Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PEMBAGIAN HADITS MENURUT KUALITASNYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Studi Hadits”

Dosen Pembimbing :

ISMAIL, M.Pd.I

Oleh :

RAMADIO DARWOTO
NIM. 1148 1102 538

RAUDATUL JANNAH
NIM. 1148 1202 577

RINO SUDIRMAN
NIM. 1148 1102 523

FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN


PROGRAM STUDI PETERNAKAN
2014 / 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
                 Bicara mengenai pembagian hadits dilihat dari segi kualitasnya, tidak
terlepas dari pembahasan hadits ditunjau dari segi kualitasnya, yang telah dibagi
menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir mempunyai
pengertian bahwa hadits tersebut Yaqin bi al-qath’i, artinya Nabi Muhammad
SAW. betul-betul bersabda, berbuat dan menyetujuinya (iqrar) di hadapan para
sahabat. Dengan demikian maka dapat dikatakan hadits ini mempunyai sumber
yang kuat, disepakati dan keberadaannya dapat dipercaya serta meyakinkan.
Sehingga ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa adanya penelitian ataupun
penyelidikan baik terhadap sanad atau matanya.
                 Sebaliknya yang kedua adalah hadits ahad, dimana faedah yang diberikan
bersifat zhonny (prasangka yang kuat akan kebenarannya). Dengan demikian
maka mengharuskan kepada kita untuk mengadakan pengkajian, penyelidikan
terhadap hadits tersebut, baik pada sanadnya ataupun matanya. Sehingga kejelasan
status hadits ini menjadi nyata, untuk dipergunakan sebagai hijjah atau tidak.
Oleh karena itu. Dengan melihat persoalan ini maka para ulama ahli hadits
membagi hadits, ditinjau dari segi kualitasnya, menjadi dua bagian yang hadits
maqbul dan hadits mardud.
II

PEMBAHASAN

A.  HADITS SHAHIH

1. Pengertian Hadits Shahih

Kata shahîh secara etimologi dari kata shahha, yashihhu, shuhhan wa


shihhatan wa shahhâhan. Yang menurut bahasa berarti sehat, yang selamat, yang
benar, yang sah, dan yang sempurna yang merupakan lawan dari saqim (sakit).

Menurut ‘ulama ahli hadits, definisi hadits shahih secara terminologi adalah:

‫ متصل مسند غير معلل وال شاذ‬N‫ما رواه عدل تام الضبط‬

“Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannnya,


bersambung terus sanadnya kepada Nabi s.a.w., tidak ber-illat (ada sesuatu yang
cacat) dan tidak syadz (bersalahan riwayat itu dengan riwayat yang lebih raih dari
padanya).” 1

Al-‘Iraqi juga mengemukakan definisi yang hampir sama, akan tetapi dalam
dua syarat ia memberikan penekanan khusus dengan menambahkan kata-kata
lainnya, yaitu: pertama, pada ke-dhabit-an ia menyebutkan dhabit al-
fuad (kekuatan ingatan/kecerdasan). Artinya ia menekankan kekuatan menghafal
hadits, yang berbeda dengan dhabit al-kitab; dan kedua, pada ‘illat, ia
menyebutkan ‘illat qodihah (‘illat yang merusak atau mencacatkan).

2. Syarat-syarat Hadits Shahih

Berdasarkan beberapa definisi hadits shahih maka sebagaimana


dikemukakan oleh para ‘ulama hadits, diketahui ada lima syarat yang harus
dipenuhi, diantaranya:

a. ‫ند‬NN‫ال الس‬NN‫اتص‬ artinya hadits shahih adalah hadits yang musnad (hadits yang
langsung marfu’ kepada Nabi saw).
b.  ‫العدل‬ artinya diriwayatkan oleh tokoh sanad hadits yang bersifat adil.

