Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ULUMUL HADITS

“PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUANTITAS


PERAWI”
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadis

Dosen Pembimbing :
Fatimah Zahara, S.Ag,MA

Disusun oleh kelompok 5 :


Iqbal Lamkaruna Tijue (0204202021)

Nurhayati Daulay (0204202013)

Syifa Ramadhan (0204202054)

PRODI HUKUM EKONOMI SYA’RIAH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYA’RIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadiran Allah Swt. Yang telah
memberikan kepada saya kesempatan yang luar biasa sehingga saya dapat
menyusun makalah ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan ke ruh dan
junjungan alam yakni Nabi besar Muhammad Saw.
Kemudian rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan
kepada Fatimah Zahara, MA sebagai Dosen mata kuliah Ulumul Hadis, yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul: “Pembagian Hadits
Berdasarkan Kuantitas Perawi”.
Saya berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua untuk
menambah ilmu pengetahuan kita.

Medan, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................... i


Daftar Isi .................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan ............................................................................... 1


A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 2
C. Tujuan .................................................................................... 2

Bab II Pembahasan ................................................................................ 3


A. Hadits Mutawatir .................................................................... 3
A.1 Pengertian Hadits Mutawatir ............................................ 3
A.2 syarat-syarat Hadits Mutawatir ......................................... 5
A.3 Macam-macam Hadits Mutawatir .................................... 9
A.4 Hukum dan kedudukan Hadits Mutawatir ........................ 11

B. Hadits Ahad ............................................................................ 12


B.1 Pengertian Hadits Ahad .................................................... 12
B.2 Macam-macam Hadits Ahad ............................................. 13
B.3 Kehujjahan Hadits Ahad .................................................. 19

Bab III Penutup ....................................................................................... 21


A. Kesimpulan ............................................................................ 21

Daftar Isi .................................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran
Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan
maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah
yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan
manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat
dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa
saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi
Muhammad SAW. atau bukan.
Pada awalnya Rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis
hadits, karena dikhawatirkan bercampur penulisannya dalam Al- Qur’an.
Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali oleh khalifah Umar
bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernur di madinah yaitu
Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-alsory untuk membukukan
hadis. Sedangkan ulama’ yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah
Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan
hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dan yang dhaif).
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang
banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu menjadi hilang setelah
melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan
berbagai segi pandangan,bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadits memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki
pembahasan yang unik dan tersendiri, dalam makalah akan dikemukakan
pembagian hadits dari kuantitas perawi. Sedangkan tinjauan mengenai
kualitas akan dibahas oleh makalah yang dibawakan kelompok lain.

1
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits dari segi
kuantitas jumlah para perawi para penulis hadits pada umumnya
menggunakan beberapa redaksi yang berbeda.
Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana
proses penyampaian hadits dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas
atau jumlah perawi

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir?
2. Apa saja syarat-syarat Hadits Mutawatir?
3. Apa saja macam-macam Hadits Mutawatir?
4. Bagaimana hukum dan kedudukan Hadits Mutawatir?
5. Apa pengertian Hadits Ahad?
6. Apa saja macam-macam Hadits Ahad?
7. Bagaimana Kehujjahan Hadits Ahat?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hadits Mutawatir?
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Hadits Mutawatir?
3. Untuk mengetahui macam-macam Hadits Mutawatir?
4. Untuk mengetahui hukum dan kedudukan Hadits Mutawatir?
5. Untuk mengetahui pengertian Hadits Ahad?
6. Untuk mengetahui macam-macam Hadits Ahad?
7. Untuk mengetahui kehujjahan Hadits Ahad?

2
BAB II
PEMBAHASAN

Ulama berbeda pendapat tentang pembagian Hadits ditinjau dari segi


kuantitasnya ini. Maksud tinjauan dari segi kuantitas disini adalah dengan
menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu Hadits. Para
Hadits ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni Hadits mutawatir,
masyur, dan ahad dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni
Hadits mutawatir dan ahad.
Pendapat pertama, yang menjadikan Hadits masyur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian dari Hadits ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya
adalah Abu Bakar Al-Jasaah (305-370H). Sedang ulama golongan kedua diikuti
oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, Hadits masyur
bukan merupakan Hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari
Hadits ahad. Mereka membagi Hadits menjadi dua bagian, mutawatir dan ahad.

