Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

USHUL FIQH

Tentang

LAFAL DARI SEGI KEJELASAN MAKNANYA (ZHAHIR AL-DALALAH)

DISUSUN OLEH:

IBRAHIM

1914010145

DOSEN PENGAMPU

DRS. RAOYAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMAISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1442 H/2020 M
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah bersyukur kami kepada Allah Subhanahu wa ta‟ala yang dengan rahmat,
karunia, dan pertolongannya sehingga kami pemakalah dapat menyelesaikan makalah kami yang
berjudul “LAFAL DARI SEGI KEJELASAN MAKNANYA (ZHAHIR AL-DALALAH)” dengan
baik. Shalawat dan salam kepada nabi kita yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.
mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaatnya di hari akhir nanti dengan senantiasa
bershalawat kepada beliau.

Pemakalah membuat makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas, makalah ini juga
bertujuan untuk lebih memahami tentang lafal dari segi kejelasan makna nya (Zhahir al-dalalah.
Sebagai pemakalah tentunya juga merasa bahwa makalah kami masih terdapat banyak kekurangan
dan kesalahan, oleh karena itu pemakalah berterima kasih kepada dosen pengampu kami, yaitu Bapak
Raoyan yang dengan bimbingannya kami dapat menyempurnakan makalah kami ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Telah kita ketahui bersama bahwa yang menjadi dalil hukum dalam Islam adalah nash al-
Qur’an dan al-Hadis yang kesemuanya berbahasa arab. Karena itulah para Ulama salaf menaruh
perhatian yang sangat besar sekali terhadap bahasa arab sebagai alat untuk memahami kedua dalil
diatas. Perhatian itu sangat lah penting agar nash-nash yang berbahasa arab tadi dapat dipahami
dengan baik dan sempurna. Untuk itulah para Ulama salaf telah menciptakan beberapa kaedah
lughowi atau bahasa agar suatu dalil itu dapat dipahami dan diambil hukumnya yang kemudian dapat
dijadikan sebagai sebuah dasar hukum.
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi kepada dua
macam, yaitu lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya. Dimaksud dengan lafaz
yang terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa
memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam empat tingkatan, yaitu zhahir, nash,
mufassar, dan muhkam.
Sedangkan yang dimaksud lafaz yang tidak terang artinya adalah yang belum jelas penunjukannya
terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Jenis ini pun terbagi
dalam empat tingkatan, yaitu khafi, musykil, mujmal, danmutasyâbih.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tingkatan-tingkatan yang terkait dengan lafaz yang
terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya, yakni mengenai zhâhir, nash, mufassar, muhkam,
khafi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dinamakan dengan lafadzh zhahir ?
2. Apa yang dinamakan dengan lafadzh Nash?
3. Apa yang dinamakan dengan lafadzh Mufassar?
4. Apa yang dinamakan dengan lafadzh Muhkam?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui Apa yang dinamakan dengan lafadzh zhahir.
2. Untuk mengetahui Apa yang dinamakan dengan lafadzh Nash.
3. Untuk mengetahui Apa yang dinamakan dengan lafadzh Mufassar.
4. Untuk mengetahui Apa yang dinamakan dengan lafadzh Muhkam.
BAB ll

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Dzhahirud dalalah ialah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki oleh
sighat (bentuk) lafadz itu sendri. 1 Artinya untuk memahami makna dari lafadz tersebut tidak
tergantung kepada suatu hal dari luar.

Dzhahir Al-adalalah itu ada 4 tingkat :

1. zhahir
Yang dimaksud dengan zhahir adalah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang
dikehendaki oleh sighat lafadz itu sendiri.
Tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh syaqul kalam dan lafadz itu sendiri masih dapat
ditakwilkan di tafsiran dan dapat pula di nasakhkan pada masa Rasulullah SAW, misalnya firman
Allah :