1 rauatul jannah. peternakkan .2014. hlm. 17


c.  ‫بط‬NNN‫الض‬ semua perawinya dhabith, artinya perawi hadits tersebut memiliki
ketelitian dalam menerima hadits, memahami apa yang ia dengar, serta mampu
mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima hadits.
d.  ‫غير شاذ‬ hadits shahih bukanlah hadits yang syadz (kontroversial) atau sejahtera
dari keganjilan (tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih rajih).
e.  ‫غير معال‬ hadits shihih bukan hadits yang terkena ‘illat (cacat)

3.  Macam-macam Hadits Shahih

Para ‘ulama membagi hadits shahih menjadi dua, yaitu Shahih


Lidzatihi dan Shahih Lighairihi.

a. Shahih Lidzatihi

Hadits Shahih Lidzatihi adalah hadits yang dirinya sendiri telah memenuhi


kriteria ke-shahih-an sebagaiman disebutkan di atas, dan tidak memerlukan
penguat dari yang lainnya.

Contoh hadits Shahih Lidzatihi:

Diberitahukan oleh Ibn Umar bahwasannya Nabi s.a.w. bersabda:

‫وان محمدا رسول هللا واقام الصالة وايتاء الزكاة وصوم رمضان والحج‬

b. Shahih Lighairihi

Hadits Shahih Lighairihi adalah hadits yang keshahihannya dibantu oleh


adanya keterangan lain. Hadits kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan
pada aspek ke-dhabit-an perawinya (qalil adh-dhabth). Di antara perawinya ada
yang kurang sempurna kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat
untuk dikategorikan untuk menduduki derajat hadits Shahih Lidzatihi.

Contoh hadits Shahih Lighairihi diberitakan oleh Abu Hurairah r.a:

‫ لوال ان اشق على امتى المرتهم بالسواك عند كل صالة‬:‫ان رسول هللا ص م قال‬

Contoh di atas merupakan hasil penelitian para ‘ulama yang dinukil oleh
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadits.

4. Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih


Para ‘ulama hadits, demikian juga para ‘ulama Ushul Fiqh dan Fuqaha,
sepakat menyatakan bahwa hukum hadits shahih adalah wajib untuk menerima
dan mengamalkannya. Hadits shahih adalah hujjah  dan dalil penetapan
hukum syara’, oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk
meninggalkannya.

B. HADITS HASAN

1. Pengertian Hadits Hasan

Hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu, yang berarti baik. Menurut Ath-


Thibi Hadits hasan adalah:

‫مسند من قرب من درجة الثقه اومرسل ثقة وروي كالهما من غير وجه وسلم من شذوذ وعلة‬

“Hadits musnad (muttasil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati


derajat tsiqah, atau hadits mursal yang sanadnya tsiqah, akan tetapi pada keduanya
ada perawi lain. Hadits itu terhindar dari syudzudz dan ‘illat.”

Mengenai istilah, telah terjadi perselisihan di antara para ‘ulama, karena


hadits hasan terletak di antara hadits shahih dan hadits dha’if. Hadits hasan ialah
hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi
kurang sedikit dhabith, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak
juga terdapat cacat.

2.  Syarat-syarat Hadits Hasan

Syarat-syarat hadits hasan sama seperti halnya hadits shahih, dengan


melihat pengertian hadits hasan itu sendiri, yang berbeda hanya bidang
hafalannya. Untuk hadits hasan, hafalan rawi ada yang kurang sedikit bila
dibandingkan dengan hadits shahih.

3. .Macam-macam Hadits Hasan

Seperti halnya hadits shahih, hadits hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan lighairihi.

a. Hadits hasan lidzatihi
Hadits hasan lidzatihi ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya
dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya
syudzudz dan ‘illat.

Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan Abu


Hurairah, bahwasannya Rasul bersabda:

‫لوال ان اشق على امتى ال مرتهم بالسواك عند كل صالة‬

“Sekiranya tidak aku memberatkan umatku, tentulah aku memerintahkan mereka


beristiwak di tiap-tiap shalat”.

b. Hadits hasan lighairihi

Hadits hasan lighairihi adalah hadits yang di dadalam isnadnya terdapat


orang yang tidak diketahui keadaannya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau
tidaknya. Namun ia bukan orang yang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak
pula berbuat dusta. Sedangkan matannya didukung oleh muttabi’ atau syahidz.

