Anda di halaman 1dari 7

Masa Iddah Bagi Suami Pasca Perceraian

A. Syafiul Anam, Lc1

PENDAHULUAN
Iddah merupakan kata yang sering kita dengarkan, terutama bagi seseorang
yang akan bercerai. Sebagaimana kita ketahui bersama ‘iddah hanya berlaku bagi
perempuan dan tidak berlaku bagi laki-laki, menjalankan ketentuan-ketentuan dalan
masa ‘iddah bagi perempuan merupakan ibadah yang diperintahkan oleh syariat
islam. Pemahaman bahwa ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan tersebut juga
didukung oleh bunyi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tentang ‘iddah seperti surat Al-
Baqarah ayat 228 dan ayat 234, Surat At-Thalaq ayat 4 dan Surat Al-Ahzab ayat 49.
َّ َ‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ََلثَةَ قُ ُروء ۚ َو َل يَ ِحل لَ ُه َّن أَ ْن يَ ْكت ُ ْمنَ َما َخلَق‬
‫ّللاُ فِي‬ َ ‫َو ْال ُم‬
ْ ‫اّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ َوبُعُولَت ُ ُه َّن أَ َحق ِب َر ِده َِّن فِي َٰذَلِكَ ِإ ْن أَ َرادُوا ِإ‬
ۚ ‫ص ََل ًحا‬ ِ ‫أَ ْر َح‬
ِ َّ ‫ام ِه َّن ِإ ْن ُك َّن يُؤْ ِم َّن ِب‬
‫ع ِزيز َح ِكيم‬ َ ُ‫ّللا‬َّ ‫ع َل ْي ِه َّن دَ َر َجة ۗ َو‬ ِ ‫ع َل ْي ِه َّن ِب ْال َم ْع ُر‬
َ ‫وف ۚ َو ِل ِلر َجا ِل‬ َ ‫َو َل ُه َّن ِمثْ ُل الَّذِي‬
Artinya: ‘’ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’’ (Al-
Baqarah 228).
Selain memang disebutkan dengan jelas dalam Alquran, hadist atau sabda
Rasulullah Shallallah alaihi wasallam juga menerangkan secara gambling bahwa
iddah hanya berlaku bagi perempuan. Sebagimana hadist A’isyah:

‫ث ِح َيض‬ ْ ‫ا ُ ِم َر‬: ‫ت‬


ِ َ‫ت َب ِري َْرة ُ اَ ْن تَ ْعتَدَّ ِبثََل‬ ْ َ‫شةَ قَال‬ َ ‫ع ِن اْلَس َْو ِد‬
َ ‫ع ْن‬
َ ِ‫عائ‬ َ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Barirah diperintahkan untuk
menjalani masa ‘iddah sebanyak tiga kali haidh” (HR.Ibnu Majah) Ibnu Majah,
Sunan Ibnu Majah, 1/671

1
Hakim PA Batulicin

1
Begitupula dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, semua
mendukung dan menyebutkan bahwa masa iddah hanya berlaku bagi perempuan
sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 153, 154 dan 155.
Dalam perkembangannya ada beberapa pihak yang merasa perlu
memberlakukan masa iddah bagi lelaki sebagaimana telah diberlakukan bagi
perempuan. Tulisan ini akan mengkaji penerapan masa iddah bagi lelaki di Indonesia.

PEMBAHASAN
a. Definisi Iddah
Al-'Iddah berasal dari bahasa arab diambil dari kata ‫ ا و تعدادا و عدة عد‬-‫ يعد‬-‫عد‬
yang artinya sama dengan al-hisab, dan al-ihsha yaitu bilangan dan hitungan. (Al-
Imam Ibn Mandzhur, Lisan Al-‘Arab, 9/76) Dinamakan ‘iddah karena dia mencakup
bilangan hari yang pada umumnya dihitung oleh istri dengan quru’ (suci dari haidh
atau haidh) atau dengan bilangan beberapa bulan2.
Sedangkan secara istilah, pengertian iddah dikalangan para ulama fiqh dan
berbagai kitab klasik didapati sedikit perbedaan pendapat diantaranya sebagai berikut:

