Akibat Putusnya Perkawinan: Iddah dan Ihdad serta Problematikanya
A. Pengertian ‘Iddah Sebagai konsekuensi putusnya pernikahan, maka seorang wanita harus menjalani masa ‘iddah. Secara bahasa, ‘iddah berarti hitungan. Secara istilah, ‘iddah adalah masa seorang wanita menunggu untuk mengetahui kosongnya rahim, di mana pengetahuan ini diperoleh dengan kelahiran, atau dengan hitungan bulan atau dengan perhitungan quru’ (suci/haid). Dalam definsi Sayid Sābiq, ‘iddah adalah “istilah untuk waktu tertentu dimana seorang wanita menunggu dan tidak boleh menikah pasca wafatnya suaminya atau pasca terjadinya perceraian. Oleh sebab itu, masa ‘iddah tidak berlaku bagi laki-laki. Ia bisa langsung menikah lagi pasca berpisah dari isterinya, baik karena bercerai ataupun karena ditinggal mati. Namun demikian, masa ‘iddah tersebut berbeda berdasarkan keadaan masing-masing. B. Masa ‘iddah wanita putus pernikahan karena cerai hidup, baik karena talak atau yang lain: 1. Bercerai dalam keadaan hamil, masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan (Q.S. al-ṭalāq [65]:4): “...dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...” dalam keadaan hamil adalah sampai melahirkan. 2. Bercerai dalam keadaan tidak hamil, masa ‘iddah –nya adalah tiga kali quru’ (Q.S. al- Baqarah [2[:228: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'... Seluruh ulama sepakat bahwa ayat ini ditujukan kepada wanita yang sudah dicampuri, belum menapouse ataupun belum/tidak pernah haid, dan tidak hamil. Namun ulama berbeda pendapat tentang makna ( قُ ُرو ٍءatau أقراءadalah bentuk jama’ dari .القرء. Lafaz قُ ُرو ٍءadalah lafaz yang mushtarak, yang bermakna haid dan suci. Pertama; Mālik dan Shāfi’ī serta salah satu riwayat Ḥanbalī berpendapat bahwa ( ) قُ ُرو ٍءadalah suci. Adapun dari kalangan sahabat, yang menganut pendapat ini adalah Ibnu ‘Umar, ‘Aishah serta Zaid b. Thābit. Alasan kelompok ini adalah: a. Lafaz ( ) ثَاَل ثَةَ قُ ُرو ٍءmerupakan kata bilangan (‘adad). Dalam tata bahasa Arab, jika ‘adad (bilangan) berbentuk mu’annath (perempuan), maka ma’dūd (yang dihitung) harus berbentuk mudhakkar (laki-laki). Dalam lafaz ( ُرو ٍء- ُةَ ق- َ ) ثَاَل ث, kata bilangannya (‘adad) berbentuk mu’annath yaitu ثَاَل ثَةkarena terdapat ta’ marbūṭah ( )ةyang menjadi karakter ke-perempuan- an dalam bahasa Arab, sehingga ma’dūd-nya (yang dihitung) harus mudhakkar. Dengan demikian, maka tidak bisa tidak, makna ( ) قُرُو ٍءadalah suci, mengingat haid hanya menjadi milik perempuan. b. Q.S. al-ṭalāq {65}:1 :“ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar) ...” Kelompok ini memaknai ayat tersebut dengan, “ceraikanlah mereka pada masa ‘iddah-nya”. Mengingat bercerai pada saat haid hukumnya haram, berarti perintah ‘pada masa ‘iddah’ itu adalah saat suci. Berbeda dengan pendapat tersebut, Ḥanafiyah memaknai ayat di atas dengan, “...hendaknya ceraikan mereka menjelang masa ‘iddah...”