Hukum-hukum Dzhonny
Disusun Oleh :
SEMESTER 1
Fakultas Tarbiyah
STAI FATAHILLAH-SERPONG
2021-2022
BAB I
PENDAHULUAN
1
QuraishShihab, Membumikan al-Quran (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1995), h. 83.
2
Q.S. Al-Najm (53) : 3-4.
3
Ibid., h. 137.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata zanni juga berasal dari bahasa Arab yang akar katanya: ظَ َّن يَظُ ُّن ظَنَّاberarti tidak
kuat, ragu atau sangkaan.4 Kata zanni terkadang disinonimkan dengan kata nazari yang
berarti relatif.5 Menurut Ibn Zakariyah kata ظَ ّنadalah bentuk masdar yang terdiri dari tiga
huruf ظ ـ ن ـ نyang menunjuk kepada dua makna yang berbeda, yaitu yakin dan ragu, 6
Kemudian kata tersebut mendapat imbuhan “ya nisbah” sehingga terbentuk kata: ظنيyang
bermakna sesuatu yang bersifat dugaan, relative, sangkaan, dan tidak pasti.
Menurut istilah para ulama memberikan defenisi masing-masing, namun defenisi yang ulama berikan tidak
jauh berbeda, di antaranya:
1. Abdullah Rabi’i Abdullah Muhammad dalam Mausu’at al-Tasri’i al-Islami memberikan defenisi terkait
dengan qat’i adalah suatu dalil yang menunjukkan terhadap makna yang dapat dipahami maksudnya serta
tidak membutuhkan menakwilan dan tidak memberi petunjuk terhadap makna yang lain. Misalnya dalil
yang menunjukkan atas keesaan Allah swt., ayat-ayat kewarisan dan ayat-ayat tentang ‘uqubat dan hudud.
Sedangkan zanni adalah dalil yang menunjukkan terhadap kemungkinan takwil dengan adanya dalil yang
selainnya.7 Berarti zanni termasuk di dalamnya seluruh nas yang terdapat pada lafaz musytarak, lafaz
mutlaq serta lafaz ‘am.
2. Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, qat’i adalah yang menunjukkan kepada
makna tertentu yang harus difahami dari nas, tidak mengandung kemungkinan takwil, serta tidak ada
tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna nas tersebut. Sedangkan zanniy adalah nas
yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna
asalnya kepada makna yang lain.8
10
Ibid., h. 27.
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali,
dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.11
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas—bagian warisan, puasa tiga hari untuk kaffarah
sumpah dan seratus kali dera—menurut para ulama usul fikih, mengandung hukum yang qat’i dan tidak
bisa dipahami dengan pengertian lain.
Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zanni adalah lafal-lafal dalam al-Qur’an mengandung
pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafaz musytarak (mengandung
pengertian lebih dari satu) seperti dalam firman Allah swt:
ق هّٰللا ُ فِ ْٓيَ َت يَت ََربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ُۤوْ ۗ ٍء َواَل يَ ِحلُّ لَه َُّن اَ ْن يَّ ْكتُ ْمنَ َما َخل ُ َو ْال ُمطَلَّ ٰق
ك اِ ْن اَ َرا ُد ْٓوا اِصْ اَل حًا ُّ اَرْ َحا ِم ِه َّن اِ ْن ُك َّن يُْؤ ِم َّن بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر َوبُعُوْ لَتُه َُّن اَ َح
َ ِق بِ َر ِّد ِه َّن فِ ْي ٰذل
هّٰللا
ِ ال َعلَ ْي ِه َّن َد َر َجةٌ ۗ َو ُ ع
َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم ِ ف َولِلرِّ َج ِ ۖ ْࣖ ۗ َولَه َُّن ِم ْث ُل الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْعرُو
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak
kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka
(para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.
Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa,
Mahabijaksana.”12
Kata quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid.
Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, seperti yang dipahami ulama Syafi’iyyah
adalah boleh, dan jika diartikan dengan haid juga boleh seperti yang dipahami ulama
Hanafiyyah.13
Kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini, quru’ dalam ayat pertama dan “tangan” pada
ayat kedua, menurut para ulama usul fikih bersifat zanni. Oleh sebab itu, para mujtahid boleh
memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta didukung oleh dalil lain. 14
15
Ibid.
16
Ibid.
17
‘Ali Hasaballah, Usul al-Tasyri’ al-Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976), h. 43
18
Nasrun Haroen, op. cit., h. 43
19
Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqh (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 2006), h. 104.
menerima hadis mursal sebagai dalil dalam menetapkan hukum, kecuali mursalnya itu dari
kalangan tabi’in yang populer, karena mereka pada umumnya bertemu langsung dengan para
sahabat, seperti Said bin al-Musayyab di Madinah dan Hasan al-Basri di Irak.20
D. Penerapan Konsep Zanni dalam Perkembangan Dinamika Masyarakat
Beberapa aspek dalam hukum keluarga atau hukum tentang orang(al-ahwal al-
syakhsiyyah) juga termasuk dalam kategori ta’abbudi. Di antaranya adalah ketentuan batas
talaq yang dapat dirujuk oleh suami hanyalah dua kali (Q.S. al-Baqarah (2): 229), ketentuan
tentang batas ‘iddah atau masa tunggu seorang istri yang ditalaq suami (Q.S. al-Baqarah (2):
228, 234; Q.S. al-Talaq (65): 6), sangsi kaffarah terhadap pelaku zihar dan ila’ (Q.S. al-
Baqarah (2): 226 dan Q.S al-Mujadilah (58): 2-4). Semua itu dijelaskan oleh Allah swt.
secara gamblang dan terperinci. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak membutuhkan
ijtihad.
