Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KHILAFIYAH ( PERBEDAAN PENDAPAT ) DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :

1. AUDI RAMADHAN W. (23020218130048)


2. ZAHRA MILATY (23020218140049)
3. SEPTINA MAULA H. (23020218130050)
4. DONNA NIRMALAWATI (23020218120024)

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG


TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

.1 Latar Belakang

Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat


mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan
keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar
manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa
nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat. Tetapi, karena perselisihan
merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia,
Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang
diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat
untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan
masing-masing pribadi.
Pada zaman nabi sendiri, perbedaan pendapat sudah sering terjadi. Namun,
karena masih ada nabi Muhammad saw, maka para sahabat langsung bisa
menuntaskannya melalui kebijakan nabi berdasarkan bimbingan allah swt.
Oleh karena itu, sebagai penerus perjuangan agama islam kita harus memahami
dan mampu menyikapi permasalahan-permasalahan yang terjadi karena perbedaan
pendapat tersebut.

.1 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian khilafiyah ?


b. Apa penyebab terjadinya khilafiyah ?
c. Apa saja macam-macam khilafiyah ?
d. Bagaimana cara menyikapi khilafiyah dikalangan umat islam ?
BAB II

PEMBAHASAN

.1 Pengertian Khilafiyah

Khilafiyah sendiri memiliki arti yaitu keniscayaan yang terjadi pada pikiran
manusia atau masalah yang tidak disepakati oleh ulama. Secara umum “khilaf”
brarti perbedaan pendapat diantara para ulama dalam berbagai permasalahan,
baik permasalahan agama atauu permasalahan yang lainnya. Perbedaan pendapat
ini memang sering terjadi dan tidak biasa terhindarkan, karena perannya sebagai
faktor penggerak proses kemajuan. Sebenarnya, perbedaan pendapat diantara
umat islam tidak hanya masalah fiqih saja tetapi khilafiyah juga melingkupi
berbagai macam hal, hanya karena Ketidak sepakatan umat islam terkadang
sebagai pemicunya munculnya khilafiyah.
Khilafiyah dalam lapangan hukum islam (fiqih) selain dalam hal-hal yang
ada ketegasanya dalam al-quran dan hadist, khilafiyah tidak membawa
keburukan, karena perselisihan tersebut semata-mata untuk menyelesaikan
perkara yang mendalam dalam memahami isi dan maksut dari al-quran dan
hadist. Untuk itu ulama bersepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ijtihad
(pengarahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit) itu
diperbolehkan Meskipun tidak membawa keburukan, sebenarnya allah melarang
terjadinya perpecahan ini. Rasulullah Saw bersabda ;
“Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu perkara dan hasil
ijtihadnya itu benar, maka dia mendapat dua pahala, dan apabila hasil
ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim
dari ‘Amr bin ‘Ash dan Abu Hurairah).

Didalam al-quran dan sunah nabiNya memerintahkan supaya berpegang


teguh padan jalan firqatun naajiyah Al-manshura. Dalam firmanNya allah
melarang umatnya menyerupai umat-umat terdahulu.
“Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai da
berselisih sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang berat” {Ali Imran : 105}
.2 Sebab munculnya khilafiyah

- Thabi’atul-Lughah

Sebab yang pertama adalah thabi’atul-lughah atau karakter bahasa. Kita


mengenal kata yang disebut musytarok. Yaitu kata yang mengandung lebih dari
satu makna.

Contoh, kata quru’ dalam firman Allah swt

‫قُرُو ٍء‬ َ‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَة‬


ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
“Wanita-wanita yang dicerai handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’.” (Qs. Al-Baqarah/2: 228).
Kata quru’ adalah bentuk jama’ dari qor’ yang memiliki dua makna,
yaitu suci dan haid. Lalu apa makna yang dimaksud di dalam ayat? Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat dengan makna yang pertama.
Sehingga wanita yang dicerai wajib menunggu selama tiga kali suci dari haid.
Masa tunggu itu disebut iddah, dan tidak boleh menikah selagi masih dalam mas
iddah. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu
riwayat bahwa maknanya adalah haid. Sehingga masa iddah wanita yang dicerai
adalah tiga kali haid.
Contoh lainnya, kata lamastum dalam firman Allah swt:
ً‫ ِعيدا‬v ‫ص‬ َ ‫وا‬vv‫ا ًء فَتَيَ َّم ُم‬vv‫النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َم‬ ‫ال َم ْستُ ُم‬  ْ‫ضى أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَو‬
َ ْ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
ً ‫طَيِّبا‬
“dan jika klian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuhperempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)”(Qs. Al-maidah/5: 6).

