Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN DAN HUKUM NIKAH

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

KELOMPOK 1

NAMA : PIOLA NURUL LIZA


KELAS : II B ALIYAH

DAYAH DARUL HUDA SUNGAI PAOH


TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan
pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan
seorang laki-laki menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan
dengan tujuan mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam islam merupakan sebuah proses yang sakral,
mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika
pernikahan tidak dilaksanakan berdasarkan syariat Islam maka pernikahan
tersebut bisa menjadi perbuatan sebuah zina. Oleh karena itu, kita sebagai umat
Islam harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan kaidah agama
Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh ALLAH Swt.

B.     Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian pernikahan?
b. Apakah dasar hukum pernikahan?
c. Bagaimana hukum pernikahan?
d. Apa sajakah yang termasuk rukun dan syarat pernikahan?
e. Apa tujuan dari pernikahan?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua
mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah S.W.T, untuk berkembang biak, dan
melestarikan hidupnya.
Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa al-jam’u dan al-
dhamu yang artinya kumpul atau mengumpulkan, dan digunakan untuk kata
bersetubuh. Nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad
nikah dan juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.
[1]Definisi yang lain mengemukakan bahwa nikah berasal dari bahasa arab
”nikahun”yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja ”nakaha”,
sinonimnya ”tazawwaja” kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
sebagai”perkawinan”. Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha
mendefinisikan nikah yaitu suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan
melakukan hubungan seksual (persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz)
nikah atau tazwij.
Para ahli fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam mendefinisikan
nikah atau kawin itu sendiri.
1. Golongan Hanafiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang dapan
memberikan manfaat bolehnya bersenang-senang (istimta’) dengan
pasangannya.
2. Golongan Syafi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum bolehnya wati’ (bersenggama) dengan
menggunakan lafaz nukah, atau tazwij dan lafaz-lafaz semakna dengan
keduanya.
3. Golongan Malikiyah mendefinisikan bahwa kawin adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk
membolehkan wati’(bersenggama), bersenang-senang menikmati apa

2
yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dikawininya (bukan
mahram).
4. Golongan Hanabilah mendefinisikan kawin adalah akad dengan
menggunakan lafaz nikah atau tazwij guna untuk memperoleh
kesenangan dengan seorang wanita. 
Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Kompilasi
Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhah
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dapat dipahami bahwa menikah dalam rangka pembentukan keluarga
bukan saja untuk pemenuhan kebutuhan naluri insani manusia. Tetapi
pembentukan keluarga merupakan salah satu perintah agama, yang berfungsi
untuk menjaga dan melindungi manusia dari berbagai penyelewengan dalam
pemenuhan kebutuhan seksual.

B.     Dasar  Hukum Nikah
Anjuran untuk menikah dapat dilihat dalam surat an-Nur ayat 32 :
ُ‫ َوهللا‬ ‫فَضْ لِ ِِۗ[ۗه‬ ‫ ِمن‬ ُ‫هللا‬ ‫فُقَ َرآ َءيُ ْغنِ ِه ُم‬ ‫يَ ُكونُوا‬ ‫إِن‬ ‫ َوإِ َمآئِ ُك ْْۗ[ۗم‬ ‫ ِعبَا ِد ُك ْم‬ ‫ ِم ْن‬  َ‫ َوالصَّالِ ِحين‬ ‫ ِمن ُك ْم‬ ‫ ْاألَيَامٰ ى‬ ‫َوأَن ِكحُوا‬
                                ‫ َعلِي ٌم‬ ‫ َوا ِس ٌع‬ 
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”. (QS. An-Nur :32).
Munasabah ayatnya dalam ayat ini Allah menganjurkan perkawinan
dengan beberapa fasilitas. Karena perkawinan merupakan jalan yang paling
efektif untuk menjaga kehormatan diri menjauhkan seorang mukmin dari berbuat
zina dan dosa-dosa lainnya. Pernikahan juga sebagai satu-satunya jalan untuk

3
mendapatkan keturunan yang baik dan membina masyarakat yang ideal. Oleh
karena itu ayat ni juga mengharuskan orang tua untuk menjaga kehormatan
keluarganya dengan cara perkawinan tanpa terbebani dengan masalah harta atau
yang lainnya.
 Hadist Rasulullah juga menjelaskan anjuran untuk menikah :Rosulullah
SAW bersabda: “Nikah itu sunahku,barang siapa yang tidak suka, bukan
golonganku!” (HR.Bukhari,Muslim).
Tafsiran hadist diatas bahwa berkeluarga merupakan salah satu aspek dari
berbagai aspek ibadah. Oleh karena itu,setiap muslim harus mempunyai kesadaran
bahwa dalam pembentukan keluarganya sebagai aplikasi dari keinginan untuk
mengikuti RosulullahSAW.
Kesadaran bahwa menikah merupakan perintah agama dan merupakan
sunah Nabi akan membawa implikasi positif terhadap kelangsungan keluarga
yang dibentuk

