Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HUKUM PERKAWINAN ISLAM

TENTANG
IDDAH DAN RUJUK

DISUSUN OLEH
NURUL FATIMAH AL ARIFA

DOSEN PEMBIMBING
ZIDNI ILMAN NAFIAN, S.HI.,MA

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM (AS)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MADRASAN ARABIYAH (STAIMA) BAYANG
1445 H/2023 M
IDDAH DAN HIKMAH IDDAH
A. PENGERTIAN IDDAH
Iddah menurut bahasa berasal dari kata “ al-‘udd ” dan “ al-Ihsha’ ” yang berarti
bilangan atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu per satu dan
jumlah keseluruhanya. Firman Allah dalam Al-qur’an :
‫إَّن ِع َّدَة الُّش ُهوِر ِع ْنَد ِهَّللا اْثَنا َع َش َر َش ْهًرا‬
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan”. (QS.
At-Taubah (9): 36)
Menurut istilah Fuqaha’ Iddah berarti masa menunggu wanita sehingga halal
bagi suami lain.
Dari pengertian diatas kami dapat pengambil kesimpulan bahwa Iddah ialah
masa menanti atau menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang diceraikan
oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, guna atau untuk mengetahui
kandungan perempuan itu berisi (hamil) atau tidak,serta untuk menunaikan satu perintah
dari Allah SWT.
B. MACAM-MACAM IDDAH
Ada tiga macam-macam Iddah, yaitu :
1. Iddah sampai kelahiran kandungan
Iddah seperti ini tidak ada perbedaan pendapat antara para fuqaha’ bahwa wanita yang
hamil jika berpisah dengan suaminya karena talak atau khulu’ atau fasakh, baik wanita
merdeka atau budak, wamita mislimah atau kitabiyah, iddah-nya sampai melahirkan
kandungan. Firman Allah SWT. :
‫َو ُأوالُت األْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأْن َيَض ْع َن َحْم َلُهَّن‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” ( QS. Ath-Thalaq(65)
Wanita yang hamil ditinggal suaminya karena meninggal dunia maka masa iddah-nya
sampai melahirka kandungannya. Ada pun alas an mereka :
a. Keumuman ayat al-qur’an. Sedangkan firman allah swt.
‫َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا‬
“hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh
hari.” (QS. Al-Baqarah (2): 234). Ayat ini berlaku dagi wanita yang tidak hamil.
b. Firman allah swt.
“waktu Iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-
Thalaq (65):
Kemudian ada juga ayat yang turun belakangan yaitu surah Al-Baqarah ayat
234:
‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah (2): 234). Di takhshish keumumanya.
c. Wanita ber-iddah dalam keadaan hamil selesai masa iddahnya yaitu dengan
melahirkan kandunganya itu karena disyariaatkan bagi wanita kebebasan atau
bersihnya rahim wanita.
2. Iddah beberapa kali suci
Yaitu iddah setiap perpisahan dalam hidup bukan sebab kematian, jika wanita itu
masih haidh sebagaimana firman allah swt. :
‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثالَثَة ُقُروٍء‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’.” (QS. Al-Baqarah (2): 228).
3. Iddah dengan beberapa bulan
Masa iddah dengan beberapa bulan pada dua kondisi, yaitu sebagi berikut :
a. Kondisi wafatnya suami, barangsiapa yang meninggal suaminya setelah nikah
yang shahih walaupun dalam iddah dari talak raj’i, iddahnya 4 bulan 10 hari,
berdasarkan firman allah swt. Berdasarkan surah al-baqarah ayat 234 diatas.
b. Kondisi berpindah (firaq), jika istri sudan menopause atau kecil belum haidh,
firman allah swt. :
‫َو الالِئي َيِئْس َن ِم َن اْلَم ِح يِض ِم ْن ِنَس اِئُك ْم ِإِن اْر َتْبُتْم َفِع َّد ُتُهَّن َثالَثُة َأْش ُهٍر َو الالِئي َلْم َيِح ْض َن‬
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid.” (QS. Ath-Thalaq (65): 4).
C. KEDUDUKAN HUKUM IDDAH
Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau
mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, hukumnya wajib menjalani
masa iddah itu, sesuai dengan firman allah swt. :
‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثالَثَة ُقُروٍء َو ال َيِح ُّل َلُهَّن َأْن َيْكُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهَّللا ِفي َأْر َح اِم ِهَّن‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” (QS. Al-
Baqarah (2): 228).
Diantara hadis nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang
disampaikan oleh aisyah menurut riwayah ibnu majah dengan sanad yang kuat yang
