Anda di halaman 1dari 7

KONSEP TEORITIS KAIDAH KHUSUS DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM

TENTANG PERNIKAHAN
Septi Dwi Lestari
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo
e-mail: septidwisari841@gmail.com

Abstrak: Artikel ini membahas kaidah khusus dalam hukum keluarga islam. Artikel ini
berisi mengenai pengertian beserta syarat dan rukun dalam suatu pernikahan.
Dilengkapi dengan pembahasan kaidah tentang hukum keluarga islam dara’u al
mafasidu muqodamu jalabil masolikhu yang menjelaskan bahwa Menolak sesuatu yang
mendatangkan kerusakan didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfa'at.

Kata Kunci: pengertian, syarat dan rukun, kaidah.

PEMBAHASAN
1. Pengertian Pernikahan Menurut Ulama Fikih Dan Hukum Positif Di
Indonesia Beserta Dasar Hukumnya.

Secara Bahasa pernikahan adalah masuk dan berhubungan intim.


Sedangkan arti dari sudut pandang ushul atau menurut syariat, dalam hal ini
memiliki perbedaan pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa arti dari
pernikahan adalah persetubuhan, sedang arti kiasanya adalah akad. Sesuai dengan
firman Allah Surah An-Nisa: 22
َ ‫س ۤا َء‬
ࣖ ‫س ِبي ًْل‬ َ ‫احشَةً او َم ْقت ًۗا َو‬
ِ َ‫ف ۗ اِنا ٗه كَانَ ف‬ َ ‫س ۤا ِء ا اَِل َما قَ ْد‬
َ َ‫سل‬ ِ َ‫َو ََل ت َ ْن ِك ُح ْوا َما نَ َك َح ٰابَ ۤا ُؤ ُك ْم ِمن‬
َ ‫الن‬
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah
dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh,
perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).
Pendapat kedua menyatakan arti sebenarnya adalah akad, sedang arti
kiasannya adalah persetubuhan, sesuai dengan firman Allah Surah Al-Baqarah:
230
َ ‫فَا ِْن َطلاقَهَا فَ َل ت َ ِح ُّل لَ ٗه ِم ْۢ ْن بَ ْع ُد َحتّٰى ت َ ْن ِك َح َز ْو ًجا‬
َ ‫غي َْرهٗ ۗ َفا ِْن َط القَهَا َف َل ُجنَا َح‬
‫علَي ِْه َما ٓ ا َ ْن يات َ َرا َجعَا ٓ ا ِْن َظناا ٓ اَ ْن يُّ ِق ْي َما‬
ّٰ ‫ّٰللاِ ۗ َو ِت ْلكَ ُحد ُْو ُد‬
َ‫ّٰللاِ يُبَيِنُهَا ِلقَ ْو ٍم يا ْعلَ ُم ْون‬ ّٰ ‫ُحد ُْو َد‬

1
Artinya: Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami
yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.
Sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa saling berkaitan dari segi
lafal, yaitu antara akad nikah dan persetubuhan. Namun dengan adanya perbedaan
pendapat dari beberapa ulama, pada dasarnya keseluruhannya bermuara pada satu
arti. Yaitu bahwasannya akad nikah ditetapkan oleh syariat agar suami dapat
menikmati kelamin istri dan seluruh badannya terkait keperluan bersenang-
senang. Dibawah ini definisi pernikahan menurut beberapa ulama.
1) Madzhab Hanafi
Pernikahan merupakan akad yang menyebabkan kepemilikan wewenang
untuk bersenang-senang dengan sengaja. Yang dimaksud dengan kewenangan
adalah keberhakan laki-laki secara khusus terhadap kelamin perempuan dan
seluruh badannya untuk dinikmati.
2) Madzhab Syafi’i
Pernikahan merupakan pembolehan yang mencakup hubungan seksual dan
seterusnya, dengan demikian pernikahan adalah akad pembolehan bukan akad
kepemilikan.
3) Madzhab Maliki
Pernikahan adalah akad kepemilikan untuk menikmati kelamin dan seluruh
badan istri, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh madzhab maliki dibagian
permulaan bab ijarah (sewa).
4) Madzhab Hambali
Pernikahan adalah akad dengan lafal pernikahan atau perkawinan atas manfaat
bersenang-senang. Yang dimaksdu manfaat adalah menikmati. Karena wanita
yang disetubuhi lantaran syubhat atau zina lantaran terpaksa maka dia berhak
mendapatkan maharnya yang setara.1

