DISUSUN OLEH :
PENDAHULUAN
.1 Latar Belakang
.1 Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
.1 Pengertian Khilafiyah
Khilafiyah sendiri memiliki arti yaitu keniscayaan yang terjadi pada pikiran
manusia atau masalah yang tidak disepakati oleh ulama. Secara umum “khilaf”
brarti perbedaan pendapat diantara para ulama dalam berbagai permasalahan,
baik permasalahan agama atauu permasalahan yang lainnya. Perbedaan pendapat
ini memang sering terjadi dan tidak biasa terhindarkan, karena perannya sebagai
faktor penggerak proses kemajuan. Sebenarnya, perbedaan pendapat diantara
umat islam tidak hanya masalah fiqih saja tetapi khilafiyah juga melingkupi
berbagai macam hal, hanya karena Ketidak sepakatan umat islam terkadang
sebagai pemicunya munculnya khilafiyah.
Khilafiyah dalam lapangan hukum islam (fiqih) selain dalam hal-hal yang
ada ketegasanya dalam al-quran dan hadist, khilafiyah tidak membawa
keburukan, karena perselisihan tersebut semata-mata untuk menyelesaikan
perkara yang mendalam dalam memahami isi dan maksut dari al-quran dan
hadist. Untuk itu ulama bersepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ijtihad
(pengarahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit) itu
diperbolehkan Meskipun tidak membawa keburukan, sebenarnya allah melarang
terjadinya perpecahan ini. Rasulullah Saw bersabda ;
“Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu perkara dan hasil
ijtihadnya itu benar, maka dia mendapat dua pahala, dan apabila hasil
ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim
dari ‘Amr bin ‘Ash dan Abu Hurairah).
- Thabi’atul-Lughah
Boleh jadi suatu hadits telah sampai dkepada seorang ulama sehingga ia
menyimpulkan hukum berdasarkan hadits tersebut, sedangkan ulama yang lain
belum mendapatkannya sehingga menyimpulkan hukum berdasarkan dalil-dalil
umum yang ada. Dengan demikian, kesimpulannya bisa berbeda.
Contoh dalam masalah ini adalah wanita yang suaminya meninggal dunia ketika
ia sedang hamil. Berapa lama masa iddahnya? Ada ayat yang menerangkan
bahwa iddah wanita yang suaminya meninggal dunia adalah empat bulan sepuluh
hari. Yaitu ayat:
ًَوالَّ ِذينَ يُت ََوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجا ً يَت ََربَّصْ نَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرا
لمvvه و سvvي صلى هللا علي َّ ِت النَّبِ فَ َجا َء.ال ْ ع َِن ْال ِمس َْو ِر ْب ِن َم ْخ َر َمةَ أَ َّن ُسبَ ْي َعةَ اأْل َ ْسلَ ِميَّةَ نَفَ َس
ٍ َت بَ ْع َد َوفَا ِة زَ وْ ِجهَا بِلَي
vْ فَأ َ ِذنَ لَهَا فَنَ َك َح،فَا ْستَأْ َذنَ ْتهُ أَ ْن تَ ْن ِك َح.
ت
Boleh jadi suatu riwayat hadits telah sampai, akan tetapi diantara para ulama
tidak yakin dengan keabsahan riwayat tersebut, atau terjadi perbedaan dalam
penilaian terhadap shahih atau dha’ifnya. Sehingga bagi yang menilainya shahih
akan menjadikannya sebagai dalil, sedangkan yang menilainya dhaif tidak
mengambilnya sebagai dalil.
Contohnya, apakah wanita yang telah diceraikan tiga kali oleh suaminya masih
berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah selama masa iddahnya? Syekh
Utsaimin dalam kitabnya, al-khilaf bainal-ulama, menyebutkan pendapat Umar
bin Khattab ra bahwa ia tetap mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.