A. Hadits Mutawatir
1. Pengerian Hadits Mutawatir
Secara bahasa, kata mutawatir merupakan isim fa ‘il dari kata at-
tawatur, yang bermakna at-tatabu’ (berturut-turut).1 Dalam hal ini,
mutawatir mengandung pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu,
baik secara berturu-berturut maupun terus menerus tanpa adanya hal
yang menyela yang menghalangi kontiuitas tersebut.
Menurut istilah ulama hadits, hadits mutawatir adalah :
2
‫ما رواه خمع عن جمع تحيل العا دة توا طؤ هم على الكذ ب‬
Hadits yang diriwayatkanoleh sejumlah periwayat dari sejumlah
periwayat yang menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat
berdusta (tentang hadits yang diriwayatkan).

1
Mahmud a-Thahhan, Taisir Mushthalah al-hadits (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979), h.19
2
Sa’di Yasin, al-Idhah fi Tarikh al-Hadits wa ‘Ilm al-Ishthilah (Beirut: Dar al-‘Aarabiyah, 1971),
h.83.

3
Menurut Mahmud at-Thahhan, hadits mutawatir adalah :
3
‫ما زواه عدد كثير تحيل العادة توا طؤ هم على الكذب‬
Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang banyak yang
menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berdusta
(tentang hadis yang diriwayatkan).
Kedua definisi diatas menunjukkan bahwa hadis mutawatir adalah
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang banyak pada setiap
tingkatan atau setiap generasi sanadnya yang menurut adat kebiasaan
tidak mungkin mereka sepakat berdusta untuk membuat hadis yang
bersangkutan.
Definisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj
al-Khathib yaitu :
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut
adat kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berdusta (tentang hadis
yang diriwayatkan), (yang diterimanya) dari sejumlah periwayat yang
sepadan semenjak sanad pertama sampai snad terakhir dengan syarat
jumlah tersebut tidak kurang pada setiap tingkat sanadnya.
Semetara itu, Nur al-Din ‘Itr dalam kitapmya Manhaj an-Naqd fi
‘Ulumul al-Hadis an-Nabawi menyatakan bahwa hadis mutawatir
adalah :
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak
mungkin mereka sepakat untuk berdusta, (yang diterimanya) dari
sejumlah orang yang sama dengan mereka, (sejak awal sanat) sampai
akhir sanad. Hadis yang diriwayatkan itu didasarkan pancaindra.
Kata al-hissu dalam definisi ini artinya pancaindra, maksuknya
sesuatu yang diriwayatkan oleh periwayat tersebut merupakan
jangkauan pancaindra, baik melalui pendengaran maupun penglihatan.
berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
hadis mutawatir merupaka hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah

3
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 200.

4
periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahail (tidak mungkin)
mereka sepakat berdusta. Hadis ini diriwayatkan oleh banyak
periwayat pada awal, tengah, sampai akhir sanad. Sandaran beritanya
didasarkan kepada pancaindra, seperti disaksikan (dilihat) maupun
didengar.

2. Syarat-syarat Hadits Mutawatir


Mengenai syarat-syarat Hadits mutawatir ini, yang terlebih dahulu
merincinya adalah ulama ushul. Sementara para ahli Hadits tidak
begitu banyak merinci pembahasan tentang Hadits mutawatir dan
syarat-syarat tersebut. Karena menurut ulama ahli Hadits,
khabar Mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk kedalam
pembahasan Ilmu Al-Isnad, yaitu sebuah disiplin ilmu yang
membicarakan tentang sahih atau tidaknya suatu Hadits, diamalkan
atau tidaknya, dan juga membicarakan sifat-sifat rijalnya yakni para
pihak yang banyak berkecimpung dalam periwayatan Hadits, dan tata
cara penyampaian. Padahal dalam kajian Hadits mutawatir tidak
dibicarakan masalah-masalah tersebut. Karena bila telah diketahui
statusnya sebagai Hadits mutawatir, maka wajib diyakini
kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada
keraguan, sekalipun di antara adalah orang kafir. 4
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu Hadits
dapat ditetapkan sebagai Hadits Mutawatir, bila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:

a. Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi


Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi yang membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini para
ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu

4
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 200.