1
Syaikh Abdurrahman Al-Juzair, Terjemahan Fikih Empat Madzhab, Pustaka Al-Kaustar: Jilid 5, Hal 10-17

2
2. Syarat Dan Rukun Pernikahan.
Syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Pada garis
besarnya syarat sahnya pernikahan, yaitu:
a) Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikan istri. Jadi perempuanya bukan orang yang haram dinikahi.
b) Akad nikah dihadiri para saksi.
c) Tidak terpaksa.
d) Penetapan pasangan.
e) Tidak
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas:
a) Adanya calon suami dan istri yang melakukan perkawinan.
b) Adanya wali dari pihak calon pengantin.
c) Adanya dua orang saksi.
d) Ijab qabul/sighat akad nikah.
Namun tentang jumlah rukun nikah, para ulama berbeda pendapat:
a) Imam Maliki mengatakan rukun nikah ada lima, diantaranya: wali dari
pihak perempuan, mahar, calon pengantin laki-laki dan perempuan, sighat
akad nikah.
b) Imam Syafi’I mengatakan rukun nikah juga ada lima, diantaranya: calon
pengantin laki-laki dan perempuan, wali, dua orang saksi, sighat akad
nikah.
c) Imam Hanafiyah mengatakan rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja.2
Secara perinci rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya
a) Syarat Calon Pengantin (laki-laki&wanita): berakal, baligh dan
merdeka, istri layak menerima akad, suami dan istri harus diketahui,
pernikahan harus dikaitkan dengan mempelai wanita.
b) Syarat Saksi: berakal, baligh, merdeka, beragama islam, dua orang saksi
harus mendengar perkataan dua pihak yang mengadakan akad nikah.

2
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal 93-97

3
c) Syarat Wali: berakal, baligh, adil, beragama islam, wali harus bebas
menentukan kehendaknya, harus laki-laki, kewenangan wali tidak boleh
dibatasi.
d) Syarat Sighat: sighat harus menggunakan lafadz khusus, tidak boleh ada
jeda terlalu lama yang memisahkan ijab dan qabul, lafadz sighat tidak
boleh mengandung pembatasan waktu tertentu, lafaz sighat tidak boleh
mengandung pilihan atau mengandung syarat yang bertentangan dengan
akad nikah.3
3. Kaidah-Kaidah Khusus Tentang Pernikahan Beserta Artinya.

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬


Artinya: “Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil
kemashlahatan”.
Dasar hukumnya QS. Al-Mu’minun: 5-7
‫فَ َم ِن ا ْبتَ ََى‬. َ‫ومين‬ َ ‫اج ِه ْم ْأو َما َملَكَتْ أَ ْي َمانُ ُه ْم فَ ِإنا ُه ْم‬
ِ ُ‫غي ُْر َمل‬ ِ ‫علَى أ َ ْز َو‬ ُ ِ‫وج ِه ْم حَاف‬
َ ‫ ِإَل‬. َ‫ظون‬ ِ ‫َوالا ِذينَ ُه ْم ِلفُ ُر‬
َ‫َو َرا َء ذَ ِلكَ َفأُولَ ِئكَ ُه ُم ا ْلعَا ُدون‬
Artinya: “Mereka (orang-orang yang beruntung) adalah orang-orang yang
menjaga kemaluan mereka. Kecuali kepada pasangan atau hamba sahaya yang
mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Maka barang siapa
mencari di balik itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas”.4

‫الثابت بالرب هان كالثابت بالعيان‬


Artinya: “Sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan bukti (keterangan) sepadan
dengan yang telah ditetapkan berdasarkan kenyataan”.5
‫األمر بالشيء امر بوسائل‬
Artinya: “Perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah mengerjakan
sarananya”.6

3
Syaikh Abdurrahman Al-Juzair, Terjemahan Fikih Empat Madzhab, Pustaka Al-Kaustar: Jilid 5, Hal 29-49
4
https://www.alkhoirot.org/2020/01/menolak-keburukan-dan-mengambil-kebaikan.html (diakses tanggal 02
November 2021, pukul 10.38)
5
A. Rahman Asjmuni, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Hal 63
6
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kencana, 2004, Hal 33 - 34