Contoh hadits hasan lighairihi :

‫ نعم فاجاز‬:‫ارضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت‬

“Apakah engkau suka menyerahkan diri engkau dan harta engkau dengan hanya
sepasang sepatu? Perempuan tersebut menjawab: ya, maka Nabi s.a.w.
membernarkannya”.

Dalam keterangan beberapa buku  ada yang mempersingkat bahwa


hadits hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hadits hasan lighairihi (hasan
dengan topangan hadits lain).

4.  Hukum dan Kehujjahan Hadits Hasan

Para Imam ahli hadits mengatakan, bahwa hadits hasan sama dengan hadits
shahih, walaupun hadits hasan itu lebih kurang dari hadits shahih dari segi
kekuatan. Karena itu, segolongan ‘ulama mengatakan, bahwa hadits itu berada di
bawah hadits shahih. Dan walaupun demikian hadits hasan dapat diterima dan

dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan dibidang hukum atau


bidang aqidah, pendapat inilah yang paling banyak dianut.

C.  HADITS DHA’IF
1. Pengertian Hadits Dha’if

Hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits menurut


kualitas haditsnya. Atau yang paling tepat hadits yang padanya tidak terdapat ciri
hadits shahih dan hasan.

Kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-Qowiy, yang berarti lemah,
Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak dan tidak dapat
dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum.

Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :

‫ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن‬

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat


yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup:

‫ما لم يجمع صفات الحسن‬

“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”

Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah


barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.

Para ‘ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :

‫الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات الحديث‬

“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

Hadits dha’if juga dikatakan hadits mardud (yang ditolak) karena tidak
adanya sesuatu syarat-syarat yang menerimanya. Tegasnya hadits dha’if adalah
hadits yang didapati padanya sesuatu yang menolaknya. Definisi hadits dha’if
adalah: “hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits
shahih atau hadits hasan”.

2.  Macam-macam Hadits Dha’if


Jenis Hadis Dha’if sangat banyak dan tidak cukup jika dijelaskan secara
keseluruhan dalam makalah ini, untuk itu penulis berusaha untuk memilah
menjadi tiga macam hadits dha’if berdasarkan:

1. Hadits Mursal

Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti
“Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminologi ialah hadits
yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw. Artinya, seorang tabi’in secara
langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw bersabda…..”

Maksud dari definisi diatas dapat dipahami bahwa seorang tabi’in


mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, dan sebagainya, sementara Tabi’in
tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’in tersebut
menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan
tabi’in.

Definisi seperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadits, hanya
mereka tidak memberikan batasan antara tabi’in kecil dan besar. Namun ada juga
sebagian ‘ulama hadits yang memberikan batasan Hadits Mursal ini hanya
dimarfu’kan kepada tabi’i besar saja karena periwayatan tabi’i besar adalah
sahabat dan Hadits yang dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadits
Munqati’.

Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam
kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, bahwasanya
Rasulullah Saw bersabda:

‫ان سدة الحر من فيح جهنم‬

“sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari uap neraka Jahannam”

Contoh yang lain adalah, Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
kitab Shahihnya pada bagian “jual beli” (kitab al-buyu’) dia berkata : “telah
menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’, telah menceritakan kepada kami
Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari
Ibnu Ssaid ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw melarang menjual kurma yang
masih berada dipohon, dengan kurma yang sudah dikeringkan.”
Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar. Dia meriwayatkan Hadits ini
tanpa menyebutkan perawi (sahabat) yang menjadi perantara antara dirinya
dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab telah menggugurkan akhir
dari perawinya yaitu sahabat. Bisa saja selain dari sahabat yang digugurkannya
ada tabi’i lain yang juga digugurkannya.