5
dan ada yang tidak menetapkan jumlah tertentu. Menurut ulama
yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan
jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap
apa yang diberitakan dan mustahil mer eka sepakat untuk
berdusta5. Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah
tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu.
Al-Qadhi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi
Hadits agar bisa disebut Hadits mutawatir tidak boleh berjumlah
empat. Lebih dari itu lebih baik. Ia menetapkan sekurang-
kurangnya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan dengan
jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi.6
Al-Isthakhary menetapkan yang paling baik minimal 10
orang, sebab jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak. 7
Ulama lain menentukan 12 orang, mendasarkan pada firman
Allah:

َ ‫َوبَعَثْنَا ِم ْن ُه ُم اثْنَ ْي‬


‫عش ََر نَ ِقيبًا‬
“...Dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang
pemimpin. (QS.Al Maidah (5):12)”8
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang.
Sesuai dengan firman Allah:

‫ۚ ا ِۡن يَّك ُۡن ِم ۡنكُمۡ ِع ۡش ُر ۡو َن صَابِ ُر ۡو َن يَ ۡغ ِلبُ ۡوا ِمائَتَ ۡي ِن‬


“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh... (QS. Al-Anfal
(8): 65)” 9
Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin
yang tahan uji, yang hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu
mengalahkan 200 orang kafir. Ada juga yang mengatakan bahwa

5
Ibid.
6
Ibid. hlm. 98
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid.

6
jumlah perawi yang diperlukan dalam Hadits mutawatir minimal
40 orang, berdasarkan firman Allah SWT.:
َ ِ‫َّللاُ َو َم ِن اتَّبَعَكَ ِم َن ا ْل ُم ْؤ ِمن‬
‫ين‬ ْ ‫يَا أَيُّ َها النَّ ِب ُّي َح‬
َّ َ‫سبُك‬
“Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang
mengikutimu.” (QS. Al-Anfal (8): 64)10
Saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai
40 orang. Hal ini sesuai dengan Hadits riwayat Al-Thabrany dan
Ibn Abbas, ia berkata: “Telah masuk Islam bersama Rasulullah
sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar
masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam. 11
Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah
perawi dalam Hadits mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai dengan
firman Allah SWT.:
َ ِ‫ِل ِميقَات‬
‫نا‬ ‫ين َر ُج ًًل‬ َ ُ‫س ٰى قَ ْو َمه‬
َ ‫س ْب ِع‬ ْ ‫ۖ َو‬
َ َ‫اخت‬
َ ‫ار ُمو‬
“Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya
untuk (memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami
tentukan... (QS. Al-Araf (7):155)12
Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan
diatas, sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip, sebab
persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit
atau banyaknya jumlah Hadits Mutawatir tersebut bukan terbatas
pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya Ilmu Dharuri.
Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tapi melebihi batas
minimal yakni 5 orang), asalkan telah memberikan keyakinan
bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan, sudah
dapat dimasukkan sebagai hadits mutawatir.13

10
Ibid.
11
Ibid. hlm. 99
12
Ibid.
13
ibid, hlm. 100

7
b. Adanya keseimbangan antar perawi pada Thabaqat pertama
dengan Thabaqat berikutnya
Jumlah perawi Hadits mutawatir, antara Thabaqat
(lapisan/tingkatan) dengan thabaqat lainnya harus seimbang.
Dengan demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang
sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabi’in, dan selanjutnya hanya
diterima oleh 5 tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai Hadits
mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat
pertama dengan thabaqat-thabaqat seterusnya14.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa
keseimbangan jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlalu
penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah
terhindarnya kemungkinan berbohong. 15

c. Berdasarkan Tanggapan Pancaindra


Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus
berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita mereka
sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatannya sendiri. Oleh karena itu, bila berita itu merupakan
hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain
ataupun hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat
dikatakan Hadits mutawatir, misalnya berita tentang baharunya
alam semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda
yang rusak itu baharu, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan
Hadits Mutawatir. Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan
menurut hasil pemikiran pada filosof, tidak dapat digolongkan
sebagai Hadits mutawatir.