artinya : “nabi saw. Menyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali haid.
Dari ijma’ para ulamak juga sepakat wajibnya iddah sejak masa Rasulullah saw. Ampai
sekarang.
D. HIKMAH IDDAH
Adapun tujuan dan hikmah diwajibkan Iddah itu adalah :
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan atau isteri tersebut dari bibit yang
ditinggalkan oleh mantan suaminya itu. Supaya tidak terjadi bercampur aduknya
keturunan (percampuran nasab), apabila mantan istri tersebut berkahwin dengan
lelaki lain.
2. Untuk memanjangkan masa rujuk, jika cerai itu talak raj’i. Dengan adanya masa
yang panjang dan lama dapat memberi peluang kepada suami untuk berfikir
(introspeksi diri) dan mungkin menimbulkan penyesalan terhadap perbuatannya itu
sehingga ia ingin kembali kepada istrinya atau akan rujuk kembali.
3. Sebagai penghormatan kepada suami yang meninggal dunia. Bagi seorang isteri
yang kematian suami yang dikasihinya sudah tentu akan meninggalkan kesan yang
pahit di jiwanya, dengan adanya iddah selama empat bulan sepuluh hari adalah
merupakan suatu masa yang sesuai untuk ia bersedih, sebelum menjalani kehidupan
yang baru di samping suami yang lain.
4. Untuk taadud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun
secara rasio kita mengira tidak perlu lagi.
Macam – macam Iddah
2.2.1 Iddah Talak
Iddah talak adalah terjadi karena perceraian, perempuan yang berada dalam
iddahtalak antara lain:
a. Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3
kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru’).
Firman Allah SWT:
‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثالَثَة ُقُروٍء َو ال َيِح ُّل َلُهَّن َأْن َيْكُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهَّللا ِفي َأْر َح اِم ِهَّن ِإْن ُك َّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهَّلل‬
‫َو اْلَيْو ِم اآلِخ ِر َو ُبُعوَلُتُهَّن َأَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفي َذ ِلَك ِإْن َأَر اُدوا ِإْص الًحا َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّلِذ ي َع َلْيِهَّن ِباْلَم ْعُروِف َوِللِّر َج اِل‬
)228 : ‫َع َلْيِهَّن َد َر َج ٌة َو ُهَّللا َع ِزيٌز َحِكيٌم (البقرة‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.(Q.S. al baqarah:228)
Mengenai quru’ para ulama’ fiqih berpendapat berbeda-beda:
1) Fuqaha berpendapat bahwa quru’ itu artinya suci yaitu masa diantara haid.
2) Fuqaha lain berpendapat bahwa quru’ itu haid, terdiri dari Imam Abu
Hanifah,Ats-tsauri Al-Auzali, Ibnu Abi Laila. Alasanya adalah untuk
mengetahui kolongnya rahim, tidak hamil bagi wanita yang di talak,
sedangkan kekosongan rahim hanya di ketahui dengan haid.
3) Fuqaha Anshor berpendapat bahwa quru’ adalah suci terdiri dari Imam Mahit
dan Syaf i’. alasanya adalah menjadi pedoman bagi kosongnya rahim
dimana masa suci pada haid bukan bukan berarti berpegang pada haid
terakhir maka tiga yang di syaratkan harus lengkap masa suci diantara 2 haid.
b) Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig atau
perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan,
jika tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan.
)4: ‫والىء يئسن من المحيضى من نسائكم ان ارتبتم فعّرتهن ثلثة اشهر وّالئ لم يحض (الطالق‬
Artinya : “Dan perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan jika kamu
ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka untuk tiga bulan, dan begitu pula
perempuan yang tidak haid.”(Q.S. At Talak : 28 :4)
c) Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak
ada iddahnya.
Firman Allah SWT :
‫ياايهاالذين امنوااذانكحتم المؤمنت ثّم طلقتموهّن من قبل ان التمسوهّن فما لكم عليهّن من عرة‬
)94: ‫تعتر ونها (للالحزاب‬
Artinya : ‘’Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan
yang beriman, kemudian k-moe ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya
maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimoe yang kamu minta
menyempurnakanya (Q.S Al Ahzab (22):49)
Jika perempuan belum pernah di setubuhi dan di tinggal mati maka iddahnya
seperti iddahnya orang i’lah di setubuhi’’
Firman Allah SWT :
‫والذين يتوّفون منكم ويذرون ازوجا يتربصن بانفسهّن اربعة اثهر وعشرا‬
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaknya para istri itu) menangguhkan dirinya (‫ )عدة‬untuk 4 bulan
10 hari” (Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234)

