Anda di halaman 1dari 15

DALALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“USHUL FIQH KEUANGAN SYARIAH”

Disusun oleh:

Fadil Umar Islamy : 210105010142


Nida Yani : 210105010146
Ahmad Fahrully : 210105010202

Dosen Pembimbing:
Fathurrahman Azhari, Prof. Dr., MHI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI S1 EKONOMI SYARIAH
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
A. Latar Belakang ............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan .......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
A. Pengertian Dalalah ....................................................................................... 5
B. Macam-Macam Dalalah ............................................................................... 6
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14
A. Kesimpulan ................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam
mengkaji hukum Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan
hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui
dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui
nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya

Upaya yang dilakukan para mujtahid untuk memahami nash dalam


memahami nash pada dasarnya tidak hanya mengacu pada bentuk lafal
dengan susunan lafalnya atau bisa disebut makna yang sesuai dengan apa
yang tersurat, akan tetapi makna tersirat seperti isyarat makna yang
terkandung dalam lafal nash serta dalalahnya.

Dalam ilmu ushul fiqh ditegaskan melalui dalalah adalah petunjuk


suatu lafaz kepada makna tertentu, karena dalalah merupakan hubungan
antara al-Dal (lafaz) dan al-Madlul (makna lafaz dalam lughawi). Misal al-
Dal lafaz ―sholat‖ lalu al-Madlul itu bermakna berdoa. Maka penunjukkan
makna sholat pada doa itu namanya dalalah.

Suatu teks nash kadang dapat memberikan pengertian yang


bermacam-macam. Untuk mengambil petunjuk sebuah nash bukan hanya
sebatas memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat sebuah nash,
akan tetapi juga mencari apa yang tersirat dalam susunan kalimat tersebut.
Mencari illat yang menjadi sebab ditetapkannya suatu hukum untuk
dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya, dan
juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya
menjadi rasional. Jalan tersebut oleh Ahli Ushul dinamai Dalalat al-ibarah,
dalalat al-isyarah, dalalat al-dalalah, dan dalalat al-iqtidha.1

Memahami dalalah dalam hal ini menjadi suatu keharusan,


mengingat nash syar'i atau perundang-undangan wajib diamalkan sesuai
dengan sesuatu yang difahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya), atau
isyaratnya, atau dalalahnya, atau juga iqtidha'nya. Karena segala sesuatu
yang difahami dari nash dengan salah satu jalan dari empat jalan tersebut,
maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash, sedangkan
nash adalah hujjah atasnya

Dalam mazhab hanafiyah membagi menjadi 4 macam metode


penujukkan makna terhadap lafaz nash, yaitu Ibaratun nash, isyaratun
nash, dalalatun nash, dan iqtidhaun nash.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari dalalah?
2. Bagaimana macam-macam dari dalalah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari dalalah.
2. Untuk mengetahui macam-macam dari dalalah menurut ulama
Hanafiyah.

1
M. Ulil Abshor, “Metode Istinbath Hukum Dalam Pandangan Ulama Hanafiah,” CONTEMPLATE:
Jurnal Ilmiah Studi Keislaman 3, no. 02 (15 Desember 2022): 18.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dalalah
Dalalah berasal dari kata ‫ دالل ة‬adalah bentuk mashdar (kata Dasar)
dari kata ‫ د‬- yang berarti ―menunjukkan‖ dan kata dalalah sendiri
berarti petunjuk atau penunjukkan dalalah. Sedangkan dalalah menurut
istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang
dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat
mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dalalah
lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan
hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash. Nash al-Qur‘an dan as-
Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh
disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dalalah atau dilalah
tersendiri.2 Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan
oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut:3

‫ل‬ ‫ل‬
‫ل‬ ‫ل‬
Artinya : ―Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan
menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan)
hukum syara‘ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth‘iy maupun
zhanniy.‖

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang


disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat
dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan

2
Kasja Eki Waluyo, “Kajian Dalalah dalam Ushul Fiqh,” t.t.
3
Achmad Ashrofi dan Muhammad Sholihin Aziz, “Lafadz dari Aspek Dilalahnya dan Mafhum
Mukhalafah,” t.t.
hukum syara‘ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Sementara
itu, yang dimaksud dengan dalalah, seperti dijelaskan oleh Dr.Wahbah
Zuhaili dalam kitab ushulnya Dalalah adalah :4

