Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I PENDAHULUAN

Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai Hudan Linnasi dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (Q.S Ibrahim : 1) Al-Quran merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Kitab suci yang menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmi-ilmu ke Islaman, tetapi juga sebagai inspirator, pemandu dan pemadu dalam gerakangerakan umat Islam sepanjang abad empat belas abad silam. Jika demikian, pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadits, melalui penafsiranpenafsiran dan pendalaman ilmu kebahasaan, mempunyai peranan penting bagi maju-mundurnya umat Islam terlebih dalam konteks masa kini guna memberikan solusi terhadap problematika umat yang semakin menggelobal. Oleh karena itu, makalah kecil ini akan mencoba memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat Al-Quran baik yang Musytarak, Muthlaq dan Muqayyad dan ketentuan-ketentuan hukumnya.

BAB II
PEMBAHASAN A.

MUSYTARAK
1.

Definisi Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja yang berarti bersekutu seperti dalam ungkapan yang berarti kaum itu bersekutu. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama ushul adalah anatara lain:

Artinya: Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh: Artinya: Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian1 Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.2
2.

Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak

1 2 Abdul Wahab Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Hal: 293

Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat banyak sekali, namun ulama ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
a.

Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna () . Satu kabilah untuk menunjukkan "lengan tangan atau telapak tangan (). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.

b.

Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ( )antara makna hakiki dan majaz.

c.

Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan ( )antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara. Seperti lafadz yang dalam arti bahasa bermakna doa, kemudian dalam istilah syara digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita malumi.3

3.

Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak Apabila dalam nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul adalah sebagai berikut :
a.

Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara, kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.

3 Abdul Wahab Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Hal: 293-294

b.

Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.

c.

Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafiiyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.4

4.

Contoh-contoh Lafadz Musytarak Dalam Al-Quran banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah[2]: 222, yaitu:


Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Lafadz dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz

4 Ibid. hal: 294-296

diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta pada tempat keluarnya darah haidh (qubul). Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah [2] ayat 228 sebagai berikut:


Artinya: Wanita-wanita yang (menunggu) tiga kali quru'. pula berarti "masa haidh". Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru tersebut diatas. Sebagian ulama yaitu Imam Syafii mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaidah bahasa arab madudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thahur (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru diartikan haidh. Sebab jika lafadz quru diartikan suci, maka hanya ada dua quru (tidak sampai tiga). Dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 229: ditalak hendaklah menahan diri

Lafadz quru dalam pemakain bahasa arab bisa berarti "masa suci" dan bisa


Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara yaitu melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan tali ikatan secara mutlaq. Seperti dalam hal lain. Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Lafadz pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara yaitu ibadah yang mempunyai syarat-

syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalam surata Al-Ahzab [33] ayat 56:


Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. Lafadz pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syara hanya diwajibkan kepada manusia.

B. 1.

MUTHLAQ DAN MUQAYYAD Definisi Muthlaq Ulama ushul fiqh mendefinisikan Muthlaq sebagai berikut:


"Muthlaq adalah lafadz yang menunjukkan kepada arti yang sebenarnya dengan tanpa dibatasi oleh sesuatu hal lain"5

Sebagai contoh, firman Allah dalam surat al-Mujdalah [58]: 3, yang berbunyi

.......... ......
..Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur..
5 H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen. 2000. Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam. Hal. 369

Lafadz (budak) dalam ayat diatas adalah muthlaq, karena ia tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain. Dengan demikian lafzh tersebut dapat mencakup semua macam budak, baik mukmin maupun kafir.

2.

Definisi Muqayyad Menurut sebagian ulama ushul al-fiqh, Muqayyad adalah:


"Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan kepada arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh sesuatu hal lain".6

Misalnya firman Allah dalam surat al-Nis'[4] ayat 92, yang berbunyi

....... ......
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena salah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.

Lafzh (budak) dalam ayat diatas adalah muthlaq. Akan tetapi lafadz tersebut dibatasi (di-qayyid-i) dengan lafadz (mu'minat), maka lafadz

tersebut menjadi muqayyad. Dengan demikian orang yang membunuh


karena salah, baginya tidak cukup memerdekakan hamba sahaya yang bukan mukmin.

3.

Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muthlaq dan Muqayyad

6 Ibid, Hal. 370

Pada prinsipnya lafzh muthlaq harus ditetapkan pada ke-muthlaq-annya, dan lafzh muqayyad juga harus ditetapkan pada ke-muqayyad-annya. Adapun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan muthlaq dan muqayyad adalah sebagai berikut:
a.

Hukum Muthlaq Lafadz muthlaq dapat digunakan sesuai ke-muthlaq-annya. Kaidahnya:


"Muthlaq itu ditetapkan menurut kemutlakannya selama belum ada bukti yang membatasinya"

Misalnya ayat yang menyebutkan wa ummahtu nisaukum (dan ibu-ibu dari istri-istrimu) dalam QS. An-Nis'[4] ayat23, maka ayat itu tetap dipegangi kemuthlaq-annya, yaitu ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik istrinya belum dicapuri atau sudah.7

b.