Ketika diinformasikan kepadanya bahwa Fatimah binti Qais ketika diceraikan
tiga kali oleh suaminya, lalu bertanya kepada rasulullah saw tentang hak tempat
tinggal dan nafkah, beliau saw menjawab:
ك َواَل ُس ْكنَى
ِ َاَل نَفَقَةَ ل
“Tidak ada hak nafkah dan tempat tinggal untuk Anda” (Hr. Muslim)
Umar bin Khatthab tidak yakin dengan riwayat yang disampaikan Fatimah binti
Qais tersebut dan mengatakan: “Apakah kita meninggalkan kitab allah dan
sunnah nabi kita karena riwayat seorang perempuan yang kita tidak tahu boleh
jadi ia hafal atau lupa”. Umar lebih tenteram mengacu pada umumnya ayat
berikut:
- Fahmun-Nash
Fahmun-Nash adalah cara memahami nash atau suatu teks baik dari qur’an
maupun hadits. Sebagai contoh, Ibnu Umar ra mengatakan: Nabi saw bersabda
kepada kami ketika pulang dari perang ahzab:
Ketika waktu shalat asar tiba dan mereka masih di perjalanan, sebagian mereka
melaksanakan shalat di perjalanan, karena waktu shalat telah ditentukan, dan
maksud sabda nabi adalah agar mereka mempercepat perjalanan hingga asar
sudah tiba di sana. Sedangkan sbagian lainnya menunggu hingga tiba di Bani
Quraizhah, baru menunaikan shalat asar, karena berpegang teguh pada leter lek
(harfiah) hadits.
Bagaimana sikap nabi saw ketika mendapat laporan tentang perbedaan pendapat
tersebut? Ibnu Umar ra mengatakan:
- Metode Ijtihad
Motode ijtihad para ulama ahli ijtihad telah dibukukan dalam satu disiplin
ilmu yang disebut ushulul-fiqh. Antara para imam madzhab yang banyak dikuti
oleh umat Islam di berbagai penjiru dunia, terdapat beberapa perbedaan dalam
metode ijtihad.
Keniscayaan
Dengan adanya sebab-sebab ilmiyah di atas, dan masih ada lainnya, maka
perbedaan pendapat diantara para ulama menjadi sesuatu yang tidak bisa hindari,
dan bukanlah hal yang proporsional kalau kita ingin menghapuskannya dan
menjadi satu pendapat saja. Karena, yang akan terjadi justru pemaksaan satu
pendapat kepada semua orang. Padahal rasulullah saw sendiri memberikan
toleransi atas perbedaan pendapat sepanjang masih dalam frame pemahamal dalil
yang dibenarkan.
.3 Contoh khilafiyah
1. Qunut subuh
ِ َو ْال َم ْغ ِر،ْح
vب ِ صب ُ َُان يَ ْقن
ُّ ت فِي ال َ ِ أَ َّن َرسُو َل هللا
vَ م كvَ َّصلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل
v، َ َوانv َو َذ ْك، ٍلv ْدعُو َعلَى ِر ْعvَبْحِ يvالص َ وعِ فِيvv َد الرُّ ُكvصلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َش ْه ًرا بَ ْع
ُّ اَل ِةvص vَ قَن
َ ِ َت َرسُو ُل هللا
ُ هللا َ َو َرسُولَهvت َ صيَّةُ َع
ِ ص َ ُع:َُويَقُول
Dalam riwayat Bukhari diceritrakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku
Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kau
Anshar.
“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata:
Saya rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 106)
- Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat
berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf
(sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar
dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini
selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
:لَّ َمv ِه َو َسvلَّى هللا ُ َعلَ ْيvص ً َ بَيv ِةvهُ كَالثَّغَا َمvُ َولِحْ يَتvُهv َو َرأْ ُسvَح َم َّكة
َ ِ و ُل هللاvا َل َر ُسvvَ فَقv،اvاض ُ
ِ يَوْ َم فَ ْتvَأتِ َي بِأَبِي قُ َحافَة
ْ »« َغيِّرُوا هَ َذا بِش
َّ َواجْ تَنِبُوا الv،َي ٍء
س َوا َد
“Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot
beliau putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: ‘Ubahlah warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan
hitam’” (HR. Muslim, 2102)
ْال َجنَّ ِةvَ اَل يَ ِري ُحونَ َرائِ َحةv،ص ِل ْال َح َم ِام ِ يَ ُكونُ قَوْ ٌم يَ ْخ
َّ ضبُونَ فِي آ ِخ ِر ال َّز َما ِن بِال
ِ َك َح َوا،س َوا ِد
“Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna
hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya
surga” (HR. Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang
yang semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang
dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium
wangi surga bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena
perbuatan lain yang termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam
hanyalah ciri kebanyakan mereka.
Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad
shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan
sanad shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna
hitam
- Faidah:
Dari setiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat
berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-
kaidah syar’i. Maka setiap pendaat dalam permasalahan ini selayaknya
ditoleransi oleh setiap muslim.
- Saling Tenggang
Sudah menjadi aksioma dasar, bahwa setiap terjadi perbedaan pendapat, kita
harus merujuk kepada kitab Alquran dan hadits nabi. Orang awam pun sudah
mengetahui hal ini, apalagi para ulama.
Maka dari itu, ketika para ulama berijtihad dengan merujuk kepada kedua
sumber di atas, lalu kesimpulannya berbeda satu sama lain, dan kita mengikuti
salah seorang dari mereka, janganlah kita mengatakan bahwa ulama lainnya tidak
mau merujuk kepada qur’an dan hadits.
Ibnu Abdil Barr, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa
kalangan awam itu hendaknya bertaklid (mengikuti) pada para ulama’nya”.
(jamiu bayanil ilmi wa fadhlihi). Hal yang senada juga dikatakan Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa, “Orang yang tidak mampu ber-istidlal, menuurut
mayoritas ulama, ia boleh bertaklid kepada orang yang alim“.
Dalam hal ini, ada kaedah emas yang dikemukakan oleh syekh Rasyid Ridha,
yaitu:
اختَلَ ْفنَا فِ ْي ِه ُ َويَ ْع ُذ ُر بَ ْع،اونُ فِ ْي َما اتَّفَ ْقنَا َعلَ ْي ِه
ْ ضنَا بَ ْعضًا فِ ْي َما َ نَتَ َع
“Kita saling tolong menolong dalam hal yang kita sepakati, dan kita saling
menenggang dalam hal yang kita berbeda pendapat tentangnya”.
Tentu maksud beliau, bukan kesepakatan untuk berbuat dosa dan kesesatan. Dan
bukan pula perbedaan pendapat yang keluar dari ajaran Islam.
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur meminta izin kepada Imam Malik (gurunya
Imam Syafi’i) untuk menyatukan seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia
agar mengikuti kitab Al-Muwattha’ yang disusunnya, yang berisi hadits-hadits
nabi saw, fatwa para sahabat dan tabi’in. Apa jawab beliau? Beliau menjawab:
Imam Malik tidak membaca qunut dalam shalat subuh, tapi tidak
mengharuskannya kepada Imam Syafi’i sebagai muridnya. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh itu sunnah, namun murid beliau
yang bernama Imam Ahmad bin Hambal tidak sama dengan pendapatnya, yakni
qunut subuh tidak disunnahkan. Dewasa ini, madzhab Imam Syafi’i banyak
diikuti di Indonesia, dan Madzhab Imam Ahmad bin Hambal banyak diikuti di
Saudi Arabia.
Alangkah indahnya kalau umat ini mengikuti akhlak para ulamanya dalam
masalah khilafiyah. Saling memberi kelonggaran, dan tidak saling memaksakan
pendapat.
- Mengedepankan Persamaan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa seberapa-pun dari bagian kepala yang diusap
wudhunya sah. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kadar minimal yang harus
diusap adalah sepertiga dari kepala, karena sepertiga itu sudah banyak, dan tidak
boleh kurang darinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat wajib mengusap
seuruh kepala. Masih-masing mengemukakan dalilnya dan cara menyimpulkan
hukum dari dalil tersebut yang kemudian menjadi pendapatnya. Lalu bagaimana
cara kita keluar dari khilafiyah dalam masalah ini?
