Anda di halaman 1dari 3

BAB IDDAH

Pengertian Iddah

Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak
(perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa
haidh atau masa suci.

Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang
wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh
suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau
berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah
ditentukan.

Tempoh Masa Iddah

Barangsiapa yang kematian suaminya, maka, iddahnya adalah selama empat bulan
sepuluh hari, tidak kira isteri sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini berdasarkan
kepada firman Allah SWT, ”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah :234).

Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya
sampai melahirkan, ”Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).

Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan
dan bernifas setelah beberapa malam kematian suaminya. Lalu dia, mendatangi
Nabi saw kemudian meminta keizinan kepada Baginda untuk berkahwin (lagi).
Kemudian Baginda mengizinkannya, lalu dia segera menikah (lagi). (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan Muslim II:1122 no:1485).

Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah
baginya, berdasarkan pada firmannya Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang
beriman, ’apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta, menyempurnakannya.” (Al-
Ahzaab:49).
Sedang wanita yang ditalak yang sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan
hamil maka, masa iddahnya ialah ia melahirkan anak yang diakndungnya. Allah SWT
berfirman, ”Dan wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai
mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq:4).

Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu
Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu ’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang
hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-
Zubir pun menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan
shalat, sekembalinya (dari shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian
az-Zubir berkata: ”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah
menipunya (juga).” Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda
kepadanya, ”Kitabullah sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada
dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).

Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara
normal, maka masa iddahnya tiga kali haidh berdasarkan Firman Allah SWT,
”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’).”.
(Al-Baqarah :228).

Kata quru’ berarti haidh. Hal ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu
Habibah r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita
karena sakit atau lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal
tersebut). Maka Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya.
(Shahih Lighairih: Shahih Abu Daud no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).

Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih
atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haidh), maka
iddahnya adalah tiga bulan lamanya. Allah swt berfirman, ”Dan perempuan-
perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri kaian jika ragu-
ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu
pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 642 –
645.

Anda mungkin juga menyukai