Kata lamastum dalam ayat mempunyai dua makna. Pertama menyentuh


dalam arti bersentuhannya kulit dengan kulit itu membatalkan wudhu. Sebagian
ulama mengkhususkan bahwa yang membatalkan wudhu adalah sentuhan dengan
syahwat. Kedua menyentuh dalam arti hubungan intim, sehingga yang
membatalkan wudhu adalah hubungan intim suami istri, sedangkan bersentuhan
kulit saja tidaklah membatalkan.
- Riwayat Hadits

Boleh jadi suatu hadits telah sampai dkepada seorang ulama sehingga ia
menyimpulkan hukum berdasarkan hadits tersebut, sedangkan ulama yang lain
belum mendapatkannya sehingga menyimpulkan hukum berdasarkan dalil-dalil
umum yang ada. Dengan demikian, kesimpulannya bisa berbeda.

Contoh dalam masalah ini adalah wanita yang suaminya meninggal dunia ketika
ia sedang hamil. Berapa lama masa iddahnya? Ada ayat yang menerangkan
bahwa iddah wanita yang suaminya meninggal dunia adalah empat bulan sepuluh
hari. Yaitu ayat:

ً‫َوالَّ ِذينَ يُت ََوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجا ً يَت ََربَّصْ نَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرا‬

“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian dengan meninggalkan


isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan diri (ber’iddah) empat
bulan sepuluh hari” (Qs. Al-baqarah/2: 234).
Ada pula ayat yang menerangkan bahwa iddah wanita yang sedang hamil adalah
sampai melahirkan kandungannya. Yaitu ayat:

َ َ‫والت اأْل َحْ َما ِل أَ َجلُه َُّن أَ ْن ي‬


‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن‬ ُ ُ‫َوأ‬

“dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai


mereka melahirkan kandungannya” (Qs. At-Thalaq/65: 4).
Dari kedua ayat di atas jelaslah bahwa iddah wanita hamil adalah sampai
melahirkan, sedangkan iddah wanita yang suaminya meninggal adalah empat
bulan sepuluh hari. Lalu bagaimana dengan iddah wanita yang hamil dan
ditinggal mati suaminya?

Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa iddahnya adalah ab’adul-


ajalain atau yang lebih lama diantara dua iddah. Kalau empat bulan sepuluh hari
belum lahir, maka iddahnya adalah sampai melahirkan. Sedangkan kalau sudah
melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka iddahnya menunggu hingga
genap empat bulan sepuluh hari. Jadi yang diambil adalah yang lebih lama
diantara iddah hamil dan iddah ditinggal mati suami. Pendapat ini disimpulkan
dengan menggabungkan kedua ayat di atas dan mengamalkan kedua-duanya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa iddahnya adalah hingga melahirkan.
Sehingga bila suaminya meninggal, dan keesokan harinya melahirkan, maka
selesailah masa iddahnya, dan ia sudah halal menikah lagi jika menginginkannya.
Para ulama yang mengatakan pendapat ini, mendasarkannya pada hadits
rasulullah saw. Yaitu:

‫لم‬vv‫ه و س‬vv‫ي صلى هللا علي‬ َّ ِ‫ت النَّب‬ِ ‫ فَ َجا َء‬.‫ال‬ ْ ‫ع َِن ْال ِمس َْو ِر ْب ِن َم ْخ َر َمةَ أَ َّن ُسبَ ْي َعةَ اأْل َ ْسلَ ِميَّةَ نَفَ َس‬
ٍ َ‫ت بَ ْع َد َوفَا ِة زَ وْ ِجهَا بِلَي‬
vْ ‫ فَأ َ ِذنَ لَهَا فَنَ َك َح‬،‫فَا ْستَأْ َذنَ ْتهُ أَ ْن تَ ْن ِك َح‬.
‫ت‬

“Dari Miswar bin Makhramah bahwa sesungguhnya Subai’ah Al-Aslamiyah


melahirkan beberapa hari setelah suaminya meninggal dunia. Kemudian ia
datang kepada nabi saw untuk minta izin akan menikah. Maka nabi saw pun
mengizinkannya, lalu ia pun menikah” (Hr. Bukhari).
Di dalam hadits ini, rasulullah saw memfatwakan bahwa iddahnya adalah
hingga melahirkan. Ayat yang berkenaan dengannya adalah Qs. At-Thalaq/65: 4
tentang iddah wanita hamil. Sekiranya riwayat hadits ini sudah sampai dan
diketahui oleh para ulama yang mengatakan pendapat pertama, tentu mereka akan
mendasarkan hukum sesuai dengannya, tanpa perlu berijtihad. “Jika suatu hadits
itu shahih, itulah madzhabku”, demikian jargon para ulama. Jadi, sampai tidaknya
suatu hadits kepada para ulama dalam suatu masalah merupakan salah satu sebab
terjadinya perbedaan pendapat.

- Validasi Riwayat Hadits

Boleh jadi suatu riwayat hadits telah sampai, akan tetapi diantara para ulama
tidak yakin dengan keabsahan riwayat tersebut, atau terjadi perbedaan dalam
penilaian terhadap shahih atau dha’ifnya. Sehingga bagi yang menilainya shahih
akan menjadikannya sebagai dalil, sedangkan yang menilainya dhaif tidak
mengambilnya sebagai dalil.