14
Ibid.
15
Ibid.

8
3. Macam-macam Hadits Mutawatir
a. Mutawatir Lafzhi
“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran
perawinya masih dalam satu lafal.”
Contoh:

‫من كذب علي متعمدا فليتبو أمقعده من النار‬


Artinya: Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan
sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari
neraka.
Keterangan:
Menurut Al Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang
Sahabat. Al- Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan
oleh 200 orang Sahabat.16
Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan
dengan contoh tersebut tersebut, diantaranya ada yang berbunyi
begini :

)‫من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النا (ابن ماجه‬
Artinya: “Barang siapa mengada-adakan omongan atas
(nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah
ia mengambil tempat duduknya dari neraka.” (Ibnu Majah)
Kemudian ada yang berbunyi seperti ini :

)‫ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم‬


Artinya :” Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu
yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil
tempat duduknya dari neraka.” (Hakim)
Adanya perbedaan pada permulaan hadits mungkin terjadi
karena Nabi SAW mengucapkannya beberapa kali, namun pada
dasarnya maknanya sama saja.

16
M. Noor Sulaiman PL. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008 hal 88.

9
Hadits tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam
ahli hadits, diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud,
Ibnu Majah, Tirmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan
Hakim.

b. Mutawatir Ma’nawiy
Hadits Mutawattir Ma’nawiy merupakan hadits yang
dimana susunan redaksinya berbeda namun pada prinsipnya
memiliki makna yang sama.
Contoh:
Adanya hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah
mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a.

‫قال أبو موسى ما رﻔع رسول هللا ﺼلى هللا عليه و سلﻡ يديه حتى رؤﻱ‬
‫بياﺽ ابطيه ﻔى شيﺊ من دعاﺌه اﻻ ﻔى اﻹستسقاﺀ‬
(‫)رواه البخارى و مسلم‬
“Abu Musa Al-Ayari berkata bahwa Rasulullah saw tidak
mengangkat kedua tangan beliau dalam berdo’a hingga tampak
putih-putih kedua ketiaknya dan beliau saw mengangkat tangannya
selain dalam do’a shalat istisqa’. (HR Bukhori dan Muslim)” 17

‫كان يرﻔع يديه حﺫو منكبيه‬


“Ketika beliau saw mengangkat tangan sejajar dengan
kedua pundak beliau.

c. Mutawatir Amali
Hadits mutawatir amali, yakni amalan agama (ibadah) yang
dikerjakan oleh Nabi SAW, kemudian diikuti oleh para Sahabat,

17
Ibid, hal 89

10
lalu Tabi’in , dan seterusnya sampai sekarang. Contoh, hadits-
hadits tentang sholat, jumlah rakaatnya, dan lain sebagainya.
Segala yang menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan
sebagai hadits mutawatir amali. 18

4. Hukum dan kedudukan Hadits Mutawatir


Hadits mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy atau yakin,
artinya yakni suatu keharusan untuk meyakini kebenaran suatu berita
dari Nabi SAW yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada
keraguan sedikitpun.
Ulama hadis sepakat bahwa hadis mutawatir adalah qath’I al-
wurut (pasti bersumber dari Nabi SAW). Nilai kebenarannya mencapai
tingkat meyakinkan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka juga
sepakat bahwa hadis mutawatir dapat menjadi hujjah atau sumber
agama yang wajib diamalkan. Siapa yang mengingkarinya dianggap
kafir dan harus segera bertaubat kembali.
Tidak ada kesepakatan ulama hadis tentang jumlah hadis
mutawatir, karena adakalanya sebuah hadis dipandang mutawatir oleh
sebagian ulama, namun sebagian yang lain mengatakan tidak. Secara
umum, keberadaan hadis mutawatir sangat sedikit, apalagi hadis
mutawatir lafzi.

