Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Rawi dalam ulumul hadits adalah seorang yang menyampaikan hadits berupa perkataan,
perbuatan, maupun sifat kepada umat islam, seorang rawi mempunyai tanggung jawab
terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi tidak memenuhi syarat yang
telah ditentukan oleh para ulama hadits, mak hadis yang disampaikan akan ditolak.

Kelayakan seorang perawi, yaitu kepatutan seseorang yang dapat menerima, mendengar,
meriwayatkan, dan menyampikan sebuah hadits. Metode At tahammul wal al adaa ada
delapan, yaitu: As Sima’ (mendengar), Al Qiro’ah Ala As-Syeikh (membaca dihadapan guru),
Al Iza (sertifikasi), Al Munawalah, Al Mukatabah, I’lam Asy- Syeikh, Al Wassiyah, Al
Wijadah (pertemuan).

2. Rumusan Masalah
1. Apa saja syarat-syarat seorang perawi?
2. Apa saja tahammul wal al adaa?

3. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Rawi hadits

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits.1
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits
dengan sanadnya bagi laki-laki maupun perempuan.

B. Syarat-syarat seorang perawi

Syarat-syarat yang mutlak untuk menjadi seorang perawi agar haditsnya di terima, yaitu:
berakal, cakap/cermat, adil, dan islam. Oleh para kritikus hadits, bak angkatan lama maupun
angkatan baru, keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu’bah bin
al-Hajjaj(160H) pernah di tanya “siapakah yang haditsnya terpakai?” Syu’bah menjawab
”orang yang meriwayatkan hadits dari orang yang terkenal yang justru yang tidak mereka
kenal, haditsnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu hadits. Atau bila dia
sering melakukan kesalahan-kesalahan. Atau meriwayatkan hadits yang disepakati banyak
orang bahwa hadits tersebut salah. Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang seperti
itu tidak dipakai. Adapun selainnya, bileh diriwayatkan.”2

Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
perawi bila haditsnya ingin diterima, yakni adil dan cermat. Mengenai syarat harus islam dan
berakal itu sudah menjadi hal yang penting dan mutlak. Sebab tidak bisa kita gambarkan lagi
seorang yang adil tapi bukan islam atau orang yang cermat tetapi tidak berakal.

a. Berakal

Menurut para ahli hadits berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedaka. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadits seseorang
harus telah memasuki usia aqil baligh3.

b. Cermat

Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadits yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, teliti dan terpercaya. Tetapi,
itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak seikit tentang hadits yang
mereka riwayatkan masih dapat di damaikan. Tapi jika perbedaan terlampaui jauh dan
tidak sesuai hadits yang mereka riwayatkan maka kecermatannya masih diragukan.4

1
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal 120
2
Al-Naisaburi, Al-Hakim, 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadits. Bandung:Nuansa Cendekia. Hal 62
3
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-Kifayah. Hal 54
4
Salah Muhammad Uwayd. Taqrib Al-Tadrib. (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110
c. Adil

Perawi yang adil ialah yang bersifat konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan
agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, al-
Khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut : “yang tau melaksanakan
kewajibannya dan segala yang diperitahkannya kepadanya dapat menjaga diri dari
larangan-larangan menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban
dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan
agama dan merusak kepribadian. Barang siapa yang dapat menjaga dan mempertahankan
sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan haditsnya
diakui kejujurannya.5

d. Muslim

Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah islam, karna dia meriwayatkan hadits
atau khabar yang berkaitan dengan hukum, urusan dan tasyri’ agama islam. Jadi dia
mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya
kepada manusia. Namun syarat islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang
menyampaikan hadits, bukan ketika membawa atau menanggungnya.6

C. Penerimaan hadits

Para ulama ahli hadist mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayan hadist
dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadist” dengan istilah
at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadist kepada orang lain mereka istilahkan dengan
al-aada7