‫ــظ َعـلَى ْال َوـ ْعـنَى‬


ِ ‫كَـيْـ ِفـيَّةُ دَ ََللَـ ِة اللَّـ ْف‬
Artinya : ―Yaitu; penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang
dimaksud oleh mutakallim atau cara penunjukkan lafaz atas sesuatu
makna.‖

Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi
petunjuk dan dalalah ialah sesuatu yang ditunjukkan. Menyangkut
dalalah lafadz nash ini di kalangan ulama ushul memang terdapat
perbedaan. Kalangan ulama Hanafiyah membagi cara penunjukkan
dalalah lafal nash itu kepada empat macam, yaitu: Ibaratun Nash,
Isyaratun Nash, Dalalatun Nash, dan Iqtidhaun Nash.

B. Macam-Macam Dalalah
1. Ibaratun Nash

Ibarat nash adalah penunjukan lafadz pada suatu makna yang


dimaksud dari lafadz itu sendiri, baik yang tersurat maupun yang
tersirat. Dapat diartikan bahwa makna yang terkandung dalam lafadz
dapat difahami langsung dari bentuk sighatnya, baik yang di fahami
secara asli dari lafadz itu atau secara tersirat dalam lafadz itu, dan
makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya,
sepanjang makna itu zhahir pemahamannya dari shighat nash.

Contoh dari ibaratu nash, firman Allah SWT yang berbunyi

ّ ِ ‫ّٰللاُ ۡالبَ ۡي َع ًَ َح َّر َم‬


‫الر ٰبٌا‬ ‫ًَا َ َح َّل ه‬

Artinya: ―Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba...‖

4
Melia Meilina, Khairul Ikhsan, dan Siti Nur Hayati, “Macam-Macam Dalalah,” t.t.
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili, bahwa ayat ini arti asalnya adalah
menjelaskan perbedaan antara jual-beli dan riba. Kemudian ayat ini
diartikan pula bahwa jual-beli itu boleh dan riba itu haram. Kedua
pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal
yang terdapat dalam ayat. Hanya makna yang pertama adalah yang
asal, karena ayat ini turun untuk menyangkal penyataan bahwa jual
beli sama dengan riba.5

Penunjukan Ibarah dalam dalam bentuk Nash itu lebih kuat


daripada penunjukan secara Dhohir. Alasanya karena penunjukkan
lafaz Nash itu berdasarkan maksud asalnya. Sementara penjukkan
lafaz secara Dhohir meski jelas tetapi tidak langsung dan tidak untuk
maksud yang sebenarnya dari lafaz tersebut.6

Ibaratun Nash adalah jenis dalalah yang terjadi ketika suatu kata
atau frasa dalam nash (teks al-Quran atau hadits) memiliki lebih dari
satu arti atau makna. Dalam hal ini, makna yang dimaksud bisa
merujuk pada makna yang sebenarnya atau makna yang berlawanan
dengan makna yang sebenarnya. Sebagai contoh, kata "ayat" dalam al-
Quran bisa merujuk pada ayat-ayat al-Quran itu sendiri atau bisa juga
merujuk pada tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta.

Dalam memahami Ibaratun Nash, terdapat beberapa kaidah


ushul fiqh yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Mempertimbangkan konteks ayat atau hadits secara keseluruhan,


bukan hanya sebagian dari teksnya saja.

b. Memahami kata-kata dalam nash berdasarkan aslinya dan penggunaan


bahasa Arab yang tepat.

c. Menafsirkan kata-kata dalam nash berdasarkan kaidah-kaidah


gramatikal dan syarat-syarat sahnya.

d. Menjaga keselarasan antara nash dan sunnah serta keselarasan antara


nash dengan realitas yang ada di lapangan.

e. Menjaga keselarasan antara nash dengan syariat secara keseluruhan


serta menjaga keselarasan antara nash dengan tujuan syariat (maqasid
syariah).

5
Kasja Eki Waluyo, “Kajian Dalalah dalam Ushul Fiqh,” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 2, no. 1
(20 April 2018): 492, https://journal.unsika.ac.id/index.php/rabbani/article/view/1747.
6
Abshor, “Metode Istinbath Hukum Dalam Pandangan Ulama Hanafiah,” 22.
Selain itu, terdapat pula beberapa jenis dalalah yang terkait
dengan Ibaratun Nash, yaitu:

a. Al-Mukhtalaf Fih, dalalah yang terjadi ketika suatu ayat atau hadits
memiliki lebih dari satu makna yang saling bertentangan.

b. Al-Mushtarik Fih, dalalah yang terjadi ketika suatu ayat atau hadits
memiliki lebih dari satu makna yang saling melengkapi.

c. Al-Mujmal, dalalah yang terjadi ketika suatu ayat atau hadits memiliki
makna yang kabur dan tidak jelas secara spesifik.

d. Al-Mubham, dalalah yang terjadi ketika suatu ayat atau hadits


memiliki makna yang samar dan ambigu sehingga memerlukan
penjelasan lebih lanjut.