18
Ibid.

11
B. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad ( ‫ ) احا د‬merupakan jamak dari ahad ( ‫ ) ا حد‬yang berarti
satu. Dengan demikian, secara bahasa hadis ahad berarti hadis yang
diriwayatkan oleh satu orang saja. 19
Adapun menurut istilah ulama hadis, hadis ahad adalah :

‫ما حيبتمع فيه شروط المتوا تر‬


Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.
Para ulama cenderung mendefinisikan hadis ahad seperti tersebut
diatas karena menurut mereka, dilihat dari jumlah perawinya, hadis
dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Namun
bagi ulama seperti .Ajjaj al-Khathib yang membagi hadis ahad
menjadi tiga, yaitu hadis mutawatir, masyur dan ahad, mendefinisikan
hadis ahad dengan :
Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua orang atau
lebih yang jumlahnya tidak memenuhi syarat-syarat hadis masyur atau
hadis mutawatir.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh ‘Ajjaj al-Khathib di
atas difahami bahwa hadis ahad adalah hadis yang jumlah perawinya
tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir maupun hadis masyur.
Dan dalam tulisan ini, yang dipedomani adalah definisi yang
dikemukakan oleh sejumlah ulama hadis yang mengelompokkan hadis
masyur kepada hadis ahad.

19
At-Thahhan, Taisir, h. 21.

12
2. Macam-macam Hadits Ahad
Ulama hadis membagi hadis kepada tiga macam. Yaitu hadis
masyur, hadis ‘aziz, dan hadis gharib.

a. Hadits Masyhur
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari kata
syahara yang berarti mengumumkan dan menjelaskan suatu hal.
Dalam penegrtian ini masyhur juga berarti sesuatu yang terkenal,
yang dikenal atau yang populer dikalangan manusia. 20
Sedangkan secara istilah, Hadits masyhur adalah Hadits
yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi,
akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. Jika diteliti lebih
lanjut, sebenarnya Hadits masyhur ini tidak semuanya berkualitas
shahih, karena jumlah perawi yang demikian belum tentu
menjamin keshahihannya kecuali disertai sifat sifat yang
menjadikan sanad ataupun matannya shahih. Dengan demikian,
Hadits masyhur sendiri dapat dikelompokan kepada yang
berkualitas shahih, hasan dan dhaif. 21
Lebih lanjut, berdasarkan pada segi lingkungan, popularitas
dan penyebarannya maupun segi frekuensi penggunaannya, Hadits
masyhur ini juga sangat beragam, yaitu
 Hadits mayhur di kalangan muhadditsun
َۖ‫ َوذَ ْك َوان‬،‫الر ُكوعِ يَ ْدعُو َعلَى ِر ْع ٍل‬ َ َ‫قَنَت‬
ُّ َ‫ش ْه ًرا بَ ْعد‬
“Rosululloh mengerjakan qunut selama sebulan yang
dilakukan setelah rukuk untuk mendo’akan suku ri’l dan
dzakwan” (Shohih Bukhori, no.1003 Shohih Muslim, no.677 )

20
Dr. Idri, 2010.Studi Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, hlm. 141
21
Umi Sumbulah. 2010. Ilmu Hadis. Malang:Uin Maliki Press. hlm. 91