Hukum Muqayyad Lafadz muqayyad tetap dinyatakan muqayyad selama belum ada bukti yang me-muthlaq-annya. Kaidahnya:


"Muqayyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatalan kemthlaq-annya".

Misalnya

kaffarat

dhirar

(menyamakan

istri

dengan

ibu),

yakni

memerdekakan budak atau puasa 2 bulan berturut-turut (QS. AlMujdalah[58] ayat 3-4), ayat tersebut sudah dibatasi ketentuannya dan tidak boleh ditawar lagi ketentuan atau batasan itu.8

7 Muhlish Usman. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Hal. 57 8 Ibid, Hal. 58

c.

Hukum Muthlaq yang sudah dibatasi Lafzh muthlaq jika telah ditentukan batasannya maka ia menjadi muqayyad. Kaidahnya:

"Lafadz Muthlaq tidak boleh dinyatakan muthlaq karena telah ada batasan yang membatasinya". Misalnya ketentuan "wasiat" dalam QS. An-Nis'[4] ayat 11 masih bersifat muthlaq tanpa adanya batasan berupa jumlah yang dikeluarkan, kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya dengan sepertiga dari harta yang ada.9 Hadits Nabi saw yang berisikan jawaban atas pertanyaan Sa'ad Ibn Abi Waqqash ketika beliau mengunjunginya waktu ia sakit. Sa'ad terkenal kaya ia hanya punya seorang anak perempuan. Oleh sebab itu, ia berkeinginan untuk mewariskan duapertiga atau setengah harta peninggalannya. Atas peristiwa ini, Nabi menjawab:


"Sepertiga, dan sepertiga itu banyak dan besar (jumlahnya). Sebenarnya anda lebih baik meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya daripada anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak".10

d.

Hukum Muthlaq yang Dihapuskan Batasannya Lafadz muqayyad jika dihadapkan dalil lain yang menghapus ke- muqayyadannya maka ia menjadi muthlaq. Kaidahnya:

9 Muhlish Usman. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Hal. 58 10 H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen. 2000. Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam. Hal. 371

"Muqayyad tidak tetap dinyatakan ke-muqayyad-annya karena ada dalil lain yang menunjukkan ke-muthlaq-annya"11 Misalnya keharaman menikahi anak tiri karena anak tiri itu "dalam pemeliharaan" dan ibunya "sudah dicampuri", keharaman nikah dengan anak tiri sudah dibatasi oleh dua hal di atas, namu batasan kedua tetap dipandang batasan yang muqayyad sedang batasan kedua hanya sekedar pengikut saja, karena anak tiri lazimnya mengikuti ibu atau ayah tirinya, bilamana ayah tiri belum mencampuri ibunya maka anak tiri boleh dinikahi. Karena itu batasan pertama menjadi muthlaq kembali. (QS. An-Nis[4] ayat 23).12
4.

Beberapa ketentuan lain Muthlaq dan Muqayyad Disamping ketetapan lafadz muthlaq dan muqayyad di atas, ada ketetapan lain yaitu, jika dalam satu nash syara' disebutkan satu tempat dengan lafadz muthlaq kemudian di tempat lain disebutkan dengan muqayyad. Permasalahan yang muncul apakah muqayyad diikutkan muthlaq, ataukah muthlaq diikutkan muqayyad atau masing-masing berdiri sendiri. Maka dalam keadaan semacam ini terdapat beberapa ketentuan:
a.

Hukum dan sebabnya sama, maka muthlaq di bawa ke muqayyad. Kaidahnya:


"Muthlaq itu dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama".13 Sebagai contoh firman Allah dalam surat al-M'idah [5] ayat 3:

........
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, .

Di dalam ayat lain (surat al-An'm [6] ayat 145), Allah berfirman:
11 Muhlish Usman. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Hal. 58 12 Ibid, Hal. 59 13Ibid, Hal. 59

10

........
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, ..

Lafadz ( darah) pada ayat pertama adalah muthlaq dan lafadz pada ayat kedua adalah muqayyad. Hukum dalam dua ayat diatas adalah haram darah, dan sebab dalam dua ayat itu adalah ingin makan. Karena kedua hukum dan sebab dalam dua ayat tersebut sama, maka yang muthlaq dibawa (dimenangkan) atas yang muqayyad. Yang muqayyad dijadikan penjelas bagi muthlaq. Jadi yang diharamkan adalah darah yang mengalir . Sedang hati dan limpa bukan termasuk darah yang mengalir, maka tidak haram dimakan.14

b.