Dalam menghadapi Ibaratun nash, seorang ahli ushul fiqh harus


memperhatikan semua kaidah-kaidah di atas dan mempertimbangkan
setiap kemungkinan makna yang dimungkinkan. Hal ini sangat
penting agar penafsiran yang dilakukan tepat dan sesuai dengan niat
syariat.7

2. Isyaratun Nash

Isyaratun nash adalah penunjukan lafadz pada suatu makna yang


tidak dimaksud secara langsung dari lafadznya tidak pula secara
susunannya, tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan
diungkapkan untuk itu.

Isyaratun nash adalah jenis dalalah yang terjadi ketika suatu kata
atau frasa dalam nash mengisyaratkan pada suatu makna atau hukum
yang lebih umum atau lebih khusus dari makna atau hukum yang
secara eksplisit dinyatakan dalam nash tersebut. Dalam hal ini, makna
atau hukum yang dimaksud tidak secara langsung disebutkan dalam
nash, namun dapat dipahami melalui isyarat atau petunjuk yang ada di
dalamnya. Isyaratun nash adalah ketidakjelasan arti suatu kata atau

7
Muhammad, Syamsul. (2015). Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muhammad Abdul Halim, Kamus Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia Group, 2007), hlm. 116-
117.
frasa dalam nash yang disebabkan oleh kata tersebut tidak secara jelas
menjelaskan apa yang dimaksud. Dalam hal ini, makna yang
dimaksud harus dipahami dari konteks atau indikasi lain yang terdapat
dalam nash. Contoh dari isyaratun nash adalah penggunaan kata "dia"
dalam sebuah kalimat. Untuk memahami siapa yang dimaksud dengan
kata "dia", kita harus melihat konteks atau indikasi lain dalam nash.

Dalam memahami Isyaratun Nash, terdapat beberapa kaidah


ushul fiqh yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Memperhatikan konteks ayat atau hadits secara keseluruhan, bukan


hanya sebagian dari teksnya saja.

b. Memahami kata-kata dalam nash berdasarkan aslinya dan penggunaan


bahasa Arab yang tepat.

c. Menafsirkan kata-kata dalam nash berdasarkan kaidah-kaidah


gramatikal dan syarat-syarat sahnya.

d. Memperhatikan hadits dan ayat-ayat yang berkaitan dengan nash


tersebut dalam kitab-kitab tafsir dan hadits.

e. Memperhatikan riwayat atau asbabul wurud (sebab-sebab turunnya)


dari ayat atau hadits tersebut.

Selain itu, terdapat pula beberapa jenis dhalalah yang terkait


dengan Isyaratun Nash, yaitu:

a. Al-Isharah, dalalah yang terjadi ketika suatu ayat atau hadits


memberikan petunjuk atau isyarat yang mengarahkan pada suatu
hukum atau makna tertentu tanpa menyebutkan secara eksplisit.

b. Al-Kinayah, dalalah yang terjadi ketika suatu ayat atau hadits


menggunakan kata-kata yang ambigu atau memiliki makna ganda
sehingga memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk memahaminya.
c. Al-Tamthil, dalalah yang terjadi ketika suatu ayat atau hadits
menggunakan perumpamaan atau metafora yang memerlukan
interpretasi atau analogi untuk memahaminya.

Dalam menghadapi Isyaratun Nash, seorang ahli ushul fiqh


harus memperhatikan semua kaidah-kaidah di atas dan
mempertimbangkan setiap kemungkinan makna atau hukum yang
dimungkinkan melalui isyarat atau petunjuk yang ada di dalam nash.
Hal ini sangat penting agar penafsiran yang dilakukan tepat dan sesuai
dengan niat syariat.8

3. Dalalatun Nash

Menurut Romli, Dalalatun nash adalah penunjuk lafal nash atau


suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak
disebutkan karena terdapatnya persamaan ‗illat antara keduanya.
Dalalah Nash merupakan petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu
hukum yang disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak
disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, illat yang dipahami dari lafaz
itu sama dengan illat suatu peristwa yang tidak disebutkan
hukumnya.9