13
 Hadits Masyhur di kalangan muhadditsu, ulama lain dan
juga orang awam
َ ‫س ِل َم ال ُم ْس ِل ُمونَ ِم ْن ِل‬
ِۖ ‫سانِ ِه َويَدِه‬ َ ‫ال ُم ْس ِل ُم َم ْن‬
“Orang muslim adalah orang yang menyelamatkan orang-
orang islam lainnya dari lisan dan datangnya” (Shohih Bukhori,
no.10, 11, 6484 dan Shohih Muslim, no.40, 41, 42)
 Hadits Mashur dikalangan fuqaha
َّ ِ‫َض ْال َح ََل ِل ِإلَى هللا‬
ُۖ ‫الط ََلق‬ ُ ‫أَ ْبغ‬
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Alloh adalah
perceraian” (Sunan Abu Dawud, no.2178, Sunan Ibnu Majah, no.
2018 dan Sunan Baihaqi, no.14894)

 Hadits Masyhur di kalangan ahli ushul fiqih


َ ‫ُرفِ َع َع ْن أ ُ َّمتِي ْال َخ‬
ِۖ ‫ َو َما ا ْست ُ ْك ِرهُوا َعلَيْه‬، َ‫ َوالنِ ْسيَان‬،َ‫طأ‬
“Diangkat dari umatkudari umatku sesuatu yang dilakukan
karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan
kepadanya." (Sunan Ibnu Majah, no.2043, Shohih Mustadrok
Hakim, no.2601Ibnu Hibban, no.7219, Sunan Daruqutni, no.4351)

 Hadits Masyhur di kalangan ahli bahasa arab


ِ ‫ص َهيْب لَو لم يخف هللا لم يَ ْع‬
ِۖ ‫صه‬ ُ ‫نعم ال َعبْد‬
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib, jika saja ia tidak takut
pada Alloh, ia tak akan melakukan maksiat kepaNya” (La Adhla
Lah = hadits ini tidak diketahui asalnya).

14
 Hadits Masyhur di kalangan umum
َّ ‫ال َع َجلَةُ ِمنَ ال‬
َ ‫ش ْي‬
ِۖ ‫طان‬
22
“Sifat tergesa-gesa itu darri setan” (Sunan Turmudzi, no.2012)

b. Hadits Aziz
Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat musyabbahah dari
kata “azza ya’izzu”,yang berarti sedikit atau jarang dan kata azza
ya’azzu yang berarti kuat dan sangat. Sedangkan menurut istilah
Hadits aziz adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari
dua perawi pada seluruh tingkatan/generasi. 23 Dengan demikian,
suatu Hadits yang pada salah satu thabaqah sanadnya diriwayatkan
oleh dua periwayat, meskipun pada thabaqah lainnya diriwayatkan
oleh banyak periwayat, maka Hadits itu dinamakan Hadits
azis.24 Contoh Hadits azis adalah :
Hadits yang disebutkan oleh al Hafidz Ibnu Hajar di dalam
“Nuzhatun Nadzar” [hal. 70] yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
Syaikhan dari Anas radhiyallohu ‘anhu, Rasulullah shallallohu
‘alaihi wa sallam bersabda :25

َۖ‫اس أ َ ْج َم ِعين‬
ِ َّ‫ََل يُؤْ ِمنُ أَ َحدُكُ ْم َحتَّى أَ ُكونَ أ َ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َوا ِل ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬
“Salah seorang di antara kalian tidak dianggap beriman
(dengan sempurna) sehingga saya lebih dicintainya melebihi
cintanya terhadap orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya”

22
Umi Sumbulah, Ilmu Hadits, hlm.92
23
Ibid, hlm. 93
24
Dr. Idri, Studi Hadits, hlm. 148
25
Ibid.

15
Hadits aziz ini bisa dinilai shahih, hasan maupun dhaif,
sesuai dengan keadaan sanad dan matannya, setelah dilakukan
penelitian terhadapnya. Diantara contohnya adalah Hadits yang
diriwayatkan dari Anas ibn Malik dari Rasulullah SAW, tentang
etika sosial sebagai parameter kualitas keimanan seseorang.