a. Kitab Al-Wajiz ‘Iddah ialah masa menunggu bagi seorang perempuan untuk
mengetahui adanya kehamilan atau tidak, setelah cerai atau kematian suami, baik
dengan lahirnya anak, dengan quru’ atau dengan hitungan bilangan beberapa
bulan.
b. Kitab Mausu’ah Fiqhiyyah ‘Iddah berarti saat menunggu bagi perempuan (istri)
untuk mengetahui kekosongan rahimnya untuk memastikan bahwa dia tidak hamil
atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas3.
c. Kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu ’Iddah adalah sebuah nama bagi suatu
masa yang telah ditetapkan oleh agama sebagai masa tunggu bagi seorang
perempuan setelah perpisahan baik berpisah lantaran ditinggal mati atau
diceraikan suaminya, dan di saat itu ia tidak diperbolehkan menerima pinangan,
menikah, atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya hingga
masa ‘iddahnya selesai4.

2
Abdul ‘Adzim Badawi, Al-Wajiz, Mesir: Daar Ibn Rajab, 1421H, Cet Ke 3, Hlm 329 Halaman 10
3
Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah, al-Mausu’ah alFiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait:
Wizarah al-Awqaf wa alSu’un al-Islamiyah, 1987), cetakan 1, jilid 29, hlm.304
4
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus: Dar alFikr), jilid 7, hlm 625

2
Dalam islam sendiri sebenarnya ada beberapa kondisi yang menyebabkan
seorang mantan suami tidak bisa menikah dengan perempuan lain kecuali telah selesai
masa iddah mantan istri yang telah dia ceraikan. Kondisi tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Seorang lelaki telah memiliki 4 (empat) istri kemudian menceraikan salah satu
atau lebih diantara mereka
Dalam kondisi seperti ini, lelaki tidak boleh menikah lagi dengan siapapun
sebelum masa iddah istri yang diceraikannya telah habis. Dasar larangan ini adalah
seorang lelaki hanya dibolehkan memiliki maksimal 4 (empat) orang istri. Jika dia
dibolehkan menikah lagi dengan perempuan lain setelah menceraikan salah satu atau
lebih dari 4 (empat) istri yang dia miliki maka ada kemungkinan dia akan memiliki 5
(lima) istri. Hal itu sangat mungkin terjadi karena dalam masa iddah seorang suami
bisa merujuk kembali dan menyambung kembali hubungan pernikahannya dengan
istri yang diceraikannya. Oleh karena itu dalam kondisi seperti ini seorang lelaki
harus menunggu selesainya masa iddah mantan istri yang telah diceraikannya.
Dalam hal ini ulama sepakat dan berijma’ bahwa dalam talak raj’i seorang
lelaki harus menunggu selesainya masa iddah mantan istrinya jika ingin menikah lagi
dengan perempuan lain. Sedangkan dalam talak ba’in, ulama berbeda pendapat
menurut madzhab maliki dan syafi’i mantan suami tidak mempunyai masa tunggu dan
tidak dilarang menikah dengan perempuan lain. Menurut madzhab Hanafi baik dalam
talak raj’i ataupun talak ba’in seorang suami mempunyai masa tunggu apabila ingin
menikah dengan perempuan lain.5 Larangan ini tentu saja sesuai dengan firman Allah
SWT, surat An-nisa ayat 3
‫ع ۖ فَإِ ْن‬ َ ‫اء َمثْن َٰى َوث ُ ََل‬
َ ‫ث َو ُربَا‬ ِ ‫س‬ َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫طوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَا ْن ِك ُحوا َما‬ ُ ‫َوإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ اَّل ت ُ ْق ِس‬
‫َت أَ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ٰذَ ِلكَ أَ ْدن َٰى أَ اَّل تَعُولُوا‬
ْ ‫احدَة ً أَ ْو َما َملَك‬
ِ ‫ِخ ْفت ُ ْم أَ اَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Begitupun dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia,
dalam hal ini KHI pasal 42 yang menyebutkan ‘’Seorang pria dilarang

5
Mausuah Fiqhiyah (29/306)

3
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang
mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka
masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i’’.

2. Mantan suami ingin menikah dengan perempuan yang dilarang dinikahi karena
telah menikah dengan istri yang diceraikannya.
Seorang lelaki yang telah mentalak istrinya dalam talak raj’i, tidak boleh
menikah dengan wanita yang mempunyai hubungan mahram (saudara, bibi dan
keponakan) dengan istrinya sampai habisnya masa iddah istri. Lelaki tersbut bisa
menikahi saudara, bibi dan keponakan mantan istrinya jika masa iddah istri telah
habis. 6 Dasar larangan ini adalah ketentuan bahwa seorang lelaki tidak boleh
menikahi seoarang wanita dengan saudara kandungnya dalam waktu bersamaan,
begitu juga dengan bibi dan keponakan wanita yang telah dia nikahi. Sebagaimana
firman Allah dalam surat An-nisa ayat 23:
‫َوأ َ ْن ت َ ْج َمعُوا بَيْنَ ْاْل ُ ْختَي ِْن‬
” Kalian tidak boleh menggabungkan dua wanita bersaudara.” (QS. An-Nisa: 23).
Al-Qurthubi mengatakan,
‫ْس لَهُ أَ ْن َي ْن ِك َح أ ُ ْخت َ َها أَ ْو أَ ْر َب ًعا س َِواهَا َحتاى‬
َ ‫ط ََلقًا َي ْم ِلكُ َر ْج َعت َ َها أَناهُ لَي‬
َ ُ‫طلاقَ زَ ْو َجتَه‬ َ ‫َوأ َ ْج َم َع ْالعُلَ َما ُء‬
‫علَى أ َ ان ا‬
َ ‫الر ُج َل ِإذَا‬
َ ‫ي ِعداة ُ ْال ُم‬
‫طلاقَ ِة‬ ِ َ‫تَ ْنق‬
َ ‫ض‬
Ulama sepakat bahwa seorang lelaki yang menceraikan istrinya talak raj’i, maka dia
tidak boleh menikahi saudara istrinya, hingga selesai masa iddah istri yang ditalak.7

Alasan larangan menikah dalam 2 (dua) kondisi diatas:


Dua kondisi yang telah disebutkan diatas berhubungan dengan pernikahan
poligami yang dilarang. Seorang pria harus menjalani masa tunggu sebelum menikah
sebagaimana istri yang telah diceraikannya, karena pria yang bersangkutan
dimungkinkan jatuh kepada apa yang dilarang oleh Allah SWT jika tidak ada masa
tunggu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Para ulama sepakat bahwa hukum iddah sama dengan hukum pernikahan,
artinya seorang suami masih diwajibkan untuk memberikan nafkah sandang, pangan
dan papan bagi istri yang diceraikan selama masa iddah. Selain itu, dalam masa iddah

6
Mawahibul Jalil (4/140)
7
Al-Qurthubi, Al-Jami’ liahkamil quran, Darul kutub Al-misriyah, Kairo, Cet kedua hal 119

4
seorang suami masih halal dan diperbolehkan untuk menggauli istrinya. Kondisi ini
sama dengan kondisi dalam pernikahan. Sehingga para ulama berpendapat bahwa
hukum iddah sama dengan hukum pernikahan.

Istilah yang digunakan oleh para ulama:


Dalam dua kondisi tersebut, seorang suami tidak boleh menikah dengan
wanita lain sampai istri yang ditalaknya telah menyelesaikan masa iddahnya. Kondisi
menunggu ini sebagian ulama menyebutnya sebagai sebuah larangan syar’i, dan
sebagian yang lain menyebutkan sebagai iddah majaziy.8
Menurut kelompok kedua, seorang suami juga memiliki masa tunggu atau
masa iddah namun bukan iddah secara haqiqi akan tetapi iddah secara majaz. Istilah
ini dipilih oleh kelompok kedua karena suami dipaksa dan harus menunggu sampai
masa iddah istrinya selesai, sebagaimana ketentuan masa iddah bagi perempuan.
Dalam dua kondisi yang telah disebutkan diatas, baik mantan suami dan mantan istri
bisa menikah dengan orang lain jika telah menyelesaikan masa iddah atau masa
tunggunya. Oleh karena kondisi tersebut sama-sama mewajibkan keduanya untuk
menunggu maka menurut pendapat kedua, seorang lelaki juga memiliki masa iddah
dalam bentuk iddah majaziy.