Contohnya, apakah wanita yang telah diceraikan tiga kali oleh suaminya masih
berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah selama masa iddahnya? Syekh
Utsaimin dalam kitabnya, al-khilaf bainal-ulama, menyebutkan pendapat Umar
bin Khattab ra bahwa ia tetap mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.
Ketika diinformasikan kepadanya bahwa Fatimah binti Qais ketika diceraikan
tiga kali oleh suaminya, lalu bertanya kepada rasulullah saw tentang hak tempat
tinggal dan nafkah, beliau saw menjawab:

‫ك َواَل ُس ْكنَى‬
ِ َ‫اَل نَفَقَةَ ل‬

“Tidak ada hak nafkah dan tempat tinggal untuk Anda” (Hr. Muslim)

Umar bin Khatthab tidak yakin dengan riwayat yang disampaikan Fatimah binti
Qais tersebut dan mengatakan: “Apakah kita meninggalkan kitab allah dan
sunnah nabi kita karena riwayat seorang perempuan yang kita tidak tahu boleh
jadi ia hafal atau lupa”. Umar lebih tenteram mengacu pada umumnya ayat
berikut:

ُ ‫أَ ْس ِكنُوه َُّن ِم ْن َحي‬


‫ْث َس َك ْنتُ ْم‬

“Tempatkan mereka (isteri-isteri yang dicerai) dimana kalian bertempat


tinggal…” (Qs. At-Thalaq/65: 5). Sehingga beliau tetap berpendapat adanya hak
tempat tinggal dan nafkah selama masa iddah untuk wanita yang telah dicerai tiga
kali.

- Fahmun-Nash

Fahmun-Nash adalah cara memahami nash atau suatu teks baik dari qur’an
maupun hadits. Sebagai contoh, Ibnu Umar ra mengatakan: Nabi saw bersabda
kepada kami ketika pulang dari perang ahzab:

َ‫ُصلِّيَ َّن أَ َح ٌد ال َعصْ َر ِإاَّل فِي بَنِي قُ َر ْيظَة‬


َ ‫اَل ي‬

“Janganlah seseorang melaksanakan shalat asar kecuali di perkampungan Bani


quraizhah” (Hr. Bukhari).

Ketika waktu shalat asar tiba dan mereka masih di perjalanan, sebagian mereka
melaksanakan shalat di perjalanan, karena waktu shalat telah ditentukan, dan
maksud sabda nabi adalah agar mereka mempercepat perjalanan hingga asar
sudah tiba di sana. Sedangkan sbagian lainnya menunggu hingga tiba di Bani
Quraizhah, baru menunaikan shalat asar, karena berpegang teguh pada leter lek
(harfiah) hadits.

Bagaimana sikap nabi saw ketika mendapat laporan tentang perbedaan pendapat
tersebut? Ibnu Umar ra mengatakan:

‫ف َوا ِحدًا ِم ْنهُ ْم‬


ْ ِّ‫فَلَ ْم يُ َعن‬

“Beliau saw tidak menyalahkan salah satu dari mereka” (Hr. Bukhari).

- Metode Ijtihad

Motode ijtihad para ulama ahli ijtihad telah dibukukan dalam satu disiplin
ilmu yang disebut ushulul-fiqh. Antara para imam madzhab yang banyak dikuti
oleh umat Islam di berbagai penjiru dunia, terdapat beberapa perbedaan dalam
metode ijtihad.

Imam Malik mengambil amalan penduduk Madinah hingga masa beliau


sebagai dalil, apabila tidak dijumpai dalil dari Quran dan sunnah, sedangkan
ulama lainnya tidak. Pertimbangan Imam Malik bahwa mereka adalah generasi
yang menyaksikan langsung generasi sebelumnya yang dibimbing oleh rasulullah
saw dan mengalami sendiri peristiwa-peristiwa di mana wahyu Allah diturunkan.
Sehingga tidak mungkin mereka bersepakat dalam penyimpangan.

Imam Abu Hanifah dan kalangan Zhahiriyah tidak mengambil kesimpulan


hukum berdasarkan mafhum mukholafah, sementara jumhur (mayoritas) ulama
mengambilnya dengan persyaratan yang ketat, antara lain tidak bertentangan
dengan apa yang jelas-jelas ditunjukkan oleh nash.

Keniscayaan

Dengan adanya sebab-sebab ilmiyah di atas, dan masih ada lainnya, maka
perbedaan pendapat diantara para ulama menjadi sesuatu yang tidak bisa hindari,
dan bukanlah hal yang proporsional kalau kita ingin menghapuskannya dan
menjadi satu pendapat saja. Karena, yang akan terjadi justru pemaksaan satu
pendapat kepada semua orang. Padahal rasulullah saw sendiri memberikan
toleransi atas perbedaan pendapat sepanjang masih dalam frame pemahamal dalil
yang dibenarkan.

