, Aspek Sosiologi dalam Pembaharuan Fiqh di Indonesia. Cet II, (Yogyakarta: Walisongo
Press, 2009), 121.
9
PENUTUP
Dari pembahasan yang sangat singkat ini, mungkin dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa, memahami mukhalafah dan mafhum sangatlah penting bagi kehidupan seseorang
demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Akhir kalam, dengan sebuah harapan semoga makalah yang sangat singkat ini dapat
bermanfaat serta membantu dalam memahami mukhalafah dan mafhum, sehingga pemahaman
terhadap teks-teks yang telah ada sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-
Nya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2011.
Ahmad Atabik, Peranan Manthuq Dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Alqur’an
Dan Sunnah, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Yudisia, Vol. 6, No. 1, Juni
2015.
Fabruddin Ali Sabri, “Mafhum Mukhalafah Dalam Surat Al-Nisa”, Nuansa, Vol. 11 No. 2.
Juli –Desember 2014.
Juhaya, Ilmu Ushul Fiqh, I. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Juhaya, Aspek Sosiologi dalam Pembaharuan Fiqh di Indonesia. Cet II. Yogyakarta:
Walisongo Press, 2009.
Muchsin Nyak Umar, Ushul Fiqh. Darussalam Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008.
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011.
Satria Effendi, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.
Tumin, Pendapat Ulama Tentang Hukum Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah, Jurnal
Syarah, Vol. 7, No. 1. Januari – Juni 2018.
Irsyad al-Fuhul, Imam as-Syaukani, juz 2.

11

Anda mungkin juga menyukai