c. Hadits Gharib
Secara bahasa kata “gharib” merupakan sifat musyabbahah
yang bermakna menyendiri. Sedangkan secara istilah, Hadits
gharib adalah Hadits yang diriwayatkan seorang perawi di
manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa tiap Hadits gharib ini tidak
disyaratkan harus satu perawi pada setiap tingkatan atau generasi,
akan tetapi cukup satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi.
Di antara contohnya adalah Hadits yang diriwayatkan dari Umar
ibn Khattab dari Rasullullah SAW tentang pentingnya niat sebagai
berikut :
Berdasarkan letak terjadinya ke-gharib-an, Hadits model ini
dapat dipilih menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Gharib matnan wa isnadan (gharib dari segi matan


dan sanadnya) artinya bahwa Hadits tersebut tidak
diriwayatkan melainkan melalui satu sanad.
2. Gharib isnadan la matan (gharib dari segi sanadnya
dan tidak matannya). Artinya Hadits tersebut
merupakan Hadits masyhur kedatangannya melalui
beberapajalur dari seorang perawi atau seorang
sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seorang
perawi meriwayatkannya dengan jalur lain yang

16
tidak masyhur. Hadits gharib dalam bentuk ini
dinamakan Hadits gharib mutlak disebabkan
diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur
yang tidak masyhur.
3. Gharib matnan la isnadan, yaitu Hadits yan pada
mula sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap
selanjutnya masyhur. Sebenarnya Hadits gharib
dalam bentuk ini, jika dicermati, dapat
dikelompokan pertama. 26

Jika ditinjau dari segi ke-ghariban sanadnya, ada sejumlah


ulama yang membaginya menjadi dua kelompok, yaitu :
 Kelompok pertama (Hadits Gharib Mutlak), yaitu Hadits
yang ke-gharib-an sanadnya terjadi pada asal sanadnya,
dengan kata lain yang diriwayatkan oleh rawi secara
sendirian pada awal sanadnya.
Contoh hadits Gharib mutlak :
ِ ‫اَ َلو ََل ُء لَ ْح َمةٌ َكلَ ْح َم ِة النۚس‬
ُۖ ‫ب ََل يُبَاعُ َوَلَ يُ ْو َهب‬
Artinya : “kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama
dengan kekerabatan dengan jalan keturunan, tidak boleh dijual dan
tidak boleh dihibahkan”.
Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu
Umar hanya Abdukllah bin Dinar saja yang meriwayatkan.
Abdullah bin Dinar adalah seorang Tabi’i , seorang hafidh yang
kokoh ingatanya.

26
Umi Sumbulah, Ilmu Hadits. hlm. 95

17
 Hadits Ghairu Nisbi, yaitu Hadits yang keghariban
sanadnya terjadi pada tengah sanad, bukan pada asal sanad
sebagaimana Hadits gharib mutlak. Maksutnya, semula
diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi dalam asal
sanadnya kemudian secara sendirian diriwayatkan oleh satu
orang rawi dari mereka para perawi tersebut.
Contoh lain hadits gharib nisbi berkenaan dengan kota atau
tempat tinggal tertentu :
ِ ‫أ ُ ِم َر نَا أَ ْن نَ ْق َر أَبِفَاتِ َح ِة ْال ِكتَا‬
)‫ب َو َما تَيَس ََّر(رواه ابو داود‬
Artinya : “kami diperintahkan oleh Rasul SAW agar
membaca surat Al-Fatihah dan surat yang mudah ( dari al-
Qur’an )”. ( HR Abu Dawud )
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad
Abu Al Walid Al-Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, Dan
said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang
27
meriwayatkanya dari kota lain.

Jenis-jenis Gharib nisbi :


Terdapat berbagai jenis gharib yang memungkinkanya
termasuk hadits gharib nisbi, bukan gharib mutlak karena
dinisbikan kepada sesuatu tertentu :
1. Kegharibanya dinisbikan kepada rawi yang tsiqah
(terpercaya)sepertipernyataan mereka, “tidak diriwayatkan oleh
seorang pun rawi tsiqah kecuali si fulan”.
2. Ke-Gharibanya karena diriwayatkan oleh rawi tertentu dari
rawi tertentu seperti pernyataan mereka . “Diriwayatkan secara

27
Umi Sumbulah, Ilmu Hadits, hlm 95

18
menyendiri oleh fulan dar fulan”, meskipun diriwayatkan dari
arah lain selain dia”.
3. Ke-gharib-anya pada penduduk negeri tertentu atau penghuni
tertentu. Seperti pernyataan mereka, “diriwayatkanh secara
menyendiri oleh penduduk makkah” atau “oleh penduduk
syam”.
4. Ke-gharianya karena diriwayatkanya oleh penduduk negeri
tertentu dari penduduk negeri tertentu pula. Seperti pernyataan
mereka.“diriwayatkan secara menyendiri oleh penduduk syam
28
dari penduduk khijaz”.