.3 Contoh khilafiyah

1. Qunut subuh

- Pendapat pertama: hukumnya sunnah.

Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

 Hadits Bara’ bin ‘Adzib:

ِ ‫ َو ْال َم ْغ ِر‬،‫ْح‬
v‫ب‬ ِ ‫صب‬ ُ ُ‫َان يَ ْقن‬
ُّ ‫ت فِي ال‬ َ ِ ‫أَ َّن َرسُو َل هللا‬
vَ ‫م ك‬vَ َّ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh


dan maghrib” (HR. Muslim 678)

 Hadits dari Muhammad bin Sirin:

vَ ‫ أَ َوقَن‬:ُ‫ فَقِي َل لَه‬v،‫ نَ َع ْم‬:‫ قَا َل‬v‫ْح؟‬


ِ v‫َت قَ ْب َل ال ُّر ُك‬
‫وع؟‬v َ ‫ أَقَنَتَ النَّبِ ُّي‬:‫ك‬
ِ ‫ َو َسلَّ َم فِي الصُّ ب‬v‫ َعلَ ْي ِه‬vُ‫صلَّى هللا‬ vُ ‫سئِ َل أَن‬
ٍ ِ‫َس بْنُ َمال‬ ُ

ِ ‫ «بَ ْع َد ال ُّر ُك‬:‫»قَا َل‬


‫وع يَ ِسيرًا‬

“Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam


membaca Qunut ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi:
apakah membacanya sebelum ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja”
(HR. Bukhari 1001)

 Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq


(3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat subuh, selesai
membaca surat beliau membaca doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian
ruku’ (Dinukil dari Mafatihul Fiqh,  103)
 Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
(2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku shalat shubuh
bersama Ibnu Abbas di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum
ruku’” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh,  103)

- Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah


bila mengkhususkan pada shalat shubuh

Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

 Hadits Anas bin Maalik:

v، َ‫ َوان‬v‫ َو َذ ْك‬،‫ ٍل‬v‫ ْدعُو َعلَى ِر ْع‬vَ‫بْحِ ي‬v‫الص‬ َ ‫وعِ فِي‬vv‫ َد الرُّ ُك‬v‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َش ْه ًرا بَ ْع‬
ُّ ‫اَل ِة‬v‫ص‬ vَ ‫قَن‬
َ ِ ‫َت َرسُو ُل هللا‬
ُ‫ هللا َ َو َرسُولَه‬v‫ت‬ َ ‫صيَّةُ َع‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ ُع‬:ُ‫َويَقُول‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh,


beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah
yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)

Dalam riwayat Bukhari diceritrakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku
Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kau
Anshar.

 Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954)


dengan sanad shahih:

‫ ان احدا يفعله‬v‫ شعرت‬v‫ ما‬: ‫ ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال‬v‫سألت‬

“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata:
Saya rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 106)

 Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad


shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika
shalat subuh (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106).
 Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan
dengan musibah. Ibnu Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulillah Shallallahu
‘alaihi Wassallam dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada
saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu
tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling
sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad  273/1).

- Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh

Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan


berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan terkadang
beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam
Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm

- Faidah:

Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat
berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf
(sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar
dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini
selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam

- Pendapat Pertama : haram

Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:

 Hadits Jabir bin Abdillah:

:‫لَّ َم‬v‫ ِه َو َس‬v‫لَّى هللا ُ َعلَ ْي‬v‫ص‬ ً َ‫ بَي‬v‫ ِة‬v‫هُ كَالثَّغَا َم‬vُ‫ َولِحْ يَت‬vُ‫ه‬v‫ َو َرأْ ُس‬vَ‫ح َم َّكة‬
َ ِ ‫و ُل هللا‬v‫ا َل َر ُس‬vvَ‫ فَق‬v،‫ا‬v‫اض‬ ُ
ِ ‫ يَوْ َم فَ ْت‬vَ‫أتِ َي بِأَبِي قُ َحافَة‬
ْ ‫»« َغيِّرُوا هَ َذا بِش‬
َّ ‫ َواجْ تَنِبُوا ال‬v،‫َي ٍء‬
‫س َوا َد‬
“Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot
beliau putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: ‘Ubahlah warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan
hitam’” (HR. Muslim, 2102)

 Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

‫ ْال َجنَّ ِة‬vَ‫ اَل يَ ِري ُحونَ َرائِ َحة‬v،‫ص ِل ْال َح َم ِام‬ ِ ‫يَ ُكونُ قَوْ ٌم يَ ْخ‬
َّ ‫ضبُونَ فِي آ ِخ ِر ال َّز َما ِن بِال‬
ِ ‫ َك َح َوا‬،‫س َوا ِد‬

“Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna
hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya
surga” (HR. Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

- Pendapat kedua: makruh

Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:

 Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang
yang semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang
dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
 Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium
wangi surga bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena
perbuatan lain yang termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam
hanyalah ciri kebanyakan mereka.
 Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad
shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
 Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan
sanad shahih bahwa beliau memakruhkan  menyemir rambut dengan warna
hitam

- Faidah:

Dari setiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat
berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-
kaidah syar’i. Maka setiap pendaat dalam permasalahan ini selayaknya
ditoleransi oleh setiap muslim.