2.2.2 Iddah Hamil


Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yangdiceraikan itu
sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan.
Firman Allah SWT :
)4: ‫واولت لألجمال اجملهن ان يضعن حملهّن ومن يتق هللا يجعل له من امره يسرا (الطالق‬
Artinya : “Dan perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampaimereka
melahirkan kandunganya . dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya
Alloh menjadikan baginya kemudian dalam urusnya”. (Q.S. At-talaq 28 : 4)
Apabila ia hamil dengan anak kembar maka iddahnya belum habis sebelum anak
kembarnya lahir semua jika perempuan itu keguguran maka iddahnya ialah sesudah
melahikan baik baginya hidup, mati, sempurna badanya / cacat, ruhya telah ditiup
/belum.
2.2.3 Iddah Wafat
Iddah wafat adalah iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal
mati suaminya dan masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari.
Firman Allah SWT :
)234 : ‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا (البقرة‬
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh
hari”. (Q.S. Al-Baqoroh: 234)

2.2.4 Iddah Wanita yang Kehilangan Suami


Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan
suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di menunggu selama 4 tahun
lamanya sesudah itu hendaknya dia beriddah 4 bulan 10 hari.
‫نين ثم تعتد أربعة أشهر‬ŸŸ‫ أيما امرأة فقدت زوجها لم ندر أين هو فإنها تنتظر أربعة س‬: ‫عن عمر رضي هللا عنه قال‬
‫وعشرا ثم تحل‬.
Artinya: “Dari Umar R.A berkata: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia
tidak mengetahui dimana ia berada sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu 4
tahun, kemudian hendaknya ia beriddah 4 bulan 10 hari barulah ia boleh menikah.
(H.R Malik)
2.2.5 Iddah Wanita yang di Ila’
Bagi perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat apakah ia harus
menjalani iddah atau tidak, diantaranya:
a) Jumhur Fuqoha’ mengatakan bahwa ia harus menjalani Iddah.
b) Zabir bib Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah.
Perbedaan pendapat ini di sebabkan iddah itu menghabungkan antara iddah dan
maslahat bersama-sama. Oleh karena itu bagi fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi
kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah, sedangkan fuqoha’ yang
lebih memperhatikan segi ibadah maka mereka mewajibkan iddah atasnya.
2.3 Hikmah Iddah
Sebagai peraturan yang dibuat oleh Yang Maha Mengetahui, aturan tetntang
‘iddah pastimempunyai rahasia serta manfaat tersendiri.Kadang kala manfaat itu dapat
langsung kita rasakan, namun acapkali baru kita rasakan setelah kejadian lama berlalu.
Al-Jurjawy mengatakan sebagai berikut:
1. Kita dapat mengetahui kebersihan rahim si wanita yang telah ditalak atau karena
kematian suami. Kalau tidak ada syari’at tentang ‘iddah, si wanita dapat langsung
menikah dengan laki-laki lain, sehingga terjadi percampuran keturunan dan
menghasilkan generasi yang samar. Tujuan dharury Hukum Islam yitu hifdzun nasli
atau memelihara keturunan tidak akan tercapai.
2. Memperpanjang masa kembali bagi suami pertama (untuk meruju’ mantan istri)
dalam kasus talak raj’i. Menurut penulis inilah yang menjadi yang menjadi esensi
dari syari’ tentang ‘iddah ini, yaitu dalam upaya menyelamatkan institusi
perkawinan dari kehancuran yang lebih fatal. Nasa tenggang waktu yang relative
lama hendaknya dipergunakan untuk instrokpeksi diri, menyadari kekeliruan,
memaafkan kesalahan istri atau suaminya dan harapan bersatuya mereka kembali
melalui ruju’, menyambung kembali silaturrahmi yang nyaris putus.
3. Masa berkabung bagi istri yang ditinggal mati suami dan digunakan untuk sedikit
mengenang kembali kenangan lama dengan suaminya. Sangat tidak etis, seandainya
sang istri dengan cepat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, sementara
sang suami baru saja meninggalkan dirinya. Oleh karena itu, ‘iddah bagi wanita
yang ditinggal suami adalah masa berkabung.
4. Sutu masa yang harus dipergunakanan oleh calon terutama suami yang akan
menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk ke dalam kehidupan si wanita yang
baru dicerai mantan suaminya. Ada kemungkinan si wanita masih memiliki
persoalan, mungkin masalah harta atau yang lainnya. Biarkan mereka selesaikan
pada masa ‘iddahnya sampai semua persoalan dengan mantan suaminya telah
selesai. Seandainya kita (suami kedua) masuk disaat persoalan dengan suami
pertama belum selesai, hal itu dapat merunyamkan keadaan. Bahkan, mungkin
terjadi suami pertama tadi – karena cemburu – akan cepat meruju’nya kembali
walaupun itu hanya sekedar kesesalan akibat ulah calon si suami kedua yang nekat
dan terburu-buru tadi.
5. Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah. Pelaksanaan beriddah juga merupakan
gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya yakni Allah.
Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi wanita muslim untuk
mentaatinya. Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena
cerai hidup atau mati. Disana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum
menikah lagi dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beriddah inilah
yang merupakan gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang
didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain
akan mendapatkan manfaat beriddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan
bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilangar dari Allah SWT.
6. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu agar dapat menghimpunkan orang-
orang yang arif mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang.
Jika tidak diberikan kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak
kecil bermain, sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya.
2.4 Tujuan Iddah
Sebagaimana pertanyaan yang sering dipertanyakan, kenapa seorang perempuan
yang bercerai dengan suaminya baik karena cerai hidup atau karena suaminya
meninggal dunia diwajibkan beriddah, dan kenapa pula harus selama itu masa
iddahnya.Adanya iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut.
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
1. Bagi suami mempunyai kesempatansaat berfikir untuk memilih antara rujuk dengan
istri atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
2. Bagi istri mempunyai kesempatan saat untuk mengetahui keadaan sebenarnya yaitu
sedang hamil atau tidak sedang hamil.
3. Sebagai masa transisi.
Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
2. Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus
diusahakan agar kekal.
3. Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa
berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
4. Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukan hubungan
kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.”