D. Pengertian tahammul hadist wal ada’

Menurut Bahasa tahammul merupakan masdar dari fiil madli tahmmala ( -‫تَ َح َّم َل‬
‫تَ َح ُمال‬-ُ‫ ) يَت ََح َّمل‬yang berarti menanggung, membawa atau biasa diterjemahkan dengan
menerima. Berarti tahammul hadist menurut Bahasa adalah menerima hadist atau
menanggung hadist. Sedangkan tahammul al hadist menurut istilah ulama ahli hadist,
sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah menerima hadist dan
mengambilnya dari para syeikh dan guru. Sedangkan pengertianwal ada’ al hadist menurut
Bahasa, ada’ adalah masdar dari (‫أَدَا ًء‬-‫يَأْ ِدى‬-‫ ) أَدَى‬menyampaikan hadist. Sedangkan
menurut istilah adalah meriwayatkan hadist dan memberikannya kepada para murid.8

5
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-Kifayah. Hal 80
6
Ibid 76
7
Sahrani,Sohari.Ulumul Hadist.(Bogor:Penerbit Ghalia Indonesia,2010) hal 176

8
Mahmud Thoban, 1985, terjemah Mushtholah Hadit, Songgopuro, Haramin, Hal 156
1. Syarat syarat perawi dalam tahammul al hadist
a. Tamyiz
Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut tamyiz
jika sudah mampu membedakan antara sapid an khimar. Menurut Imam Ahmad,
ukuran Tamyiz adalah adany kemampuan menghafal yang didengar dan
mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatkan bahwa ukuran tamyiz adalah
pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan
dengan baik dan benar.

Seorang yang belum baligh boleh menerima hadist asalkan dia sudah tamyiz. Hal
ini didasarkanpada keadaan para sahabat, tabiin, dan ahli ilmu setelahnya yang
menerima hadist walaupun mereka belum baligh seperti Hasan,Husain,Abdullah
ibn Zubair,Ibnu Abbas dll.

Syarat perawi dalam tahammul hadist yang penulis temukan hanyalah Tamyiz,
sedangkan beragama islam tidak disyaratkan dalam tahammul hadist. Adapun
syarat beakal sehat sudah disyaratkan dalam bertahammul hadist karena untuk
menerima hadist yang merupakan salah satu sumber hukum islam sangat
diperlukan. Oleh karena itu, tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadist
tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.9
2. Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadist
Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadist atau dikenal dengan
istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadist adalah:
a. Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadist seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’
periwayatan hadist oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat
orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadist yang diriwayatkan oleh
orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadist diperbolehkan,tapi dalam
meriwayatkan hadist ia harus sudah masuk islam.
b. Baligh
Perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist. Baik baligh karena sudah usia
15 tahun atau baligh karena suaha keluar air mani.
c. Adil
Suatu sifat yang melekat, yang berupa ketakwaan dan muru’ah(harga diri). Sifat
adilnya seorang rowi berarti sifat adilnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadist
sifat adil ini berarti orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari
perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri. Jadi
syarat ketiga ini sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu islam dan baligh.
Oleh karena itu sifat adil ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila dan
orang yang tak dikenal.

9
Ibnu Sholah, Ulumul Hadist al-Ma’rufbi Muqoddimah ibn ash-Sholah, Tsaqofiyah, hal 137
d. Dlobit
Dlobit adalah ingatan. Seseorang yang meriwayatkan hadist harus ingat akan
hadist yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia mendengar hadist dan memahami apa
yang didengarnya, serta hafal sejak ia menerima hadist hingga ia
meriwayatkannya.
Dlobit dibagi menjadi dua yaitu:
1. Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia
dengar dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut
kapanpun ia kehendaki.
2. Dlobtu kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan yang catatan
hadist yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan di tashheh sampai ia
meriwayatkan hadist sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab
tersebut.10
Shigat tahammul wal ada’ al-hadist :

1. As-Sima ( ‫ السماع‬, mendengar )


Yaitu seorang guru membaca hadist baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang
hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun yang lain. Menurut ulama
hadist cara ini merupakan penerimaan hadist yang paling tinggi tingkatannya. Lafadh-
lafadh yang digunakan rawi dalam meriwayatkan hadist atas dasar sama’ adalah
a. ‫أخبرنا‬,‫( أخبر‬seseorang mengabarkan kepadaku/kami)
b. ‫حدثنا‬,‫( حدثنى‬seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
c. ‫سمعنا‬,‫( سمعت‬saya telah mendengar, kami telah mendengar)