3. Bacaan bismillah dalam Sholat

- Pendapat pertama : Diwajibkan 2 rekaat pertama

Abu Hanifah. Membaca al-Fatihah dalam shalat fardhu hukumnya sunnah,


dan di dalam sembahyang yang diwajibkan hanya membaca bacaan apa saja dari
al-Qur’an, berdasarkan al-Qur’an surah al-Muzammil ayat 20: “bacalah apa
yang mudah bagimu dari al-Qur’an”.
Membaca al-Fatihah itu hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama,
sedangkan pada rakaat ketiga pada shalat maghrib, dan dua rakaat terakhir pada
shalat isya’ dan ashar kalau mau bacalah, bila tidak, bacalah tasbih, atau diam.
(al-Nawawi, Syahrul Muhadzdzab, jilid III, halaman 361). Boleh
meninggalkan basmallah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak
disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan.
Basmallah tidak termasuk ayat dari al-Fatihah, sunnah dibaca
secara sirr ketika membaca al-Fatihah dalam shalat, baik shalat sirriyah maupun
jahriyyah. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hanafih, dan
Sufyan Ats-Tsauri.

- Pendapat kedua : Makruh

  Imam Malik. Basmallah bukan termasuk ayat dari al-Fatihah maka


hukumnya makruh dibaca beserta al-Fatihah dalam shalat fardhu baik secara
pelan, maupun keras, namun boleh dibaca dalam shalat sunnah.
Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rekaat, tak ada bedanya, baik
rekaat-rekaat pertama maupun pada rekaat-rekaat terakhir, baik pada shalat
fardhu maupun shalat sunnah, dan disunnahkan membaca surat Al-Qur’an setelah
Al-Fatihah pada dua rekaat yang pertama. Basmallah bukan termasuk bagian dari
surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan
bacaan pada shalat subuh dan dua rakaat pertama magrib dan ista’ serta qunut
pada shalat subuh saja
Membaca al-Fatihah itu wajib dan membacanya adalah rukun
sembahyang yang berarti apabila dengan sengaja meninggalkannya maka
sembahyang tidak sah dengan penguatan hadis dari Muslim, Ahmad, dan lainnya
dari Abi Hurairah, yang berisi: “Barangsiapa yang sembahyang dan tidak
membaca di dalamnya Fatihatul kitab, maka sembahyangnya kurang, tidak
sempurna (dikatakannya tiga kali).”

- Pendapat ketiga : Wajib

Imam Syafi’i. basmallah termasuk ayat dalam al-Fatihah dan wajib


dibaca beserta al-Fatihah secara keras (jahr) dalam shalat jahriyyah dan secara
sir dalam shalat sirriyah. Di kalangan madzhab syafi’i terdapat kesepakatan
sebagaimana diterangkan al-Nawaai, bahkan basmallah termasuk dalam surat al-
Fatihah tanpa ada perselisihan. Sebagaimana disebutkan dalam al-Majmu’
Syarah al-Muhadzab: 3/333.
Membaca Al-Fatihah itu adalah wajib pada setiap rekaat tidak ada
bedanya, baik pada dua rekaat maupun pada rekaat terakhir, baik pada shalat
fardhu maupun shaly sunnah. Basmallah itu merupakan bagian dari surat, yang
tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara
yang jelas pada shalat Subuh dan dua rekaat yang oertama pada shalat Magrib
dan Isya, selain rekaat tersebut harus dibaca dengan pelan.

.4 Sikap umat islam terhadap khilafiyah

- Saling Tenggang

Sudah menjadi aksioma dasar, bahwa setiap terjadi perbedaan pendapat, kita
harus merujuk kepada kitab Alquran dan hadits nabi. Orang awam pun sudah
mengetahui hal ini, apalagi para ulama.

Maka dari itu, ketika para ulama berijtihad dengan merujuk kepada kedua
sumber di atas, lalu kesimpulannya berbeda satu sama lain, dan kita mengikuti
salah seorang dari mereka, janganlah kita mengatakan bahwa ulama lainnya tidak
mau merujuk kepada qur’an dan hadits.

Kita perlu mengedepankan sikap saling menenggang ketika kesimpulan dari


merujuk kepada kedua sumber di atas tidak sama. Betapapun demikian, hal ini
tidak menghalangi kita untuk mengikuti pendapat yang lebih kuat apabila kita
mampu memahami istidlalnya (cara menyimpulkan hukum dari dalil). Bila tidak
mampu, maka kita boleh atau bahkan harus bertaklid dg para ulama, agar tidak
menyimpulkan hukum secara serampangan sehingga tersesat dan menyesatkan.