Sebagaimana diterangkan bahwa Hadits mursal adalah hadits yang jalan


sanadnya menggugurkan perawi yang terakhir yaitu sahabat yang langsung
menerima hadis tersebut dari Rasulullah saw. Diitinjau dari segi siapa yang
menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka hadis mursal ini terdiri dari tiga
bagian :

a. Mursal Shahabi

Mursal Shahabi yaitu Pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada


Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia
beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup ia masih kecil atau
terbelakang masuk Islamnya. Hadis Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan
apabila seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam kategori adil, sehingga
kemajhulannya tidak bersifat negatif.

b. Mursal Khafi'

Mursal Khafi' yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh tabi’i namun tabi’i yang
meriwayatkan hadits tersebut hidup sezaman dengan sahabat tetapi tidak pernah
mendengar ataupun menyaksikan hadits langsung dari Rasulullah saw.

c. Mursal Jali

Mursal Jali yaitu apabila penggugurannya dilakukan oleh rawi (tabi’i) dapat
diketahui jelas sekali oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan tersebut tidak
pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya atau yang menerima
berita langsung dari Rasulullah saw.

  2.  Hadits Munqati
Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian para
ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang mana di dalam sanadnya terdapat
seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi, misalnya perkataan seorang
rawi, “dari seorang laki-laki”. Sedang menurut para ‘ulama lain bahwa hadits
muntaqi’ ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang gugur
(tidak disebutkan) dari rawi-rawi sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa
tempat, namun rawi yang gugur itu tetap satu dengan syarat bukan pada

permulaan sanad.

Definisi lain menyebutkan hadis munqati’ adalah hadits yang dalam


sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih atau di dalamnya
disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya perawi, ia sama
dengan hadits mursal hanya saja jika hadits mursal dibatasi dengan gugurnya
sahabat, sementara dalam hadits munqati’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi bila
terdapat gugurnya perawi baik diawal, di tengah ataupun diakhir pada suatu hadits
maka dia disebut dengan hadits munqati’.

3. Hadits Mudallas

Hadits mudallas menurut bahasa, berarti hadits yang sulit dipahami. Kata

mudallas adalah isim maf’ul dari dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengan
gelap. Menurut ilmu hadits, mudallas adalah hadits yang diriwayatkan seorang
rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia tidak pernah bertemu dengan
orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya darinya karena
kesamaran mendengarkannya”.

Para ‘ulama memberi batasan hadits mudallas adalah hadits yang gugur dua
orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya, contohnya: “telah
sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

)‫للمملك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك‬

“Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara baik”. (HR. Malik)

4.  Hadits Muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari segi
istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad.
Contoh: Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

‫التقاضلوابين األنبياء‬

“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR.


Bukhari)

5. Hadits mu’dhal

Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih
secara berturut-turut.

Menurut kesimpulan di atas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa hadits


dha’if karena gugurnya rawi artinya tidak adanya satu, dua, atau beberapa rawi,
yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan, pertengahan,
maupun diakhir sanad.

6.  Hadits Maudhu

Hadits maudhu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah saw tapi
disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru
tanpa sengaja. Contoh:

‫اليدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء‬

“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.

  7.  Hadits Matruk

Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, yang
menurut penilaian seluruh ahli hadits terdapat catatan pribadinya sebagai seorang
rawi yang dha’if. Contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari Jabir Al-Ju’fi, dari
Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan.

Hadis matruk adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan dan


diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan hadits, dalam
hadits nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya atau terlihat jelas
kefasikannya, melalui perbuatan ataupun kata-kata, serta sering kali salah atau
lupa. Misalnya hadits Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy.

Yang dimaksud dengan rawi tertuduh dusta yaitu seorang rawi yang dalam
pembicaraan selalu berdusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia berdusta
dalam membuat hadits. Adapun orang yang berdusta di luar pembuatan hadits
ditolak periwayatannya.