4
4. Kandungan Dari Kaidah-Kaidah Khusus Tentang Pernikahan.
Kaidah yang pertama memiliki maksud bahwa ketika kita dihadapkan
dengan sesuatu yang berbenturan antara menghilangkan sebuah kemadharatan
yang membawa manfaat, maka didahulukan menghilangkan kemadharatan,
kecuali madharat itu lebih kecil dibandingkan dengan maslahat yang akan
ditimbulkan.
Kaidah yang kedua memiliki kandungan atau maksud bahwa sesuatu
pernikahan itu harus ada pencatan perkawinan oleh KUA dibuktikan dengan
pembuatan buku Akta Nikah yang merupakan bukti tertulis keperdataan bahwa
telah terjadi perkawinan yang sah secara hukum.
Kaidah yang ketiga ini masih berkaitan dengan kaidah kedua yaitu
membahas dalam hal pencatatan sesungguhnya hukum acara formil untuk
memelihara hukum-hukum materil Islam di dalam bidang perkawinan.7

5. Pengaplikasian Kaidah-Kaidah Khusus Tentang Pernikahan Untuk


Memecahkan Persoalan Hukum Pernikahan Di Masyarakat.
Implementasi pada kehidupan masyarakat adalah:
a) Orang-orang dapat menjaga kemaluannya, dalam arti seseorang tidak
bebas melakukan hubungan sex dengan bukan pasangannya.
b) Adanya pencatatan buku nikah dapat dijadikan bukti bahwa telah terjadi
pernikahan serta jika ditengah jalan terjadi perceraian untuk lebih
memudahkan dalam pembuatan akta cerai / pembagian harta bersama.
c) Senada dengan pentingnya sebuah pencatatan dalam perkawinan yang
merupakan sebuah sarana agar terjaminnya kepastian hukum dalam
masalah perkawinan. Dengan tujuan pembuatan akta kelahiran, kartu
keluarga.

7
https://docs.google.com/file/d/0B5DxaF_9ujxbYmM4V2s5OWpicDQ/edit?resourcekey=0-
J7Sj_3d5RVFuCCk3XAYEiA (diakses tanggal 02 November 2021, pukul 19.20)

5
KESIMPULAN
Akad nikah merupakan ditetapkan oleh syariat agar suami dapat menikmati
kelamin istri dan seluruh badannya terkait keperluan bersenang-senang. Selain
pengertian tersebut ada pengertian menurut beberapa ulama. Syarat pernikahan
sendiri adalah Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang
ingin menjadikan istri. Jadi perempuanya bukan orang yang haram dinikahi, Akad
nikah dihadiri para saksi, Tidak terpaksa, Penetapan pasangan. Jumhur Ulama
sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas, Adanya calon suami dan istri yang
melakukan perkawinan, Adanya wali dari pihak calon pengantin, Adanya dua orang
saksi, Ijab qabul/sighat akad nikah.
Kaidah tentang pernikahan sendiri memiliki kandungan atau maksud bahwa
sesuatu pernikahan itu harus ada pencatan perkawinan oleh KUA dibuktikan dengan
pembuatan buku Akta Nikah, kemudia membahas tentang pencatatan sesungguhnya
hukum acara formil untuk memelihara hukum-hukum materil Islam di dalam bidang
perkawinan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
A. Rahman Asjmuni, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Hal 63
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, Hal 93-97
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kencana, 2004, Hal 33
– 34
Syaikh Abdurrahman Al-Juzair, Terjemahan Fikih Empat Madzhab, Pustaka Al-
Kaustar: Jilid 5, Hal 10-17
Syaikh Abdurrahman Al-Juzair, Terjemahan Fikih Empat Madzhab, Pustaka Al-
Kaustar: Jilid 5, Hal 29-49

Jurnal:
https://docs.google.com/file/d/0B5DxaF_9ujxbYmM4V2s5OWpicDQ/edit?res
ourcekey=0-J7Sj_3d5RVFuCCk3XAYEiA (diakses tanggal 02 November 2021, pukul
19.20)
https://www.alkhoirot.org/2020/01/menolak-keburukan-dan-mengambil-
kebaikan.html (diakses tanggal 02 November 2021, pukul 10.38)

Anda mungkin juga menyukai