Berbeda halnya dengan masalah-masalah muamalah adalah dominan lapangan ta’aqquli, 21
yang maknanya dapat dipahami oleh nalar manuasia. Ilat dari muamalah dapat dirasionalkan
dengan melihat ada atau tidak ada maslahat di dalamnya bagi kehidupan manusia. Maka
sesuatu dilarang ketika tidak terdapat maslahat di dalamnya, dan dibolehkan bahkan
diperintahkan ketika di dalamnya ketika terdapat maslahat.
Dalam hal ini, tentang objek ta’aqquli, ulama usul berbeda pendapat yakni apakah
ketentuan-ketentuan lain yang termaktub secara tegas dalam nas merupakan lapagan ijtihad
atau tidak. Sebagian ulama memandang bahwa nas-nas qat’i yang menyebutkan suatu
masalah meskipun bukan urusan ibadah, termasuk dalam bidang ta’abbudi.
Konsep dan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan ta’abbudi dan ta’aqquli apabila
dihubungkan dengan nas yang bersifat qat’i dan zanni adalah dalam soal ibadah mahdah
(ta’abbudi) dan hal-hal yang daruri, umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan
interpretasi terhadap nas-nas dan hukum-hukum Allah swt. karena telah disebutkan dalam nas
yang sifatnya qat’i.
Berbeda dengan masalah muamalah, termasuk dalam perbuatan ta’aqqulat
(perbuatan yang sifatnya rasional), sehingga masuk dalam wilayah ijtihad. Wilayah
ini dibatasi pada masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh nas yang sifatnya zanni
20
Nasrun Harun, loc. it.
21
Ta’abbudi berarti kepatuhan, penyembahan, dan ketaatan kepada Allah swt.,
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zanniy adalah nas yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk
ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain.
zanni mengandung kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad
bagi para ulama untuk menentukan makna mana yang lebih kuat dan dikehendaki oleh ayat
tersebut dengan jalan menafsirkan atau menakwilkannya.
Dalam konteks ini, mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam
memahami ayat-ayat zanni al-dalalah. Ayat-ayat zanni bukan hanya dapat dikaji dari sisi
kebahasaan, tetapi dapat dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang
dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan menggunakan metode istinbat
hukum yang meliputi kias, istihsan, istislah dan ‘urf sehingga masih bisa dikembangkan.
Adanya ayat-ayat zanni dalam al-Qur’an merupakan ciri al-Qur’an dalam
menjelaskan hukum-hukum. Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam pengkajiannya
adalah tabi’at ayat itu sendiri. Dalam hal ini, Allah memang secara sengaja menempatkan
suatu ayat qat’i dan yang lain zanni.
Menggunakan paradigma “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna
lain dengan dukungan sejumlah dalil”, maka banyak ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an,
meskipun tidak sebanyak ayat zanni.
Ayat-ayat zanni adalah ayat-ayat yang lafalnya mengandung kebolehjadian beberapa
makna sehingga menjadi ruang lingkup ijtihad menentukan makna yang dimaksudkan ayat
itu. Ayat-ayat zanni banyak berkaitan dengan bidang muamalat.
Zanni dalam masyarakat muslim sangat kondisional, sesuai dengan kemaslahatan
umat pada masa itu. Dalam masalah ta’abbudi, manusia hanya menerima apa adanya dan
melaksanakannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Sedang
dalam masalah ta’aqquli terbuka peluang bagi manusia untuk menggunakan nalar atau
melakukan interpretasi, relatif memerlukan pemikiran dalam pelaksanaannya agar ketentuan-
ketentuan hukumnya dapat beradaptasi dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat
di setiap waktu dan tempat, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan syariat dan bertujuan
untuk kemaslahatan umat.
B. Implikasi
Mengetahui zanni yang terdapat dalam al-Qur’an berarti menambah kemukjizatan al-
Qur’an agar lebih menekankan kepada para mujtahid untuk mengistinbatkan hukum dari
ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya pasti.
Penerapan konsep zanni dalam masyarakat Islam sangat kondisional, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat pada masa itu. Konsep zanni merupakan hasil pemikiran ulama
tentang al-Qur’an dan hadis. Karena sifatnya pemikiran Islam, maka selalu berusaha
menerjemahkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kemajuan, terutama bila ditinjau
dari kemaslahatan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Faris, Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, Juz V, (t.tp., Dar al-Fikr, t.th.), h. 101. Lihat juga
Hasan Muarif Ambary, et al, Ensiklopedi Islam, Jilid 2 (Cet. VII; Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Houve, 2001)
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Misriyyah, t.th.) h. 146. Lihat juga Ahmad
Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yokyakarta: PT. al-Munawir, 1984)
M. Syuhudi Ismail, Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995)
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadis, 2002)
Abu al-‘Ainain Badran al-‘Ainain, Usul al-Fiqh al-Islami (t.d.)
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Juz I (Kairo: al-Maktabah al-
Taufiqiyyah, 2003)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Jil. II
(Beirut: Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, t.th)
Abdullah Rabi’i Abdullah Muhammad., loc. it.
Wahbah al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999)
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House, 1996)
Mukhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung: Al-
Ma’arif, 1986)
‘Ali Hasaballah, Usul al-Tasyri’ al-Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976)
Nasrun Haroen, op. cit
]Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqh (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 2006)
Nasrun Harun, loc. it.
Ta’abbudi berarti kepatuhan, penyembahan, dan ketaatan kepada Allah swt.
Tongkronganislami.net (2022)