‫َوِإْن ِخ ْفُتْم َأال ُتْقِس ُطوا ِفي اْلَيَتاَم ى َفاْنِكُحوا َم ا َطاَب َلُك ْم ِم َن الِّنَس اِء َم ْثَنى َو ُثالَث َو ُرَباَع َف ِإْن ِخ ْفُتْم َأال َتْع ِد ُلوا َفَو اِح َد ًة َأْو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم‬
)٣( ‫َذ ِلَك َأْد َنى َأال َتُعوُلوا‬
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang
saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
Adalah lafadz zhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahamkan dari lafadz “
fankihu ma thaaba lakum minan nisa’i” ialah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi,
akan tetapi kalau kita perhatikan siyaqul kalan (rangkaian pembicaraan) maka bukan itu yang
dimaksud. Maksud yang sebenarnya dari ungkapan itu ialah membatasi jumlah wanita yang boleh
dikawini yaitu 4 orang sekali pegang.
Hukum lafadz zhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama tidak
ada dalil yang menafsirkan, menta’wilkan atau menasakhkannya.
Terdapat beberapa rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul mengenai definisi zhahir,
di antaranya:
Menurut Al-Sarkhisi, zhahir adalah
‫َم ا ُيْفَهُم اْلُمَر اُد ِم ْنُه ِبَنْفِس الَّس َم اِع ِم ْن َغْيِر َتَأُّمٍل‬
“Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa
sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu”.
Menurut Al-Bazdawi memeberikan definisi zhahir :
‫ِاْس ٌم ِلُك ِّل َك َالٍم َظْهٍر اْلُمَر اُد ِبِه ِللَّساِم ِع ِبِص يَغ ِتِه‬
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jrlas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu
sendiri”
Dari efinisi tersebut tampak jelas bahwa memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk
lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan Lafazh itu sendiri. Kan tetapi Lafazh tersebut tetap
mempunyai kemungkinan lain. Dari definisi-definisi tersebut Muhammad Adib Saleh menyimpulkan
bahwa zhahir itu adalah:

1 Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, (Bandung : PT.
al-Ma’arif. 1986), hlm.4
‫ْأ‬
‫الَّلْفٌظ اَّلِذ ْي َيُدُّل َع َلْيَها َم ْعَنأُه ِم ْن َغْيِر َتْو ُقٍف َع َلى َقِرْيَنٍة َخاِرَج ٍة َم َع اْح ِتَم اِل الَّتْخ ِص ْيِص َو الَّت ِوْيِل َو َقُبْو ِل الَّنْس ِخ‬
Artinya : “Suatu lafazh yang menunujukkan suatu makna dengan rumusan lafash itu sendiri tanpa
menunggu qarinah yang ada di luar lafazh itu sendiri , namun mempunyai kemungkinan di takshis , di
takwil, dan nasakh”.
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya Zhahir, yaitu apa yang menunjukan maksud daripadanya
itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar. Dan apa
yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia mengandung takwil. Bila
ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan qarinah. Tidak ada maksud asli dari
pembicaraan. Kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.
Hukum yang jelas (Zahir) di mungkinkan akan menerima ta’wil (memalingkan dari
makna zahir-nya) mungkin juga menerima takhsis juga bisa menrima nasakh (penghapusan hukum),
Lafaz Zahir terkadang harus di ta’wil untuk mencari makna yang dapat dipahami. Yang di maskdu
dengan ta’wili adalah “memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinakan berdasarkan
dalil/ bukti”.
Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz zhahir:
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
Yang arti nya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu
hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa
memerlukan qarînah yang menjelaskannya.
Meskipun demikian, ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan hal tersebut. Akan
tetapi, untuk menafikan apa yang dibayangkan orang tentang jual beli dan riba, dan menolak apa yang
dikatakan orang bahwa jual beli itu adalah seperti riba, bukan untuk menyatakan hukum kedua hal ini.