. Artinya, perceraian harus dilakukan sebelum perempuan memasuki masa ‘iddah. Berhubung cerai harus dilakukan pada saat suci, berarti masa ‘iddah tersebut adalah saat haid. c. Riwayat dari Ibnu ‘Umar ketika menceraikan isterinya saat haid. Ketika ayahnya yakni ‘Umar b. Khaṭṭāb melaporkan hal itu kepada Nabi, beliau bersabda: “Perintahkan dia untuk rujuk pada isterinya dan tahanlah (tidak menceraikannya) hingga suci kemudian haid kemudian suci kemudian tahanlah (jangan diceraikan) kalau ia mau atau ceraikan jika ia mau sebelum mengumpulinya, maka itulah ‘iddah dimana Allah memerintahkan seseorang (jika mau) menceraikan isterinya”. Pernyataan Nabi, ‘maka itulah ‘iddah dimana Allah memerintahkan seseorang (jika mau) menceraikan isterinya’ merupakan dalil yang sangat jelas bahwasanya quru’ adalah suci agar supaya talak bersambung dengan ‘iddah.10 Dalam hadis tersebut, Nabi secara jelas memerintahkan menceraikan isteri di masa suci dimana masa itu sekaligus merupakan masa ‘iddah-nya. Pendapat kedua dikemukakan oleh Ḥanafiyah dan salah satu riwayat Ḥanbalī. Menurut kelompok ini, lafaz األقراء/ قُ ُرو ٍءbermakna haid. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Imam Ḥanbalī berkata, “dulu saya berpendapat bahwa راء---األق/ ُرو ٍء---ُ قadalah suci, sekarang saya berpendapat haid”. Adapun alasan yang dikemukakan kelompok ini adalah: a. ‘Iddah disyariatkan untuk mengetahui bersihnya rahim, sementara yang menunjukkan bersihnya rahim adalah haid, bukan suci. b. Sabda Nabi: “ Seorang wanita yang hamil tidak boleh dikumpuli hingga melahirkan, sementara wanita yang tidak hamil tidak boleh digauli hingga haid”. Dalam sabdanya di atas, Nabi memerintahkan untuk melihat bersihnya rahim dengan mengacu pada haid. c. Orang yang menaupouse atau tidak pernah/belum haid, masa ‘iddah-nya adalah tiga bulan (Q.S. al-ṭalāq [65]:4). Artinya, Allah menjadikan hitungan ‘bulan’ sebagai pengganti haid dan menempati posisi haid. Hal ini menunjukkan bahwa masa ‘iddah dihitung berdasarkan haid. Kasus ini bisa dianalogikan pada kasus bersuci, dimana dalam situasi tidak menemukan air, maka tanah menggantikan posisi air (Q.S. al-maidah [5]:6). d. ثَاَل ثَة adalah lafaz khāṣ yang berindikasi qaṭ’ī sehingga harus dijalankan sesuai ketentuan ayat, tidak kurang dan tidak lebih. Jika patokannya adalah haid, maka hitungan 3 kali quru’ menjadi sempurna, karena masa ‘iddah berakhir pada saat berakhirnya haid ketiga. Sementara jika diartikan suci, maka hitungan 3 kali quru’ bisa jadi tidak sempurna, karena bisa hanya dua setengah quru’ saja, mengingat ketika talak dijatuhkan, langsung dihitung sebagai masa ‘iddah. (tafsir Nusus) e. Sebuah riwayat dari ‘Umar dan ‘Alī mereka berkata: “Halal bagi suami untuk merujuk isterinya hingga ia mandi dari haid-nya yang ketiga” 3. Bercerai ketika sudah menapouse atau belum/tidak pernah haid, masa ‘iddah-nya adalah tiga bulan (Q.S. al-ṭalāq [65]:4) 4. Bercerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada ‘iddah (Q.S. al-aḥzāb [33]:49). Seorang wanita yang bercerai sebelum dikumpuli, dia tidak perlu menjalani masa ‘iddah. Namun demikian, ketentuan ini tidak berlaku jika ia ditinggal mati suaminya. Sekalipun belum dicampuri, jika ditinggal mati suaminya, maka ia harus menjalani masa ‘iddah 4 bulan 10 hari sesuai ketentuan Q.S. al-Baqarah [2]:234. C. Masa ‘iddah wanita putus pernikahan karena ditinggal mati: 1. Masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya tidak dalam keadaan hamil, adalah empat bulan sepuluh hari (Q.S. al-Baqarah [2]:234). Masa ‘iddah ini berlaku bagi semua wanita yang ditinggal mati— kecuali yang hamil--, baik wanita itu sudah tua, atau masih kecil; sudah dikumpuli atau belum; sudah menapouse atau belum atau memang belum atau tidak pernah haid. Oleh sebab itu, argumen sebagian ulama bahwa ‘iddah