Caranya adalah dengan mengusap seluruh kepala ketika berwudhu. Dengan
begitu, menurut Imam Syafi’i jelas sah-nya, bahkan itu disunnahkan. Menurut
Imam Abu Hanifah juga sah karena telah mengusap lebih dari sepertiga. Dan
menurut Imam Malik juga sah karena menurut pendapat belliau memang harus
mengusap seluruh kepala.
Ibnu Mas’ud ra yang berpendat bahwa bagi orang yang menunaikan ibadah
haji, saat berada di Mina disunnahkan melaukan shalat yang empat rakaat dengan
cara qoshor (menjadi dua rakaat saja) tanpa dijama’. Namun ketika beliau
menunaikan ibadah haji bersama Usman bin Affan ra yang ketika di Mina
mengimami shalat dengan itmam (empat rakaat) tanpa diqoshor, beliau pun
bermakmum dengan itmam pula. Beliau tidak kemudian membuat jama’ah
sendiri dengan cara shalat qoshor. Beliau menjaga kebersamaan dan kemudian
mengatakan, “Al-khilafu syarrun” yang artinya “Berselisih itu buruk”.
Tafaqquh adalah upaya dan proses yang kita tempuh dalam rangka
memahami syariat Allah. Kita terus berusaha meningkatkan tafaqquh kita agar
bisa memahami dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam
menyimpulkan pendapatnya.
Rasulullah saw bersabda:
- Saling Menghormati
Ibnu Abbas ra berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit ra tentang hukum
dalam masalah warisan. Apakah saudara mayit berhak mendapat warisan bila
kakeknya si mayit masih hidup? Ibnu Abbas memfatwakan bahwa saudara si
mayit tidak mendapat warisan karena tertutup oleh kakek. Sedangkan menurut
Zaid bin Tsabit, kakek tidak menghalangi saudara si mayit untuk mendapatkan
warisan.
“Seperti inilah kami diperintahkan untuk berbuat terhadap para ulama dan
pembesar kami”.
Zaid berkata, “Tolong perlihatkan tanganmu kepadaku”. Ibnu Abbas pun
mengulurkan tangannya. Lalu apa yang akan dilakukan oleh Zaid? Ternyata
beliau mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata:
ِ َه َك َذا أُ ِمرْ نَا أَ ْن نَ ْف َع َل بِأ َ ْه ِل بَ ْي
ت نَبِيِّنَا
Begitulah akhlak para ulama, dan seperti itulah cara mereka menyikapi
perbedaan pendapat. Alangkah pentingnya para aktifis Islam, di ormas manapun
mereka berada, untuk mengikuti jejak para ulamanya yang telah mewarisi jejak
nabinya.
PENUTUPAN
.2 Kesimpulan
Dari setiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat
berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-
kaidah syar’i. Maka setiap pendaat dalam permasalahan ini selayaknya
ditoleransi oleh setiap muslim.
.2 Saran
Penulis seharusnya bias lebih teliti dalam mencari informasi mengenai
masalah khilafiyah agar lebih akurat dan penulis menyadari bahwa pada makalah
ini terdapat banyak penulisan yang kurang tepat, makaa dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi bias memperbaiki tugas makalah yang
berikutnya
Daftar Pustaka
Has, Abd Wafi, 2013, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam,
Jakarta. Episteme 8 (1)
http://makalahqw.blogspot.com/2016/07/makalah-masail-fiqhiyah-
pengertian.html?m=1
https://almanhaj.or.id/920-fikih-ikhtilaf-memahami-perselisihan-menurut-al-
quran-sunnah-dan-manhaj-salaf-shalih.html
https://www.dakwatuna.com/2015/09/27/75028/mengapa-terjadi-khilafiyah/
http://www.dakwatuna.com/2015/09/20/74746/bagaimana-menyikapi-perbedaan-
khilafiyah/#ixzz5ixwHZRiG