2. Al-Qiraah Ala Asy-Syeikh (‫ القراءة على ااالشيخ‬, membaca dihadapan guru)


Yaitu suatu cara penerimaan hadist dengan cara seseorang membacakan hadist
dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedangkan
guru mendengarkan ataupun menyimak, baik guru itu hafal maupun tidak tetapi dia
memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya. Lafadh-lafadh yang digunakan untuk
menyampaikan hadist-hadist qiraah adalah
a. ‫( قرآت عليه‬aku telah membacakan dihadapannya)
b. ‫( قرئ على فالن و أنا أسمع‬dibacakan seseorang didepannya sedang aku
mendengarnya)
c. ‫حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه‬ (telah mengabarkan/menceritakan padaku secara
pembacaan dihadapannya)

10
Ibnu Sholah, Ulumul Hadist al-Ma’rufbi Muqoddimah ibn ash-Sholah, Tsaqofiyah, hal 137
3. Al-Ijazah (‫إلجازة‬, sertifikasi atau rekomendasi )
Yaitu seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadist atau riwayat,baik
dengan ucapan ataupun tulisan. Diantara macam macam ijazah adalah
1. Syeikh mengijazahkan sesuatu tertentu kepada seorang tertentu.
2. Syeikh mengijazahkan orang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang
diijazahkannya.
3. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak
menentukan apa yang diijazahkan.
4. Syeikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau mahjul.
5. Syeikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan
mereka yang hadir dalam majlis.
Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan ijazah adalah

a. ‫( أَ َجا َز لِفُالَ ْن‬beliau telah memberi ijazah kepada si fulan)


b. ً‫أَ ْنبَأَنَا إِ َجا َزة‬,ً‫أَ ْخبَ َرنَا إِ َجازَ ة‬,ً‫( َح َّدثَنَا إِ َجا َزة‬beliau telah memberitahukan kepada
kami secara ijazah)

4. Al-Munawalah (‫) المناولة‬


Yaitu adalah seorang ahli hadits memberikan hadist atau beberapa hadist atau sebuah
kitab hadist kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya. Al-
Munawalah ada dua macam :
a. Al-Munawalah yang disertai ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara
macam-macam ijazah secara mutlaq. Seperti jika seorang syeikh memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “ini riwayatku dari si
fulan, maka riwayatkanah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya
untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan
dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari pada as-sama’ dan al-
qira’ah.
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi dengan ijazah. Seperti jika syeikh memberikan
kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan: “ini adalah riwayatku”.
Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.11

5. Al-Mukatabah (‫) المكاتبة‬


Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain
menulis darinya sebagian hadistnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau
murid yang berada ditempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid
bersama orang yang dipercaya. Mukhatabah ini memiliki dua bagian:

11
H. Mudasir,Ilmu Hadist,Bandung,CV.Pustaka Setia,1999.Cet I. Hal:156
a. Al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syeikh, “aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”,atau semisal dengannya.
b. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat
dengan Al-Munawalah yang disertai ijazah.
c. Al-Mukatabah yang tidak disertai ijazah, seperti syeikh menulis sebagaian hadist
untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya,tapi tidak diperbolehkan
untuk meriwayatkannya. Disini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya.
Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian memperbolehkannya jika
diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syeikh itu sendiri.

6. I’lam Asy-Syeikh (‫) إعالم الشيخ‬


Yaitu seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadist ini atau kitab
ini adalah riwayatnya dari sifulan,dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan
dari padanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini perawi berkata ‫أَ ْعلَ َمنِي‬
‫َشي ِْخي‬ (guruku telah memberitahu kepadaku)

7. Al-Washiyyah (‫) الوصية‬


Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum berpergian jauh atau sebelum meninggal, agar
kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya. Metode ini
metode yang amat langka. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini perawi
mengatakan ‫ب‬
ٍ ‫بِ ِكتَا‬ ‫صى إِلَ َي فُاَل ٌن‬َ ْ‫( أو‬si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah
ِ ‫( َح َّدثَنِي فُاَل ٌن َو‬si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
kitab) atau ً‫صيَّة‬
wasiat)

8. Al-Wajidah ( ‫) الوجادة‬
Yaitu seorang perawi menapat hadist atau kitab dengan tulisan seorang syeikh itu,
sedang hadist hadistnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadist atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si
perawi berkata ‫ن‬
ٍ ‫ت بِ َخ ِط فُاَل‬
ُ ‫َو َج ْد‬ (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan)

Anda mungkin juga menyukai