ditujukan untuk mengetahui bersihnya rahim tidak terlalu tepat, karena ternyata syariat ‘iddah ini berlaku bagi semua wanita yang disebut di atas, dimana sebagian mereka tidak mungkin hamil. Disamping itu, bersihnya rahim seorang wanita juga dapat diketahui dengan satu kali haid saja. 2. Masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai melahirkan (Q.S. al-ṭalāq [65]:4). Jumhur ulama (Ḥanafī, Mālikī, Shāfi’ī, dan Ḥanbalī) sepakat bahwa masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati dalam keadaan hamil adalah sampai melahirkan, sekalipun jarak antara kematian suaminya dan ia melahirkan hanya sekejab saja. Masa ‘iddah ini tidak berbeda dengan masa ‘iddah wanita hamil karena bercerai. Oleh sebab itu, pasca lahirnya bayi dalam kandungannya, ia boleh langsung menikah lagi, sekalipun suaminya belum dikuburkan. Alasan jumhur, ayat di atas berbentuk umum, meliputi wanita yang ditinggal mati, maupun yang bercerai. Berbeda dengan pendapat di atas, Sahabat ‘Alī, Ibnu ‘Abbās, dan lain- lain berpendapat masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah yang terpanjang di antara dua masa ‘iddah, yakni 4 bulan sepuluh hari (masa ‘iddah ditinggal mati) atau sampai melahirkan (masa ‘iddah orang hamil). Jika ia melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari dari kematian suaminya, maka masa ‘iddah-nya adalah 4 bulan 10 hari. Tapi jika ia melahirkan setelah melewati masa 4 bulan 10 hari dari kematian suaminya, maka masa ‘iddah- nya adalah sampai melahirkan. Alasan ‘Alī dan Ibnu ‘Abbās, ayat di atas ( ا ِل--) َوُأواَل تُ اَأْل ْح َم ditujukan pada wanita yang bercerai, bukan yang ditinggal mati. D. Hukum yang Berlaku Selama Masa ‘Iddah Selama menjalani masa ‘iddah, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak boleh dipinang. Wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, jika pinangan itu disampaikan secara jelas dan tegas, baik wanita itu menjalani ‘iddah karena bercerai atau karena ditinggal mati, baik bercerai dengan talak raj’I maupun ba’in. Bagi wanita yang sedang ‘iddah karena talak raj’i, maka pada hakikatnya ia masih dalam status isteri, sementara bagi yang talak ba’in atau ditinggal mati karena masih ada bekas suami dalam dirinya. Jika pinangan disampaikan dengan sindiran, boleh dilakukan bagi wanita yang menjalani ‘iddah karena ditinggal mati suaminya, sesuai ketentuan Q.S. al- baqarah [2]:235: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddah-nya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. 2. Tidak boleh menikah. Seluruh ulama sepakat bahwa wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah tidak boleh menikah dengan laki-laki lain (Q.S. al-baqarah [2]:235). Jika pernikahan tetap dilakukan pada masa ‘iddah, maka secara otomatis pernikahan itu batal dan harus dipisahkan. Pernikahan pada masa ‘iddah hanya bisa dilakukan dengan (mantan) suami, karena pada dasarnya, syariat ‘iddah ditujukan untuk menjaga hak suami dalam rangka melindungi air dan nasabnya. 