2.5 Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah


1. Para fuqoha sepakat bahwa istri yang berdara pada talak raj’i mempunyai hak
nafkah dan tempat tinggal. Hak yang sama juga diberikan kepada wanita yang
hamil sampai melahirkan. Ketentuan ini didasarkan Firman Allah SWT :
‫َاْس ِكنوُهَّن ِم ْن َح ْيُث َس َك ْنُتْم ِم ْن ُو ْج ِد ُك ْم َو َالُتَض ْاُرْو ُهَّن ِلُتَض ِّيُقوا َع َلْيِهَّن َو ِاْن ُك َّن ُاولِت َح مٍل َفَأْنِفُقوا َع َلْيِهَّن َح َّتى‬
) 6 : ‫َيَض ْع َن َحْم َلُهَّن ( الطالق‬
Artinya :“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan hati mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu
hamil, maka berikanlah mereka nafkah hingga mereka melahirkan
kendungan”(Q.S. Ath-Thalaq : 6)
2. Bagi istri yang ditalak ba’in, terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengharuskan
nafkah dan tempat tinggal, sebagian lagi meniadakan semua pemberian tersebut dan
sebagian lainnya hanya memberikan tempat tinggal saja tanpa nafkah. Mereka yang
meniadakan nafkah dan tempat tinggal bagi tertalak ba’in mendasar pendapatnya
pada hadis dari Ibnu Abbas dan Ali r.a sebagai berikut :
‫ِاَّنَم ا الُّس ْك َنى َو الَّنَفَقُة ِلَم ْن ِلَز ْو ِج َها َع َلْيَها الَّرْج َع ُة‬
Artinya :“Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya tempat tinggal
dan nafkah hanya bagi wanita yang ditalak raj’I’”
Mereka yang memberikan tempat tinggal saha mendasarkan pendapatnya pada
hadis Fatimah yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwaththa :
‫َلْيَس َلِك َع َلْيَها َنَفَقٌة‬
Artinya :
“Berkata Rasulullah SAW, ‘ Tidak ada bagimu atasnya nafkah’”
Dalam hadist tersebut tidak disebutkan mengenai tempat tinggal.Mereka
berpendapat dengan tidak disebutnya berarti tempat tinggal tetap diberikan kepada
mereka.Adapun bagi mereka yang mewajibkan keduanya beralasan keumuman Ath
thalaq ayat 6.
3. Perempuan dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun
ia mengandung, karna ia dan anak yang berada dalam kandungannya telah
mendapat pusaka dari suaminya yang meninggal dunia itu.
Seperti Sabda Rasulillah Saw:
“ Janda hamil yang kematian suaminya tidak berhak mendapat nafkah.”( Riwayat
Daruqutni)
Polemik para ulama bahwa kewajiban suami meberikan tempat tinggal dan nafkah
bagi istri yang ditalak, terutama yang ditalak raj’I disebabkan pada waktu ‘iddah
istri tersebut tidak menerima dari orang lain, apalagi paitu tidak boleh dipinang
orang lain sebab hak suami masih melekat pada kasus talak raj’i. Seperti kita
ketahui, wanita dalam talak raj’i itu tidak boleh dipinang orang lain sebab hak
suami masih melekat pada wanita tersebut. Karena itu, si istri tidak akan menerima
sesuatu, kecuali dari mantan suaminya. Hak yang dia miliki yang melekat pada
mantan suami dan pada saat yang sama menjadi .kewajiban istri untuk menaati hak
suami yang masih melekat pada dirinya. Dia harus menyadari bahwa mantan
suaminya dalam kasus talak raj’i mempunyai hak kembali kepadanya, yang tidak
dipunyai orang lain.

2.6 Larangan Bagi Wanita yang Menjalani Iddah


Di antara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
1. Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk
sindiran.
2. Tidak boleh menikah.
3. Tidak boleh keluar rumah.
4. Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad).
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau
bercantik-cantik. Dan di antara kategori berhias itu antara lain adalah:
1. Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera.
2. Menggunakan parfum atau wewangian.
3. Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya
memakai untuk malam hari karena darurat.
4. Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna‘) dan bentuk-bentuk pewarna
lainnya.
5. Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah
dan kuning.
Di dalam kitab Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq mengatakan:“Isteri yang
sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumahyang ia dahulu
tinggal bersama sang suami, hingga selesai masa ‘iddahnya. Dan tidak diperbolehkan
baginya keluar dan rumah tensebut.Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan
untuk mengeluarkannya dari rumahnya.Seandainya terjadi perceraian di antara
mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah di mana mereka berdua
menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada suaminya
untuk sekedar suaminya mengetahuinya di mana ia berada.”
Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat
Ath-Thalaq ayat pertama.
Apabila isteri yang dithalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-
terangan memperlihatkan sesuatu yang tidak baik bagi keluarga suaminya, maka
dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut, demikian menurut Ibnu
Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha,
Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan, Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; di mana
Aisyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya
untuk keluar dan rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar
rumah bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah
untuk menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.

2.7 Hukum Iddah


Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau
mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, hukumnya wajib menjalani
masa iddah itu, sesuai dengan firman allah swt. :
‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثالَثَة ُقُروٍء َو ال َيِح ُّل َلُهَّن َأْن َيْكُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهَّللا ِفي َأْر َح اِم ِهَّن‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya.”(QS. Al-Baqarah (2): 228).
Diantara hadis nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang
disampaikan oleh aisyah menurut riwayah ibnu majah dengan sanad yang kuat yang
artinya : “nabi saw. Menyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali haid.Dari
ijma’ para ulamak juga sepakat wajibnya iddah sejak masa Rasulullah saw. Ampai
sekarang.