Berbeda sebab namun sama hukumnya . Bagi jumhur Syafi'iyah menyatakan muthlaq di bawa pada muqayyad. Kaidahnya adalah:


"Muthlaq itu dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda".15

Sebagai contoh, firman Allah dalam surat al-Baqarah [2] ayat 282:

....... .....
14H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen. 2000. Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam. Hal. 373 15 Muhlish Usman. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Hal. 59

11

" Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).." Di dalam ayat lain (surat at-Thalaq [65] ayat 2), Allah berfirman:

..... .......
" Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.." Lafadz ( dua orang saksi) pada ayat pertama adalah muthlaq, tidak ditentukan sifat-sifat itu. Akan tetapi, lafadz ( dua orang saksi) pada ayat kedua adalah muqayyad, karena karena disifati dengan adil. Hukum pada dua ayat diatas adalah sama, yaitu kewajiban mempersaksikan dengan dua orang saksi, akan tetapi sebab wajibnya adalah berbeda. Pada ayat pertama kewajiban mengadakan persaksian dalam masalah hutang piutang, sedangkan pada ayat kedua dalam hal merujuk istri. Yang muqayyad dijadikan penjelas bagi yang muthlaq. Yang diwajibkan ialah dua orang saksi yang adil.16
c.

Berbeda sebab dan hukumnya, maka muthlaq tidak dibawa pada muqayyad. Kaidahnya adalah:


"Muthlaq tidak di bawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya berbeda"17 Sebagaimana contoh firman Allah dalam surat al-M'idah [5] ayat 38:

.......
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya .
16 Ketentuan semacam ini adalah berlaku di kalangan kebanyakan Ulama Syafi'iyah. Bagi golongan Hanafiyah dan Malikiyah mayoritas menetapkan hukum masing-masing muthlaq dan muqayyad pada posisi dan fungsinya masing-masing. (H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen. 2000. Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam. Hal. 374 ) 17 Muhlish Usman. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Hal. 60

12

Dan firman Allah dalam surat al-M'idah [5] ayat 6:

.....
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku " Hukuman potong tangan bagi pencuri laki-laki dan wanita pada ayat pertama, selanjutnya kewajiban wudhu ketika akan shalat yakni salah satunya membasuh tangan sampai siku-siku maka lafadz "potong tangan" itu muthlaq sedang "membasuh tangan sampai siku-siku" itu muqayyad. Karena sebab dan hukumnya berbeda maka masing-masing ditempatkan pada posisinya.
d.

Berbeda hukum namun sama sebabnya maka muthlaq dibawa pada muqayyad. Kaidahnya adalah:


"Muthlaq itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya".18 Sebagai contoh firman Allah pada surat al-M'idah [5] ayat 6:


"..maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu"

Pada bagian pertama surat surat al-M'idah [5] ayat 6, Allah berfirman:


"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku"
18 Ibid, hal. 60

13

Ayat di atas menjelaskan hokum wudhu dan tayamum, pada wudhu tangan wajib dibasuh sampai siku. Sedang pada tayamum tidak dijelaskan sampai siku. Kali ini sebabnya sama yakni bersuci, tetapi hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan sampai siku pada wudhu, dan menyapu tangan pada tayamum, jadi masing-masing tetap pada tempatnya.19

19 Ibid, hal. 60

14

BAB III PENUTUP


A.

KESIMPULAN Dari beberapa penjelasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya:
1.

Yang dimaksud dengan musytarak adalah Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut

Beberapa hal yang menyebabkan lafadz musytarak yaitu

Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna.

Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ( )antara makna hakiki dan majaz.

Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan ( )antara makna hakiki dan makna istilah urf.

15

2.

Yang dimaksud dengan mutlaq adalah "lafadz yang menunjukkan kepada arti yang sebenarnya dengan tanpa dibatasi oleh sesuatu hal lain" . sedangkan Muqayyad adalah "lafadz yang menunjukkan kepada arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh sesuatu hal lain". Ketentuan hukum muthlaq dan muqayyad yaitu:

Muthlaq itu ditetapkan menurut kemutlakannya selama belum ada bukti yang membatasinya.

Muqayyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatalan kemuthlaq-annya.

Lafadz Muthlaq tidak boleh dinyatakan muthlaq karena telah ada batasan yang membatasinya.

B.

SARAN Dalam penulisan dan presentasi makalah ini, tidak menutup kemungkinan kami jauh sekali dari kesempurnaan, baik dari metodologi, bahasan, dan penguasaan materi. Maka dari itu, saya sangat mengharapkan saran dan kritik, baik secara teguran langsung maupun tertulis kepada saya, agar dapat dijadikan sebagai introspeksi dan perbaikan dalam mengerjakan tugas selanjutnnya.

16

DAFTAR PUSTAKA Drs. H. Muhlish Usman, MA. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

17

PROF. Drs. H. A. Djazuli dan Dr. I. Nurol Aen, M.A. 2000. Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

18

Anda mungkin juga menyukai