2. Nash
Lafadz nash ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki baik oleh
lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan ia masih dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan di
nasakh dimasa Rasulullah SAW, misalnya firman Allah:

‫ِم ْن َبْع ِد َوِص َّيٍة ُيوِص يَن ِبَها َأْو َد ْيٍن‬


“Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya ( an Nisa:12)
Lafadz “washiyati” dan “dainin” dalam ayat tersebut adalah lafadz nash. Sebab makna yang
dikehendaki oleh sighat lafadz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan
mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka kepada para ahli
waris.
Ketentuan lafadz nash itu sama dengan ketentuan hukum lafadz zhahir. Yakni wajib diamalkan
menurut madlulnya (dalam hal ini mana yang dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada dalil
yang mentakwilkan, menafsirka atau menasakhnya. Menurut bahasa Nash adalah raf’u asy-syai’ atau
munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab itu dalam mimbar nash ini sering
disebut manashahat. Seperti halnya zhahir, terhadap nash pun para ulama ushul berbeda dalam
merumuskan definisinya, di antaranya Menurut Ulama Hanafiyah, nash adalah:
‫ُهَو َم ا َدَّل ِبَنْفِس ِص ْيَغ ِتِه َع َلى اْلَم ْعَنى اْلَم ْقُصْو ِد َأَص اَلًة َع َلى َم ا ِس ْيَق َلُه َو َيْح َتِم ُل الَّتْأِوْيِل‬
“Lafazh yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut
apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan”.
Nash menurut Ulama Syafi’iyah adalah:
‫َم اَدَّل َعلَى َم ْعَنى ُد ْو َن َاْن َيْح َتِمَل َم ْعَنى ّاَخ َر‬
Artinya: “Lafal yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak menerima makna yang lain”.
Kemudian menurut Ad-Dabusi:
‫الَّز اِئُد َع َلى الَّظاِهِرَبَياًناِاَذ اُقْو ِبَلِبِه‬
Artinya :”Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan
dengan lafaszh zhahir”.
Sedangkan menurut Al-bazdawi nash adalah:
ِ‫َم ااْز َداَدُوُضْو ًحاَع َلى الَّظاِهِرِبَم ْعَنى اْلُم َتَك ِّلِم َالِف َنْفِس الِّص ْيَغة‬
Artinya:
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya
bukan dari rumusan bahasa itu sendiri”.

Nash, yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari
pokok pembicaraan. Dan mengandung takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari lafadznya dan
tidak terhalang memahaminya terhadap urusan luar, adalah maksud pokok pembicaraan.
Dari Definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash memepunyai
tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, mleinkan
timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar pernyataan-pernyataan tersebut, Muhammad Adib saleh berkesimpulan bahwa
yang dimaksud nash adalah:
‫الَّلْفُظ اَّلِذ ْي َيُدُّل َع َلى اْلُح ْك ِم اَّلِذ ْي ِس ْيَق َأِلْج ِلِه الَكَالِم ِد َالَلَةَو اِض َح ًة َتْح َتِم ُل الَّتْخ ِص ْيَص َو الَّتْأِوْيَل ِاْح ِتَم اًال َاْض َع ُف ِم ْن ِاْح ِتَم اِل الَّظِهِر َم َع‬
‫َقُبْو ِل الَّنْس ِخ فِى َع ْهِد الَِرَس اَلِة‬
Artinya:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur
pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan di takshis dan di takwil yang kemungkinannya
lebih lemah dari kemungkinan yang terdapat dari lafash zhahir. Selain itu ia dapat di nasakh pada
zaman risalah (Zaman Rasulaullah)”.
Nash, yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari
pokok pembicaraan. Dan mengandung takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari lafadznya dan
tidak terhalang memahaminya terhadap urusan luar, adalah maksud pokok pembicaraan.
Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz nash:
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
Yang arti nya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan
riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami
dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari
ayat ini dapat pula dipahami maksud lain, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba.
Pemahaman ini disebut pemahaman secara zhâhir.
QS. Al-Hasyr (59) ayat 7:
Yang arti nya:
“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah......”
Ayat ini secara nash bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti Rasul tentang pembagian
harta rampasan, baik yang dibolehkan maupun yang tidak. Namun dari ayat ini pula dapat dipahami
artinya secara zhâhir, bahwa kita wajib mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan menghentikan apa
yang dicegah Rasul untuk mengerjakannya.
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan
dengan zhâhir, karena penunjukan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju
menurut ungkapan “asal”, sedangkan zhâhir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang
mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk
dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat
pertentangan makna antara nash dengan zhâhir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.