Ditinjau dari segi letak kegharibanya, hadits gharib dibagi :


a) Hadits gharib matan dan sanad, hadits yang matanya
diriwayatkan oleh seorang rawi saja.
b) Hadits gharib matan, bukan sanad. Seperti hadits yang
matanya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, namun
diriwayatkan secara menyendiri dari sahabat lainya. Dalam
perkara ini, Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini gharib diliat
dari aspek ini”. 29

3. Kehujjahan Hadits Ahad


Hadits Masyhur baik yang masyhur istilah maupun masyhur non-
istilah ada yang shahih, hasan, dhaif bahkan ada yang mawdhu’.
Hanya saja, Hadits masyhur istilah yang shahih kualitasnya lebih
tinggi dari Hadits aziz atau gharib yang juga shahih. 30

28
Dr. Idri, Studi Hadis, hlm. 152
29
Dr. Idri, Studi Hadits, hlm. 151
30
Ibid, hlm 145

19
Sebagaimana halnya Hadits masyhur, Hadits aziz ada yang shahih,
hasan, dhaif bahkan mawdhu’ tergantung pada keberadaan sanad dan
matan Hadits yang bersangkutan. Karena hal itu, tidak semua Hadits
31
aziz itu shahih dan tidak pula setiap Hadits shahih adalah azis.
Hadits gharibpun juga sama ada yang shahih, hasan, dha’if adapula
yang mawdhu’ tergantung kualitas sanad dan matannya. Jika suatu
Hadits gharib memenuhi semua syarat Hadits shahih, yaitu sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah dan terlepas dari
syadz dan illat. Maka Hadits tersebut shahih. Akan tetapi jika syarat
syaratnya terpenuhi namun salah seorang periwayatannya ada yang
kurang dhabit maka Hadits itu dikatakan hasan. Demikian pula, jika
suatu Hadits gharib bertentangan dengan Hadits dengan kualitas sama
dan tidak mungkin dilakukan kompromi satu dengan yang lain, maka
Hadits gharib itu dinamakan Hadits mudhtharib. Jika Hadits gharib
diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah tetapi bertentangan dengan
riwayat dari periwayat yang lebih stiqah, maka Hadits itu dinamakan
sebagih Hadits syadz (janggal). Apabila periwayat pada Hadits gharib
itu dha’if dan bertentangan dengan Hadits dari periwayat yang tsiqah,
maka Hadits itu dinamakan hadits munkar. 32

31
Ibid, hlm 148
32
Ibid, hlm.153

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya
dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu:
mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad
dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur,
sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu,
aziz dan ghairu aziz.

21
Daftar Pusaka

Mahmud a-Thahhan, Taisir Mushthalah al-hadits (Beirut: Dar al-Qur’an al-


Karim, 1979), h.19

Sa’di Yasin, al-Idhah fi Tarikh al-Hadits wa ‘Ilm al-Ishthilah (Beirut: Dar al-
‘Aarabiyah, 1971), h.83.

Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), h.
200.
M. Noor Sulaiman PL. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press,
2008 hal 88.

Dr. Idri, 2010. Studi Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, hlm. 141

Umi Sumbulah. 2010. Ilmu Hadis. Malang:Uin Maliki Press. hlm. 91

Fatimah, Zahara dan Zuhri, Ahmad. Ulumul Hadis. (Medan: CV. Manhaji dan
Fakultas Syariah UIN Sumatera Utara, 2015)

22

Anda mungkin juga menyukai