Ibnu Abdil Barr, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa
kalangan awam itu hendaknya bertaklid (mengikuti) pada para ulama’nya”.
(jamiu bayanil ilmi wa fadhlihi). Hal yang senada juga dikatakan Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa, “Orang yang tidak mampu ber-istidlal, menuurut
mayoritas ulama, ia boleh bertaklid kepada orang yang alim“.
Dalam hal ini, ada kaedah emas yang dikemukakan oleh syekh Rasyid Ridha,
yaitu:

‫اختَلَ ْفنَا فِ ْي ِه‬ ُ ‫ َويَ ْع ُذ ُر بَ ْع‬،‫اونُ فِ ْي َما اتَّفَ ْقنَا َعلَ ْي ِه‬
ْ ‫ضنَا بَ ْعضًا فِ ْي َما‬ َ ‫نَتَ َع‬

“Kita saling tolong menolong dalam hal yang kita sepakati, dan kita saling
menenggang dalam hal yang kita berbeda pendapat tentangnya”.
Tentu maksud beliau, bukan kesepakatan untuk berbuat dosa dan kesesatan. Dan
bukan pula perbedaan pendapat yang keluar dari ajaran Islam.

- Tidak memaksakan suatu pendapat

Seberapun tingkat keyanikan Anda terhadap satu pilihan pendapat yang


bersifat ijtihadiyyah, janganlah kemudian membuat Anda menafikan adanya
pendapat yang lain, apalagi mengharuskan semua orang mengikuti pendapat
Anda, bahkan sampai memvonis bahwa kalau tidak mau mengikuti maka tidak
termasuk golongan Ahlus-sunnah wal-Jama’ah.
Sesungguhnya, mengharuskan semua orang mengikuti satu pendapat saja
dalam masalah khilafiyah justru akan menimbulkan perpecahan. Mengapa?
Karena setiap orang yang yakin dengan pilihan pendapatnya, ia akan
mengharuskan orang lain mengikutinya. Lalu apa yang terjadi? Satu sama lain
saling memberi cap sesat, kalau tidak mau ikut. Lalu apa? Lalu saling membenci
dan memusuhi.

Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur meminta izin kepada Imam Malik (gurunya
Imam Syafi’i) untuk menyatukan seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia
agar mengikuti kitab Al-Muwattha’ yang disusunnya, yang berisi hadits-hadits
nabi saw, fatwa para sahabat dan tabi’in. Apa jawab beliau? Beliau menjawab:

ُّ‫ل‬vv‫ َذ ُك‬v‫ َوأَ َخ‬،‫ت‬ َ ‫ا ِدي‬vv‫ ِمعُوْ ا أَ َح‬v‫ َو َس‬،ُ‫او ْيل‬


ٍ ‫ا‬vvَ‫ َو َر َووْ ا ِر َواي‬،‫ْث‬ ِ َ‫ت إِلَ ْي ِه ْم أَق‬ َ َّ‫ فَإِ َّن الن‬، ْ‫ اَل تَ ْف َعل‬، َ‫يَا أَ ِم ْي َر ْال ُم ْؤ ِمنِ ْين‬
ْ َ‫اس قَ ْد ِس ْيق‬
‫لم‬v‫ه وس‬v‫ه وآل‬v‫لى هللا علي‬v‫وْ ِل هللاِ ص‬v‫ب َر ُس‬ vِ ‫ َحا‬v‫ص‬ْ َ‫ف أ‬ ْ ‫ ِم ِن‬،‫ ِه‬vِ‫وْ ا ب‬vُ‫ َودَان‬،‫ ِه‬v‫وْ ا ِب‬vُ‫ َو َع ِمل‬،‫ق إِلَ ْي ِه ْم‬
ِ ‫اختِاَل‬ َ ‫ ْي‬v‫ا ِس‬v‫وْ ٍم بِ َم‬vَ‫ق‬
‫اختَا َ َر أَ ْه ُل ُكلِّ بَلَ ٍد أِل َ ْنفُ ِس ِه ْم‬
ْ ‫ َو َما‬،‫اس َو َما هُ ْم َعلَ ْي ِه‬
َ َّ‫َع الن‬
ِ ‫ فَد‬،‫ َوإِ َّن َر َّدهُ ْم َع َّما ا ْعتَقَ ُدوْ هُ َش ِد ْي ٌد‬،‫و َغي ِْر ِه ْم‬.
َ
 
“Wahai Amirul mukminin, jangan Engkau lakukan. Karena orang-orang telah
menerima banyak pendapat, mendengar banyak hadits dan banyak riwayat.
Setiap kaum telah berpendapat dengan apa yang sampai kepada mereka,
mengamalkannya dan terbiasa dengannya, berupa perbedaan pendapat para
sahabat rasulullah saw dan selain mereka. Sungguh mengalihkan mereka dari
apa yang telah mereka yakini itu berat. Maka biarkanlah orang-orang dengan
keadaannya, dan apa yang dipilih oleh setiap penduduk negeri untuk diri mereka
sendiri” (Siyar A’lamin-Nubala, Adz-dzahabi).