C.    Hukum Nikah
Hukum nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan
pelakunya. Ini disebabkan kondisi mukallaf, baik dari segi karakter manusiaannya
maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang
berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum
tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya yang spesifik pula, baik
persyaratan harta, fisik, dan atau akhlak.
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam. Terkadang hukum
nikah itu wajib, terkadang bisa menjadi sunnah, kadang itu hukumnya haram,
kadang menjadi makruh dan mubah atau hukumnya boleh menurut
syari’at. Sebagian ulama membaginya kepada lima kategori sebagaimana halnya
pembagian hukum perbuatan, Sedangkan sebagian ulama lainya membagi hukum
perkawinan tidaklah demikian, yaitu :  
a. Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah
mubah (boleh).

4
b. Mazhab Hanafi, Maliki, dan Ahmad Hambali mengatakan bahwa
hukum melangsungkan perkawinan adalah sunat.
c. Dawud Zahiri mengatakan bahwa hukum melangsungkan perkawinan
adalah wajib bagi orang muslim satu kali seumur hidup.[8]
d. Sedangkan Sayyid Sabiq menyimpulkan lima kategori hukum dari
perkawinan itu, yaitu :
1) Wajib, apabila seseorang sudah mampu kawin, nafsunya
mendesak dan takut terjerumus dalam perzinahan.
2) Sunnah, bagi seseorang yang nafsunya telah mendesak dan
mampu untuk kawin tetapi masih dapat menahan dirinya dari
berbuat zina.
3) Haram, apabila seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah
batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak.
4) Makruh, apabila seseorang yang hendak kawin lemah syahwatnya
dan tidak mampu memberi belanja istrinya walaupun tidak
merugikan istri.
5) Mubah, jika seseorang tidak terdesak oleh semua alasan yang
mewajibkan dan mengharamkan untuk kawin.
Hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi dan akan
kembali kepada hukum yang lima (al-ahkamul khasah). Menurut syariat,
disunnahkan menikahi wanita yang mempunyai latar belakang agama yang
baik,mampu menjaga diri dan berasal dari keturunan orang baik-baik.

D.    Rukun Dan Syarat Pernikahan


1.      Rukun Pernikahan
Rukun, yaitu sesuatu yang pasti ada yang menentukan sah atau tidakya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti adanya calon pengentin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.
Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan atau peristiwa hukum itu
tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut adalah
tidak sah dan statusnya “batal demi hukum”.

5
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang
akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :
)‫ت بِ َغي ِْر اِ ْذ ِن َولِيِّهَا فَنِ َكا ُحهَا بَا ِط ٌل (اخرجه االربعة اال للنسائ‬
ْ ‫اَيُّ َما ا ْم َرأَ ٍة نِ َك َح‬
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya
batal”
Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda:
)‫رواه ابن ماجه و دار قطنى‬ ( ‫ج ْال َمرْ أَةُ نَ ْف َسهَا‬
ِ ‫ج ْال َمرْ ا َءةَ َواَل تُ َز ِّو‬
ِ ‫الَ تُ َز ِّو‬
“Janganlah seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan
janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”
c. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang
menyaksiakan akad nikah   tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
)‫اَل نِ َكا َح اِاِّل بِ َولِ ِّي َو َشا ِهدَى َع ْد ٍل (رواه احمد‬
d. Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak   wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-
laki.
Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain,
yaitu pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau
transaksi, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya
keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak
istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik
berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan ridhanya.
Berdasarkan pengertian di atas, ijab tidak dapat dikhususkan dalam hati
sang istri atau wali dan atau wakilnya. Demikian juga dengan qabul.Jika seorang
laki-laki berkata kepada wali perempuan: “Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku
dengan putrimu bernama si fulanah”. Wali menjawab: “Aku nikahkan kamu
dengan putriku atau aku terima atau aku setuju”. Ucapan pertama disebut ijab dan
ucapan kedua adalah qabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk ungkapan baik

6
yang memberikan arti akad atau transaksi, dengan catatan jatuh pada urutan
pertama. Sedangkan qabul adalah bentuk ungkapan yang baik untuk menjawab,
dengan catatan jatuh pada urutan kedua dari pihak mana saja dari kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan
yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan
putriku” adalah ijab. Sedangkan yang lain berkata: “ Aku terima” adalah qabul.
Tentang Jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
1) Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a) Wali dari pihak perempuan
b) Mahar (maskawin)
c) Calon pengantin laki-laki
d) Calon pengantin perempuan
e) Sighat akad nikah
2) Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a) Calon pengantin laki-laki
b) Calon pengantin perempuan
c) Wal
d) Dua orang saksi
e) Sighat akad nikah
3) Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja
( yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon
pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun
nikah itu ada empat, yaitu:
a) Sighat (ijab dan qabul)
b) Calon pengantin perempuan
c) Calon pengantin laki-laki
d) Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.