3. Tidak boleh keluar dari rumah. Selama masa ‘iddah, wanita tidak boleh keluar dari rumah karena hal itu berkaitan dengan hak suami, kecuali jika wanita tersebut harus menjalani hukuman akibat melakukan perbuatan yang mengharuskannya menjalani hukuman (Q.S. al- ṭalāq:1) 4. Berhak mendapatkan tempat tinggal. Selama menjalani masa ‘iddah, seorang wanita berhak mendapatkan rumah, baik yang dicerai ataupun ditinggal mati berdasarkan Q.S. al- ṭalāq {65}:1:Pernyataan al-Qur’an ‘rumah mereka/wanita yang sedang ‘iddah menunjukkan bahwa rumah tersebut adalah rumah yang ditempatinya saat berpisah dengan suaminya. Menurut Ḥanafiyah, dalam kasus talak raj’ī, suami isteri boleh tinggal satu rumah. Jika terjadi hubungan suami isteri, maka berarti terjadi rujuk secara otomatis. Adapun dalam kasus talak bā’in, maka suami isteri tidak boleh tinggal bersama. Dalam hal ini, suamilah yang harus keluar rumah hingga wanita tersebut menyelesaikan masa ‘iddah-nya. 5. Berhak mendapatkan nafkah. Selama menjalani masa ‘iddah, wanita yang berhak mendapatkan nafkah adalah: a. Wanita yang ditalak raj’ī. Seluruh ulama sepakat bahwa wanita yang ditalak raji berhak mendapatkan nafkah penuh, yakni sandang, pangan, dan papan, baik dalam keadaan hamil atau tidak. b. Wanita yang ditalak bā’in: Jika hamil, ia juga berhak mendapatkan nafkah penuh, yakni sandang, pangan, dan papan (Q.S. al-ṭalāq {65}:6) Jika tidak hamil, menurut Ḥanafiyah tetap mendapatkan nafkah penuh juga sepanjang wanita tersebut tidak keluar dari rumah yang disediakan untuknya menjalani ‘iddah. Jika dia keluar dari rumah tersebut tanpa izin ‘suaminya’, maka ia dinilai nushūz sehingga gugur haknya untuk mendapatkan nafkah. c. Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah, karena kematian mengakhiri hubungan suami isteri. Menurut Mālikiyah, ia hanya berhak mendapatkan tempat tinggal sepanjang rumah itu milik pribadi suaminya. Jika rumah itu hanya dikontrak, maka ia hanya berhak menempati rumah itu hingga masa kontrak habis. d. Wanita yang menjalani masa ‘iddah dari pernikahan fāsid atau shubhat, menurut jumhur tidak berhak mendapatkan nafkah, sebab tidak ada kewajiban nafkah dalam nikah fāsid. Menurut Mālikiyah, jika wanita tersebut hamil, ia berhak mendapatkan nafkah, namun bila tidak, ia hanya berhak mendapatkan tempat tinggal saja sebagaimana wanita yang menjalani ‘iddah akibat li’ān. 6. Selama menjalani masa ‘iddah ditinggal mati suaminya, seorang wanita harus menjalani iḥdād ( داد--) اإلح. Secara bahasa, داد-- اإلحberarti ‘mencegah dari berdandan’. Secara istilah ‘meninggalkan wewangian, berdandan, bercelak, berbedak, dan berinai, kecuali ada uzur. Definisi yang lebih singkat dikemukakan oleh al-Nujaim, yakni ‘meninggalkan berhias dan semisalnya oleh wanita yang sedang menjalani ‘iddah karena ditinggal mati, atau talak bā’in. Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa iḥdād hanya berlaku bagi wanita yang sedang menjalani ‘iddah talak bā’in atau ditinggal mati. Dengan demikian, selama menjalani masa ‘iddah, maka seorang wanita, tidak boleh berdandan, memakai wangi-wangian dan hal-hal yang dapat melahirkan asumsi ia siap untuk menikah lagi. Setelah menyelesaikan masa ‘iddah, ia dapat kembali menjalani kehidupan secara normal ( فَِإ َذا بلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ِ ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن ﺑِ ْﺎل َم ْعر/ kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para ُوف wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Dasar iḥdād adalah hadis Nabi: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir ber-iḥdād atas kematian seseorang melebihi tiga malam kecuali kepada suaminya 4 bulan 10 hari”. “Zainab berkata, saya mendengar Umi Salamah berkata, bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah dan berkata, “ Ya Rasulullah, sesungguhnya puteriku ditinggal mati suaminya, dan ia menangis (terus). Bolehkah matanya kuberi celak?”