Imam Malik tidak membaca qunut dalam shalat subuh, tapi tidak
mengharuskannya kepada Imam Syafi’i sebagai muridnya. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh itu sunnah, namun murid beliau
yang bernama Imam Ahmad bin Hambal tidak sama dengan pendapatnya, yakni
qunut subuh tidak disunnahkan. Dewasa ini, madzhab Imam Syafi’i banyak
diikuti di Indonesia, dan Madzhab Imam Ahmad bin Hambal banyak diikuti di
Saudi Arabia.
Alangkah indahnya kalau umat ini mengikuti akhlak para ulamanya dalam
masalah khilafiyah. Saling memberi kelonggaran, dan tidak saling memaksakan
pendapat.

- Mengedepankan Persamaan

Mencari titik temu atau mengutamakan persamaan itu dianjurkan. Sehingga


ada salah satu qaidah fiqhiyah yang berbunyi:

ِ ‫اَ ْل ُخرُوْ ُج ِمنَ ْال ِخاَل‬


ٌّ‫ف ُم ْستَ َحب‬

“Keluar dari perbedaan pendapat (khilafiyah) itu dianjurkan”. Yaitu dengan


cara melakukan sesuatu yang menurut para ualama yang berbeda pendapat itu
sah.
Contohnya, mengusap kepala merupakan salah satu rukun wudhu. Tidak sah
wudhu seseorang kalau tidak mengusap kepalanya dengan tangan yang dibasahi
air. Bukan mengguyur atau membasuh kepala, melainkan cukup dengan
mengusapnya. Allah berfirman:

‫َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُءو ِس ُك ْم‬

“…dan usaplah kepala kalian...” (Al-Maidah: 6)


Pertanyaannya, berpakah kadar yang harus diusap dari bagian kepala?, yang
dengan mengusap kadar tersebut, berarti telah memenuhi rukun, dan wudhunya
menjadi sah?

Imam Syafi’i berpendapat bahwa seberapa-pun dari bagian kepala yang diusap
wudhunya sah. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kadar minimal yang harus
diusap adalah sepertiga dari kepala, karena sepertiga itu sudah banyak, dan tidak
boleh kurang darinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat wajib mengusap
seuruh kepala. Masih-masing mengemukakan dalilnya dan cara menyimpulkan
hukum dari dalil tersebut yang kemudian menjadi pendapatnya. Lalu bagaimana
cara kita keluar dari khilafiyah dalam masalah ini?
Caranya adalah dengan mengusap seluruh kepala ketika berwudhu. Dengan
begitu, menurut Imam Syafi’i jelas sah-nya, bahkan itu disunnahkan. Menurut
Imam Abu Hanifah juga sah karena telah mengusap lebih dari sepertiga. Dan
menurut Imam Malik juga sah karena menurut pendapat belliau memang harus
mengusap seluruh kepala.

Termasuk dalam rangka mengutamakan persatuan, tidak jarang dalam


keadaan tertentu, seorang ulama mengikuti pendapat ulama lainnya dan keluar
dari pendapatnya sendiri. Seperti yang dilakukan Imam Syafi’i ketika didaulat
menjadi imam shalat subuh di basis madzhab Imam Abu Hanifah di Iraq. Beliau
waktu itu mengimami tanpa membaca doa qunut. Beliau lalu berkata, “Boleh saja
kita mengikuti madzhab penduduk Iraq (yakni Madzhab Abu Hanifah)”. Ya,
dalam Madzhab Abu Hanifah tidak ada qunut dalam shalat subuh.

Ibnu Mas’ud ra yang berpendat bahwa bagi orang yang menunaikan ibadah
haji, saat berada di Mina disunnahkan melaukan shalat yang empat rakaat dengan
cara qoshor (menjadi dua rakaat saja) tanpa dijama’. Namun ketika beliau
menunaikan ibadah haji bersama Usman bin Affan ra yang ketika di Mina
mengimami shalat dengan itmam (empat rakaat) tanpa diqoshor, beliau pun
bermakmum dengan itmam pula. Beliau tidak kemudian membuat jama’ah
sendiri dengan cara shalat qoshor. Beliau menjaga kebersamaan dan kemudian
mengatakan, “Al-khilafu syarrun” yang artinya “Berselisih itu buruk”.