Dr. Wahbah Zuhaili memberi perngertian bahwa Dalalatun nash


adalah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan
nashnya berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut
‗anhu), karena antara kedua, yang disebutkan dan yang tidak
disebutkan, terdapat pertautan ‗illat hukum, dimana dimungkinkan
pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan analisa

8
Fathoni, M. A. (2019, Oktober 22). Pengertian Dhalalah, Macam-Macam Dhalalah, dan Cara
Menghindarinya. Tafhimuna. https://tafhimuna.com/2019/10/22/pengertian-dhalalah-macam-
macam-dhalalah-dan-cara-menghindarinya/
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, juz 10, hal. 346-352.
9
Abshor, “Metode Istinbath Hukum Dalam Pandangan Ulama Hanafiah,” 25.
kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala
kemampuan daya nalar.

Jadi apabila terdapat suatu perkara yang tidak diketahui


hukumnya, maka ia diberlakukan sama dengan perkara yang ada
hukumnya, tetapi yang memiliki kesamaan illat diantara kedua
perkara tersebut. Contoh pada firman Allah SWT dalam Q.S. al-Isra
ayat 23 sebagai berikut:

ّ ُ ‫فَال جَقُ ْل لَ ُي َوا أ‬


‫ف ًََل جَ ْن َي ْر ُى َوا‬

Artinya : ―Maka janganlah kamu mengucapkan kata ―ah‖


kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka
berdua…‖ (QS. Al-Isra:23)

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita ―dilarang‖


mengucapkan katakata ―ah‖ atau ―cis‖ dan menghardik kedua orang
tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini
tidak lain karena perbuatan ini adalah ―menyakitkan‖ perasaan kedua
orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan
kepada perbuatan misalnya ―memukul‖ atau perbuatan-perbuatan
yang sejenisnya yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu
menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan
selain ucapan ―ah‖ atau hardikan yang dapat menyakiti kedua orang
tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada
Allah SWT.

Dalalatun nash ini dalam pandangan Imam Syafe‟i, disebut


dengan mafhum muwafaqah atau qiyas jali. Mafhum muwafaqah
adalah apa yang tidak disebutkan oleh nash sejalan dengan apa yang
dituturkan oleh nash. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang tidak
disebutkan oleh nash sesuai dengan ketentuan hukum yang disebutkan
oleh lafal nash. Disebut dengan qiyas jali ialah karena ketentuan
hukum terhadap sesuatu yang tidak disebutkan itu lebih kuat
dibandingkan dengan yang disebutkan oleh Nash.10

4. Iqthidhaun Nash

Pengertian iqtidhaun nash sebagai berikut:

ِ ‫صـذ ُْق الك‬


‫َآلم‬ ِ ‫ــف‬ ِ ٌْ ‫ِى دَ ََللَـةُ الك ََال ِم َعـلَى َهـسْـ ُك‬
ُ َّ‫ت َعـ ْنـوُ يَـح ََـٌ ق‬ َ ‫ـص ى‬ ِ َّ‫ضا ُء الـن‬ َ ‫اِ ْقـحِـ‬
‫ع َلى ج َ ْق ِذي ِْر ِه‬
َ ً ‫ص َّححِ ِو ش َْرعا‬ ِ ًْ َ ‫ا‬

Artinya : "Iqtidla ’al-nash ialah penunjukkan lafal nash


kepada sesuatu makna yang tidak disebutkan, akan tetapi kebenaran
lafadznya dapat dikira-kirakan atas makna dimaksud secara
syara‘.11

Iqtidhaun nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang


tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak
disebutkan. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk
makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan
kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash.
Menurut Romli, Iqtidhaun nash adalah penunjuk lafal nash kepada
sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami
jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai
penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam FIrman Allah pada
surat al-Ma‘idah, ayat 3 berikut ini:

‫ث َعلَ ْي ُك ُن ْال َو ْيحَةُ ًَالذَّ ُم ًَلَحْ ُن ْال ِخ ْن ِزي ِْر ًَ َها ٓ ا ُ ِى َّل ِلغَي ِْر ه‬
‫ّٰللاِ ِبو‬ ْ ‫ُح ِ ّر َه‬

Artinya: ‖Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging


babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.‖ (QS.
Al-Maidah:3)

10
Waluyo, “Kajian Dalalah dalam Ushul Fiqh,” 20 April 2018, 494–95.
11
Waluyo, 495.
Pengertian ayat ini belum jelas, oleh karena itu diperlukan
penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Sehingga
untuk kasus dalam ayat ini maksudnya ―diharamkan memakan atau
memanfaatkan darah dan daging babi. Sebab keharaman tanpa
hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya. Dalalah
iqtidhadun nash ialah yang mengandung suatu pengertian dalam suatu
hal yang tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan artinya
diperlukan suatu ungkapan (lafadz).

Misalnya firman Allah SWT:

َ‫ًَسْـَٔ ِل ْالقَ ْريَةَ الَّحِ ْي ُكنَّا فِ ْي َيا ًَ ْال ِعي َْر الَّحِ ْٓي ا َ ْقبَ ْلنَا فِ ْي َي ۗا ًَاِنَّا لَصٰ ِذقُ ٌْى‬

Artinya: Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada


disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang benar‖. (Q.S.Yusuf:82)

Menurut dzahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang,


karena bagaimana mungkin bertanya kepada ―kampung‖ yang bukan
makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan sesuatu kata
agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu
dimunculkan itu adalah ―penduduk‖ sebelum kata ―kampung‖ yang
dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu
memunculkan kata ―orang-orang‖ sebelum kata ―kafilah‖, sehingga
menjadi orang-orang dalam ―kafilah‖ yang memungkinkan
memberikan jawaban.

Kehendak nash adalah makna atau pengertian yang mana


kalimat itu tidak dapat dimengerti kecuali dengan memperkirakan
adanya pengertian tersebut. Jadi lafazhnya tidak ada, akan tetapi
kebenaran kalimat dan maknanya membutuhkan pengertian itu.12

12
Abshor, “Metode Istinbath Hukum Dalam Pandangan Ulama Hanafiah,” 26–27.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang
dimaksudkan. Pada dasarnya kajian dalalah (petunjuk) dalam Ilmu
Ushul Fiqh adalah kajian teks yang bersumber dari al-Qur‘an dan
Hadits. Kajian ini dimaksudkan untuk menemukan maksud yang
sebenarnya dari teks, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
2. Penunjukkan lafadz menurut Ulama Hanafiah terbagi menjadi empat
macam, yaitu ibaratun nash, isyaratun nash, dalalatun nash, dan
iqtidhaun nash. Apabila dua yang pertama berusaha menemukan
maksud pembicara baik yang tersurat (ibarah) maupun yang tersirat
(isyarah) dari makna secara langsung, maka dua yang terakhir
berusaha menemukan tujuan syar‘i yang tidak tertulis dalam teks baik
melalui perluasan makna teks (dalalah nash) maupun penyisipan
(iqtidha).
3. Dalam pandangan ulama mazhab Hanafi, dari keempat macam cara
penunjukkan dalalah yang paling kuat adalah dalalah ibaratun nash,
kemudian menyusul isyaratun nash dan setelah itu baru dalalatun
nash dan yang terakhir adalah iqtidhaun nash.
DAFTAR PUSTAKA

Abshor, M. Ulil. ―Metode Istinbath Hukum Dalam Pandangan Ulama Hanafiah.‖


CONTEMPLATE: Jurnal Ilmiah Studi Keislaman 3, no. 02 (15 Desember
2022): 16–31.
Ashrofi, Achmad, dan Muhammad Sholihin Aziz. ―Lafadz dari Aspek Dilalahnya
dan Mafhum Mukhalafah,‖ t.t.
Halim, Muhammad Abdul. "Kamus Ushul Fiqh", Jakarta:Prenadamedia Group,
2017.

M.A, Fathoni. "Pengertian Dhalalah, Macam-Macam Dhalalah, dan Cara


Menghindarinya", Tafhihuma. (2019, Oktober 22).
https://tafhimuna.com/2019/10/22/pengertian-dhalalah-macam-macam-
dhalalah-dan-cara-menghindarinya/

Meilina, Melia, Khairul Ikhsan, dan Siti Nur Hayati. ―Macam-Macam Dalalah,‖
t.t.
Syamsul, Muhammad. "Ilmu Ushul Fiqh", Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2015.

Waluyo, Kasja Eki. ―Kajian Dalalah dalam Ushul Fiqh.‖ Jurnal Pendidikan Islam
Rabbani 2, no. 1 (20 April 2018).
https://journal.unsika.ac.id/index.php/rabbani/article/view/1747.

———. ―Kajian Dalalah dalam Ushul Fiqh,‖ t.t.

Anda mungkin juga menyukai