7
2.      Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang
bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon
mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan dalam
penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam
menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai
yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
a.      Syarat-syarat calon suami
1) Beragama Islam
2) Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
4) Orangnya diketahui dan tertentu
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istrinya halal      baginya.
6)  Calon suami rela (tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan
perkawinan itu dan atas  kemauan sendiri.
7) Tidak sedang melakukan Ihram.
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b.      Syarat-syarat calon istri
1) Beragama Islam
2) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
dalam sedang iddah.
3) Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
4) Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
5) Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
6) Tidak sedang ihram haji atau umrah.

8
c.       Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah
seorang wali hendaknya:
1) Laki-laki
2) muslim
3) Baligh
4) Waras akalnya
5) Adil (tidak fasik)
6) Tidak dipaksa
7) Tidak sedang berihram.
d.      Syarat-syarat saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-
laki, muslim, baligh, berakal,tidak sedang mengerjakan ihram, melihat dan
mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.
e.       Syarat Shigat/Ijab Kabul
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya,
sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai pria atau wakilnya. Sighat ijab kabul
harus didasarkan kalimat nikah atau tazwij. Sesuai firman Alloh surat an-Nisa’
ayat 3 dan surat al-Ahzab ayat 37. Mengenai ijab dan kabul ini di dalam
Kompilasi Hukum Islam disyaratkan bahwa:
1) Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun
dan tidak berselang waktu.
2) Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
3) Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria seecara
pribadi.
4) Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria.

9
5) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
f.       Mahar (maskahwin)
Mahar adalah hak mutlak calon mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria
untuk memberikanya sebelum akad nikah dilangsungkan. Mahar merupakan
lambang penghalalan hubungan suami istri dan lambang tanggung jawab
mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian menjadi istrinya.
Firman Allah swt:  
‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً فَإ ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيئًا َم ِريئًا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. An-Nisa’
S[4] : 4).

E.        TUJUAN PERNIKAHAN
Perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana
firman Allah SWT. :
‫ت‬ َ ِ‫بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً إِ َّن فِي َذل‬ ‫ َو َج َع َل‬ ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَ ْيهَا‬
ٍ ‫ك آليَا‬ َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن خَ ل‬
َ‫لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬ 
“Dan  di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang
berfikir” (QS. Ar-Rum ayat 21).
Menurut ayat tersebut, keluarga islam terbentuk dalam keterpaduan antar
ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah).
Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang
penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus,
putra-putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi

10
dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-masing anggota keluarga
tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.
Sulaiman Al-Mufarraj, dalam bukunya Bekal Pernikahan, menjelaskan
bahwa ada 15 tujuan perkawinan, yaitu:
1. Sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nikah juga
dalam rangka taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
2. Untuk ‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang
dilarang; ihsan (membentengi diri) dan mubadho’ah (bisa melakukan
hubungan intim)
3. Memperbanyak umat Muhammad SAW
4. Menyempurnakan agama
5. Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah SWT
6. Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah
dan ibu mereka saat masuk surga
7. Menjaga masyarakat dari keburukan,runtuhnya moral,perzinaan, dan
lain sebagainya
8. Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung
jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberikan nafkah
dan membantu istri dirumah
9. Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh
lingkaran keluarga
10. Saling mengenal dan menyayangi
11. Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri
12. Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga islam yang sesuai
dengan ajaran-Nya terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan
kalimat Allah SWT, maka tujuan nikahnya akan menyimpang
13. Suatu tanda kebesaran Allah SWT. Kita melihat orang yang sudah
menikah, awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya,
tetapi dengan melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya bisa
saling mengenal dan sekaligus mengasihi

11
14. Memperbanyak keturunan umat islam dan menyemarakkan bumi
melalui proses pernikahan
15. Untuk mengikuti panggilan ‘iffah dan menjaga pandangan kepada hal-
hal yang diharamkan.

12
BAB III
PENUTUP

1. Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis
berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan
dengan perjanjian atau akad.
2. Hikmah dalam pernikahannya itu yaitu :
a. Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan
berkembang biak dan berketurunan.
b. Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan
mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu
yang diharamkan.
c. Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-
duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
d. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tabiat kewanitaan yang diciptakan.
3. Tujuan pernikahan :
a) Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
b) Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
c) Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
d) Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
e) Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

13
DAFTAR PUSTAKA

Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah


press, 2006)
At-tihami, Muhammad, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (surabayh :
Ampel Mulia, 2004)
Muhammad  ‘uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar,
1998)

14

Anda mungkin juga menyukai