- Terus Mendalami Masalah, Tafaqquh

Tafaqquh adalah upaya dan proses yang kita tempuh dalam rangka
memahami syariat Allah. Kita terus berusaha meningkatkan tafaqquh kita agar
bisa memahami dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam
menyimpulkan pendapatnya.
Rasulullah saw bersabda:

‫َم ْن ي ُِر ِد هللاُ بِ ِه َخ ْيرًا يُفَقِّ ْههُ فِي الدِّي ِن‬


“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Allah pahamkan dia
dalam agama” (HR. Bukhari dan Muslim). Semakin bertambah ilmu seseorang
dalam agama, ia akan semakin mantap dalam mengamalkannya dan semakin
toleran terhadap perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil.

- Saling Menghormati

Ibnu Abbas ra berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit ra tentang hukum
dalam masalah warisan. Apakah saudara mayit berhak mendapat warisan bila
kakeknya si mayit masih hidup? Ibnu Abbas memfatwakan bahwa saudara si
mayit tidak mendapat warisan karena tertutup oleh kakek. Sedangkan menurut
Zaid bin Tsabit, kakek tidak menghalangi saudara si mayit untuk mendapatkan
warisan.

Ibnu Abbas mempertanyakan pendapat Zaid yang membedakan antara kakek


dan cucu si mayait dalam hal menghalangi warisan terhadap saudaranya. Ia
berkata, “Apakah Zaid bin Tsabit dan yang sependapat dengannya tidak takut
kepada Allah? Mereka menjadikan cucu sebagai penghalang warisan bagi saudara
si mayit, tapi tidak menjadikan kakeknya sebagai penghalang?”.

Apakah perbedaan pendapat antara mereka berdua membuat hubungan


menjadi renggang? Atau saling merendahkan? Tidak, dan sama sekali tidak. Ibnu
Abbas melihat Zaid bin Tsabit sedang mengendarai unta, maka dituntunlah
kendali onta itu olehnya. “Lepaskan saja wahai anak paman Rasulullah saw” kata
Zaid. Ibnu Abbas menjawab:

‫هَ َك َذا أُ ِمرْ نَا أَ ْن نَ ْف َع َل بِ ُعلَ َمائِنَا َو ُكبَ َرائِنَا‬

“Seperti inilah kami diperintahkan untuk berbuat terhadap para ulama dan
pembesar kami”.
Zaid berkata, “Tolong perlihatkan tanganmu kepadaku”. Ibnu Abbas pun
mengulurkan tangannya. Lalu apa yang akan dilakukan oleh Zaid? Ternyata
beliau mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata:
ِ ‫َه َك َذا أُ ِمرْ نَا أَ ْن نَ ْف َع َل بِأ َ ْه ِل بَ ْي‬
‫ت نَبِيِّنَا‬

“Seperti inilah kami diperintahkan untuk berbuat terhadap ahlul-bait (keluarga)


nabi kami”. (adabul-ikhtilaf fil-Islam, Thaha Jabir Al-Ulwani).

Begitulah akhlak para ulama, dan seperti itulah cara mereka menyikapi
perbedaan pendapat. Alangkah pentingnya para aktifis Islam, di ormas manapun
mereka berada, untuk mengikuti jejak para ulamanya yang telah mewarisi jejak
nabinya.

Saatnya kita saling menenggang, tidak mengharuskan satu pendapat,


mengutamakan persatuan, terus mendalami agama, dan saling menghormati.
Kalau setiap ada beda pendapat lalu saling mendiamkan dan memutuskan
hubungan, lalu bagaimana kita mengimani ayat “Innamal mu’minuna
ikhwah” (Al-Hujurat: 10)
BAB III

PENUTUPAN

.2 Kesimpulan
Dari setiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat
berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-
kaidah syar’i. Maka setiap pendaat dalam permasalahan ini selayaknya
ditoleransi oleh setiap muslim.

.2 Saran
Penulis seharusnya bias lebih teliti dalam mencari informasi mengenai
masalah khilafiyah agar lebih akurat dan penulis menyadari bahwa pada makalah
ini terdapat banyak penulisan yang kurang tepat, makaa dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi bias memperbaiki tugas makalah yang
berikutnya
Daftar Pustaka

AL-Husani,H.M.H. AL-Hamid, 2013, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah,


Makassar, Pustaka Hidayah

Has, Abd Wafi, 2013, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam,
Jakarta. Episteme 8 (1)

http://makalahqw.blogspot.com/2016/07/makalah-masail-fiqhiyah-
pengertian.html?m=1

https://almanhaj.or.id/920-fikih-ikhtilaf-memahami-perselisihan-menurut-al-
quran-sunnah-dan-manhaj-salaf-shalih.html

https://www.dakwatuna.com/2015/09/27/75028/mengapa-terjadi-khilafiyah/

Deasy Lyna Tsuraya

http://www.dakwatuna.com/2015/09/20/74746/bagaimana-menyikapi-perbedaan-
khilafiyah/#ixzz5ixwHZRiG 

Anda mungkin juga menyukai