8. Hadits Munkar

Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if yang
berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:

‫ الضيق ودخل الجنة‬N‫من اقام الصالة واتي الزكاة وحج وصام وقري‬.

“Barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa,


dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.

Hadits munkar adalah hadits yang perawinya sangat cacat dalam kadar
sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ‘ulama hadits memberikan definisi
yang berfariasi tentang hadits munkar ini. Di antaranya ada dua definisi yang
selalu digunakan, yaitu:

a. Hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau
sering kali lupa dan terlihat kefasikannya secara nyata.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang hadits tersebut
berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh.

9. Hadits Muallal

Muallal menurut istilah para ahli hadits ialah hadits yang di dalamnya
terdapat cacat yang tersembunyi, yang bisa mengakibatkan cacatnya hadits itu,
namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak tampak. Contoh:

N‫ مالم يتفرقا‬N‫ البيعان بالخيار‬: ‫قال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم‬
“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih
belum berpisah”

Hadits Muallal adalah hadits yang cacat karena perawinya al-Wahm, yaitu


hanya persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
Umpamanya, seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil
(bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia
mengirsalkan yang mutthasil, dan memauqufkan yang maru’ dan sebagainya.

10.   Hadits Mudraj

Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan
bagian hadits itu. Contoh:

‫دفي‬NN‫لم وجاه‬NN‫ والزعيم الحميل لمن أمن بي واس‬،‫انا زعيم‬ :‫قال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم‬
)‫سبيل هللا يبيت في ريض الجنة (رواه النسائ‬

“Rasulullah saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah
penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat dan berjuang di jalan
Allah, dia bertempat tinggal di dalam surga.” (HR. Nasa’i)

Idraj berarti memasukkan Sesuatu kepada suatu yang lainnya dan


menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan kata lain hadits mudraj adalah
hadits yang di dalamnya terdapat kata-kata tambahan yang bukan dari bagian
hadits tersebut. Hadits mudraj ada dua yaitu :

Mudraj Isnad: seorang perawi menambahkan kalimat-kalimat dari dirinya


sendiri saat mengemukakan sebuah hadits disebabkan oleh suatu perkara sehingga
orang yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa yang diucapkannya adalah
juga bagian dari hadits tersebut.

Mudraj Matan: sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu hadits yang
bukan merupakan matan dari hadits tersebut, tanpa ada pemisahan di antaranya
(yaitu antara matan hadits dan sesuatu yang dimasukkan tersebut). Atau
memasukkan suatu perkataan dari perawi kedalam matan suatu hadits, sehingga
diduga perkataan tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw.

11. Hadits Maqlub

Hadits maqlub ialah hadits yang di dalamnya terdapat perubahan, baik


dalam sanad maupun matannya, baik yang disebabkan pergantian lafadz lain atau
disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:

‫إذا سجد احدكم فال يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته‬

“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti menderumnya


seekor unta, melainkan hendaknya meletakkan kedua tangannya sebelum
meletakkan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan mengatakannya hadits ini
gharib).

Hadits maqlub yaitu hadits yang lafadz matannya tertukar pada salah
seorang perawi pada salah seorang perawi atau seseorang pada sanadnya.
Kemudian didahulukan dalam penyebutannya, yang seharusnya disebut
belakangan atau mengakhirkan penyebutannya, yang seharusnya didahulukan atau
dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.

  12. Hadits Syadz

Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang
terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi yang
relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara keduanya.
Contoh: hadits syadz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim,
dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:

‫ايام التشريق ايام اكل وشرب‬

“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”

13. Hadits Mudhtharib

Hadits Mudhtharib adalah Hadits yang diriwayatkan dalam bentuk yang


berbeda yang masing-masing sama kuat.

14. Hadits Mushahhaf


Hadis Mushahhaf yaitu hadits yang dirubah kalimatnya, yang tidak
diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafadz maupun makna
hadits ini ada yang berubah sanadnya dan adapula berubah matannya.

Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan matan atau kedua-
duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh, yaitu: hadits
maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau hadits matruh (yang
dibuang), hadits munkar (yang diingkari), hadits muallal (terkena ‘illat), hadits
mudraj (yang dimasuki sisipan), hadits maqlub (yang diputar balik), dan hadits
syadz (yang ganjil), hadits Mudhtharib, dan hadits mushahhaf.

3. Hukum dan Kehujjahan Hadits Dha’if


Hadits dha’if ada kalanya tidak bisa ditolerir kedha’iffannya, misalnya
karena kemaudhu’annya, ada juga yang bisa tertutupi kedha’iffannya (karena ada
faktor yang lainnya). Untuk yang pertama tersebut, berdasarkan kesepakatan para
‘ulama hadits, tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan
hukum-hukum, akidah maupun fadhail al ‘amal.

Sementara untuk jenis yang kedua dalam hal kehujjahannya hadits dha’if
tersebut, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik unuk penetapan
hukum-hukum, akidah maupun fadhail al ‘amal  dengan alasan karena hadits
dha’if ini tidak dapat dipastikan datang dari Rosulullah saw. Di antara yang
berpendapat seperti ini adalah Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakr
ibnu al-‘Arabi.

Sementara bagi kelompok yang membolehkan beramal dengan hadits dha’if


ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanifah, an-Nasa’i dan juga Abu Daud.
Mereka berpendapat bahwa megamalkan hadits dha’if ini lebih disukai
dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas. Imam
ibnu Hambal, Abd al-Rahman ibn Al-Mahdi dan Abdullah ibn al-mubarak
menerima pengalaman hadits dha’if sebatas fadhail al-‘amal saja, tidak termasuk
urusan penetapan hukum seperti halal dan haram atau masalah akidah.

Sementara As-Suyuti sendiri cenderung membolehkan beramal dengan


hadits dha’if termasuk dalam masalah hukum dengan maksud ikhtiyath. Ia
mendasarkan pada pendapat Abu Daud, Imam ibn Hambal yang berpendapat
bahwa itu lebih baik dibanding menggunakan akal atau rasio atau pendapat
seseorang.

Dalam keterangan lain, ada tiga pendapat ‘ulama tentang pengamalan dan
penggunaan hadits dha’if:

Hadits Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail


maupun ahkam dan ini merupakan pendapat kebanyakan ‘ulama termasuk Imam
Bukhari dan Muslim.

Hadits Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini merupakan pendapat Abu
Daud dan Imam Ahmad yang lebih mengutamakan Hadis Dha’if dibandingkan
ra’yu seseorang.

Hadits Dha’if dapat digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau sejenis
dengan memenuhi kriteria yang ada.
III
PENUTUP
( KESIMPULAN )

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hadits ditinjau
dari segi kualitasnya menjadi dua bagian, yaitu :
1. hadits magbul (yang diterima)
2. hadits mardud (yang ditolak).
Dilihat dari diterima dan ditolaknya hadits tersebut, maka dapat dibagi
menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Hadits Sahih
2.      Hadits Hasan
3.      Hadits Dho’if
            
DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002


as-Shalih, Subdi, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Ahmad, Muhammad, M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2000
102
Sya’roni, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002
Rohman, Fatchur, Ikhtisar Mushtholahul Hadits, Bandung: Alma’arif, 1991
Anwar, Moh., Ilmmu Mushtholahah Hadits, Surabaya: Al Ikhlas, 1981
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta: Bulan Bintang,
1995

Ahmad M. Mudzakir, Muhammad. ‘Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia.


2000

Alwi Al-Maliki, Muhammad. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


2006

Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis. Judul


asli: Ushul al-Hadis, terj. M.Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya
Media Pratama. 1998
Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: Al-Ma’arif. 1991

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. tt: Gaya Media Utama. 1996

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan


Bintang. 1981

Yuslem, Nawir. ‘Ulumul Hadits. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. 2001

Anda mungkin juga menyukai