Anda di halaman 1dari 7

MURADIF Dan MUSYTARAK

Pembahasan

MURADHIF DAN MUSYTARAK

1. Muradhif

Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna

Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat

yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para

Jumhur ulama sebagai beriku:

‫ايقاع كل من المرادفين مكان االخر يجوز اذا لم يقم عليه طالع شرعي‬

Artinya: Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu
diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.
Al-Qu’ran semenjak di turunkanNya hingga datangnya hari Akhir senantiasa

terjaga sebagaimana pertama diturunkan-nya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu

dikritisi, tidak memerlukan edisi revisi, ataupun pengurangan kosakata, begitu

sangat sempurna, Dia-lah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa,

yang telah menurunkan-nya juga kepada Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi

Wasallam melalui delegasi terpercanya Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu

tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat,

Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak

diperbolehkan kecuali kaliamat “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya

memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah

memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat ”Allahul

A’djom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.

Hukum Muradhif
Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya,

diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan

bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa. Tentang lafal Qur’an tidak ada

perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus membaca lafal-lafal itu sendiri.

2. Musytarak

Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja ‫اشترك‬

yang berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan ‫اشترك القوم‬ yang berarti “kaum itu

bersekutu”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan

pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para

ulama’ ushul adalah anatara lain:

‫اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر داللة على السوأ عند اهل تلك اللغ‬

Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda,
dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”

Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:

‫لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل‬


Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda
batasannya dengan jalan bergantian”
Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan

semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi

harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata ‫ قرء‬yang dalam pemakaian

bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz ‫ عين‬bisa

berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas,
kata “‫ "يد‬musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata ‫ سنة‬dapat berarti tahun untuk

hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.

a. Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak

Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat banyak

sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling

mempengaruhi antara lain sebagai berikut :

1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk

menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata ‫ يد‬,

dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna”

(‫)ذراع كله‬. Satu kabilah untuk menunjukkan (‫)الساعدوالكف‬. Sedangkan kabilah yang lain

untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.

2. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan )‫ ) تردد‬antara makna hakiki dan

majaz.

3. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan )‫ )تردد‬antara makna hakiki dan

makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam

arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz ‫الصالة‬

yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan

untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.

b. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak

Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang

musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul

adalah sebagai berikut :

a. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara

arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali
ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam

istilah bahasa.

b. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang

ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan

dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun

qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai

nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab

pada saat turunnya nash tersebut.

c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut,

menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat

menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah

membolehkan menggunakan salah satu artinya.

c. Contoh-contoh Lafadz Musytarak

Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya

firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:

‫يض ۖ َو َال‬ِ ‫سا َء فِي ْال َم ِح‬ َ ِِّ‫يض ۖ قُ ْل ُه َو أَذًى فَا ْعتَ ِزلُوا الن‬ ِ ‫ع ِن ْال َم ِح‬ َ ‫َويَ ْسأَلُون ََك‬
َّ ‫ّللاُ ۚ ِإ َّن‬
َ‫ّللا‬ ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْتُو ُه َّن ِم ْن َحي‬
َّ ‫ْث أَ َم َر ُك ُم‬ َ َ‫ط ُه ْرنَ ۖ فَإِذَا ت‬ ْ ‫تَ ْق َربُو ُه َّن َحت َّ ٰى َي‬
َ َ‫ب ْال ُمت‬
َ‫ط ِِّه ِرين‬ ُّ ‫ب الت َّ َّوابِينَ َويُ ِح‬
ُّ ‫يُ ِح‬
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila
mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafadz ‫ المحيض‬dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti

tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’

diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa
orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya

dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz ‫ المحيض‬diatas adalah bukanlah

waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh

(qubul).

Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 228

sebagai berikut:

َ ‫َو ْال ُم‬


ْ َّ‫طلَّقَاتُ َيت َ َرب‬
‫صنَ ِبأَنفُ ِس ِه َّن ث َ ََلثَةَ قُ ُروء‬
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'.
Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula

berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala

kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat

tersebut.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas.

Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan

beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata

bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar,

yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan

masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz

yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan

tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan

haidh. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak

sampai tiga).

Dalam surat Al-Baqarah ayat 229:


َ ‫ساك ِب َم ْع ُروف أَ ْو تَ ْس ِريح ِبإِ ْح‬
‫سان‬ َّ
ِ َ‫الط ََل ُق َم َّرت‬
َ ‫ان ۖ فَإِ ْم‬
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’

yaitu “melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara

bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain.

“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadz ‫ الصالة‬pada ayat tersebut dapat bisa

mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah

syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini

contoh lafadz ‫ الصالة‬yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman

Allah dalam surata Al-Ahzab ayat 56:

‫س ِلِّ ُموا‬ َ ‫صلُّوا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي ۚ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا‬ َ َ‫صلُّون‬
ِِّ ‫علَى النَّ ِب‬ َ ُ‫ّللاَ َو َم ََلئِ َكتَهُ ي‬
َّ ‫ِإ َّن‬
‫ت َ ْس ِلي ًما‬
Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.”

Lafadz ‫ الصالة‬pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan

tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena ‫ الصالة‬dalam ayat

tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam

istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.

C. Kesimpulan dan Penutup


Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna, jumhur ulama’

menyatakan bahwa mendudukan dua muradif pada tempat yang lain diperbolehkan

selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’.

Sedangkan Musytarak lafal yang mempunyai dua makna atau lebih dan

jumhur ulama memperbolehkan penggunaan musyatrak menurut arti yang

dikehendaki atau berbagai makna sesuai proporsinya.

Penjelasan mengenai kaidah-kaidah tersebut sangat diperlukan guna

menggali dan menetapkan suatu hukum yang bersumber dari nash-nash.

Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang

terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan

yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat

dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Skema dalil-dalil yang

terdapat dalam Al-Qur’an.

Anda mungkin juga menyukai