Pasal – pasal yang mengatur tentang iddah


Pasal 39
1. Waktu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal ayat 2 Undang-Undang
ditentukan sebagai berikut :
2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian,
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi
hubungan kelamin.
3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitun
sejak jatuhnya putusnya pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
sedangkan perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.
Pasal 153
1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah,
kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qobla al dukhul, waktu
tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang
antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempuntai kekuatan hukum tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak
haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.
6. Dalam keadaan pada ayat ( 5 ) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu
tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka
iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154 Apabila istri tertalak raj’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh
suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat
matinya bekas suami.
Perhitungan iddah menurut Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974

Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun
1974, ketentuan iddah diatur dalam Pasal 39, yaitu:
 Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
Undang-undang ditentukan sebagai berikut :
1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari;
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan
puluh) hari;
3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
 Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi
hubungan kelamin.
 Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.
Perhitungan iddah menurut KHI
Ketentuan iddah menurut Kompilasi Hukum Islam, diatur dalam Pasal 153.
 Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku masa tunggu atau iddah,
kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
 Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
1. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu
tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid
ditetapkan 3 (tiga) kali suci sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan
bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
3. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
4. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
 Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang
antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
 Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suaminya.
 Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani masa
iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
 Dalam keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama
satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali,
maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
RUJUK
A. Rujuk Dalam Perspektif Fiqih
1. Pengertian Rujuk
Menurut bahasa Arab, kata ruju‟ berasal dari kata raja‟a – yarji‟u – rujk‟an
yang berarti kembali, dan mengembalikan. Dalam istilah hukum Islam, para fuqaha‟
mengenal istilah “ruju” dan istilah “raj‟ah” yang keduanya semakna. Defenisi rujuk
dalam pengertian fiqh menurut al-Mahalli adalah : Kembali ke dalam hubungan
pernikahan dari cerai yang bukan talak bain, selama masa iddah. Ulama Hanafiyah
memberi definisi ruju‟ sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah, sebagai berikut :
Ruju‟ ialah melestarikan pernikahan dalam masa iddah talak (raj‟i) Sedangkan rujuk
menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut :
a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya pengganti
dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila habis
masa iddah.
b. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat
dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak ba‟in, maka
harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.
c. Syafi‟iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah
dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri
diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan
orang lain, meskipun suami berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena
itu rujuk menurut golongan Syafi‟iyah adalah mengembalikan hubungan suami istri
ke dalam ikatan pernikahan yang sempurna.
d. Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak selain talak ba‟in
kepada suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan
(bersetubuh) dengan niat ataupun tidak. Pada dasarnya para ulama madzhab
sepakat, walaupun dengan redaksi yang berbeda bahwa rujuk adalah kembalinya
suami kepada istri yang dijatuhi talak satu dan atau dua, dalam masa iddah dengan
tanpa akad nikah yang baru, tanpa melihat apakah istri mengetahui rujuk suaminya
atau tidak, apakah ia senang atau tidak, dengan alasan bahwa istri selama masa
iddah tetap menjadi milik suami yang telah menjatuhkan talak tersebut kepadanya.
Rujuk yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia terpakai yang
artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (yang selanjutnya disingkat KBBI)
adalah : Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak
dua, ketika istri masih di masa iddah. Defenisi yang yang dikemukakan KBBI
tersebut di atas secara esensial bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan
dalam kitab fiqh, meskipun redaksionalnya sedikit berbeda. Dari defenisi-defenisi
tersebut di atas terlihat beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari
perbuatan hukum yang bernama rujuk tersebut, yaitu :
a. Ungkapan “kembalinya suami kepada istrinya”, mengandung arti bahwa di
antara keduanya sebelumnya telah terikat tali pernikahan, namun ikatan
tersebut sudah berakhir dengan perceraian. Laki-laki yang kembali kepada
orang lain dalam bentuk pernikahan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini.
b. Ungkapan “yang telah ditalak dalam bentuk raj‟i”, mengandung arti bahwa
istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau
bain. Hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum
dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj‟i, tidak disebut
rujuk.
c. Ungakapan “masih dalam masa iddah”, mengandung arti bahwa rujuk itu
hanya terjadi selama istri masih dalam masa iddah. Bila waktu iddah telah
habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama
rujuk. Untuk maksud tersebut suami harus memulai lagi nikah baru dengan
akad yang baru.
Rujuk adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh sang suami
setelah menjatuhkan talak terhadap istrinya, baik melalui ucapan yang jelas atau melalui
perbuatan dengan tujuan kembali ke dalam ikatan pernikahan, konsep rujuk dalan
bahasan fiqh Islam dibicarakan dalam permasalahan talak satu dan talak dua. Dapat
dirumuskan bahwa ruju‟ ialah “mengembalikan status hukum pernikahan secara penuh
setelah terjadinya talak raj‟i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas bekas
istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu”.
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara
suami istri meskipun berstatus talak raj‟i, namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan
keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga
diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati bekas suami dalam
masa iddah berhak merujuk bekas istrinya itu dan mengembalikannya sebagaimana
suami istri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya keharaman itu berdasarkan
talak yang diucapkan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya itu, maka untuk
menghalalkan kembali bekas istrinya menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan
rujuk yang diucapkan oleh bekas suami dimaksud.
2. Dasar Hukum Rujuk
Dalam satu sisi rujuk itu adalah membangun kembali kehidupan perkawinan
yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan pernikahan. Kalau membangun
kehidupan pernikahan pertama kali disebut pernikahan, maka melanjutkannya disebut
rujuk. Hukum rujuk demikian sama dengan hukum pernikahan, dalam mendudukkan
hukum rujuk itu ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu
adalah sunat. Dalil yang digunakan jumhur ulama itu adalah firman Allah SWT dalam
surat al-Baqarah ayat 229 “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Demikian pula firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :  Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah”.
Kata imsak dalam ayat pertama dan kata rad dalam ayat kedua mengandung
maksud yang sama yaitu kembalinya suami kepada istri yang telah diceraikannya. Tidak
ada perintah yang tegas dalam kedua ayat tersebut untuk rujuk.
Adanya perintah Nabi supaya Ibnu Umar rujuk karena sebelumnya dia
menalaknya dalam keadaan haid. Oleh karena itu hukum rujuk iru adalah sunat. Ibnu
Rusyd membagi hukum ruju‟ kepada dua, yaitu hukum ruju‟ pada talak raj‟i dan
hukum ruju‟ pada ta;ak ba‟in :
a. Hukum rujuk pada talak raj‟i Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami
mempunyai hak meruju‟ istri pada talak raj‟i, selama isteri masih berada dalam
masa iddah, tanpa mempertimbangkan persetujuan isteri, berdasarkan firman
Allah SWT : “Dan suami-suaminya berhak merujuk mereka (istri-istri) dalam
masa menanti itu” (Al-Baqarah : 228) Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak
raj‟i ini harus terjadi setelah dukhul (bersetubuh) dan rujuk dapat terjadi dengan
kata-kata dan saksi.
b. Hukum rujuk pada talak ba‟in Rujuk terhadap wanita yang ditalak ba’in terbatas
hanya terhadap wanita yang ditalak melalui khulu’, dengan terbusan, dengan
syarat dicampuri dan hendaknya talaknya tersebut bukan talak tiga.
Ulama empat madzhab sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan
wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad,
mahar, wali, kesediaan si wanita. Hanya saja dalam hal ini selesainya iddah tidak
dianggap sebagai syarat. Hukum ruju‟ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru.
Semua fuqaha berpendapat bahwa bertemunya dua alat kelamin menyebabkan halalnya
bekas istrinya tersebut. Kecuali al-Hasan al-Basri yang mengatakan bahwa istri tersebut
baru menjadi dengan terjadinya pergaulan yang mengeluarkan air mani.
Nikah Muhalil Dalam kaitan ini, fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah
muhallil. Yakni jika seorang lelaki mengawini seorang perempuan dengan syarat
(tujuan) untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama. Imam Malik berpendapat
bahwa nikah tersebut rusak dan harus difasakh, baik sesudah maupun sebelum
terjadinya pergaulan. Demikian pula syarat tersebut rusak dan tidak berakibat halalnya
perempuan tersebut. Dan baginya keinginan istri untuk menikah tahlil tidak dipegangi,
tetapi keinginan lelaki itulah yang dipegangi. Imam Malik dan pengikutnya beralasan
dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW tsb, Dari Ali bin Abi Thalib r.a, Ibnu
Mas‟ud r.a, Abu Hurairah r.a dan Uqbah bin Amir r.a “Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda : Allah melaknat perkawinan orang yang menghalalkan (al-Muhallil) dan
orang yang dihalalkan untuknya (al-Muhallal lah).” (HR. At-Tirmidzi)

Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil dibolehkan,
dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi sahnya. Pendapat ini dikemukakan pula
oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa pernikahan tersebut
menyebabkan kehalalan istri yang dicerai tiga kali.
3. Rukun dan Syarat-syarat Rujuk
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk telaksananya
sebuah perbuatan rujuk tersebut. Diantara rukun dan syarat-syarat rujuk tersebut adalah
sebagai beriku :
a. Sighat (lafaz), sighat ada 2 (dua), yaitu :
1) Terang-terangan (sharih), misalnya dikatakan, “Saya kembali kepada isteri
saya” atau “Saya ruju‟ padamu”.
2) Melalui sindiran, misalnya “Saya pegang engkau” atau “Saya kawin engkau”
dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk ruju‟ atau
untuk yang lainnya.
Disyariatkan ucapan itu tidak bertaqlid, berarti tidak digantungkan, misalnya :
“Aku ruju‟ engkau jika engkau mau”, ruju‟ semacam ini tidak sah walaupun
isterinya mau. Rujuk yang terbatas waktunya juga tidak sah, misalnya : “Aku ruju‟
engkau sebulan”.
b. Istri (perempuan yang dirujuk), adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang
dirujuk itu adalah :
1) Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk. Tidak sah
merujuk perempuan yang bukan istrinya.
2) Istri yang tertentu, kalau suami menalak beberapa istrinya, kemudian ia ruju‟
kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang
dirujukkan, maka ruju‟nya itu tidah sah.
3) Talaknya adalah talak raj‟i.
4) Ruju‟ itu terjadi sewaktu istri masih dalam masa iddah. Apabila masa iddahnya
telah berakhir, maka putuslah hubungannya dan dengan sendirinya istri tersebut
tidak boleh lagi dirujuk.
c. Suami. Ruju‟ ini dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri (bukan dipaksa),
dan suami tersebut juga telah menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam masalah rukun dan syarat-
syarat-syarat rujuk tersebut :
a. Hanafiyah Menurut Imam hanafi rukun rujuk itu hanya satu, yaitu sighat,
sedangkan istri dan suami keduanya adalah diluar dari hakikat dari rukun rujuk tersebut.
Sedangkan syarat rujuk ada empat, yaitu : 1) Harus dari talak raj‟i 2) Tidak ada syarat
memilih 3) Tidak ada disandarkan kepada sesuatu. Tidak sah jika rujuk itu tergantung.
Misalnya, jika suami mengatakan, “Jika terjadi demikian, aku telah merujukmu”. 4)
Tidak digantungkan atas syarat-syarat sebagai berikut : yaitu bukan talak tiga, bukan
dengan satu tambahan, baik berupa lafal hulu‟ dan lain-lain atau bahkan dengan lafal
talak, bukan talak satu sebelum dhukul, karena istri yang ditalak itu telah dikumpuli.
Jika suami menalak istri sebelum dukhul dengannya, ia tidak berhak merujuknya karena
ia tidak perlu iddah darinya. Dan bukan menggunakan sindiran yang merupakan talak
ba‟in baik dengan niat maupun sikap.
a. Menurut Abu Hanifah akil dan baligh bukan merupakan syarat untuk rujuk,
karena rujuk tidak dibenarkan kecuali telah terjadi talak raj’i dari nikah yang sah. Shabi
(anak kecil di bawah umur) dan orang gila, talak dan rujuknya tidak sah. Dan nikah
yang fasid (rusak) di dalamnya tidak mengandung talak maupun rujuk, dengan
demikian bahwa rujuk adalah perkataan tertentu dan perbuatan tertentu saja.
b. Malikiyah. Para ulama Malikiyah mensyaratkan kepada orang yang melakukan
rujuk dengan dua syarat, yaitu : baligh dan berakal. Tidak sah rujuknya anak kecil juga
bagi walinya, dengan alasan talaknya anak kecil tersebut tidak lazin. Begitu pula dengan
orang gila (hilang akal), maka rujuknya juga tidak sah. Menurut Malikiyah dalam rujuk
ada tiga syarat, antara lain :
1) Bukan talak ba‟in. Istri sah dirujuk apabila telah diceraikan dalam bentuk thalat
raj‟i, karena tidak sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah
di talak namu dalam bentuk talah bain.
2) Masih dalam masa iddah, (istri masih berada dalam masa iddah thalaq raj‟i),
3) Menyetubuhi istrinya pada masa suci Ruju boleh dan sah dilakukan walupun
suami istri terpisah dengan jarak yang jauh, meskipun tanpa sepengetahuan dan kerelaan
istri.
Melakukan rujuk dibenarkan dengan dua hal, pertama, dengan perbuatan baik
yang jelas maupun berupa perkataan sindiran kepada istri, kedua, dengan perbuatanm,
yakni melakukan perbuatan yang dalam hal ini adalah menyetubuhi sitri yang akan
dirujuk dengan catatan harus diserati niat untuk rujuk, jika hal tersebut sudah dilakukan,
maka hubungan suami istri kembali utuh seperti semula. Jika tidak disertai dengan niat
rujuk, maka rujuknya tidak sah dan hubungan badan yang dilakukan adalah haram, akan
tetapi keharaman tersebut tidak menimbulkan had atau sedekah lainnya. Kemudian bila
hubungan badan tersebut membuahkan keturunan, maka nasab anak tersebut ikut
kepada si suami tadi.
c. Syafi‟iyah Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa orang yang merujuk adalah
suami atau orang yang diberi kepercayaan untuk mewakilinya dan bisa juga walinya.
Harus yang berakal sehat, baik yang bersangkutan, yang mewakilinya atau walinya.
Rukun rujuk menurut syafi‟i ada empat, yaitu :
1) Ada suami atau wakilnya
2) Istri yang sudah pernah dicampuri
3) Mengucapkan kata rujuk, yaitu : “Aku rujuki engkau pada hari ini” atau “Telah
kurujuki istriku yang bernama…. pada hari ini”, dan sebagainya
4) Rujuk itu dilakukan dalam talak raj‟i

d. Hanabilah Ulama Hambali berpendapat rujuk hanya terjadi melalui


percampuran. Begitu terjadinya percampuran, maka terjadilah rujuk, sekalipun sang
suami tidak berniat untuk rujuk.
Disyaratkan bagi suami yang rujuk harus berakal sehat („aqil), sedangkan untuk
istri disyaratkan haruslah istri dari akad nikah yang sah. Dari segi sighat menurut
hambali ada dua macam, yaitu : lafaz (ucapan) dan tindakan. Lafaz tersebut harus jelas
seperti “aku kembali kepadamu” sedangkan perbuatan yaitu dengan bersetubuh, maka
dihalalkan bagi suami yang menjatuhkan talak raj‟i (dalam masa iddah) menyetubuhi
istrinya, maka dalam hal itu suami telah melakukan rujuk kepada istrinya meskipun
tanpa disertai dengan niat, namun apabila yang dilakukan selain bersetubuh hanya
mencium, memegang, atau melihat kemaluan istri maka tidak tergolang kepada rujuk,
meskipun dengan syahwat.

4. Hikmah Rujuk
Diaturnya rujuk dalam hukum syara‟ karena padanya terdapat beberapa hikmah
yang akan mendatangkan kemashlahatan kepada manusia atau menghilangkan kesulitan
dari manusia, juga memberikan kesempatan kepada suami untuk melakukan peninjauan
ulang dan berfikir kembali jika ada rasa penyesalan setelah tindakan menceraikan
istrinya, lalu hendak memperbaiki cara bergaul dengan istrinya.
Institusi rujuk di dalam Islam mengandung beberapa hikmah, yaitu :
a. Menghindarkan murka Allah, karena perceraian itu sesuatu yang sangat dibenci.
Karena selain dibenci oleh Islam perbuatan tersebut bisa menimbulkan dampak negatif
bagi suami atau istri maupun terhadapa anakanaknya (bagi yang memiliki anak).
b. Bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untu bertekat
memperbaikinya. Ini merupakan kesempatan yang cukup baik untuk memperbaiki atau
melakukan rekonsiliasi terhadap konflik yang telah telah terjadi antara suami dan istri.
c. Untuk menjaga keutuhan keluarga, dan menghindari perpecahan keluarga.
Terlebih lagi adalah untuk menyelamatkan masa depan anak, bagi pasangan yang telah
mempunyai keturunan.
Dalam hal ini Islam telah mengatur adanya iddah, sehingga dalam waktu masa
iddah tersebut suami-istri yang telah bercerai bisa memanfaatkan kesempatan tersebut
untuk memperbaiki konflik yang telah terjadi sehingga tidak menimbulkan dampak
negatif bagi anak-anknya. Karena telah diketahui bahwa perceraian yang terjadi dengan
alasan apapun tetap saja menimbulkan efek negatif pada anak.
d. Mewujudkan islah atau perdamaian. Meski hakikatnya hubungan perkawinan
suami istri bersifat antar pribadi, namun hal yang sering melibatkan keluarga besar
masing-masing.

5. Kesaksian Dalam Rujuk


Tentang kesaksian dalam rujuk ulama berbeda pendapat, Imam AsySyafii‟i
mensyaratkan adanya kesaksian adanya dua orang saksi. Karena untuk menghindari
pertengkaran diwajibkan memnghadirkan saksi sekurang-kurangnya dua orang laki-laki
yang adil dan dapat dipercaya Hanafi dan Maliki mengatakan : Rujuk tidak wajib ada
saksi, tetapi dianjurkan (mustahab). Dalam masalah ini terdapat pula riwayat dari
Ahmad bin Hanbal juga menyatakan demikian. Berdasarkan hal tersebut, maka boleh
dikatakan bahwa dalam hal ini terdapat ijma‟ para ulama mazhab tentang tidak wajib
adanya saksi dalam rujuk.

B. Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam


Dalam KHI telah memuat aturan-aturan rujuk secara terperinci. Dalam tingkat
tertentu, KHI hanya mengulang penjelasan fiqih. Namun berkenaan dengan proses, KHI
lebih maju dari fiqih itu sendiri. Pasal 163 KHI
1. Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah. Karena konsep
rujuk itu sendiri hanya berlaku bagi wanita yang sedang menjalani iddah talak raj‟i
(talak satu dan dua)
2. Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau
talak yang dijatuhkan qobla al dukhul.
b. Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-
alasan selain zina dan khuluk.
Pasal 164 KHI Seorang wanita dalam iddah talak raj‟i berhak mengajukan
keberatan atas kehendak rujuk dari suaminya di depan Pegawai Pencatat Nikah
disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165 KHI Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Diantara pasal-pasal yang mengatur rujuk, yaitu pasal 164 dan 165 KHI memang
tidak sejalan dengan aturan fiqh, karena rujuk dalam pandangan fiqh tidak memerlukan
persetujuan dari pihak istri dengan alasan, bahwa yang demikian adalah hak mutlak
seorang suami yang dapat digunakan tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk istri
yang akan dirujukinya tersebut.
Pasal 166 KHI Rujuk dapat dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran rujuk dan
bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat
dimintakan duplikatnya pada instansi yang mengeluarkan semula.
Selanjutnya tentang tata cara pelaksanaan rujuk itu diatur secara panjang lebar
dalam Pasal 167 sampai dengan Pasal 169. Dalam kitab fiqh lebih banyak memuat
hukum secara materiil dan hampir tidak membahas tata cara atau hukum acaranya. Jadi
kesimpulannya aturan yang terdapat dalam KHI merupakan pelengkap dari aturan yang
telah ditetapkan dalam fiqh.
Berikut pasal 167-169 KHI : Pasal 167 KHI
1. Suami yang berhak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa
penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan yang diperlukan.
2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan
menyelidiki apakan suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk
menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah
talak raj‟i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
4. Setelah itu suami mengucapkan tujuknya dan masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk.
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka
yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168 KHI
1. Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar
rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masingmasing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku
Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
2. Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
3. Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar kedua, dengan berita cara tentang sebab
hilang lainnya.
Pasal 169 KHI
1. Pegawai Pencatat Nikah membuat keterangan tentang terjadinya rujuk dan
mengirimkan kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan buku
pendaftaran rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
2. Suami istri atau kuasanya dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk
tersebut datang ke Pengadilam Agama tempat berlangsungnya talak dahulu untuk
mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan
setelah diberi catatan oleh pengadilan agama dalam ruang yang tersedia Kutipan Akta
Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
3. Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk
diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan
panitera

Anda mungkin juga menyukai