3. Mufassar

Mufassar ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh shigat
lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat dita’wilkan dan ditafsirkan selain oleh syari.
2
Contoh :
‫فاجلدوا هم ثمانين جلدة‬
Maka deralah mereka delapan puluh kali.
Macam-macam mufassar :3
a. Mufassar bidzatih yaitu kejelasan makna yang dikehendaki oleh shigat lafadz dan siyaqul kalam
tanpa memerlukan penjelasan dari luar lafadz itu.
b. Mufassar bighairih yaitu kejelasan maknanya di karenakan adanya penjelasan dari nash qath’I
yang lain di luar lafadz itu. Ada beberapa definisi tentang mufassar, di antaranya:
Menurut Abdul Wahab Khalaf, mufassar adalah:
‫َم ا َدَّل ِبَنْفِس ِص ْيَغ ِتِه َع َلى َم ْعَناُه اْلُم َفَّص ِل َتْفِص ْياًل ِبَح ْيُث اَل َيْبَقى َم َع ُه اْح ِتَم اٌل ِللَّتْأِوْيِل‬
“Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci,
begitu terincinya shingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.”.
Menurut Al-Uddah, mufassar adalah:
‫َم ا ُيْع َر ُف َم ْعَناُه ِم ْن َلْفِظِه َو اَل َيْفَتِقُر ِإَلى َقِرْيَنِة َتْفِس ْيِرِه‬
“Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan
qarinah yang menafsirkannya.

Artinya: “Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas
serta tidak ada kemungkinan di takwil”.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafazh mufassar adalah
penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa
memerlukan qarinah dari luar, serta tidak mungkin dita’wil-kan.
Atas dasar definisi tersebut maka kejelasan petunujuk mufassar lebih tinggi dari pada
petnjuk zhahir dan nash , hal ini karena pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan
di takwil atau di taksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada.
Mufassar terbagi dalam dua macam, yaitu:

1. Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan
lebih lanjut. Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
Yang artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera.”

2 Amir syari fuddin, Ushul fiqh H jilid 2 Ed. 1, Cet, v, ( jakarta: kencana, 2009), hlm, 7
3 Syekh Abdul Wahab khalla f,ilmu ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, cet. V, (Jakarta :P Rineka Cipta, 2005)
hlm.200.
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak
ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
2 Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman
artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti
itu, juga disebut dengan “mubayyan”. Contohnya QS. An-Nisa (4) ayat 92:
Yanag artinya:
“Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu).”
Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak
dijelaskan mengenai jumlah, bentuk, dan macam diyatyang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat
ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu
sehingga ayat di atas menjadi terinci dan jelas artinya.

4. Muhkam

Lafadz muhkam ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh
sighat lafadz itu dan siyaqul kalam. Akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh
pada saat Rasulullah SAW masih hidup. Dengan demikian lafadz muhkam itu adalah lafadz mufassar
yang tidak dapat dinasakh.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah :

‫َو َال َتْقَبُلْو ا َلُهْم َش َها َد ًة َأَبًدا‬


Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka selama-lamanya.
(QS. An Nuur : 4)

Dan Sabda Rasulullah :


‫َأْلِج َها ُد َم ا ٍض إشَلى َيْو ِم اْلِقَيا َم ِة‬
Jihad itu berlangsung sampai hari kiamat.

Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya ‘amm,
tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang haramnya menikahi
janda Rasullullah.

Macam-macam lafadz muhkan :


a. Muhkam lidzatih yaitu lafazh muhkam yang tidak dapat dinasakh maknanya.
b. Muhkam lighairihi yaitu lafadz muhkam yang menurut dzatnya dapat menerima nasakh, akan
tetapi lafadz itu dinukil oleh suatu lafadz lain yang menunjuk kepada kelestariannya.
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama , yang berarti atqama yaitu pasti dan tegas.
Sedangkan menurut adalah sebagaimana yan dikemukakan As-Sarakhsi:
‫َفاْلُم ْح َك ُم ُمْم َتِنٌع ِم ْن ِاْح ِتَم اِل الَّتْأِوْيِل َوِم ْن َاْن َيُر َّد َع َلْيِه الَّنْس ُخ‬
Artinya :” Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan nasakh.”.