Analisa penulis tentang penetapan masa iddah suami dalam peratuan


perundang-undangan
Para ulama telah menyepakati adanya masa tunggu bagi seorang suami yang
telah menceraikan istrinya dalam 2 (dua) kondisi yang telah dijelaskan. Meskipun
para ulama tidak sepakat terkait istilah masa tunggu tersebut, namun substansi dari 2
(dua) kondisi tersebut adalah seorang suami diwajibkan untuk menunggu
sebagaimana seorang istri apabila akan menikah lagi.
Jika kita benar-benar memperhatikan 2 (dua) kondisi tersebut, maka kita akan
memperoleh fakta bahwa kedua kondisi tersebut sama-sama berhubungan dengan
hukum poligami yang dilarang. Kondisi pertama berhubungan langsung dengan
jumlah istri yang dibolehkan untuk dinikahi dan ini disebut dengan poligami
(menikah dengan lebih dari satu perempuan). Sedangkan kondisi kedua juga
berhubungan dengan poligami dalam hal ini adalah larangan untuk berpoligami atau

8
https://islamqa.info/amp/ar/answers diakses pada 12 Februari 2022 jam 13.00 WITA

5
menikah secara bersamaan dengan 2 (dua) wanita yang mempunyai hubungan
mahram.
Indonesia adalah negara yang menganut azas monogami dalam perkawinan.
Baik lelaki maupun perempuan pada azasnya hanya diizinkan untuk menikah dengan
satu pasangan saja.9 Seorang pria diperbolehkan mempunyai pasangan lebih dari satu
wanita (poligami) apabila menghendaki hal itu dan mendapatkan izin dari Pengadilan.
Seseorang yang berpoligami tanpa izin dari Pengadilan maka pernikahnnya dapat
dibatalkan.10 Oleh karena itu, negara wajib mengatur dan memberikan regulasi terkait
pernikahan poligami. Sejauh ini memang sudah ada beberapa peraturan tentang
poligami meskipun belum semua diaturmoleh Undang-undang.
Salah satu hal yang belum diatur oleh negara terkait poligami adalah masa
tunggu bagi pria. Hal ini harus diatur oleh negara sebagaimana negara mengatur
pernikahan harus dicatatkan dan dilarang poligami kecuali mendapatkan izin dari
Pengadilan. Tidak adanya aturan terkait masa tunggu bagi pria akan menyebabkan
prakter poligami ilegal. Seorang pria yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya di
pengadilan mempunyai hak rujuk dengan istrinya. Dalam kondisi ini, dia bisa
menikah dengan perempuan lain (karena sudah resmi bercerai dan mempunyai akta
cerai) dan juga bisa rujuk kembali dengan mantan istrinya (karena mempunyai hak
rujuk). Jika kedua hal itu dilakukan maka pria tersebut mempunyai 2 (dua) orang istri
yang dilegalkan oleh pemerintah tanpa izin dari Pengadilan. Oleh karena itu dalam
kondisi seperti ini harus dibuat aturan atau regulasi yang mengharuskan pria tersebut
untuk menjalankan masa iddah sebagaimana istri yang telah diceraikannya. Jika masa
iddah ini ditetapkan maka pria tersebut tidak mungkin untuk melakukan praktek
poligami illegal.
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan diatas maka sudah selayaknya diberlakukan masa
iddah bagi suami yang telah menalak raj’i istrinya. Waktu iddahnya harus disamakan
dengan waktu iddah istri yang telah diceraikan. Ketika masa iddah mantan istrinya
telah selesai maka mantan suami tersebut bisa menikah dengan perempuan lain
sebagaimana mantan istri bisa menikah dengan pria lain. Istilah masa iddah lebih
dipilih oleh penulis karena istilah ini lebih familiar dan lelaki yang mendengarkan

9
Pasal 3 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
10
Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam

6
akan langsung memahami maksud dari istilah tersebut dibandingkan dengan istilah
larangan syar’i.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul ‘Adzim Badawi, Al-Wajiz, Mesir: Daar Ibn Rajab, 1421H, Cet Ke 3
Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah, al-Mausu’ah alFiqhiyah al-Kuwaitiyah,
(Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa alSu’un al-Islamiyah, 1987), cetakan 1
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fikih al-Islami, (Damaskus: Dar alFikr), jilid 7
Al-Qurthubi, Al-Jami’ liahkamil quran, Darul kutub Al-misriyah, Kairo, Cet kedua
KHI (Kompilasi Hukum Islam)
UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
https://islamqa.info/amp/ar/answers

Anda mungkin juga menyukai