. “Tidak”, jawab Rasul. Beliau mengatakan ‘tidak’, dua atau tiga kali. Kemudian beliau bersabda, ‘ia tidak boleh memakai celak selama empat bulan sepuluh hari. Pada masa jahiliyah, mereka tinggal di rumah (selama ‘iddah), selama satu tahun’. Namun demikian, sebagian ulama di antaranya al-Sha’bī dan al- Ḥasan, menyatakan bahwa hadis tentang iḥdād di atas hanya menunjukkan hukum mubah, bukan wajib. Menurut Abū Ḥanīfah, al-Thaurī, Ashhab, dan Ibnu Nāfi’ kewajiban iḥdād hanya berlaku bagi wanita muslim, karena dalam hadisnya, Nabi mengatakan tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dengan demikian, kelompok ini berpendapat bahwa hukum ini bersifat ta’abbudī (ibadah). Ketentuan ini menurut mereka juga tidak berlaku bagi anak kecil, karena mereka tidak terkena taklif, serta budak wanita karena naqṣ (bukan manusia seutuhnya). sementara yang menjalani iddah karena talak bā’in, tidak berlaku kewajiban iḥdād. 7. Anak yang lahir dalam masa ‘iddah, bernasab kepada bapaknya. Menurut Ḥanafiyah, anak yang lahir dalam masa ‘iddah talak raj’ī, dinasabkan kepada bapaknya sekalipun ia lahir dua tahun atau lebih dari terjadinya perceraian, sepanjang perempuan tersebut tidak menyatakan bahwa masa ‘iddah-nya telah berakhir, karena bisa jadi masa sucinya panjang. Sementara jika talaknya adalah talak bā’in, maka anak yang lahir dinisbatkan kepada bapaknya, sebelum dua tahun dari terjadinya talak, karena maksimal usia kehamilan adalah dua tahun. Jika lahir dua tahun pasca cerai, maka anak tersebut tidak dapat dinisbatkan kepada bapaknya, kecuali ‘suaminya’ tersebut menyatakan bahwa anak itu adalah anaknya, sehingga berstatus sebagai anak yang lahir dari persetubuhan syubhat. Adapun anak yang lahir dalam masa ‘iddah karena kematian, anak tersebut dinasabkan kepada bapaknya sebelum enam bulan. Jika lahir enam bulan atau lebih maka tidak bisa dinisbatkan kepada bapaknya. Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Shāfi’iyah dan Ḥanābilah, maksimal usia kehamilan adalah empat (4) tahun, sementara menurut Mālikiyah lima (5) tahun. 8. Jika salah satu pihak meninggal sebelum masa ‘iddah berakhir dalam talak raj’ī, seluruh ulama sepakat, bahwa kedua pihak tetap saling mewarisi, baik perceraian terjadi saat suami sakit atau sehat, karena selama ‘iddah talak raj’ī, pada hakikatnya status mereka masih suami isteri. Jika meninggal dalam masa ‘iddah talak bā’in, baik ṣughrā atau kubrā, dan perceraian dilakukan dalam keadaan sehat, maka keduanya tidak bisa saling mewarisi. Jika perceraian terjadi saat sakit, sepanjang perceraian itu disetujui pihak isteri, maka ia tidak dapat mewarisi, namun jika perceraian terjadi tanpa persetujuan pihak isteri, maka ia berhak mewarisi. Pendapat ini ditolak oleh Shāfi’iyah yang berpendapat bahwa dalam kasus talak ba’in, maka tidak bisa saling mewarisi secara mutlak. Daftar Rujukan Fiqh munakahat, Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, MA, 2019. Prenadamedia Grup. Jakarta. FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernikahan dalam Islam) Dr Hj. Iffah Muzammil, 2019. Tira Smart Tangerang Ensiklopedi Fiqih Islam 6 Fiqh Sunnah, Sayid Sabiq