‫َم اَدَّل ِبَنْفِس ِص ْيَغ ِتِه َع َلى َم ْعَناُه اْلَو ْض ِع ِّى َد اَل َلًة َو اِضَح ًة ِبَح ْيُث اَل َيْقَبُل اِإْل ْبَطاَل َو الَّتْبِد ْيَل َو الَّتْأِوْيَل‬
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan
pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan
pembatalan, penggantian maupun ta’wil.
Lafazh muhkam juga diartikan dengan :
‫َو ُهَو اَّلْفُض اَّلِذ ي َظَهَر ْت َد َالَلٌة َع َلى َم ْعَناُه الَوِض ِع ِّي ِبُد ْو ِن اْح ِتَم اِل َش ْي ٍء‬
Artinya : “lafal yang nyata petunjuknya kepada pengertian yang kareananya disusun lafal itu dan tidak
mungkin menerima sesuatu yang lain. Takwil dan takhsis dan kadang-kadang tidak menerima nsakh.
Hal ini ditunjuki oleh qarinah.
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama , yang berarti atqama yaitu pasti dan tegas.
Sedangkan menurut adalah sebagaimana yan dikemukakan As-Sarakhsi:
‫َفاْلُم ْح َك ُم ُمْم َتِنٌع ِم ْن ِاْح ِتَم اِل الَّتْأِوْيِل َوِم ْن َاْن َيُر َّد َع َلْيِه الَّنْس ُخ‬
Artinya :” Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan nasakh.”
Muhkam juga dapat berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga
tertutup kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula
kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya
tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku
padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada
rasul dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua,
dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada pengertiannya secara
pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada
masa Rasulullah.
Berikut ini adalah contoh dari lafaz muhkam, yaitu:
Sabda Nabi Muhammad:
‫َاْلِج َهاُد َج اٍض ِإَلى َيْو ِم ْالِقَّياَم ِة‬
“Jihad itu berlaku sampai hari kiamat”.
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan
dari segi waktu.
QS. An-Nur (24) ayat 4:
Yanga artinya:
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.”
Kata ‫( َأَبًدا‬selama-lamanya) dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya
itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Lafaz muhkam terbagi atas dua macam, yaitu:
1. Muhkam lizatihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan
atau nasakh itu disebabkan olehnash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya
dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.
Muhkam lizatihi adalah muhkam yang semata-mata karena arti yang ditunjukinya itu tidak mungkin
di nasakh kan. Contohnya keharusan beribadah kepada Allah SWT dan berbuat baik kepada kedua
orang tua, sebagaimana firman Allah:
Artinya :”dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu (QS. Al-Isra’ 17:23)

2. Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz itu di-nasakh bukan
karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk
ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap hukum.
Contohnya muhkam yang ada pada QS. An-Nur ayat 4, menjelaskan bahwa tidak dapat meneriima
kesaksian Orang yang berbuat jarimah qadzaf unutk selama-lamanya karena pada ayat tersebut
disertai lafazh ‫( َاَب ًدا‬selama-lamanya). Ketentuan tentang lafazh muhkam bila menyangkut hukum,
adlah wajib itu secara pasti dan tidak mungkin dipahami dari lafal tersebut adanya alternatif lain, serta
tidak mungkin pula di nasakh oleh dalil lain.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kesimpulan
Jadi Jelaslah bahwa dalam menanggapi teks teks yang ada dalam al Qur’an menggunakan beberapa
lafadz di antaranya adalah lafadz dhahir setiap nash yang jelas dalalahnya harus diperlakukan sesuai
dengan kejelasan dalalahnya yang ditunjukkannya nash yang mengandung takwil tidak boleh di
takwil kecuali karena adanya dalil kemudian dasar perbedaan antara yang jelas dalalahnya dan yang
tidak jelas dalalahnya adalah maknya yang dimaksud dalalah nash itu sendiri melalui cara
memperhatikan faktor luar atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai